Pengertian Relevansi Spiritualitas Agama
Modernitas senyatanya tidak hanya menghadirkan dampak positif, tapi juga dampak negatif. Terhadap dampak negatif ini, pertanyaan kita selanjutnya adalah apa yang seyogyanya kita lakukan, sementara modernitas dengan niscaya terus bergerak dengan tanpa memperdulikan apakah di balik gerakannya terdapat bias negatif. Modernitas yang merupakan kristalisasi budi daya manusia adalah keharusan sejarah yang tak terbantahkan, dengan demikian satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah menjadi partisipan aktif dalam arus perubahan modernitas, sekaligus membuat proteksi dari akses negatif yang akan dimunculkan. John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam “Megatrends 2000“ mengatakan bahwa dalam kondisi seperti ini, maka agama merupakan satu tawaran dalam kegersangan dan kehampaan spiritualitas manusia modern. Dalam tesisnya ia mengatakan bahwa era milenium seperti sekarang merupakan era kebangkitan agama dan nilai-nilai esoteric. Bagi manusia modern, akses-akses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi akan mampu di proteksi oleh kearifan esoteric sebuah relegiusitas. Tetapi yang menarik dari fenomena ini adalah bahwa kecendrungan sikap dan pilihan beragama kaum modernis adalah model beragama yang mengedepankan spirit relegiusitas ketimbang formalitas agama konvensional. Slogan mereka yang cukup terkenal itu adalah “Spirituality yes, organized relegion no” (Naisbitt,1990). Hal ini jika kita simak secara mendalam lebih disebabkan oleh adanya pengaruh dari karakteristik modernisasi yang mengdepankan rasio dan daya kritis terhadap sebuah kebenaran.
Terdapat alasan ontologis-teologis mengapa sisi spiritualitas tetap menjadi kebutuhan perenial manusia; seprimitif dan semoderen apapun dia. Ia menganalogikan kebutuhan perenialitu dengan memetaforakan seperti sebuah cerita film (Yasraf Amir Pilliang, 2004). Bila di dalam segala sesuatu telah diketahui sebelumnya, artinya tidak ada lagi misteri dan pertanyaan yang perlu dijawab, enigma yang harus diselesaikan dan lain-lain, maka tidak ada makna baru yang penting dicari karena semuanya telah terbuka dan tersibak. Apa yang menarik dari sebuah film tersebut untuk kita tonton hingga menghabiskan waktu berjam-jam, toh kita telah tahu semuanya, seperti apa ending dari ceritanya. Film baru akan menarik manakala ia menghadirkan rasa penasaran, karena ia menyimpan misteri, pertanyaan dan enigma sehingga ia akan menghadirkan pengalaman baru bagi penontonnnya.
Demikian pula kehidupan ini, manakala saat kita berada di atas dunia semuanya telah menjadi nyata, semua membentangkan realitas sebenarnya, tidak ada lagi ruang suci tak tersentuh yang kemudian menjadikan kita tidak lagi mempunyai pekerjaan untuk memimpikan, mengilusikan, menghayalkan, dan menafsirkan, sesungguhnya tidak ada lagi yang namanya kehidupan di dunia. Dunia akan hidup manakala masih ada realitas tak tersentuh yang kemudian menghadirkan energi bagi manusia untuk berikhtiar mengungkapnya baik melalui penalaran, perenungan, pengembaraan jiwa dan lain-lain. Yang jelas bahwa Realitas Tak Tersentuh ini sebagai sesuatu yang berada di luar kekuasaan manusia, di luar pengalaman manusia dan mungkin di luar kemampuan akal manusia pula. Oleh manusia, Ia disebut secara beragam: Penggerak yang Tak Tergerak (Un-moved mover), Transendental, Tuhan dan lain-lain. Maka, selama Realitas Tak Tersentuh Yang Tak Terbatas ini masih ada, maka masih ada kekuatan lain yang berada di atas kekuatan manusia dan di sinilah spiritualitas menemukan ruangnya.
Prof. Zakiah Darajat, dalam bukunya “Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental”, menyatakan bahwa fungsi agama adalah :
1. Agama memberikan bimbingan bagi manusia dalam mengendalikan dorongan-dorongan sebagai konsekwensi dari pertumbuhan fisik dan psikis seseorang.
2. Agama dapat memberikan terapi mental bagi manusia dalam menghadapi kesukaran-kesukaran dalam hidup. Seperti pada saat menghadapi kekecewaan-kekecewaan yang kadang dapat menggelisahkan bathin dan dapat membuat orang putus asa. Disini agama berperan mengembalikan kesadaran kepada sang pencipta.
3. Agama sebagai pengendali moral, terutama pada masyarakat yang mengahadapi problematika etis, seperti prilaku sex bebas (untuk konteks sekarang Narkoba dan yang paling mutakhir syndrom politic, ekonomi dan budaya, Pen) (Lih. Zakiah Deradjat : 1982)
Zakiah lebih menekankan fungsi psikis dari agama, sedangkan Nico Syukur Dister disamping mengemukakan fungsi emotif-afektif dan fungsi sosio-moral dari agama, juga menambahkan fungsi intelektual-kognitif, yaitu Agama sebagai sarana untuk memuaskan intelek manusia manakala manusia diliputi pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya fundamental. Sebagai misal, ketika manusia bertanya tentang hakikat penciptaan dan tujuan keberadaan mereka di muka bumi ini. Nico menjelaskan ada dua sumber kepuasan dapat ditemukan dalam agama oleh intelek, yaitu : pertama, agama dapat menyajikan pengetahuan yang sifatnya rahasia; Kedua, memberikan kepuasan dalam pertanyaan-pertanyaan etis.
Dalam konteks ini, asumsi awal yang dapat kita berikan bahwa semoderen apapun sebuah komunitas, agama tetap akan eksis, dibutuhkan dan tetap dapat menjadi tawaran solutif terhadap penyakit sebagai darivasi dari peradaban yang dimunculkan. Agama diperlukan guna menjelaskan makna dan tujuan hidup manusia. Agamalah yang mengisi sisi spiritual manusia yang tidak mungkin dipenuhi oleh rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Bahkan menurut William James, agama akan selalu ada selagi manusia memiliki rasa cemas.
Robert N. Bellah di dalam Beyond Belief, memerikan bahwa mayoritas masyarakat Amerika – masyarakat yang biasanya diidentikkan dengan masyarakat sekular – ternyata masih membutuhkan keyakinan akan Tuhan, agama atau spiritualitas, meskipun interpretasi dari Tuhan dan agama ini sangat berbeda dari pengertian Tuhan dan agama sebagaimana yang ada pada agama konvensional. Bellah mengistilahkan spiritualitas seperti ini dengan agama civil (civil relegion), karena para penganutnya memasukkan kesadaran spiritualitasnya ke dalam ruang yang lebih umum, konsep Tuhan digeneralisir, dalam pengertian bahwa meskipun orang berbeda agama, akan tetapi mereka dapat mempunyai konsep Tuhan yang sama.
Dalam pengungkapan berbeda, George M. Marsden menyatakan bahwa agama bagi sebagian masyarakat modern telah kehilangan semangat komunalnya. Agama menjadi sangat pribadi dan individualistik. Kearifan nilai agama ditafsirkan secara subjektif sesuai dengan kepentingan masing-masing. Termasuk interpretasi tentang konsep ke-Tuhan-an, walau mereka yakin mempunyai Tuhan yang sama tetapi mereka ingin Tuhan yang mereka yakini itu adalah sebagaimana yang mereka interpretasikan.
Namun demikian tidak semua agama dapat menjawab persoalan kemanusiaan. Hanya agama yang menjamin pemenuhan spritualitas dan tidak bertentangan dengan sains dan teknologilah yang dapat bertahan. Selain itu pendekatan beragama yang cenderung ekslusif juga tidaklah cocok untuk ditawarkan pada hari ini dan masa yang akan datang karena pada masyarakat yang terbuka semacam ini agama semacam itu cenderung menyulut konflik. Agama masa depan yang akan muncul adalah agama yang menekankan dan menghargai persamaan nilai-nilai luhur pada setiap agama. Teologi agama masa depan lebih konsen pada persoalan lingkungan hidup, etika sosial, dan masa depan kemanusiaan, dengan mengandalkan pada kekuatan ilmu pengetahuan empiris dan kesadaran spiritual yang bersifat mistis (Komarudin Hidayat & Nafis,1995).
Secara epistemologis, agama masa depan menolak paham absolutisme dan akan memilih apa yang oleh Swidler disebut deabsolutizing truth atau yang oleh Seyyed Hossein Nasr diistilahkan sebagai relatively absolute. Dikatakan absolut karena setiap agama mempunyai klaim dan orientasi keilahian, tetapi semua itu relatif karena klaim dan keyakinan agama itu tumbuh dan terbentuk dalam sejarah. Tetapi tidak pula kita lantas sepakat dengan kecendrungan spiritualitas sekular dimana manusia menuhankan sesuatu yang mendunia (worldly), khususnya objek konkret maupun abstrak. Spiritualitas semacam ini adalah spiritualitas penuh paradoks, yang didalamnya manusia menuhankan sesuatu yang sama derajatnya dengan manusia itu sendiri. Karena objek-objek tersebut adalah ciptaannya sendiri atau setidaknya hasil proyeksi hayalnya, maka sangat tidak layak ia dituhankan. Sesuatu pantas dianggap Tuhan apabila sesuatu itu adalah yang benar-benar melampaui dirinya sebagai Yang Tak Terbatas, Tak Berhingga dan Tak Terjangkau.
Sebagai akhir dari bentangan ini, penulis mencoba merefleksikan apa yang pernah ditawarkan oleh seorang filsuf berkebangsaan Swiss Jean Jacques Rousseau (1712-1778) saat ia menjawab sebuah pertanyaan “Apakah kemajuan seni dan ilmu pengetahuan memberikan konstribusi terhadap pemurnian moralitas manusia?” Pertanyaan dalam sebuah sayembara ini ternyata bagi Rousseau membukakan kesadaran nalarnya bahwa terlalu banyak keganjilan yang terjadi dalam tata kehidupan masyarakat pada waktu itu. Hasil perenungannya di bawah pohon ternyata sangat mengejutkan banyak pihak. Ia katakan bahwa kemajuan dalam bidang seni juga ilmu pengetahuan sesungguhnya tidak membuat manusia semakin beradab alias tidak membuat moralitas manusia semakin murni (Russel,2004). Justru sebaliknya, bahwa kemajuan peradaban akal budi semakin membuat kehidupan manusia tercerabut dari keharmonisan yang sungguh merupakan watak awalnya. Dalam tulisan panjangnya ia mengatakan, bahwa klaim kemajuan peradaban bangsa Prancis saat itu semu belaka karena hanya kemajuan pada ranah material kuantitatif yang terjadi, tetapi tidak pada ranah kualitatif. Di antara indikatornya adalah bahwa raja (penguasa) semakin bar-bar melakukan eksploitasi pada rakyat dengan melakukan penarikan pajak secara semena-mena, sementara kalangan mereka sendiri terbebas dari beban tersebut. Wal hasil, kemajuan hanya dapat dinikmati segelintir kelompok saja yakni bagi mereka yang mempunyai akses kekuasaan juga kekayaan. Kesimpulannya bahwa kemajuan hanya membuat manusia semakin terperosok dalam keterasingan akan diri mereka yang sebenarnya.
Menurutnya, sebelum manusia membentuk komunitas dengan perangkat-perangkat yang terlembaga, kehidupan manusia berjalan sangat harmoni. Terjadi relasi yang saling ketergantungan antara manusia, alam dan Yang Kuasa. Pada dasarnya watak manusia secara alamiah adalah baik. Ia mempunyai sifat-sifat yang lugu, jujur, toleran dan bersahaja sebagai sifat yang tidak dibuat-buat. Tetapi kemudian karena muncul pelembagaan, mulailah secara perlahan klaim-klaim. Klaim hak milik, klaim kelompok paling benar, paling superior dan seterusnya. Di sinilah kemajuan menjadi tersangka sebagai biangkerok tercerabutnya sifat alamiah manusia yang adi luhung. Sebagai tawarannya, Rousseau mengajak untuk kembali ke alam (retoyr a la nature).
Dalam konteks kenestapaan manusia modern terhadap absurditas yang mereka rasakan, rasanya masih sangat relevan apa yang ditawarkan oleh Rousseau tersebut. Hanya saja, jika 257 tahun yang lalu Rousseau mengajak kembali ke alam, maka tawaran agar manusia berubah dalam rangka mengembalikan citra kemanusiaanya melalui kearifan nilai relegiusitas (spiritual) adalah konteks tawaran yang tepat terhadap masalah keterpinggiran manusia moderen dalam lingkaran eksistensinya. Kembali kepada spiritualitas di tengah kepongahan modernitas adalah mengembalikan rasa kehadiran Yang Suci di tengah-tengah moralitas manusia yang sejatinya memang telah dititipkan oleh Yang Suci pada tiap diri manusia. Spiritualitas adalah infinite idea yang inheren dalam totalitas kemanusiaan manusia. Mengingkarinya berarti mengingkari kedirian sebagai seorang manusia.
Sejarah membuktikan tentang hal ini, bahwa manusia mustahil hidup tanpa nilai spiritual yang ia akui sebagai Yang Maha Agung, dan yang dapat memenuhi kebutuhan spiritual manusia itu hanya agama. Sistem ideologi apapun yang ditegakkan oleh manusia seraya menafikan kenyataan bahwa manusia tidak melulu materi pasti akan mengalami krisis bahkan kehancuran. Manusia mungkin dapat hidup dalam sistem yang baru, namun jiwanya tetap dikendalikan oleh fitrah-fitrah yang tidak dapat dijelaskan dan dipuaskan secara materialistik. Hanya agamalah yang dapat menjelaskan dan memuaskannya. Alih-alih berkehendak untuk tidak bertuhan dan tidak mengakui nilai-nilai metafisik, justru hal ini akan memunculkan satu sistem agama baru dimana sang penggagas menjadikan diri dan konsepnya sebagai tuhan. Tentu kita berpikir betapa primitif dan tidak jelasnnya ide ketuhan seperti ini. Tetapi seprimitif dan tidak jelas bagaimanapun ide tersebut, bahwa manusia tidak dapat menghindar dari ide tentang Tuhan.
Namun tidak semua agama relevan untuk ditawarkan pada masyarakat modern, hal ini disebabkan karena manusia modern yang sangat mengagungkan hasil pengembaraan intelektual tidak akan mudah menerima begitu saja suatu sistem kepercayaan. Hanya agama yang tidak menafikan peran rasiolah yang akan bertahan disamping kemampuannya memenuhi kebutuhan spiritualitas yang tidak diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Di samping itu watak masyarakat modern yang tanpa batas mengharuskan sebuah sistem ideologi – termasuk agama – yang dapat bertahan hanyalah yang dapat menghargai berbagai sistem ideologi lain yang berbeda. Inilah barangkali model keberagamaan masa akan datang yang menghadirkan sisi spiritualitas lebih dalam. Spiritualitas seperti inilah yang sejatinya memberikan bingkai secara idiologis kejatidirian manusia dari serangan kehampaan dan keterasingan yang ditawarkan oleh nilai modernitas. Tetapi manusia modern mesti hati-hati dan arif, karena tidak semua tawaran spiritualitas baru memuarakan pada puncak spiritualitas sebenarnya. Spiritualitas sekular misalnya, spiritualitas ini mengandung kesalahkaprahan karena menyandarkan rasa spiritual kepada sesuatu yang tidak pantas memberikan sandaran. Sesuatu yang Tak Terbatas, Tak Berhingga, Tak Terjangkau, Transenden, Wajah Suci dan lain sebagainya adalah beberapa simbol yang sebenarnya layak untuk itu.
Menghadirkan yang Transenden adalah kemestian di saat kenestapaan sedang kita alami. Persoalannya kemudian adalah apakah kita mau jujur menghadirkan spirit yang Transenden tersebut, karena ia sungguh telah hadir dengan sendirinya disaat bersaman kita menjadi manusia. Wallahu’alam bi al-sawab.