Paradigma Pendidikan Nasional yang Sekular-Materialistik
Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang sekular-materialstik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, kagamaan, dan khusus dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia yang sholeh yang berkepribadian sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institusi agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejurusan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan seluruh aspek.
Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan ilmu agama. Banyak lulusan pendidikan umum yang ‘buta agama’ dan rapuh kepribadiannya. Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai ilmu agama dan kepribadiannya pun bagus, tetapi buta dari segi sains dan teknologi. Sehingga, sektor-sektor modern diisi orang-orang awam. Sedang yang mengerti agama membuat dunianya sendiri, karena tidak mampu terjun ke sektor modern.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal, itulah kalimat yang sering terlontar di kalangan masyarakat. Mereka menganggap begitu mahalnya biaya untuk mengenyam pendidikan yang bermutu. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi membuat masyarakat miskin memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), dimana di Indonesia dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, komite sekolah yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah komite sekolah terbentuk, segala pungutan disodorkan kepada wali murid sesuai keputusan komite sekolah. Namun dalam penggunaan dana, tidak transparan. Karena komite sekolah adalah orang-orang dekat kepada sekolah.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melempar tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sector yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Koordinator LSM Education network foa Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersalialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara kaya dan miskin.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?. Kewajiban Pemerintahlah untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataan Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
Fandi achmad (Jawa Pos, 2/6/2007) menjelaskan sebagai berikut.
Mencermati konteks pendidikan dalam praktik seperti itu, tujuan pendidikan menjadi bergeser. Awalnya, pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan tidak membeda-bedakan kelas sosial. Pendidikan adalah untuk semua. Namun, pendidikan kemudian menjadi perdagangan bebas (free trade).
Tesis akhirnya, bila sekolah selalu mengadakan drama tahun ajaran masuk sekolah dengan bentuk pendidikan diskriminatif sedemikian itu, pendidikan justru tidak bisa mencerdaskan bangsa. Ia diperalat untuk mengeruk habis uang rakyat demi kepentingan pribadi maupun golongan.
Kualitas SDM yang Rendah
Akibat paradigma pendidikan nasional yang sekular-materialistik, kualitas kepribadian anak didik di Indonesia semakin memprihatinkan. Dari sisi keahlian pun sangat jauh jika dibandingkan dengan Negara lain. Jika dibandingkan dengan India, sebuah Negara dengan segudang masalah (kemiskinan, kurang gizi, pendidikan yang rendah), ternyata kualitas SDM Indonesia sangat jauh tertinggal. India dapat menghasilkan kualitas SDM yang mencengangkan. Jika Indonesia masih dibayang-bayangi pengusiran dan pemerkosaan tenaga kerja tak terdidik yang dikirim ke luar negeri, banyak orang India mendapat posisi bergengsi di pasar Internasional.
Di samping kualitas SDM yang rendah juga disebabkan di beberapa daerah di Indonesia masih kekurangan guru, dan ini perlu segera diantisipasi. Tabel 1. berikut menjelaskan tentang kekurangan guru, untuk tingkat TK, SD, SMP dan SMU maupun SMK untuk tahun 2004 dan 2005. Total kita masih membutuhkan sekitar 218.000 guru tambahan, dan ini menjadi tugas utama dari lembaga pendidikan keguruan.
Dalam menghadapi era globalisasi, kita tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia dengan latar belakang pendidikan formal yang baik, tetapi juga diperlukan sumber daya manusia yang mempunyai latar belakang pendidikan non formal.