Pengakuan Kaidah Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita dan Pengakuan Hak Hak Asasi Wanita dalam Hukum Negara
Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Negara di Indonesia
Ada kemungkinan seorang wanita dapat mencari penghapusan atau perlindungan tersebut melalui keberlakuan CEDAW secara disahkan UU No.7/1984. Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional berdasarkan ajaran incorporasi maupun ajaran transformasi. Ajaran incorporasi menyatakan perjanjian internasional dan / atau kebiasaan internasional langsung berlaku dalam hukum nasional. Dengan perkataan lain, hak, kewajiban dan ketentuan hukum internasional berlaku, mengikat dan bisa ditegakkan dalam hukum nasional. Ajaran incorporasi dilaksanakan di Amerika Serikat terhadap perjanjian internasional serta kebiasaan internasional dan dilaksanakan di Inggris hanya terhadap kebiasaan internasional.
Bagaimanapun, ajaran transformasi berbunyi perjanjian internasional dan / atau kebiasaan internasional tidak berlaku dalam hukum nasional secara tersebut kecuali melalui perundang-undangan. Ajaran transformasi dilaksanakan di Inggris, Perancis dan Australia terhadap perjanjian internasional dan di Australia terhadap kebiasaan internasional.
Di negara kita, tidak jelas kalau ajaran transformasi atau ajaran incorporasi dilaksanakan. Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional tidak ditetapkan secara tersurat dengan UUD 1945. Namun demikian, tata cara pengesahan perjanjian internasional yang digariskan Pasal 11 UUD 1945 beserta peraturan perundangan pelaksananya memuat kemungkinan Indonesia melaksanakan ajaran "transformasi" dan tidak melaksanakan ajaran "incorporasi". Dengan perkataan lain, ada kemungkinan perjanjian internasional tidakberlaku di Indonesia.
Pasal 11 UUD 1945 berbunyi, `Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain'. Pasal itu memang tidak jelas. Pengertian `perjanjian dengan negara lain' tidak dijelaskan. Perjanjian itu dapat berupa konvensi, traktat atau cuma persetejuan internasional. Bentuk `persetujuan' DPR juga tidak dijelaskan. Persetujuan itu dapat diucapkan dalam bentuk UU atau dengan ketetapan yang bentuk lain. Selanjutnya, Pasal 11 UUD 1945 tidak cukup luas. Pemerintah Indonesia hanya dapat membuat perjanjian dengan negara lain dan tidak boleh membuat perjanjian internasional dengan organisasi internasional.
Masalah Pasal 11 tersebut diselesaikan dengan Surat Presiden No.2826/HK/60 Kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Tentang Pembuatan Perjanjian Dengan Negara Lain. Surat Presiden itu berpendapat bahwa `perjanjian' sebagaimana disebut dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti segala jenis perjanjian internasional. Melainkan, `perjanjian' itu hanya berupa perjanjian internasional terpenting. Perjanjian internasional terpenting adalah perjanjian berbentuk traktakyang menyangkut persoalan seperti soal soal politik, perubahan wilayah negara, ekonomi dan sebagaimana.
Oleh sebabnya, Surat Presiden No.2826/HK/60 menyatakan hanya perjanjian internasional terpenting secara tersebut akan diajukan pada DPR untuk persetujuannya. Perjanjian internasional lain akan disahkan Presiden sendiri dan disampaikan pada DPR hanya untuk diketahui. Surat Presiden itu pula mengajukan pengertian bahwa persetujuan DPR tidak perlu diucapkan dalam bentuk UU melainkan dapat diucapkan dengan ketetapan yang bentuk lain.
CEDAW disahkan dengan UU No.7/1984 ketika Surat Presiden tersebut berlaku. Pasal 1 UU tersebut menyatakan Pengesahan CEDAW. Selanjutnya, Lampiran UU tersebut memuat isi CEDAW. UU No.7/1984 tidak menyatakan hak, kewajiban dan ketentuan lain diucapkan dalam CEDAW berlaku secara langsung atau sesuai dengan ajaran "incorporasi" tersebut. Melainkan, secara sesuai dengan ajaran "transformasi", UU tersebut menyiratkan ketentuan CEDAW tidakberlaku kecuali sepanjang peraturan pelaksana UU tersebut akan melindungi ketentuan CEDAW.
Surat Presiden tersebut baru diganti dengan UU No.4/1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pasal 36 Ayat (1) UU tersebut menetapkan, `Perjanjian perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak bangsa dan negara baik di bidang politik, keamanan, sosial budaya, ekonomi maupun keuangan yang dilakukan Pemerintah memerlukan persetujuan DPR sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku'. Pasal 36 Ayat (1) UU tersebut tidak mengganggu pelaksanaan ajaran "transformasi". Bahkan, UU yang dikeluarkan di bawah Pasal tersebut mengesahkan perjanjian internasional secara sama dengan UU No.7/1984.
Bagaimanapun, ada kemungkinan pelaksanaan ajaran "transformasi" memang diganggu di bidang perjanjian international tentang HAM. Pasal 36 Ayat (1) UU No.4/1999 baru ditambah dengan UU No.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 7 Ayat (2) UU No.39/1999 menyatakan `Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional'. Maksudnya tidak jelas dan tidak ditegaskan lebih lanjut dengan Penjelesan Atas UU No.39/1999..
Ada kemungkinan maksud Pasal 7 Ayat (2) berupa ketentuan hukum internasional tentang HAM menjadi hukum nasional hanya sepanjang ketentuan hukum tersebut menguasakan peraturan pelaksana, secara sesuai dengan Pasal 11 UUD 1945 dan Pasal 36 Ayat (1) UU No.4/1999 tersebut. Jika artinya itu, ajaran transformasi masih dilaksanakan terhadap perjanjian internasional tentang HAM.
Namun demikian, ada kemungkinan lain Pasal 7 Ayat (2) berarti bahwa ajaran incorporasi akan dilaksanakan terhadap perjanjian internasional dan kebiasaan internasional tentang HAM. Jika maksudnya itu, UDHR dan Konvensi tentang HAM langsung berlaku di negara kita dan CEDAW memang dapat ditegakkan oleh wanita bersangkutan. Ada kesulitan dengan pengertian ini. Dalam UU No.39/1999 maupun peraturan perundangan lain, jalan pembuatan hukum terhadap ketentuan hukum internasional tersebut tidak terperinci. Pengadilan bersangkutan maupun Hukum Acaranya tidak disebut. Jadi, meskipun kemungkinan dikatakan UU No.39/1999, sulit disimpulkan bahwa CEDAW berlaku secara langsung di Indonesia.
Undang-Undang Dasar 1945
Seorang wanita bisa mendapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mengakui penghapusan diskriminasi dan melindungi hak wanita secara dapat diperbaiki. Bab X sampai dengan Bab XIV UUD 1945 mengandung hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia (WNI).
UUD 1945 melindungi persamaan antara pria dan wanita secara sesuai dengan Pasal 2 butir b yuncto Pasal 15 CEDAW. Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan `Segala warga negara Indonesia bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan Pemerintahan itu, dengan tidak ada kecualinya'. Pasal ini menjamin persamaan antara pria, wanita dan kaum lain di muka hukum dan di dalam segala peraturan perundangan. Secara tersirat, Pasal 27 Ayat (1) mengakui kaidah penghapusan diskriminasi terhadap wanita. Jadi, peraturan perundangan yang bersifat diskriminatif bertentangan dengan Pasal tersebut.
Bagaimanapun, Pasal 27 Ayat (1) juga menetapkan kewajiban WNI mengenai penjunjungan hukum dan pemerintahan di Indonesia. Keberadaan kewajiban didasarkan kaidah kolektifisme. Yaitu, hak hak asasi seorang ditambah dengan kewajiban terhadap masyarakat karena kepentingan seorang dilindungi seleras dengan kepentingan masyarakat. Kaidah kolektifisme itu diucapkan dalam Rancangan UUD 1945 oleh Ir. Soekarno dan diakui negara berkembang secara umum.
UUD 1945 pula mengakui HAM berdasarkan persamaan antara pria dan wanita. Pasal 27 Ayat (2) memberikan hak pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk segala WNI secara sesuai dengan Pasal 11 CEDAW. Pasal 28 UUD 1945 mengakui kemerdekaan sipil dan politik secara sesuai dengan Pasal 3 CEDAW. Pasal 28 tersebut menyatakan `Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluaskan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang Undang'.
Bagaimanapun, Pasal 28 dapat disempurnakan. Pertama, Pasal 28 dikukuhkan jika kemerdekaan tersebut menjadi hak pribadi, yaitu: hak berserikat, hak berkumpul dan hak mengeluarkan pikiran. Kedua, Pasal 28 pula dikukuhkan jika perlindungan kemerdekaan tersebut diluaskan. Pasal 28 menyatakan kemerdekaan tersebut akan `ditetapkan dengan Undang Undang'. Dengan perkataan lain, kemerdekaan tersebut dapat dilindungi atau dilanggar dengan UU. Pasal 28 diperbaiki kalau kemerdekaan tidak boleh dilanggar atau dikurangi secara tersebut.
Dahulu, perlindungan yang lebih luas diberikan dengan Konstitusi RIS 1950 dan UUDS 1950. Pasal 19 Konstitusi RIS 1950 yuncto Pasal 19 UUDS 1950 yang hampir sama menyatakan, `Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan menegeluarkan pendapat'. Selanjutnya, Pasal 20 Konstitusi RIS 1950 serta Pasal 20 UUDS 1950 tersebut berbunyi, `Hak penduduk atas kebebasan berkumpul dan berapat diakui dan diatur dengan Undang Undang'.
Akhirnya, Pasal 32 Konstitusi RIS 1950 sebagaimana diubah dengan Pasal 33 UUDS 1950 menetapkan, `Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebabasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan Undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat syarat yang adil untuk ketentraman, kesusilaan dan sejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis'.
Pasal 29 UUD 1945 melindungi kemerdekaan agama dan juga sesuai dengan Pasal 3 CEDAW. Pasal 29 Ayat (2) berbunyi `Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'. Selain itu, Pasal 31 Ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pengajaran secara sesuai dengan Pasal 10 CEDAW.
Ketentuan UUD 1945 perlu ditambah dengan hak dan kemerdekaan yang lain. Menurut Prof. Dr. Muchsan, SH, UUD 1945 dapat tercantum perlindungan hak administratif, hak pertisi, hak perekonomian serta hak mendirikan organisiasi amal dan sosial secara sesuai dengan ketentuan CEDAW.
Pancasila
Seorang wanita juga bisa mendapat pengakuan penghapusan dan perlindungan tersebut dalam Pancasila secara kolektif, tanpa rinci dan belum disesuaikan dengan Era Reformasi. Pancasila merupakan lima sila: pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa; kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab; ketiga, Persatuan Indonesia; keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan dan kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sila yang paling penting terhadap perlindungan wanita secara tersebut adalah sila "Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab". Maksudnya, setiap manusia adalah ciptaan Tuhan yang berbudi dan mempunyai cipta, rasa dan karsa. Untuk melakukan dengan potensi itu, segala manusia mempunyai hak dan kewajiban asasinya. Hak dan kewajiban tersebut berdasarkan persamaan, yaitu tidak dibedakan menurut jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
Sila "Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab" tidak memperinci haknya dan kewajibannya, terutama terhadap CEDAW. Selanjutnya, hubungan antara hak dan kewajiban dalam Pancasila tidak jelas. Prof. Darji Darmodiharjo, SH, berpendapat bahwa kewajiban mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak tersebut. Oleh sebabnya, kewajiban harus dipenuhi sebelum hak dapat dinikmatkan. Pendapat ini mengandung kaidah kolektifisme tersebut dan pula menjadi perbedaan pendapat mengenai HAM antara Indonesia dan negara barat.
Bagaimanapun juga, isi Pancasila ketika Era Reformasi memang tidak yakin. Pancasila dirumuskan pada masa penjajahan Angkatan Perang Jepang tahun 1945. Pancasila dicantumkan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 serta Mukadimah Konstitusi RIS 1950 dan Mukadimah UUDS RI 1950.Pada masa Orde Lama, Pancasila mempunyai kedudukan yang penting disamping ideologi dan asas lain Presiden Soekarno.
Pada masa Orde Baru, Pancasila melalui TAP MPRS No.XX/MPR/1966 menjadi `Sumber dari segala sumber hukum'. Sebagaimana demikian, Pancasila menjadi Dasar Negara Republik Indonesia dan meliputi `Pandangan hidup, kesadaran dan cita cita hukum serta cita cita moral luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari Bangsa Indonesia...'. Dengan TAP MPR No. II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan Dan Pengalaman Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) isi Pancasila ditegaskan secara lanjut.
Namun demikian, TAP MPR No.II/MPR/1978 baru dicabut dengan Ketetapan MPR No.XVIII/MPR/1998. Konsiderans menimbang b TAP MPR No.XVIII/MPR/1998 menjelaskan TAP MPR No.II/MPR/1978 `tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara'. Pasal 1 TAP MPR No.XVIII/MPR/1998 menegaskan Pancasila masih berfungsi sebagai `dasar negara'. Bagaimanapun, Pancasila `harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara'.
Dengan perkataan lain, isi Pancasila perlu diperbaharui. Namun, TAP ini tidak mengajukan pembaharuan isi Pancasila sebagai pengganti TAP MPR No.II/MPR/1978. Oleh sebabnya, meskipun telah jelas Pancasila masih dasar Negara Indonesia, isinya dalam Era Reformasi belum ditetapkan.
Perundang-undangan
Seorang wanita dapat mencari pengakuan kaidah penghapusan diskriminasi dan hak wanita yang lengkap dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.39/1999. TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 mengakui dan melindungi segala HAM berdasarkan persamaan antara pria dan wanita secara sesuai dengan Pasal 3 CEDAW. TAP MPR tersebut merupakan Pembukaan, Batang Tubuh dan Lampiran. Lampirannya berupa "Pandangan Dan Sikap Bangsa Indonesia Terhadap Hak Asasi Manusia" dan "Piagam Hak Asasi Manusia".
Pasal 1 sampai dengan Pasal 6 Piagam HAM tersebut memberikan hak hak individu terhadap hidup, keluarga dan perkembangan diri. Pasal 7 sampai dengan Pasal 12 membentuk hak keadilan di bidang hukum. Pasal 13 sampai dengan Pasal 19 menggariskan hak kemerdekaan di bidang politik dan sosial. Pasal 20 yuncto Pasal 21 menetapkan hak atas kebebasan informasi. Pasal 22 sampai dengan Pasal 26 memberikan hak keamanan. Pasal 33 membentuk hak kesejahteraan.
Setiap Pasal tersebut menyatakan hak hak asasinya diberikan pada `setiap orang'. Selanjutnya, Pasal 38 menyatakan, `Setiap orang berhak bebas dari dan mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif'. Akhirnya, Pasal 39 berbunyi, `Dalam pemenuhan hak asasi manusia, laki laki dan perempuan berhak mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama'. Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 2 butir b, Pasal 7, Pasal 12 dan Pasal 15 CEDAW.
TAP tersebut menetapkan hak asasinya akan dilindungi dan dilaksanakan lembaga pemerintahan Indonesia. Pasal 1 Batang Tubuh TAP tersebut `menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat'. Dengan tujuan ini, Presiden dan DPR akan mengesahkan konvensi internasional terhadap HAM. Selanjutnya, HAM akan ditetapkan dengan Perundang-undangan. Akhirnya, pertanggung-jawaban Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Kom Nas HAM) yang pada masa itu ditetapkan dengan Kep Pres No.50/1993 akan ditambah dengan Undang Undang.
TAP tersebut juga menyelenggarakan ruang lingkup pembatasan terhadap HAM. Pasal 36 Piagam HAM TAP itu berbunyi, `setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memnuhi tuntuan yang adil sesuai dengan pertimbaganan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis'. Namun demikian, Pasal 44 menetapkan ada beberapa HAM yang bersifat tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable).
TAP No.XVII/MPR/1998 mengakui kewajiban dasar manusia. Pasal 3 menegaskan HAM akan dilaksanakan, `melalui gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara'. Selanjutnya, hak hak asasi tersebut ditambah dengan kewajiban. Pasal 35 yang berlandaskan Pasal 30 UUD 1945 menetapkan `setiap orang wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara'. Kewajiban tersebut didasarkan kaidah "kolektifisme" sebagaimana UUD 1945 beserta Pancasila.
TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 baru dilaksanakan dengan UU No.39/1999. UU tersebut memperinci ketentuan TAP itu di bidang Hak untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan, Hak Mengembangkan Diri, Hak Atas Kebebasan Pribadi, Hak Atas Rasa Aman dan Hak Atas Kesejahteraan.
Selanjutnya, UU No.39/1999 mengandung hak hak asasi manusia berdasarkan ketentuan UDHR dan ICCPR di bidang Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan, Hak Memperoleh Keadilan, Hak Atas Kebebasan Pribadi, Hak Atas Rasa Aman, Hak atas Kesejahteraan dan Hak Turut Serta dalam Pemerintahan.
UU No.39/1999 juga memuat hak anak dan hak wanita berdasarkan Konvensi Tentang Hak Hak Asasi Anak (Convention on the Rights of the Child) beserta CEDAW. Bagian Kesembilan UU tersebut menyangkut Hak Wanita. Pasal 45 menetapakan hak wanita mempunyai kedudukan sebagai hak asasi manusia secara sesuai dengan Pasal 3 CEDAW. Pasal 46 UU No.39/1999 berbunyi, `Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengankatan di bidan geksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan'. Pasal 46 tersebut sesuai dengan Pasal 7 yo. Pasal 8 CEDAW.
Pasal 47 UU No.39/1999 melindungi hak wanita terhadap kewarganegaraan dan menyatakan kewarganegaraan wanita tidak akan ditetapkan secara otomatis menurut kewarganegaraan suaminya. Pasal 47 tersebut berdasarkan Pasal 9 CEDAW. Pasal 48 UU No.39/1999 menentukan wanita berhak pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan juga sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Pasal 48 bersandarkan Pasal 10 CEDAW.
Pasal 49 menyatakan hak wanita di bidang pekerjaan secara sesuai dengan Pasal 11 CEDAW. Pasal 49 Ayat (1) berbunyi `wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pejerjaan, jabatan dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan'. Pasal 49 Ayat (2) dan Ayat (3) mengandung ketentuan terhadap fungsi reproduksi serta pekerjaan.
Pasal 50 yuncto Pasal 51 mengandung hak wanita dalam perkawinan berdasarkan Pasal 16 CEDAW. Pasal 50 menetapakan, `Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya'. Pasal 51 Ayat (1) menentukan, `Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya serta pengelolaan harta bersama'.
Selanjutnya, Pasal 51 Ayat (2) menyatakan, `Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anakynya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak'.
Akhirnya, Pasal 51 Ayat (3) menetapkan, `Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
UU No.39/1999 melaksanakan ketentuan TAP No.XVII/MPR/1998 terhadap Kewajiban Dasar Manusia. Selain itu, UU No.39/1999 menetapkan hubungan antara hak asasi dan kewajiban dasar manusia tersebut. Pasal 1 butir 2 UU No.39/1999 menyatakan, `Kewajiban dasar manusia adalah separangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia'.
UU No.39/1999 melaksanakan ketentuan TAP tersebut tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah. UU tersebut pula mengandung aturan khusus tentang pembatasan dan larangan HAM. Pasal 73 UU No.39/1999 menggariskan pembatasan sebagaimana disebut dalam Pasal 36 TAP tersebut. Namun demikian, Pasal 73 diikuti Pasal 74 UU yang menyatakan, `Tidak satu ketentuanpun dalam Undang Undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang Undang ini'.