Permasalahan Hukum (Kontrak) dalam Transaksi E-Commerce
Dalam tulisannya Perlindungan Konsumen dalam E-Commerce, Esther Dwi Magfirah mengidentifikasi beberapa permasalahan hukum yang dapat dihadapi konsumen dalam transaksi e-commerce. Permasalahan tersebut adalah:
- otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet;
- saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ;
- obyek transaksi yang diperjualbelikan;
- mekanisme peralihan hak;
- hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP), dan lain-lain;
- legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tanan digital sebagai alat bukti.
- mekanisme penyelesaian sengketa;
- pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa.
Dari identifikasi yang dilakukan oleh Esther Dwi Magfirah ini, sebenarnya dapat dilihat bahwa permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam transaski e-commerceini sangatlah beragam dan sifatnya kursial.
Senada dengan apa yang diungkapkan di atas, M. Arsyad Sanusi kemudian membagi permasalahan hukum dalam transaski e-commerce menjadi dua yaitu permasalahan yang sifatnya substasial dan permasalahan yang sifatnya prosedural.
Permasalahan yang bersifat substasial diidentifikasi menjadi 5 (lima) yaitu permasalahan mengenai keaslian data massage dan tanda tangan elektronik; keabsahan (validity); kerahasiaan (confidentially/privacy) dan keamanan (security) dan availabilitas (availability). Untuk permasalahan yang bersifat prosedural dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu permasalahan yurisdiksi atau forum; permasalahan hukum yang diterapkan (applicable law) dan permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian (evidence).
Berikut akan dideskripsikan beberapa permasalahan yang bersifat substansial dan prosedural dalam transaksi e-commerce serta pranata hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen.
Permasalahan yang Bersifat Substansial
Permasalahan pertama adalah mengenai keaslian data massage dan tanda tangan elektronik. Untuk keaslian data massage dan tanda tangan elektronik, permasalahan mengenai authenticity yang timbul adalah apakah pengiriman data massage baik dari konsumen atau server adalah benar seperti yang diduga atau diharapkan? Biasanya peralatan yang digunakan untuk memverifikasi identitas usersadalah password. Namun password-pun dapat diduga atau ditipu dan diintersepsi. Demikian pula alamat dapat dipalsu dan disadap oleh para hacker, sehingga keaslian atau otentisitas dari data massage tidak dapat lagi dijamin. Hal ini menjadi permasalahan vital dalam e-commerce karena data massage inilah yang akan dijadikan dasar utama terciptanya suatu perjanjian atau kontrak, baik menyangkut kesepakatan ketentuan dan persyaratan perjanjian atau kontrak maupun substansi perjanjian atau kontrak itu sendiri.
Sebagai solusi, selama ini dimunculkan alat atau teknik yang dianggap mampu memberikan otentikasi yaitu kriptografi (cryptography) dan tanda tangan elektronik (electronic/digital signature). Dua teknik inilah yang selama ini dianggap sebagai pilar atau penopang e-commerce dan dianggap telah memungkinkan dokumen elektronik untuk memiliki posisi yang sama dengan dokumen kertas11.
Kriptografi adalah sebuah teknik pengamanan dan sekaligus pengotentikan data yang terdiri dari dua proses yaitu enskripsi dan deskripsi. Enskripsi adalah sebuah proses yang menjadikan teks informasi tidak terbaca oleh pembaca yang tidak berwenang karena telah dikonversi ke dalam bahasa sandi atau kode, sedangkan deskripsi adalah proses kebalikan dari enskripsi, yaitu menjadikan informasi yang asalnya telah dienskripsi untuk dibaca kembali oleh pembaca yang memiliki wewenang.
Tanda tangan elektronik menjadi permasalahan substansial sehubungan dengan otentikasi. Tanda tangan elektronik atau digital tidak hanya digunakan untuk memverifikasi keotentikan data massage tapi digunakan pula untuk meneliti identitas pengirim data, sehingga seseorang bisa yakin bahwa orang yang mengirim data massage benar-benar memiliki wewenang. Yang menjadi perdebatan adalah berkenaan dengan keabsahan sebuah kontrak on-line yang menggunakan digital signature. Apakah digital signature ini dapat menggantikan posisi tanda tangan konvensional karena keduanya memiliki bentuk fisik yang berbeda? Dengan demikian harus dilihat kembali apakah definisi dari tanda tangan itu, karena bagi ahli yang menganut madzhab skriptualis, yang menekankan pada bunyi teks hukum secara tekstual, maka keabsahan digital signature ini akan dianggap tidak sah.
Secara internasional UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce dan ETA Singapore telah menerima tanda tangan elektronik sebagai tanda tangan yang valid. Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya usaha ke arah ini belum menampakkan perkembangan. Secara khusus kita belum mengadopsi pengaturan ini dan belum membentuk legislasi atau aturan khusus mengenai hal ini.
Permasalahan yang menyangkut substansi yang kedua adalah masalah keabsahan (validity). Sahkah perjanjian yang dilakukan secara on-line, yang memiliki beberapa perbedaan secara prosedural dengan perjanjian konvensional yang lazim digunakan?
Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, transaksi e-commerce menimbulkan perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi sebagai contoh dalam perikatan atau perjanjian jual beli, sehingga dari perikatan ini timbul hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat.
Jual-beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata, sedangkan e-commerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual-beli modern yang menggunakan inovasi teknologi seperti internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan lain, maka sebenarnya ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang diatur dalam Buku III KUHPerdata seharusnya dapat berlaku sebagai dasar hukum aktifitas e-commerce di Indonesia. Jika dalam pelaksanaan transaksi e-commercetersebut timbul sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya dalam ketentuan tersebut.
Pada umumnya asas yang digunakan untuk transaksi dagang atau jual beli adalah asas konsensualisme, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian jual beli sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya ‘sepakat’ mengenai barang dan harga. Asas ini juga dianut dalam hukum perdata di Indonesia yang diatur dalam Pasal 1458 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek). Selain itu ada syarat lain yang juga harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian di Indonesia diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak, dilakukan oleh orang yang cakap hukum, adanya hal atau obyek tertentu dan adanya suatu causa atau sebab yang halal.
Dalam hukum, keabsahan suatu kontrak sangat tergantung pada pemenuhan syarat-syarat dalam suatu kontrak. Apabila syarat-syarat kontrak telah terpenuhi, terutama adanya kesepakatan atau persetujuan antara para pihak, maka kontrak dinyatakan terjadi. Dalam transaksi e-commerce, terjadinya kesepakatan dan perjanjian sangat erat hubungannya dengan otentisitas dari data massage, sehingga timbul permasalahan apakah wujud data yang tidak tertulis di atas kertas --melainkan dalam wujud data record yang abstrak-- serta tanda tangan elektronik dapat diterima sebagai sesuatu yang sah?
Bagaimana dengan kontrak on-line? Menurut para pemerhati e-commerce,kondisi-kondisi hukum di atas juga berlaku mutatis mutandis pada kontrak on-line, karena sebenarnya kontrak on-line adalah sama kondisinya dengan kontrak pada umumnya atau kontrak konvensional, hanya saja dalam kontrak on-line digunakan piranti teknologi canggih dengan berbagai macam variasinya. Sebagai contoh Michael Chissick dan Kelman secara tegas menyatakan bahwa dalam e-commerce sebenarnya tidak ada hal-hal yang baru, melainkan hanya permasalahan lama yang dikemas dalam bingkai yang baru karena perbedaan sarana dan prasarana yang dimungkinkan oleh teknologi internet.
Dengan pernyataan ini, walaupun masalah yang dihadapi mungkin berbeda, ketentuan mengenai perjanjian jual beli yang diatur dalam hukum Indonesia sebenarnya cukup memadai untuk hal ini, namun karena sifatnya yang khas, masih ada beberapa hal yang dapat diperdebatkan, misalnya mengenai kecakapan membuat perjanjian yang dalam hal ini oleh anak yang masih di bawah umur dan juga mengenai causa yang halal. Dengan demikian hal yang penting untuk kembali dilihat adalah mengenai digital signature untuk mengetahui kompetensi baik penjual maupun pembeli.
Namun perlu pula dicermati bahwa sebenarnya permasalahannya tidaklah sesederhana itu. E-commerce merupakan model perjanjian jual-beli dengan karakteristik yang berbeda dengan model transaksi jual-beli konvensional, apalagi dengan daya jangkau yang tidak hanya lokal tapi juga bersifat global. Apakah kemudian ketentuan jual-beli konvensional sebagaimana diatur dalam KUH Perdata secara tepat sesuai dan cukup untuk adaptif dengan konteks e-commerceatau perlukan membuat regulasi khusus untuk mengatur e-commerce ?
Mengenai pertanyaan kapan lahirnya kontrak web atau kontrak on-line yang sifatnya mengikat serta valid dalam hukum? Sejauh ini dapat dikemukakan dua pendapat dengan argumentasinya sendiri-sendiri. Pertama, kontrak weblahir pada saat buyer atau konsumen melakukan klik penerimaan ‘agree’ atau ‘accept’, yang berarti data sudah terkirim dan tidak dapat ditarik kembali. Ini menandakan telah terjadi kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli. Kedua, kontrak lahir dan mengikat ketika seller atau penjual menerima pesan order tersebut dan buyer atau konsumen telah menerima acknowledgement of receipt.
Permasalahan ketiga adalah masalah kerahasiaan (confideniality/ privacy). Kerahasiaan yang dimaksud di sini meliputi kerahasiaan data atau informasi dan juga perlindungan terhadap data atau informasi dari akses yang tidak sah dan tanpa wenang. Untuk e-commerce, masalah kerahasiaan ini sangat penting karena berhubungan dengan proteksi terhadap data keuangan, informasi perkembangan produksi, struktur organisasi serta informasi lainnya. Kegagalan untuk menjaga kerahasiaan dapat berujung pada terjadinya suatu dispute yang berujung pada tuntutan ganti rugi. Secara teknis solusinya dapat berupa penyediaan teknologi dan sistem yang tidak memberikan peluang kepada orang yang tidak berwenang untuk membuka dan membaca massage. Untuk upaya hukum, dapat dilakukan dengan membuat aturan hukum mengenai perlindungan terhadap informasi digital.
Masalah keempat adalah masalah keamanan (security). Masalah keamanan ini tidak kalah penting karena dapat menciptakan rasa percaya bagi para pengguna dan pelaku bisnis untuk tetap menggunakan media elektronik untuk kepentingan bisnisnya. Masalah keamanan yang timbul biasanya karena kerusakan (error) pada sistem atau data yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab.
Masalah terakhir yang sering timbul adalah masalah availabilitas atau ketersediaan data. Masalah ini penting sehubungan dengan keberadaan informasi yang dibuat dan ditransmisikan secara elektronik harus tersedia bila dibutuhkan. Dengan ini, untuk menjaga kepercayaan (trust) dan itikad baik (good faith), harus dibuat suatu sistem pengamanan yang dapat memproteksi dan mencegah terjadinya kesalahan atau hambatan baik kesalahan teknis, kesalahan pada jaringan dan kesalahan profesional.
Permasalahan yang Bersifat Prosedural
Di atas sudah disebutkan bahwa permasalahan hukum yang bersifat prosedural adalah permasalahan yurisdiksi atau forum; permasalahan hukum yang diterapkan (applicable law) dan permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian (evidence).
Masalah pertama mengenai yurisdiksi atau forum. Masalah yurisdiksi dalam e-commercesangatlah kompleks, rumit dan sangat urgen untuk dibicarakan, karena bisa menyangkut yurisdiksi dua negara atau lebih. Padahal setiap keputusan pengadilan yang tidak memilki yurisdiksi atas perkara tertentu atau personal incasu para pihak dapat dinyatakan batal demi hukum. Masalah yurisdiksi ini menjadi relevan ketika pengadilan mencoba menggunakan kekuasaannya terhadap orang yang bukan penduduk atau tidak tinggal dalam batas-batas teritorial negara tertentu. Pengadilan dalam hal ini tidak dapat menerapkan atau mengadili perkara tertentu kecuali negara tersebut saling mengadakan perjanjian mengenai penentuan yurisdiksi.
Dalam penentuan yurisdiksi perlu diperhatikan hal-hal seperti lokasi para pihak, obyek kontrak serta kehadiran para pihak. Terhadap negara yang telah memiliki perjanjian, biasanya diberlakukan peraturan mandatory, sedangkan untuk badan hukum atau perusahaan, penentuan forumnya biasanya adalah domisili perusahaan.
Dalam Hukum Perdata Internasional, konsep di mana penggugat memilih yurisdiksi dapat dilakukan berdasarkan asas teritorialitas atau domicilie dan asas nasionaliteitatau kewarganegaraan atau berdasarkan pilihan hukum para pihak. Indonesia sendiri berdasar Pasal 16 AB menganut asas nationaliteit untuk menentukan hukum yang berlaku bagi status personil seseorang. Selain itu, mengenai kontrak berlaku asas the proper law of contract, di mana yurisdiksi juga dapat dipilih berdasar lex loci contractus yaitu yurisdiksi yang berlaku di mana kontrak dibuat atau lex loci solutionis yaitu forum atau hukum tempat pelaksanaan perjanjian.
Dalam transaksi e-commerce, karena sifatnya yang khas di mana para pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak tidak bertemu secara langsung dan perjanjian atau kontrak dilakukan secara elektronik dan esensinya yang menekankan pada efisiensi, cukup sulit untuk menentukan hukum mana yang akan diberlakukan apabila terjadi sengketa. Ada kemungkinan bahwa kontrak dianggap sah misalnya di salah satu tempat, namun dianggap tidak sah atau ilegal ditempat yang lain.
Dalam perjanjian atau kontrak e-commerce, pengaturan mengenai yurisdiksi kemudian biasanya dilakukan dengan menggunakan pilihan hukum (choice of law) yang dimasukkan dalam klausul kontrak. Hal ini dimungkinkan karena pada prinsipnya persoalan pilihan hukum adalah otonomi dari para pihak. Masalah pilihan hukum atau partijautonomie ini sebenarnya merupakan salah satu ajaran khusus dalam Hukum Perdata Internasional.
Dalam menentukan hukum yang berlaku sesuai dengan Pilihan Hukum para pihak, maka dalam suatu kontrak para pihak bebas untuk melakukan pilihan sendiri hukum yang harus dipakai untuk kontrak mereka, namun mereka tidak bebas untuk menentukan sendiri perundang-undangan. Harus ada batas-batas tertentu untuk kelonggaran atau kebebasan memilih hukum, namun kebebasan ini bukan berarti boleh sewenang-wenang, sehingga pilihan hukum ini hanya diperkenankan sepanjang tidak melanggar apa yang dinamakan sebagai ‘ketertiban umum’ (ordre public) dan tidak terjadi penyelundupan hukum (fraus legis) yaitu sekedar menghindarkan diri dari suatu kaidah hukum tertentu yang memaksa.
Menurut Sudargo Gautama, masalah pilihan hukum harus diartikan secara luas, tidak hanya menyangkut kepada pilihan hukum di bidang harta benda saja, tetapi segala perbuatan hukum yang mengakibatkan karena kemauan sendiri, bagi yang bersangkutan berlaku lain hukum perdata daripada hukum perdata yang lazim ditentukan baginya menurut peraturan-peraturan, termasuk di dalamnya penundukan sukarela untuk perbuatan hukum tertentu dan penundukan dianggap. Pilihan hukum ini berkenaan baik dengan bidang hukum perdata maupun hukum publik.
Walaupun demikian, permasalahan yang kemudian dapat timbul adalah pengakuan serta daya mengikatnya putusan hakim suatu negara tertentu untuk diberlakukan di negara lain apabila terjadi sengketa atau adanya wanprestasi dari salah satu pihak. Dengan demikian memang harus disadari bahwa Hukum Perdata Internasional sendiri memiliki batasan-batasan dalam keberlakukannya.
Masalah kedua adalah masalah hukum yang diterapkan (applicable law). Walaupun masalah ini erat kaitannya dengan yurisdiksi, dalam transaksi e-commerce, klausul kontrak dan kewajiban para pihak secara umum seyogyanya tunduk pada hukum negara yang dipilih oleh para pihak. Namun bagaimana bila dalam penawaran yang tercantum dalam situs atau web tersebut tidak secara expressis verbisdicantumkan tentang forum mapun pilihan hukum? Jika tidak ada pilihan hukum yang efektif, maka hak dan kewajiban para pihak dapat ditentukan oleh hukum lokal negara dengan memperhatikan hubungan hukum yang memiliki signifikansi terdekat dengan masalah para pihak.
Sejalan dengan hal ini, mengutip pandangan Moris, the proper law of the contractadalah suatu sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak, atau bila kehendak itu tidak dinyatakan dengan tegas, atau tidak dapat diketahui dari keadaan disekitarnya, maka berlaku the proper law of the contract, yang merupakan sistem hukum yang memiliki kaitan yang paling kuat dan nyata dalam transaksi yang terjadi. Demikian pula Sudargo Gautama mengemukakan teori the most characteristic connection yang menyatakan bahwa pilihan hukum berada pada kewajiban untuk melakukan prestasi yang paling karakteristik merupakan tolok ukur untuk penentuan hukum yang akan dipergunakan dalam mengatur perjanjian.
Permasalahan ketiga yang bersifat prosedural adalah masalah pembuktian (evidence). Untuk meminimalkan kecurangan-kecurangan dalam suatu perjanjian diperlukan dokumen sebagai pembuktian.
Bagaimana dengan dokumen pembuktian dalam transaksi e-commerce? Pembuktian juga merupakan hal yang penting dalam transaksi e-commerce. Namun karena sifatnya yang khas, biasanya bukti yang berupa dokumen digantikan oleh data yang berupa rekaman atau record.
Permasalahannya apakah rekaman data (record data) dapat diterima dalam sistem hukum Indonesia? Padahal kita tahu bahwa baik dalam Pasal 164 HIR yang menyebutkan mengenai alat bukti, mapun dalam Pasal 184 KUHAP tidak disebutkan mengenai alat bukti berupa rekaman data. Dapatkah hukum Indonesia secara progresif membuka kemungkinan untuk menerima bukti lain selain yang sudah diatur tersebut, seperti misalnya data rekaman dari komputer, padahal sampai saat ini, alat bukti berupa rekaman elektronik masih menjadi perdebatan? Untuk sementara, di Indonesia peraturan perundang-undangan yang telah menerima bukti elektronik seperti e-mail, fax dan data elektronik komputer barulah UU Tindak Pidana Korupsi.
Mengingat perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembuktian dan alat bukti seyogyanya sesegera mungkin direformasi, sehingga rekam data elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti. Tanpa reformasi hukum, maka perdebatan mengenai hal ini akan terus berlanjut, karena interpretasi mengenai alat bukti record datasebagai surat dapat dianggap sebagai analogi