Titik awal paradigma sekularisasi, fragmentasi dan kebebasnilaian pengetahuan


Titik awal paradigma sekularisasi, fragmentasi dan kebebasnilaian pengetahuan
Sekitar abad ke-16 masehi gereja mendominasi peran dari pengambilan ilmu pengetahuan. Segala keputusan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan diambil alih oleh gereja, tidak ada peran yang lebih tinggi selain dominasi gereja pada masa itu. Sehingga keputusan tertinggi ada ditangan gereja tidak ada yang dapat menentangnya, jika ada yang menentang gereja maka ia akan dieksekusi oleh pihak gereja. Padahal dogma yang dipegang dan diajarkan oleh tokoh-tokoh gereja pada abad tersebut jelas-jelas bertentangan dengan fakta-fakta yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan. Disinilah terjadi revolusi besar-besaran yang dipimpin oleh para tokoh untuk menentang gereja. Sebuah gerakan yang menolak peran apapun dari wahyu dalam mengatur urusan-urusan manusia, menyerahkan segala yang terkait dengan urusan manusia pada kekuatan dan kemampuan akal untuk membedakan antara yang baik dan buruk, antara yang benar dan salah, antara yang adil dan tidak adil.

Sehingga mereka mengajukan pendekatan hedonis dari utilitarianisme sebagai suatu alternatif. Benar dan salah ditentukan oleh kriteria yang dapat diukur berdasarkan”rasa nyaman” dan ”rasa sakit”. Pendekatan ini telah meratakan jalan bagi diperkenalkanya falsafah darwinisme sosial, materialisme, dan determinisme dalam ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu sosial lainnya.(lihat Chapra, dalam Masa DepanIlmu Ekonomi hal.17-18).

Dari sinilah titik tolak terjadinya arus sekularisasi besar-besaran di Eropa hampir di setiap bidang tak terkecuali ilmu pengetahuan. Mereka mengeluarkan landasan agama, landasan ketuhanan, landasan nilai-nilai dan norma dari arus pemikiran pengetahuan mereka.
Karena itu lahirlah ilmu pengetahuan yang bersifat positivistik. Hanya menjelaskan fakta-fakta secara apa adanya.Pertanyaaan normatif “what should?”, “what best?” yang mempertanyakan apa yang terbaik dan yang seharusnya dilakukan dikesampingkan(lihat Adiwarman A.Karim, dalam Ekonomi Mikro Islami, hal. 42).

Dari paradigma diataslah ilmu pengetahuan dibangun, termasuk ilmu yang sekarang banyak tersebar di kampus-kampus. Sehingga bukan menjadi sebuah kemustahilan ketika banyak kita dapati kekeringan-kekeringan jiwa walaupun pengetahuan kita sudah dianggap tinggi karena kuliah, ataupun sudah banyak yang berpangkat sarjana. Ilmu yang sekarang kita pelajari, banyak mengesampingkan variabel-variabel norma, variabel nilai-nilai selain ekonomi, bahkan variabel keagamaan dikesampingkan jauh-jauh karena dianggap tidak relevan dan kuno.

Membangun paradigma sains diatas landasan agama
Pertentangan antara akal, wahyu dan langkah integrasi keduanya
Secara sekilas, kita banyak dapati pertentangan antara akal dan wahyu, antara sains dan wahyu.Wahyu yang diturunkan oleh Tuhan tidak selamanya bisa diterima oleh akal. Perkembangan ilmu pengetahuan kadang bertentangan dengan wahyu, sehingga seolah hal tersebut bertentangan dan bertolak belakang. Padahal jika dikaji lebih lanjut kita akan banyak menemukan Hikmah dibalik apa yang telah diwahyukan Allah dan Rosulnya(baca lebih lanjut karangan Harun Yahya).

Chapra mengungkapkan dalam bukunya bahwa sains dan agama berbicara tentang dua tingkatan realitas yang berbeda. Pertama, berbicara tentang jagad raya fisik yang dapat diraih oleh pancaindra manusia, sementara yang kedua, berbicara tentang tingkatan realitas yang lebih tinggi yang bersifat transedental dan di luar jangkauan pengalaman indra. Lebih lanjut ia menjelaskan :

“…….Sains sangat menggantungkan manusia terutama akal, dan mencoba mendapatkan pengetahuan melalui observasi dan eksperimen; ia mencoba melakukan deskripsi dan analisis “apa” ia harus dapat melakukan prediksi apa yang kan terjadi di masa depan. Ketika sains berbicara tentang jagad raya fisik, maka deskripsi dan analisisnya lebih pasti dan prediktifnya lebih besar. Namun manakala ia berbicara tentang manusia, makhluk yang tidak selalu berperilaku standar seringkali tidak akurat. Berbeda dengan agama, yang bergantung pada wahyu dan akal dalam pengetahuannya. Tujuan utamanya untuk membantu mentransformasikan kondisi manusia dari “apa” kepada kondisi ideal atau “apa seharusnya”…….”(Chapra, hal.71)

Untuk itulah sebenarnya wahyu diturunkan membimbing manusia untuk bertindak “apa yang seharusnya” dilakukan. Agama difungsikan untuk menjaga manusia keluar dari batas orbit yang telah ditentukan. Karena bagaimanapun juga manusia memiliki keterbatasan dari apa yang dimiliki. Dan sains seharusnya tetap berpijak pada pandangan agama, membantu agama untuk menganalisis pengetahuan yang lebih baik tentang “apa yang seharusnya”. Pertentangan antara agama dan sains akan terjadi, jika sains tidak menghormati kontribusi ajaran-ajaran moral dan transedental yang dapat disumbangkan kepada kebahagiaan manusia. Begitu juga dengan agama, akan terjadi konflik ketika agama membuat pernyataan yang irasional dan sulit diterima oleh sains. Dan sikap yang seharusnya dilakukan adalah ketika akal sudah tidak lagi sampai untuk mencapai wahyu, maka wahyu dikedepankan, kemudian akal diajukan. Memaksimalkan potensi akal untuk menggali dibalik apa yang ditetapkan Allah. Bukankah akal digunakan untuk berfikir, dan dalam berpikir akalpun memiliki keterbatasan…?

Dalam sejarah perkembangan Muslim, ketika umat islam mencapai zaman keemasan ilmu pengetahuan pernah terjadi gerakan rasionali. Namun gerakan tersebut tidak mempertentangkan antara sains dan wahyu; karena hal ini tidak mungkin terjadi karena sikap positif islam terhadap sains dan metode ilmiah. Konflik itu terjadi antara wahyu dan spekulasi filsafat.(lebih lanjut baca: Mehdi Nakosten, Kontribusi muslim atas dunia pemikiran barat; Chapra, Masa depan ilmu ekonomi hal.73-86).

Integrasi pengetahuan dan agama
Dari keterangan diatas jelaslah,  bahwa pengetahuan yang mengedepankan akal dalam berobservasi tidak bisa dipisahkan dari agama, begitu juga agama tidak bisa dipisahkan dari ilmu pengetahuan, keduanya dapat terjalin hubungan erat. Allah telah menganugerahkan manusia dengan akal yang merupakan alat untuk memahami dunia, dan untuk memenuhi segala kebutuhannya juga untuk mendukung posisinya sebagai khalifah. Sementara itu, wahyu merupakan sarana untuk menuntun manusia terhadap segala pengetahuan tentang tujuan hidupnya, dengan demikian sebenarnya akal dan wahyu saling melengkapi satu sama lainnya dan sangat berguna bagi kehidupan manusia. Sejarah telah membuktikan bahwa integrasi keduanya pernah membentuk satu peradaban yang menakjubkan, serta saling menguat satu sama lain. Selama kurun waktu tersebut peradaban Islam menyinari dunia, termasuk barat. (Hendri anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, hal.19).

Subscribe to receive free email updates: