Pengertian Dan Penjelasan Kerangka Pemikiran
Kekuataan pembuktian melalui media elektronik pada saat ini masih sangat sulit untuk dilakukan termasuk pembuktian pada kontrak jual beli secara elektronik yang masih belum ada ketentuannya, dengan demikian pembuktian tersebut dilaksanakan tetap berpedoman pada aturan pembuktian yang berlaku yaitu pasal 164 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR). Pada dasarnya pembuktian kontrak jual beli sekalipun dilaksanakan melalui media elektronik, tetap harus berpedoman pada isi kesepakatan para pihaknya, dalam hal ini kita kenal dengan istilah perjanjian atau kontrak. Pengertian kontrak atau perjanjian dapat dilihat dalam pasal 1313 KUH-Perdata adalah :
“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Sementara itu menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH-Perdata, yang berbunyi :
“Suatu perjanjian yang dibuat secara syah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.
tersirat suatu asas yaitu asas kebebasan berkontrak maksudnya bahwa setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian dengan siapapun asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, syarat sahnya perjanjian termaksud telah ditegaskan dalam pasal 1320 KUH-Perdata sebagai berikut :
1. Kesepakatan diantara kedua belah pihak ;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian ;
3. Suatu hal tertentu ;
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, didukung oleh pasal 1321 KUH-Perdata yang menyebutkan :
“Tiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
maksudnya bahwa antara pihak-pihak dalam suatu perjanjian harus ada persesuain kehendak tanpa adanya paksaan, kekhilapan dan penipuan.
Syarat kedua adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan, yang didukung oleh pasal 1330 KUH-Perdata yang menegaskan bahwa cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Menurut pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang dimaksud dewasa anak yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Sedangkan sehat akal dan pikiran menurut pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan artinya adalah orang yang mampu untuk melakukan perbuatan hukum, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu artinya orang yang dalam pengampuan seperti orang yang ditahan karena melanggar hukum dilarang melakukan suatu perjanjian atau kontrak
Syarat ketiga adalah suatu hal tertentu, syarat ini didukung oleh pasal 1332 KUH-Perdata yang menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian, maksudnya bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan sajalah yang dapat dijadikan objek persetujuan. Syarat lainnya yaitu dapat ditentukan jumlah dan jenisnya sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1333 KUH-Perdata bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa syarat itu tidak hanya mengenai obyek tertentu jenisnya, tetapi meliputi juga benda-benda yang jumlahnya pada saat dibuatnya persetujuan belum ditentukan, asal jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Syarat keempat adalah suatu sebab yang halal, syarat ini didukung oleh pasal 1335 KUH-Perdata yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan, maksudnya bahwa jenis-jenis perjanjian tertentu yang dengan jelas bertentengan dengan ketertiban umum tidak dibenarkan sama sekali oleh hukum.
Dari rumusan diatas, jelas bahwa suatu perjanjian jual beli harus memenuhi keempat syarat tersebut, ada 2 (dua) syarat yang digolongkan ke dalam syarat sahnya suatu perjanjian yang terdiri dari :
1. Syarat subyektif terdiri dari kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian dan kecakapan hukum yang artinya sehat akal dan pikiran dan tidak berada didalam pengampuan, apabila syarat subyektif ini tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama para pihak tidak membatalkan perjanjian, maka perjanjian masih tetap berlaku.
2. Syarat obyektif terdiri dari suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal, hal ini berhubungan dengan objek yang diperjanjikan dan yang akan dilaksanakan oleh para pihak sebagai prestasi atau utang dari para pihak, apabila syarat obyektif ini tidak terpenuhi perjanjian batal demi hukum yang artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.
Dalam perjanjian jual beli diatur mengenai kewajiban para pihak, serta peralihan hak milik atas objek yang diperjanjikan. Jual beli adalah perjanjian dengan mana penjual memindahkan atau setuju memindahkan hak milik atas barang kepada pembeli sebagai imbalan sejumlah uang yang disebut harga. Pengertian jual beli ditegaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1457 sebagai berikut :
“Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”
Para pihak dalam jual beli ini terdiri dari penjual dan pembeli, masing-masing pihak memiliki hak dan kewajibannya. Penjual wajib menyerahkan barang sebagai hak pembeli dan pembeli wajib membayar harga barang sesuai perjanjian jual beli sebagai hak penjual.
Pengertian perdagangan secara elektronik menurut Rancangan Undang-Undang Teknologi Informasi (Draft Ketiga), dalam Pasal 1 ayat (3) adalah setiap perdagangan barang maupun jasa yang dilakukan melalui jaringan komputer atau media elektronik lainnya, sedangkan kontrak jual beli secara elektronik adalah dokumen elektronik yang memuat transaksi dan atau perdagangan elektronik. Apabila terjadi sengketa maka yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak adalah melakukan upaya hukum pembuktian, pembuktian yang pertama dan utama dijadikan bukti adalah bukti surat.
Pembuktian dalam kontrak jual beli ini, dapat diartikan memberikan suatu kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang yang melakukan perjanjian. Menurut Pasal 164 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang disebut alat bukti terdiri dari :
1. bukti surat ;
2. bukti saksi ;
3. persangkaan ;
4. pengakuan ; dan
5. sumpah.
Dalam hukum acara perdata dikenal macam-macam surat yang dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :
a. Surat biasa adalah surat yang tidak dijadikan alat bukti, dan apabila surat tersebut dijadikan sebagai alat bukti, hal itu merupakan kebetulan saja ;
b. Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, maksudnya ialah bahwa surat tersebut dibuat oleh pejabat yang berwenang seperti surat panggilan jurusita, surat putusan hakim dan lain-lain ;
c. Akta dibawah tangan berisi catatan dari suatu perbuatan hukum, tetapi tidak dibuat dihadapan pejabat yang berwenang.
Pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut kesaksian, dalam hukum acara perdata pembuktian dengan saksi sangat penting artinya, apabila bukti surat tidak ada maka diganti dengan bukti saksi.
Alat bukti persangkaan dalam hukum acara perdata menyerupai petunjuk dalam hukum acara pidana. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, atau peristiwa yang dikenal kearah suatu peristiwa yang belum terbukti.
Dalam hukum acara perdata ada 2 (dua) macam pengakuan, yaitu pengakuan yang dilakukan didalam persidangan dan pengakuan diluar persidangan.
Alat bukti sumpah dikenal 2 (dua) macam sumpah, ialah sumpah yang dibebankan oleh hakim dan sumpah yang di bebankan oleh pihak lawan, sedangkan yang disumpah disini adalah salah satu pihak baik penggugat ataupun tergugat, dan yang dijadikan sebagai alat bukti adalah keterangan salah satu pihak yang dikuatkan dengan sumpah.
Dalam pembuktian tidak semua dalil harus yang menjadi dasar gugatan harus di buktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara akan diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah penggugat atau tergugat, dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana akan memikul beban pembuktian.
Pembuktian dalam kontrak jual beli secara elektronik, sampai saat ini sulit dilakukan karena belum ada suatu aturan yang mengaturnya, untuk mengisi kekosongan hukum diharapkan hakim dapat menemukan dan menggali nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 28 ayat (1), bahwa hakim perlu menemukan teori-teori dan dasar hukum yang nantinya dapat digunakan apabila terjadi suatu sengketa khususnya melalui media elektronik, dan di dalam menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak secara arif dan bijaksana.