Menurut PAra Ahli Aspek Hukum Sistem Pembuktian

Menurut PAra Ahli Aspek Hukum Sistem Pembuktian
Menurut pendapat dari Prof. R. Soekardono S.H, tulisannya yang berjudul “PENGGUNAAN UPAYA-UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PROSEDUR PERDATA”, Majalah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), 1971 No. 12 hal. 49, yang dimaksud dengan pembuktian adalah membuktikan suatu peristiwa, mengenai adanya suatu hubungan hukum dan merupakan salah satu cara untuk menyakinkan hakim akan kebenaran yang menjadi dasar gugatan atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyangggah kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.

Mengenai pembuktian pernah dipersoalkan, apakah sebenarnya yang dapat dibuktikan itu.  Beberapa ahli hukum mengatakan bahwa yang harus dibuktikan apabila terjadi sengketa hukum adalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, seperti adanya hak milik, adanya piutang, hak waris, dan sebagainya, oleh karena itu dalam persidangan hakim harus membuktikan fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa untuk membenarkan adanya suatu hak.

Legalitas atau keabsahan dari suatu kontrak atau perjanjian khususnya dalam kontrak jual beli secara elektronik menjadi sebuah fenomena yuridis yang relatif baru bagi hukum positif Indonesia pada umumnya.  Hal ini perlu dikaji lebih lanjut terhadap aspek hukum pembuktian pada khususnya.

Proses pembuktian terhadap suatu peristiwa dapat dilakukan dengan beberapa cara.  Menurut Paton dalam bukunya A Textbook Of Jurisprudence disebutkan bahwa, alat bukti dapat bersifat oral, documentary, atau materiil, alat bukti yang bersifat oral merupakan kata-kata yang diucapkan seorang dalam pengadilan, artinya kesaksian tentang suatu peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral, alat bukti yang bersifat documentary adalah alat bukti yang surat atau alat bukti tertulis, sedang alat bukti yang bersifat materiil adalah alat bukti barang fisik yang tampak atau dapat dilihat selain dokumen.

Membuktikan berarti menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.  Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanya diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka Hakim atau Pengadilan.

Menurut sistem Het Herziene Indonesisch Reglement atau Hukum Acara Perdata, hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah.  Hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang disahkan oleh undang-undang.  Alat-alat bukti dalam Hukum Acara Perdata sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 164 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR), dan pasal 1866 KUH-Perdata, terdiri atas :

1.      Alat bukti surat ;
Surat bukti yang terutama ialah surat akta, dengan disingkat biasa disebut “ akta”.  Pada umumnya akta itu adalah suatu surat yang ditanda tangani, memuat keterangan tentang kejadian-kejadian atau hal-hal yang merupakan dasar dari sesuatu perjanjian.  Dapat dikatakan bahwa akta itu adalah suatu tulisan dengan mana dinyatakan sesuatu perbuatan hukum.  Akta yang demikian ada yang bersifat otentik dan ada yang sifatnya dibawah tangan.

Selanjutnya alat bukti tertulis (surat) dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
a.       Akta Otentik
Berdasarkan pasal 165 HIR yang dimaksud dengan akta otentik, yaitu surat yang diperbuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut didalam surat itu dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan langsung berhubungan dengan pokok dalam akta itu, maksudnya bahwa akta tersebut dibuat dihadapan pejabat yang menurut undang-undang berwenang untuk membuatnya misalnya Notaris.  Sedangkan menurut pasal 1868 KUH-Perdata suatu akta otentik adalah suatu kata yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya, oleh karena itu isi dari akta otentik dianggap tidak dapat disangkal kebenarannya, kecuali jika dapat dibuktikan, bahwa apa yang oleh pegawai umum yang berwenang dicatat kebenarannya.

b.      Akta dibawah tangan berisi catatan dari suatu perbuatan hukum, tetapi tidak dibuat dihadapan pejabat yang berwenang.  Ada ketentuan khusus mengenai akta dibawah tangan, yaitu akta dibawah tangan yang memuat hutang sepihak, untuk membayar sejumlah uang tunai atau menyerahkan suatu benda, harus ditulis seluruhnya dengan tangan sendiri oleh orang yang menandatangani, atau setidak-tidaknya selain tanda tangan harus ditulis pula dibawah, dengan tangan sendiri oleh yang bertanda tangan, surat keterangan untuk menguatkan jumlah atau besarnya atau banyaknya harus dipenuhi, dengan huruf seluruhnya, artinya dalam menadatangani surat yang nantinya akan dijadikan sebagai alat bukti harus di tandatangani oleh orang yang bersangkutan.  Mengenai akta dibawah tangan, tidak diatur dalam HIR, tetapi diatur dalam Stb. 1867 Nomor 29 untuk Jawa dan Madura. Sedangkan untuk luar Jawa dan Madura diatur dalam   Pasal 286 sampai 395 Rbg; serta Pasal 1874 sampai 1880 KUH-Perdata.

Selain akta otentik dan akta dibawah tangan, antara HIR dan KUH-Perdata, tidak mengatur tentang pembuktian dari surat-surat yang bukan akta.  Surat dibawah tangan yang bukan akta hanya disebut dalam pasal 1874 ayat (1) KUH-Perdata yang sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.  Dalam Pasal 1881 KUH-Perdata, dan 1883 KUH-Perdata diatur secara khusus mengenai beberapa surat di bawah tangan yang bukan akta, misalnya: buku daftar (register), surat-surat rumah tangga dan catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alasan hak yang dipegang selamanya.  Kekuatan pembuktian pada surat-surat yang bukan akta diserahkan pada pertimbangan hakim, sebagaimana diatur dalam pasal 1881 ayat (2) KUH-Perdata yang menyebutkan dalam segala hal lain, hakim akan memperhatikannya, sebagaimana dianggapnya perlu.

2.      Bukti Saksi ;
Apabila bukti tulisan tidak ada, maka dalam perkara perdata orang berusaha mendapatkan saksi-saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan dimuka persidangan. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 171 HIR ayat (1) yang menyebutkan bahwa dalam tiap-tiap kesaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi.  Maksud dari pasal ini ialah bahwa pada umumnya yang menjadi saksi itu harus memberikan keterangan dengan apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan/atau apa yang ia alami.  Apa yang ia ketahui dari keterangan orang lain, yaitu yang disebut kesaksian de auditu, kesaksian seperti itu tidak diperkenankan dalam hukum acara perdata di Indonesia.  Pendapat-pendapat atau perkiraan-perkiraan dari saksi secara pribadi, yang disusun sebagai kesimpulan, bukan kesaksian yang sah. Keterangan saksi harus diberikan secara lisan dan pribadi di persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak diwakilkan serta tidak boleh dibuat secara tertulis.  Pasal 140 ayat (1) HIR menyebutkan bahwa jika saksi yang dipanggil sekali lagi tidak juga datang, maka ia dihukum sekali lagi membayar biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu, dan lagi akan mengganti kerugian yang terjadi bagi kedua belah pihak, karena ia tidak dating, artinya bahwa apabila saksi yang dipanggil secara patut dan tidak datang maka akan diberi sanksi terhadap saksi, dan apabila datang secara patut tetapi tidak mau memberikan keterangan maka dapat diberikan sanksi juga.

3.      Persangkaan ;
Menurut pasal 1915 KUH-Perdata yang dimaksud dengan persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata ke arah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya.  Jadi menurut KUH-Perdata pasal 1915 ada dua persangkaan yaitu yang didasarkan pada atas undang-undang (praesumptiones juris) dan yang merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh hakim (praesumptiones facti).  Menurut pasal 173 HIR disebutkan bahwa persangkaan yang tidak berdasarkan pada suatu peraturan undang-undang, hanya boleh diperhatikan oleh hakim pada waktu menjatuhkan keputusannya, jika persangkaan itu penting, seksama, tentu dan bersetujuan yang satu dengan yang lain.  Pasal ini tidak menerangkan sangkaan atau dugaan, namun hanya menerangkan kapan persangkaan itu dapat digunakan sebagai alat bukti, yaitu jika persangkaan itu berarti, tertentu dan antara satu dengan yang lain terdapat persesuaian.  Selanjutnya dalam pasal 1916 KUH-Perdata menyebutkan dugaan menurut undang-undang yaitu dugaan yang karena kekuatan sesuatu ketentuan yang khusus didalam undang-undang, berhubungan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau dengan peristiwa-peristiwa tertentu, antara lain :
a.       Perbuatan-perbuatan yang menurut undang-undang tidak sah, oleh karena dari sifat dan wujudnya pun sudah dapat diperkirakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan untuk melanggar ketentuan undang-undang ;
b.      Kejadian-kejadian yang menurut undang-undang dapat dijadikan kesimpulan guna menetapkan hak permilikan atau pembebasan dari utang ;
c.       Kewibawaan yang diletakkan oleh undang-undang kepada keputusan Hakim ;
d.      kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau sumpah dari salah satu pihak.

Dugaan mengenai sesuatu kejadian harus didasarkan kepada hal-hal yang telah terbukti, dan hakim harus berkeyakinan bahwa hal-hal yang telah terbukti boleh menimbulkan dugaan terhadap terjadinya sesuatu peristiwa lain.  Berdasarkan kalimat terakhir dari pasal 173 HIR itu ternyata, bahwa hakim tidak boleh mendasarkan keputusannya hanya dengan satu dugaan  saja.

4.   Pengakuan ;
Pengakuan (bekentenis, confession), diatur dalam pasal 174 HIR yang menyebutkan bahwa pengakuan yang diucapkan dihadapan hakim, cukup menjadi bukti untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik pengakuan itu diucapkannya sendiri, baik dengan pertolongan orang lain, ataupun yang dikuasakan untuk melakukan itu.   Meskipun dalam HIR dan dalam KUH-Perdata tidak ada keterangan yang tegas akan tetapi kedua-duanya mengadakan perbedaan antar pengakuan dan pembenaran.  Perbedaan ini tampak pada bagian HIR yang memuat peraturan pemeriksaan perkara pidana pengadilan negeri.  Dalam perkara sipil pengakuan dari tergugat berarti, bahwa ia menerima dengan sepenuhnya segala yang diajukan oleh penggugat.  Sedangkan menurut pasal 175 HIR yang menyebutkan pengakuan dengan lisan diluar hukum dan tidak memuat ketentuan tentang pengakuan dengan tulisan yang dibuat diluar hukum.  Menurut pasal 176 HIR, setiap pengakuan harus diterima keseluruhannya, apabila pada pengakuan itu dibubuhkan suatu keterangan mengenai pembebasan utang misalnya utang yang telah dibayar lunas atau telah dipenuhi dengan kewajiban yang telah ditentukan, atau bahwa utang itu telah dihapuskan, maka apabila penggugat dapat mengambil dua tindakan, yaitu :
a.       menganggap pengakuan yang dibubuhi keterangan tersebut sebagai suatu penyangkalan atas tuntutannya dan atas dasar penyangkalan itu ia mengajukan bukti-bukti yang diperlukan untuk menguatkan tuntutannya ;
b.      mengajukan bukti, bahwa pembubuhan keterangan atas pengakuan tergugat itu tidaklah benar dan apabila terbukti maka ia dapat meminta kepada hakim agar diadakan pemisahan terhadap pernyataan tergugat.

Dengan demikian maka penggugat yang menghadapi pengakuan disertai dengan peristiwa pembebasan, dapat menempuh dengan dua jalan yaitu dengan membuktikan dalil-dalil dasar gugatannya atau membuktikan akan kepalsuan peristiwa pembebasan.

5.  Sumpah
Dalam suatu perkara perdata sumpah yang diangkat oleh salah satu pihak dimuka hakim, ada 2 (dua) macam, yaitu :
a.       Sumpah yang diperintahkan oleh pihak yang satu kepada pihak lawan untuk menggantungkan putusan perkara padanya, sumpah ini dinamakan sumpah pemutus atau decissoir ;
b.      Sumpah yang oleh hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu pihak, (sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1929 KUH-Perdata).
Sumpah pada umunya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat yang maha kuasa dari pada Tuhan, bahwa siapa yang memberi keterangan atas janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.  Jadi pada hakekatnya sumpah adalah tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.  Dalam HIR menyebutkan 3 (tiga) macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu :

1)      Sumpah suppletoir (pasal 155 HIR) ;
Sumpah suppletoir adalah sumpah yang diperhatikan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.  Sifat dari sumpah ini adalah mempunyai fungsi untuk menyelesaikan perkara, maka mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, yang masih membuktikan adanya bukti lawan.

2)      Sumpah penaksiran (Astimatoir, schattingseed) ;
Sebagaimana diatur dalam pasal 155 HIR Sumpah penaksiran, yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.  Kekuatan sumpah aestimatoir ini sama dengan sumpah suppletoir yang bersifat sempurna dan masih pembuktian lawan.

3)      Sumpah decisoir (pasal 156 HIR)
Sumpah decisoir atau pemutusan adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak lawannya.  Pihak yang meminta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedangkan pihak yang harus bersumpah disebut delaat.  Sumpah decisoir ini dapat dibebankan mengenai segala peristiwa yang menjadi sengketa dan bukan mengenai pelbagai pendapat tentang hukum atau hubungan hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal 1930 KUH-Perdata ayat (1) yang berbunyi bahwa sumpah pemutus dapat diperintahkan tentang segala persengketaan yang berupa apapun juga; selain tentang hal-hal para pihak tidak berkuasa mengadakan suatu perdamaian atau hal-hal dimana pengakuan mereka tidak boleh diperhatikan, sedangkan dalam ayat (2) yang menyebutkan bahwa sumpah pemutus dapat diperintahkan dalam tingkatan perkara, bahkan juga apabila tiada upaya lain yang manapun untuk membuktikan tuntutan atau tangkisan yang diperintahkan penyumpahannya itu.  

Akibat hukum mengucapkan sumpah ini bahwa kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi pasti dan pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu, tanpa mengurangi wewenang jaksa untuk menuntut berdasarkan sumpah palsu, sehingga merupakan bukti yang bersifat menentukan, yang berarti bahwa deferent harus dilakukan tanpa ada kemungkinan untuk mengajukan alat bukti lainnya.

Setiap sumpah yang dibacakan di hadapan persidangan merupakan sebagai alat bukti, yang bertujuan untuk menyelesaikan perkara yang terjadi diantara para pihak yang berperkara.

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak, adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara.  Apabila penggugat tidak berhasil dalam membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, gugatannya akan dikabulkan.

Subscribe to receive free email updates: