Beberapa Aspek Hukum Tentang Pembuktian Kontrak Jual Beli

Beberapa Aspek Hukum Tentang Pembuktian Kontrak Jual Beli
Dasar Hukum Kontrak Jual Beli
Di Indonesia, kontrak atau perjanjian yang berlaku harus didasarkan pada Buku III KUH-Perdata Tentang Perikatan.  Menurut pasal 1313 KUH-Perdata kontrak atau perjanjian adalah suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.  Pelaksanaan kontrak atau perjanjian ini harus sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1320 KUH-Perdata, yaitu :

1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;
Kesepakatan yang terjadi antara kedua belah pihak yang membuat suatu kontrak merupakan suatu perwujudan dari adanya persesuaian kehendak dari masing-masing pihak.  Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, didukung oleh pasal 1321 KUH-Perdata yang menyebutkan bahwa tiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan, maksudnya bahwa antara pihak-pihak dalam suatu perjanjian harus ada persesuaian kehendak tanpa adanya paksaan, kekhilapan dan penipuan.

2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;
Kecakapan merupakan syarat utama terjadinya perjanjian, karena orang yang belum cakap hukum tidak dapat melakukan perbuatan hukum.  Syarat ini didukung oleh pasal 1330 KUH-Perdata yang menegaskan bahwa cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.  Menurut pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, seseorang yang dikatakan dewasa apabila telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau pernah melangsungkan perkawinan, sedangkan sehat akal dan pikiran menurut pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan artinya adalah orang yang mampu untuk melakukan perbuatan hukum, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu artinya orang yang dalam pengampuan seperti orang yang ditahan karena melanggar hukum dilarang melakukan suatu perjanjian atau kontrak.

3.      Suatu hal tertentu ;
Syarat ketiga adalah suatu hal tertentu, syarat ini didukung oleh pasal 1332 KUH-Perdata yang menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian, maksudnya bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan sajalah yang dapat dijadikan objek persetujuan.  Syarat lainnya yaitu dapat ditentukan jumlah dan jenisnya sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1333 KUH-Perdata bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok dari suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa syarat itu tidak hanya mengenai obyek tertentu jenisnya, tetapi meliputi juga benda-benda yang jumlahnya pada saat dibuatnya persetujuan belum ditentukan, asal jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

4.      Suatu sebab yang halal.
Syarat keempat adalah suatu sebab yang halal, syarat ini didukung oleh pasal 1335 KUH-Perdata yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan, maksudnya bahwa jenis-jenis perjanjian tertentu yang dengan jelas bertentangan dengan ketertiban umum tidak dibenarkan sama sekali oleh hukum.

Dari rumusan diatas, jelas bahwa suatu perjanjian jual beli harus memenuhi keempat syarat tersebut, ada 2 (dua) syarat yang digolongkan ke dalam syarat sahnya suatu perjanjian yang terdiri dari :

1.  Syarat subyektif terdiri dari kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian dan kecakapan hukum, apabila syarat subyektif ini tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama para pihak tidak  membatalkan perjanjian, maka perjanjian masih tetap berlaku.
2.     Syarat obyektif terdiri dari suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal, hal ini berhubungan dengan objek yang diperjanjikan dan yang akan dilaksanakan oleh para pihak  sebagai prestasi atau utang dari para pihak, apabila syarat obyektif ini tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum yang artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.

Sementara itu menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH-Perdata, yang berbunyi bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.  Ketentuan tersebut mengandung asas kebebasan berkontrak maksudnya bahwa setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian dengan siapapun asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.  Salah satu perwujudan asas kebebasan berkontrak ini yaitu dengan munculnya perjanjian baku (standard of contract), yang mana isi perjanjian tersebut ditentukan oleh salah satu pihak saja, dengan demikian terlihat bahwa unsur kesepakatan dalam perjanjian, seperti itu tidak terpenuhi seutuhnya, karena seseorang dihadapkan pada kondisi harus menerima isi perjanjian dengan segala konsekuensinya, apabila tidak setuju dengan isi perjanjian, maka tidak ada perjanjian antara kedua pihak tersebut, atau dengan kata lain “Take It or Leave It ”.  Azas lain yang terkandung dalam suatu perjanjian adalah :

1.      Azas konsensualisme, yaitu azas tentang kesepakatan, maksudnya adalah perjanjian dianggap ada seketika setelah adanya kata sepakat ;
2.      Azas kepercayaan, yaitu diantara pihak yang membuat perjanjian dalam hal ini diantara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian memiliki rasa saling percaya ;
3.      Azas kekuatan mengikat, maksudnya adalah para pihak yang membuat perjanjian terikat pada isi perjanjian dan kepatutan ;
4.      Azas persamaan hukum, maksudnya setiap orang dalam hal ini para pihak mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum ;
5.      Azas keseimbangan, maksudnya yaitu dalam pelaksanaan perjanjian harus ada keseimbangan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai dengan isi perjanjian ;
6.      Azas moral, maksudnya yaitu sikap moral yang baik harus menjadi motivasi para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian ;
7.      Azas kepastian hukum, maksudnya yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya ;
8.      Azas kepatuhan, yaitu bahwa isi perjanjian itu tidak hanya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga harus sesuai dengan kepatutan, hal ini sesuai dengan pasal 1339 KUH-Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang ;
9.      Azas kebiasaan, yaitu perjanjian harus mengikuti kebiasaan yang lazim dilakukan, sesuai dengan isi dalam pasal 1347 KUH-Perdata yang menyebutkan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. 
 
Berdasarkan Pasal 1457 KUH-Perdata sebagai berikut jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.  Para pihak dalam jual beli ini terdiri dari penjual dan pembeli, masing-masing pihak memiliki hak dan kewajibannya.  Penjual wajib menyerahkan barang sebagai hak pembeli dan pembeli wajib membayar harga barang sesuai perjanjian jual beli sebagai hak penjual.

Berdasarkan azas konsensualisme, kontrak dianggap ada seketika setelah adanya kata sepakat, dalam hal ini kontrak jual beli dianggap terjadi pada saat kedua belah pihak setuju tentang barang dan harga.  Sifat konsensual dari jual beli ditegaskan dalam pasal 1458 KUH-Perdata yang berbunyi bahwa jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.

Unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam kontrak jual beli adalah:
1.      Unsur Essentialia, yaitu unsur pokok yang wajib ada dalam suatu perjanjian atau mutlak ada dalam perjanjian, misalnya identitas dari kedua belah pihak yang membuat perjanjian ;
2.      Unsur Naturalia, yaitu unsur yang dianggap ada dalam perjanjian walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian tersebut, seperti itikad baik yang harus ada pada masing-masing pihak ;
3.      Unsur Accedentalia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak dalam perjanjian, misalnya klausula yang berbunyi “Barang sudah dibeli tidak dapat dapat dikembalikan”.

Pelaksanaan jual beli dapat menimbulkan risiko bagi kedua belah pihak.  Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) di luar kesalahan salah satu pihak.  Mengenai risiko dalam jual beli ini, dalam KUH-Perdata ada 3 (tiga) peraturan, yaitu :
1.      Mengenai barang tertentu, yang diatur dalam pasal 1460 KUH-Perdata, bahwa barang itu sejak pembelian (saat ditutupnya perjanjian) adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan si penjual berhak menuntut harganya, artinya bahwa risiko disini dibebankan kepada si pembeli meskipun barang tersebut belum diserahkan.  Berdasarkan SEMA No. III Tahun 1960 ketentuan mengenai risiko sebagaimana diatur dalam pasal 1460 tersebut diatas sudah tidak berlaku, dengan demikian risiko biasanya ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam isi perjanjian ;
2.      Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran, yang diatur dalam pasal 1461 KUH-Perdata, yang menyebutkan bahwa jika barang-barang tidak dijual menurut tumpukan, tetapi menurut berat, jumlah dan ukuran, maka barang-barang itu tetap atas tanggungan si penjual hingga barang-barang ditimbang, dihitung, atau diukur ;
3.      Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan, yang diatur dalam pasal 1462 KUH-Perdata yang menyebutkan bahwa jika sebaliknya barang-barang dijual menurut tumpukan, maka barang-barang itu adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung, atau diukur.

Menurut ketentuan-ketentuan pasal 1461 dan 1462 KUH-Perdata risiko atas barang-barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran diletakkan kepada si penjual hingga barang-barang itu telah ditimbang, dihitung atau diukur, sedangkan risiko atas barang-barang yang dijual menurut tumpukan diletakkan pada si pembeli.  Maka dapat diambil kesimpulan mengenai risiko ini, bahwa selama belum dilever, mengenai barang dari macam apa saja, risikonya masih harus dipikul oleh penjual, yang masih merupakan pemilik sampai pada saat barang itu secara yuridis diserahkan kepada pembeli.

Dengan adanya suatu azas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian atau kontrak, para pihak bebas untuk menentukan bentuk, macam, dan isi perjanjian dan juga bebas untuk menentukan risiko para pihak yang terikat oleh suatu perjanjian.

Subscribe to receive free email updates: