Negara Hukum Dan Konstitusi
Manusia setelah membangsa membentuk organisasi yang akan melindungi diri dan tempat tinggalnya. Organisasi tersebut dinamakan negara (state). Istilah negara semula diartikan hanya sebagai tempat tinggal (country) yang diklaim sebagai miliknya. Membahas masalah negara (state) kita harus membahas pula sistem politik yang berlaku dalam suatu negara.
Negara menurut Logemann adalah suatu organisasi masyarakat yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta menyelenggarakan sesuatu masyarakat (Naning, 1983: 3) Lebih jauh menurut Max Weber negara adalah suatu struktur masyarakat yang menpunyai monopoli dalam menggunakan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah (Budiardjo, 2008: 49). Dengan demikian negara merupakan alat masyarakat untuk mengatur hubungan manusia dengan masyarakat. Ada legitimasi, yaitu Negara dapat memaksa kekuasaannya secara sah terhadap semua kolektiva dalam masyarakat.
Ada tiga sifat yang merupakan kedaulatan: (1) Sifat memaksa, di mana negara memiliki kekuasaan untuk menggunakan kekerasan fisik secara sah (legal) agar dapat tertib dan aman; (2) Sifat monopoli, yaitu negara berhak dan kuasa tunggal menetapkan tujuan bersama dari masyarakat (tujuan nasional); (3) Sifat mencakup semua, yaitu semua peraturan perundang-undangan mengenai semua orang baik warganegara maupun penduduk. Dari ketiga sifat inilah timbul konsepsi negara hukum. Timbullah dalil: “Tiada masyarakat tanpa hukum” dalam teori ilmu hukum.
Persyaratan Negara
Berdasarkan Konvensi Montevideo, untuk suatu negara diperlukan 3 (tiga) syarat yang bersifat konstitutif. Persyaratan tersebut adalah: (1) Harus ada wilayah yang telah dinyatakan sebagai milik bangsa dan batas-batasnya ditentukan melalui perjanjian internasional; (2) Harus ada rakyat yang mendiami wilayah tersebut dan dapat terdiri dari atas berbagai golongan sosial. Rakyat negara harus patuh pada hukum dan Pemerintah yang sah; (3) Harus ada Pemerintah yang berhak mengatur dan berwewenang merumuskan serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang mengikat warganya. Lebih lanjut Prof. DR. Sri Soemantri, SH (Dikti, 2001: 36) dapat pula ditambahkan adanya pengakuan kedaulatan dari negara lain. Kedaulatan merupakan unsur yang mutlak harus ada dan merupakan ciri yang membedakan antara organisasi pemerintah dengan organisasi sosial. Agar mampu menghadapi lawan, negara berhak menuntut kesetiaan para warganya. Demikian pula dapat ditambahkan adanya tujuan negara baik tersurat maupun tersirat melalui konstitusi. Rumusan tujuan nasional dalam konstitusi negara merupakan pedoman untuk pola tindak. Tujuan nasional bangsa Indonesia dalam bernegara tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV, antara lain tertulis: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Wilayah Negara
Wilayah merupakan tempat tinggal suatu bangsa dan berbatasan dengan wilayah negara lain. Kekuasaan Negara mencakup tidak hanya tanah tetapi juga laut dan udara hingga ketinggian tertentu. Regim hukum laut modern (UNCLOS 1982) menjadikan negara kepulauan suatu entity besar. Hal ini harus dapat dipertahankan eksistensinya, dan untuk itu diperlukan kemampuan intelektual penduduk di samping masalah sumber-sumber daya lainnya.
Warga Negara
Rakyat merupakan unsur yang penting bagi suatu negara. Negara tanpa rakyat tidak ada artinya. Yang termasuk rakyat ialah semua orang yang mendiami suatu wilayah kekuasaan negara. Dalam wilayah kekuasaan negara subjek ?? dapat dibedakan antara penduduk dan bukan penduduk.
Pemerintah
Pemerintah adalah organisasi yang berwewenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk dalam suatu wilayah. Dalam hal ini bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan negara. Negara mencakup semua penduduk, sedangkan pemerintah mencakup hanya sebagian dari penduduk. Pemerintah sering berubah sedangkan negara relatif tetap bertahan, kecuali bila diserbu dan dikuasai oleh negara lain. Ada pembagian kekuasaan hingga menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif, meskipun sering semu.
Konstitusi
Syarat tambahan suatu negara menurut Prof. DR. Sri Soemantri, SH (Dikti, 2001: 36) adanya konstitusi, kedaulatan (pengakuan kedaulatan) dan tujuan negara yang tersurat maupun tersirat melalui konstitusi. Konstitusi berfungsi sebagai pengatur dan pembatasan kekuasaan negara, agar 3(tiga) sifat negara (Max Weber) tidak disalahgunakan oleh penyelenggara negara. Konstitusi merupakan: (1) Pembatasan kekuasaan organ Negara; (2) Mengatur hubungan antar organ negara; (3) Mengatur hubungan kekuasaan organ negara dengan warganegara; (4) Pembatasan kekuasaan Pemerintah; (5) Memberi legitimasi kekuasaan pada Pemerintah; (6) Instrumen pengalihan kewenangan. Dengan demikian konstitusi merupakan alat: (1) Pengendalian sosial dan politik; (2) Reformasi sosial dan politik; (3) Rekayasa sosial dan politik.
Kedaulatan Negara
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi bagi negara untuk membuat undang-undang dan melaksanakan dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia dan berlaku di seluruh wilayah dan rakyat. Ada kedaulatan ke dalam (internal souvereignty) dan kedaulatan untuk mempertahankan diri dari gangguan dan serangan negara lain (external souvereignty). Kedaulatan merupakan konsep yuridis dan kedaulatan adalah mutlak harus ada pada suatu negara. Ciri khas kedaulatan adalah tidak terikatnya suatu negara dengan negara lain. Menurut Grotius (Loebis, 1997: 27) “Negara merupakan ikatan-ikatan manusia yang insyaf akan arti dan panggilan hukum kodrat”. Negara berasal dari perjanjian yang disebut “pactum”. Kedaulatan itu timbul dari hak untuk memerintah atas suatu komuniti (community) manusia. Kedaulatan itu sekaligus memberikan status apakah suatu negara benar-benar merdeka atau masih di bawah perwalian negara lain atau Perserikatan Bangsa Bangsa.
Tujuan Negara
Seperti halnya dengan individu, keluarga, masyarakat dan bangsa, negara harus merumuskan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan utama mendirikan negara adalah agar tetap ada (eksis) dan memberi kesejahteraan bagi warganegaranya. Tujuan mendirikan negara biasanya tertuang dalam pembukaan konstitusi. Pembukaan konstitusi suatu negara menggambarkan cerminan kebutuhan bersama rakyat atau bangsa tersebut. Demikian juga tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV dan dirumuskan dalam satu kalimat.
Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 sebutan untuk UUD 1945 yang telah diamandemen—adalah salah satu hasil gerakan konstitusionalisme. Yaitu paham yang selalu mengawasi dan meninjau kembali agar pemerintahan tetap pada jalan yang tetap dan benar. Dalam sejarah negara kita UUD 1945 telah diamandemen sebanyak 4 (empat) kali agar sesuai dengan eranya.
Pada amandemen UUD-1945 tidak ada lagi Penjelasan tentang Undang-undang Dasar Negara Indonesia. Padahal, dengan membaca teksnya saja masih sulit untuk mengerti maksud dan makna pada saat UUD tersebut dibuat. Pembukaan UUD dengan Batang Tubuh hendaknya relevan. Dalam Batang Tubuh UUD sebenarnya merupakan penjabaran dari pembukaan dengan melalui pasal-pasal. Pasal-pasal akan sulit dicerna oleh masyarakat oleh karena itu sebaiknya diikuti Penjelasan pada pasal-pasalnya melalui bagian atau bab tersendiri. Karena tidak ada penjelasan maka akan terlihat adanya ketidak samaan dalam isi UUD NKRI 1945.
Dalam UUD NKRI 1945 tersurat prinsip penyelenggaraan Negara: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Prinsip persatuan dan keragaman dalam Negara Kesatuan; (3) Cita Negara Integralistik; (4) Negara Republik; (5) Sistem Pemerintahan Presidensiil; (6) Paham Kedaulatan Rakyat (demokrasi); (7) Demokrasi langsung/demokrasi perwakilan; (8) Cita Negara Hukum (nomokrasi); (9) Pemisahan kekuasaan dan prinsip check and balance; (10) Demokrasi Ekonomi; (11) Cita Masyarakat Madani, yaitu masyarakat yang rukun, adil dan beradab. Prinsip penyelenggaraan negara tersirat pada Pembukaan UUD dan penjabarannya melalui pasal-pasal asli UUD maupun pasal-pasal hasil amandemen.
Konsepsi Negara Hukum Indonesia
Pemikiran mengenai Negara Hukum diawali oleh Plato (429-347 S.M.), dalam dua buah bukunya yang terkenal, yaitu politeia (negara) dan nomoi (hukum). Semula ia berpendapat bahwa negara yang ideal adalah yang diselenggarakan oleh para ahli filsafat. Dari hasil pengamatannya, ia berkesimpulan bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah yang berdasarkan pengaturan (hukum) yang baik, yang disebutnya dengan istilah Nomoi. Sesuai dengan perkembangannya ide negara hukum tidak relevan lagi karena negara menjadi sangat berkuasa sehingga tumbuh konsep etatisme, yaitu suatu paham yang lebih mementingkan negara dari pada rakyatnya (KBBI, 2002: 309).
Ide negara hukum muncul kembali pada permulaan berkembangnya aliran liberal, yaitu menjelang dan saat revolusi kaum borjuis di Perancis. Dari Revolusi Perancis (1789) inilah berkobar semangat kebebasan (liberte), persamaan derajat (egalite) dan persaudaraan (fraternite). Faham individualistik atau perseorangan berkembang.
Aliran liberal mendambakan suatu negara hukum yang menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat, agar setiap orang dapat dengan aman dan bebas mencari penghidupan serta mengurus kehidupannya masing-masing. Negara hukum seperti tersebut pada dasarnya tidak memerhatikan kesejahteraan umum rakyatnya. Dalam perkembangan pemikiran liberal kemudian terbukti bahwa peran negara tidak dapat dihindarkan dari kewenangannya untuk ikut campur tangan dalam penentuan pola kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya, yang asumsinya untuk mencerminkan adanya perlindungan terhadap hak asasinya. Negara Hukum Liberal kemudian berkembang menjadi Negara Hukum Formal (peran raja harus berdasarkan undang-undang atau hukum). Negara Hukum Materiil (undang-undang tersebut telah berkembang menjadi yang melindungi hak-hak asasi manusia). Perkembangan Negara Hukum Materiil menjadi Negara Kemakmuran (Welfare State), namun ciri khasnya masih menekankan pada kepentingan-kepentingan individualistik. Dengan demikian jelas bahwa Negara Hukum model Eropa tersebut bukanlah yang dikehendaki oleh para pendiri Republik Indonesia, dan bukan pula yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Negara Hukum Indonesia adalah suatu konsepsi tentang Negara Hukum yang mempunyai lima macam unsur utama, yang semuanya tercantum dalam UUD 1945. Penjelasan Umum No. III UUD 1945: (1) Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam “Pembukaan”, yang ingin mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar Negara; (2) Rumusan yang terungkap:Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka, yang rumusannya tertuang dalam batang tubuh UUD NKRI 1945; (3) Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat absulotisme (Penjelasan UUD 1945), yang berarti bahwa pemerintahan Republik Indonesia dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan atas kewenangan-kewenangan yang dirumuskan dalam UUD; (4) Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya {pasal 27 ayat (1)}; (5). Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah {Pasal 24 ayat (1) UUD NKRI 1945}. Dari gambaran tersebut secara ringkas kelima unsur utama Negara Hukum Indonesia terbukti dengan adanya:
1. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
2. Negara Indonesia yang berdasar atas hukum.
3. Pemerintahan yang berdasar atas sistem konstitusi.
4. Kesamaan kedudukan para warga negara dalam hukum dan pemerintahan, dan kewajiban mentaatinya tanpa kecuali (pola hak dan kewajiban asasi/manusia Indonesia).
5. Kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh pemerintah.
Kesemuanya menunjukkan bahwa nilai-nilai dasar Pancasila telah menjelma dalam konsepsi Negara Hukum Indonesia. Namun demikian masih ada lagi nilai-nilai lain yang lebih mengenai masalah pengaturan organisasi negara dan perihal pembentukan hukumnya.
Indonesia sebagai negara hukum telah menentukan hirarki hukum di Indonesia yang dikukuhkan melalui Ketetapan MPR RI, dengan urutan:
1. Peraturan Dasar: Undang-undang Dasar dan Perubahannya, Piagam Dasar
2. Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Jurisprudensi.
3. Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden.
4. Peraturan Menteri/Peraturan Pejabat setingkat Menteri.
5. Peraturan Daerah Provinsi
6. Peraturan Gubernur.
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
8. Peraturan Bupati/Walikota
9. Peraturan Desa
Hak Asasi Manusia
Perkembangan Sejarah Hak Asasi Manusia
Berdasarkan tiga sifat yang mendasari kedaulatan suatu negara, sering terjadi penyalahgunaan wewenang oleh para penguasa negara. Menghadapi kesewenang-wenangan ini tumbuh gagasan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu perkembangan perjuangan menegakkan HAM sama tuanya dengan perkembangan peradaban manusia. Gagasan HAM muncul ketika manusia yang satu merasa diperlakukan tidak manusiawi oleh pihak yang lain. Penguasa menindas rakyat, sehingga muncul diskriminasi berdasarkan ras, suku, agama, dan perbedaan lainnya. Selanjutnya jatuh korban-korban sebagai akibat penindasan manusia atas manusia. Ide HAM itu semula berkembang di Inggris yaitu pada masa Pemerintahan Raja John of England, dan pada tahun 1215, ketika para kesatria memaksa Raja Inggris untuk menanda tangani suatu perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Besar (Magna Carta) (Ball, 1973: 100). Magna Carta itu sendiri sebenarnya tidak berarti banyak dalam upaya penegakkan HAM masa sekarang.
Pelangaran hak asasi masih terus dilakukan oleh para penguasa. Oleh karenanya upaya penegakan HAM terus-menerus dilakukan oleh elit politik dan para intelektual. Pada abad Pertengahan antara lain melalui: (1) Undang-undang Hak (Bill of Rights) 1689, disyahkan oleh Raja JAMES II dari Inggris dan merupakan perlawanan badan legislatif dalam revolusi tak berdarah 1688; (2) Undang-undang Hak (Bill of Rights) 1789, disusun oleh Rakyat Amerika Serikat dan dimasukkan ke dalam konstitusi mereka. Bill of Rights ini sangat individualistik sifatnya dan mementingkan masalah hak daripada kewajiban manusia; (3) Deklarasi hak-hak manusia dan warganegara di Perancis (Declaration des droits de l’homme et du citoyen), merupakan hasil dari revolusi Perancis 1789. Naskah ini merupakan perlawanan rakyat terhadap monarkhi absolut. Pada masa ini perjuangan hak asasi manusia sangat dipengaruhi oleh pendapat John Lock dan Jean Jacques Rousseau yang bersifat politis tentang pengertian hak-hak tentang kebebasan.
Akhir abad XIX sampai dengan medio abad XX perjuangan penegakkan HAM berfokus pada upaya menghukum para penjahat perang dan mereka yang terlibat dalam perencanaan perang dan penyiapan serta pembunuhan masal atas suatu masyarakat. Namun upaya ini diwujudkan dengan penggunaan asas retroaktif yang sebenarnya bertentangan dengan asas hukum pidana, yakni orang hanya dapat dihukum jika telah dibuat peraturan perundangannya.
Proses Peradilan Militer di kota Nurenburg dan Tokyo serta deklarasi-deklarasi tentang kebebasan, baik semasa abad pertengahan hingga Perang II merupakan pilar bagi Deklarasi Universal HAM. Proses peradilan-peradilan militer kini berdampak positif bagi hukum internasional yaitu bahwa individu dapat dikenai hukum yang setimpal atas kejahatannya. Individu kini dapat dijadikan subjek dan objek hukum internasinal. Dampak lainnya adalah Resolusi PBB tanggal 11 Desember 1945 yang menyetujui asas hukum yang dipakai dalam kedua pengadilan militer tersebut sebagai konsep HAM. Komisi Hukum Internasional PBB kemudian menuangkan dalam rumusan resmi sehingga memberikan kontribusi tercapainya “Universal Declaration of Human Rights” pada tanggal 10 Desember 1948.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Dari gambaran di atas jelaslah bahwa seusai Perang Dunia II kedudukan pribadi manusia memperoleh pengakuan yang luas dan kokoh dalam hukum Internasional. Namun untuk membuat deklarasi universal tentang hak asasi manusia membutuhkan perdebatan yang cukup panjang antara blok Barat dan blok Sosialis. Deklarasi HAM unversal didirikan atas empat tonggak utama, yaitu: (1) Hak-hak pribadi antara lain hak-hak: persamaan, hidup, kebebasan, kemanan dan lain sebagainya; (2) Hak-hak milik individu dalam kelompok sosial di mana ia ikut di dalamnya; (3) Kebebasan-kebebasan sipil dan hak-hak politik untuk dapat ikut serta dalam pemerintahan; (4) Hak-hak berkenaan dengan masalah ekonomi dan sosial.
Bila ditinjau pasal demi pasal, HAM universal PBB menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara (Cassese, 1994: xv) dapat disimpulkan dari 30 pasal, hanya 1 pasal yang membahas masalah kewajiban manusia, 25 pasal membahas tentang hak manusia sebagai individu. Timbul perbedaan dalam menerapkan HAM pada masing-masing negara anggota PBB.
Perbedaan Persepsi pada HAM Universal
Ada perbedaan pandangan atau persepsi dari masyarakat internasional tentang HAM universal. Perbedaan pandangan itu sebenarnya menyangkut, masalah pandangan hidup dan adat istiadat masing-masing bangsa dan negara. Ada dua kelompok utama yang menanggapi masalah HAM, yaitu: kelompok universalis dan kelompok komunitarian. Kelompok universalis, yaitu negara-negara Barat Modern—Inggris, Perancis, Amerika Serikat—dan Eropa Barat yang merupakan kelompok negara yang memerintah lebih dari separo dunia sampai akhir dekade 20an (Huntington, 1997: 92). Apalagi pasal-pasal dalam Deklarasi HAM Universal dipengaruhi oleh faham individualistik negara-negara pemenang PD II. Sementara itu, negara sosialis yang dipimpin Uni Soviet tetap berpendapat bahwa hak-hak asasi telah hilang dari individu dan terintegrasi dalam masyarakat. Pemikirannya adalah bahwa HAM tidak ada sebelum negara ada. Oleh karena itu negara berhak membatasi apabila situasi menghendakinya.
Pemikiran HAM universal juga tidak sesuai—bahkan bertentangan—dengan filsafat bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Perbedaan konsepsi Barat dengan Timur—dalam hal ini Asia dan Afrika—adalah berkaitan dengan budaya dan agama. Kedudukan tinggi diberikan kepada kepala adat, dan bagi Islam asalkan tidak berbeda pendapat sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Sebagai akibatnya tradisi Asia dan Afrika terkontaminasi dengan tradisi Barat sehingga mempersulit perkembangan negara-negara Asia dan Afrika secara lebih modern (Cassasse, 1984: 70-75). Timbul beberapa interpretasi HAM.
Perbedaan pandangan tersebut sebagai berikut: (1) Universal absolut, yang memandang HAM sebagai nilai seperti yang dideklarasikan oleh PBB. Pandangan ini tidak menghargai masalah sosial budaya yang melekat pada masing-masing bangsa atau negara; (2) Universal relatif, yang memandang secara universal dengan beberapa pengecualian demi suatu alasan tetrtentu; (3) Komuntarian absolut, seperti keinginan negara-negara sosialis, yang dipimpin Uni Soviet; (4) Komunitarian relatif, yang memandang persoalan HAM sebagai masalah universal, namun juga menjadi masalah nasional. Karena ada perbedaan itu, masing-masing region membuat kesepakatan HAM, yang berlaku di wilayah regional sehingga akhirnya adanya koreksi total atas HAM universal.
Upaya Perumusan Kembali Deklarasi HAM
Situasi dan posisi negara-negara anggota Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB) antara tahun 1946 – 1948 yang beranggotakan 58 negara terbagi atas 5 blok: (1) Blok Barat, 14 negara yang umumnya pemenang PD II, termasuk Australia dan New Zealand; (2) Blok Sosialis, 6 negara sosialis Eropa Tengah dan Timur; (3) Blok Asia, 14 negara (tidak termasuk Indonesia): (4) Blok Afrika 4 negara; dan (5) Blok Amerika Latin, 20 negara, yang dengan gigih ingin menegakkan HAM dan selalu memihak Blok Barat Untuk negara-negara yang baru merdeka umumnya tidak sadar dan tetap menghormati bekas penjajahnya, padahal budaya dan sistem politiknya akan berbeda.
Negara-negara Barat tetap ingin mempertahankan apa yang telah dideklarasikan tahun 1948. Namun negara-negara sedang berkembang (NSB) dikenal juga sebagai Negara Dunia Ketiga (NDK), yang terdiri dari negara baru merdeka dan Amerika Latin tetap menghendaki perubahan. Apabila tidak ada pembatasan pasal-pasal tentang HAM universal, negara-negara ini khawatir akan mengganggu stabiltas nasionalnya. Tahap awal melalui kesepakatan yang sulit mengenai hak sipil dan politik dengan “Konsep Non-Derogable” (Budiardjo, 2008: 222). Dalam konsep ini disepakati sifat HAM yang tidak boleh dibatasi/diretriksi dan yang boleh dibatasi dalam keadaan darurat. Adapun, hal yang tidak boleh diretriksi dalam keadaan apa pun ialah: (1) hak atas hidup; (2) hak untuk tidak disiksa; (3) hak atas kebebasan dan keamanan dirinya; (4) anti pasang badan; (5) sifat kedaluwarsaan tindakan kriminal, dikenal sebagai asas non-retroaktif; (6) hak pribadi di hadapan hukum; (7) hak kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.
Dengan dasar kesepakatan ini secara berkala dilakukan pertemuan para tokoh hak asasi manusia yang akhirnya dikeluarkan Deklarasi Universal Kewajiban Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Responsibilities).
Deklarasi Universal Kewajiban Asasi Manusia
Pada tahun 1997 suatu organisasi internasional mencanangkan deklarasi tentang kewajiban manusia yang intinya berusaha melengkapi pasal 29 tentang HAM universal. Deklarasi ini merupakan gagasan dari 60 tokoh pemikir dan para negarawan. Mereka mendengarkan dari banyak kesepakatan tentang kewajiban yang dibuat oleh NDK melalui pertemuan negara-negara regional. Kesepakatan itu antara lain: African Charter on Human and Peoples’ Rights (1981); Cairo Declaration on Human Rights in Islam (1990); Bangkok Declaration kesepakatan negara-negara Asia (1993); dan (4) Vienna Declaration and Program of Action (1993).
Hasil pemikiran ke 60 tokoh dituangkan dalam deklarasi dan dikenal juga sebagai “Kaidah Emas” (golden rules) antara lain: (1) hak atas hidup, ada kewajiban menghormati hidup; (2) hak atas kebebasan, ada kewajiban menghormati kebebasan orang lain; (3) hak atas keamanan, ada kewajiban menciptakan kondisi human security; (4) hak berpartisipasi dalam politik dalam negara sendiri, berkewajiban berpartisipasi dalam memilih pemimpin terbaik; (5) hak bekerja dalam kondisi yang adil dan menguntungkan, wajib bekerja dengan penuh kemampuan kita; (6) hak kebebasan berfikir, memiliki hati nurani dan beragama, wajib menghormati pikiran dan agama orang lain; (7) hak memperoleh pendidikan, wajib belajar penuh sesuai dengan kemampuan dan membagi pengetahuan serta pengalamannya kepada orang lain; (8) memperoleh hak menikmati kekayaan alam, wajib menghormati, memelihara dan memulihkan bumi serta sumber-sumber alam. Di samping itu masih menambah pasal yang berisikan kewajiban umum, sehingga secara keseluruhan menggambarkan adanya etika global. Masalah agama dibahas bahwa kita hendaknya meningkatkan toleransi yang mengarah pada pluralisme.
Hak Asasi Manusia Awal Abad 21
Upaya penegakan HAM di dunia mengalami perubahan. Perubahan ini sehubungan dengan adanya tragedi 11 September 2001 di New York. Negara-negara yang awalnya ingin berkampanya tentang penegakan HAM secara global berubah menjadi negara yang melakukan kekerasan demi keamanan dalam negerinya. Bahkan mereka berupaya masuk ke wilayah negara lain dengan dalih ingin memerangi terorisme. Banyak negara menyusun hukum anti terorisme yang sedikit banyak mengurangi kebebasan sipil (civil liberties). Selanjutnya dicari paradigma baru. Namun satu hal yang tetap berjalan bahwa kejahatan yang akan dituduhkan pada pelaku adalah seperti pada pengadilan di Nuremberg dan Tokyo (1945) yaitu: kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap perikemanusiaan. Selanjutnya didirikan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) pada tahun 2002. Kekuasaan mahkamah ini sangat besar, sehingga dibatasi oleh ketentuan bahwa setiap pelanggaran yang akan diajukan untuk diadili di mahkamah ini harus dapat persetujuan Dewan Keamanan. Mahkamah Pidana Internasional harus membuktikan bahwa akan bertindak adil, efektif dan tidak menggunakan standar ganda.
Dari gambaran di atas, pada dasarnya penegakan HAM tidak mudah dan sering menimbulkan ketidak adilan juga. Upaya penegakan HAM tidak jarang menggerogoti kedaulatan negara baik secara intern maupun extern.
Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Pandangan bangsa Indonesia
Pandangan bangsa Indonesia tentang HAM agak berbeda dengan HAM universal, di mana HAM universal lebih mengutamakan hak individu daripada kewajiban individu. Negara Republik Indonesia seperti pada umumnya negara Asia dan negara sedang berkembang, pendekatan yang dipakai adalah: pendekatan partikularistik relatif. Dalam UUD 1945 tidak banyak membahas HAM universal kecuali dalam dua hal yakni pernyataan sila keempat Pancasila dan pasal 29. Selebihnya UUD 1945 membahas masalah Hak Asasi Warganegara (HAW). Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 menunjukkan bahwa HAM Indonesia lebih mendekati HAW, yaitu adanya pernyataan “bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa …dst…”. Oleh karena itu bangsa Indonesia menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia dan selanjutnya manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara yang satu terhadap lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia tetap mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang HAM.
Sesuai dengan amanat UUD 1945 kini Indonesia telah membuat UU no 39/1999 tentang HAM. Dalam UU tersebut selain memuat hak dasar manusia, memuat kewajiban dasar manusia, kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah. Dalam UU tersebut memuat pula hak dan kewajiban masyarakat, pengadilan bagi pelanggaran HAM serta pembentukan Komisi Nasional HAM (KOMNAS HAM) yang bertujuan antara lain: mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksnaan HAM serta meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna perkembangan pribadi manusia.
Hak asasi manusia yang menjadi kebebasan dasar manusia antara lain memuat pasal-pasal yang menyangkut:
1. Hak untuk hidup.
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
3. Hak mengembangkan diri.
4. Hak memperoleh keadilan.
5. Hak atas kebebasan pribadi.
6. Hak atas rasa aman.
7. Hak atas kesejahteraan
8. Hak turut serta dalam pemerintahan.
9. Hak wanita
10. Hak anak.
Beberapa Keunikan UU HAM Indonesia
Kekhasan UU No. 39/1999 tentang HAM menyangkut :
1. masalah wanita antara lain (pasal 46, pasal 49, pasal 50 dan pasal 51)
2. masalah anak antara lain (pasal 53, pasal 54, pasal 59 dan pasal 60)
3. kewajiban dasar manusia (pasal 68).
Penjelasan pasal 46 menentukan bahwa harus ada keterwakilan wanita pada ketiga badan (legislatif, eksekutif dan peradilan). Sebagai tindak lanjutnya dalam kampanye pemilihan umum di Indonesia menjadi issue sentral, meski hanya sebatas wacana, dengan memasang nama wanita sebagai daya tarik. Sementara itu, pengertian perlindungan lebih menitik beratkan pada perlindungan fungsi reproduksi. Hal ini menyangkut masalah kehidupan generasi penerus bangsa. Kebebasan menikah dibatasi adanya ketentuan agama, misalnya dalam hukum perkawinan Islam di mana adanya kewajiban persetujuan wali. Dalam hal ikatan perkawinan seorang isteri punya kewajiban dan tanggung jawab yang sama terhadap pembinaan masa depan anak. Dan ini merupakan bentuk bahwa NKRI telah meratifikasi Convention on The Rights of The Child.
Dalam hal hak anak secara tersirat pada pengertian bahwa anak telah dilindungi sejak janin hingga menjadi manusia (dilahirkan). Dan selanjutnya, mengharuskan kepada orang tua untuk mengakuinya dengan tersuratnya melalui pasal 53 ayat (2). Dengan demikian anak tersebut akan terangkat martabatnya.
Kekhasan lain adalah ada salah satu pasal yang menyangkut Kewajiban Dasar Manusia (pasal 68) tersurat “setiap warganegara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”, padahal menurut pasal 30 UUD-1945 (asli) dan pasal 27 UUD-2000—sebutan bagi perubahan II—mengisyaratkan ada hak dan kewajiban dalam pembelaan negara. Ini mengandung arti bahwa UUD 1945 menghormati demokrasi dalam upaya pembelaan negara. Sementara itu, dari UU HAM kita menghendaki suatu kewajiban yang berarti kurang/tidak demokrasi dalam upaya pembelaan negara, dan ini tampaknya dipengaruhi HAM universal. Pada UUD NKRI 1945 upaya pembelaan negara dan usaha pertahanan keamanan negara (pasal 30), hak dan kewajiban warganegara, mengandung pengertian bahwa warganegara dapat secara spontan membela dan mempertahanan keamanan negara.
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah termuat sebanyak 2 (dua) pasal yang membahas masalah kewajiban pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang disesuaikan dengan hukum internasional. Ini mengandung arti bahwa negara kita akan menghormati hukum internasional sepanjang dapat diterima oleh negara Republik Indonesia.