Pranata dan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Commerce dalam tataran Internasional
Liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi di mana semua barang dan jasa yang berasal dari negara lain bisa masuk Indonesia termasuk dengan menggunakan electronic commerce. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization atau persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO). Namun masuknya barang dan jasa impor tersebut bukannya tanpa masalah, di mana salah satu permasalahan yang timbul adalah masalah perlindungan konsumen. Demikian pula dalam hal pengaturan hukum mengenai hal ini.
Sehubungan dengan permasalahan pengaturan hukum dalam transaksi e-commerce, David Harland mengemukakan bahwa :
One consequence of the globalization of trade is a lissening of the significance of national laws affecting such trade. .... the non-territorial and intangible nature of electronic commerce calls into question the adequacy of existing law enforcement mechanism that are still geared to tangible products and national legislation.
Khusus untuk perlindungan konsumen dalam tataran internasional telah diterima The United Nation Guidelines for Consumer Protection yang diterima oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi No. A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 dengan memberikan penekanan terhadap pemahaman umum dan luas mengenai konsumen serta perangkat perlindungan konsumen yang asasi dan adil untuk mencegah praktek perdagangan yang merugikan konsumen, persaingan yang tidak sehat serta perbuatan-perbuatan yang tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan.26 Resolusi ini merekomendasi pula tentang perlunya memberikan perlindungan terhadap konsumen melalui suatu undang-undang yang bersifat nasional serta kerjasama internasional dalam rangka pertukaran informasi mengenai produk-produk terutama produk-produk yang berbahaya atau dilarang.
Sejalan dengan hal ini, maka setiap tahun PBB menerbitkan suatu daftar yang memuat semua produk yang telah dilarang untuk dikonsumsi atau dijual karena telah dilarang (banned), ditarik dari peredaran, sangat dibatasi atau tidak disetujui oleh pemerintah. Semuanya ini menampakkan keinginan bersama untuk memberlakukan ketentuan tentang pelarangan penggunaan produk berbahaya tertentu di suatu negara untuk negara lainnya.
Walaupun tidak secara khusus dibuat untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce, seperti telah disebutkan di atas, PBB tepatnya komisi yang menangani Hukum Perdagangan Internasional telah menyetujui UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce dengan resolusi 51/162 sebagai mandat untuk kemajuan terhadap harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional demi kepentingan semua pihak, terutama pihak-pihak dalam negara-negara berkembang. Selain itu disebutkan dalam konsideran UNCITRAL ini bahwa hal ini dimaksudkan sebagai alternatif terhadap paper-based methods of communication dan storage of information yang selama ini digunakan sebagai dasar dalam membuat suatu perjanjian.
Selain itu dalam konsideran UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce juga dikatakan bahwa resolusi ini diharapkan dapat diterima secara umum oleh negara-negara dengan latar belakang hukum, sosial dan sistem ekonomi yang berbeda sehingga dapat secara signifikan menyumbangkan keharmonisan hubungan ekonomi internasional dan dapat diadopsi oleh negara-negara serta mengembangkan dan merevisi perundang-undangan nasionalnya aturan tentang alternatif penggunaan paper-based methods of communication dan storage of information.
Dalam Chapter II mengenai Aplication of Legal Requirement to data Massage UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce artikel 5 disebutkan bahwa informasi (dalam hal ini informasi elektronik) yang disajikan dalam data massage tidak akan dikesampingkan baik itu menyangkut aspek hukum, pelaksanaan maupun validitasnya. Selanjutnya dalam chapter tersebut diatur pula ketentuan mengenai tulisan (writing) yang menyatakan bahwa ketika hukum menghendaki informasi tertulis, maka kewajiban tersebut dapat ditemukan dalam data massage sebagai bahan referensi. Selanjutnya diatur mengenai keabsahan tanda tangan elektronik (signature), Ketentuan origin yaitu mengenai integritas dari informasi pada saat pertama kali dibuat dan ditayangkan dalam data masage, ketentuan mengenai data massage sebagai alat bukti (evidence), serta penyimpanan (retention) dari data massage.
Dalam Chapter III UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce diatur pula mengenai formasi serta validitas dari kontrak (formation and validity of contracts), pengakuan dari para pihak mengenai isi dari data massage(recognition by parties of data massage), atribusi dari data massage, pengekuan terhadap cara pembayaran atau kuitansi (acknowledgement of receipt) juga waktu dan tempat serta penerimaan waktu pembayaran yang diperoleh dari data massage (time and place dispatch and receipt of data massage).
UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce memang secara spesifik bukan dipersiapkan untuk mengatur mengenai perlidungan konsumen khususnya perlindungan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce, sehingga OECD dalam Conference on A Global Marketplace for Consumer pada tahun 1994 menyepakati perlunya International Code of Conduct for Sellersdalam pasar global
Beberapa negara di dunia telah mengatur dalam perundang-undangan nasionalnya transaksi e-commerceini diantaranya Filipina dengan Act No. 8792, Masyarakat Uni Eropa dengan disetujuinya Directive 2000/31/EC on Certain legal Aspect of Information Society Services, in Particular Electronic Commerce, in Internal Market atauDirective on Electronic Commerce oleh The European Parliament and The Council pada tanggal 8 Juni 2000, juga Singapura dengan Electronic Transaction Act 1998, Australia dengan Electronic Transaction Bill 1999, serta Amerika juga Malaysia. Khusus Singapura dan Australia digunakan model sejalan dengan apa yang direkomendasikan dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce.
Walaupun UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce serta peraturan perundang-undangan yang telah digunakan di beberapa negara tersebut memang tidak secara khusus menyebutkan mengenai perlidungan hukum terhadap konsumen, substansi yang diatur dalam peraturan-peraturan tersebut secara tidak langsung memberikan perlindungan terhadap para pihak yang melakukan transaksi elektronik (e-commerce). Dengan ini berarti para konsumen yang menggunakan teknologi elektronik dalam transaksi bisnisnya dapat berlindung pada peraturan-peraturan ini.
Bagaimana dengan Pengaturan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka di bawah ini akan dipaparkan beberapa aspek mengenai perlindungan konsumen di Indonesia.