Ketahanan Nasional sebagai Geostrategi Indonesia
Wawasan Nusantara dalam pengembangannya dipandang sebagai konsepsi politik ketatanegaraan dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Sebagai suatu konsepsi politik yang didasarkan pada pertimbangan konstelasi geografis, wawasan nusantara dapat dikatakan merupakan penerapan teori-teori geopolitik dari bangsa Indonesia. Dengan demikian wawasan nusantara selanjutnya menjadi landasan penentuan kebijakan politik negara. Dalam perjuangan mencapai tujuan nasional akan banyak menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari luar negeri maupun dari dalam negeri.
Untuk keperluan itu diperlukan pembangunan kemampuan dan keuletan bangsa dan negara agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan. Konsepsi ini dikenal sebagai konsepsi geostrategi, yang merupakan konsep untuk mencapai tujuan nasional.
Sesuai dengan tujuan setiap bangsa dan negara yang menghendaki rasa aman dan sejahtera, pembangunan nasional akan melalui pendekatan keamanan dan kesejahteraan. Pendekatan yang sama tersebut, pada kenyataannya menurut Prof. Haryo Mataram, SH (Himpunan Lemhannas, 1980: 227) berbeda penerapan konsepsinya. Menurutnya di dunia terdapat 2 (dua) konsepsi:
1. Konsepsi kekuatan nasional (power concept). Konsepsi ini mengutamakan pembangunan kekuatan fisik negara dan kekuatan sosial sebagai prioritas selanjutnya. Dari konsep ini bangsa dan negara menggunakan kekuatan fisik lebih dahulu terhadap lawan-lawannya.
2. Konsepsi ketahanan nasional (resilience concept). Konsepsi ini mengutamakan pembangunan kekuatan sosial dan kekuatan fisik sebagai prioritas selanjutnya. Oleh karena dalam penerapan selanjutnya kekuatan sosial yang terbina digunakan secara persuasif terlebih dahulu, dilanjutkan penggunaan kekuatan fisik
Sejarah Gagasan Ketahanan Nasional sebagai Geo-strategi Indonesia
Konsepsi geostrategi Indonesia pertama kali dilontarkan oleh Bung Karno pada tanggal 16 Juni 1948 di Kotaraja (kini Banda Aceh) setelah menerima defile Angkatan Perang (militer) dalam rangka kunjungan kerja ke daerah Sumatera yang belum/tidak diduduki Belanda (Basry, 1995: 50 – 51). Menurutnya, bila satu bangsa ingin menjadi besar dan kuat, bangsa harus mempunyai 3 (tiga) macam ketahanan: militer, ekonomi dan jiwa. Selanjutnya dari ketiga konsep ketahanan yang mendapat prioritas pertama adalah pembangunan ketahanan jiwa, kemudian pembangunan ketahanan ekonomi dan yang terakhir pembangunan ketahanan militer. Ketahanan jiwa membentuk percaya pada diri sendiri, sehingga bangsa dapat berdiri teguh di tengah pergolakan dunia.
Namun sayangnya gagasan beliau kurang/tidak dikembangkan oleh para pejabat bawahan karena seperti kita ketahui wilayah NKRI diduduki oleh Belanda pada akhir Desember 1948. Setelah pengakuan kemerdekaan 1950 garis besar pembangunan politik kita adalah “nation and character building”, yang sebenarnya merupakan pembangunan jiwa bangsa.
Sekolah Staf dan Komando TNI AD (awal 1960an) menelurkan konsep Ketahanan Nasional (Tannas) yang identik pertahanan wilayah oleh seluruh rakyat. Dalam menyusun konsep Tannas, pendekatan yang dipakai; mengkaji sejarah perjuangan antara 1945–1949 dan rasa bangga ingin menyumbangkan konsep bagi negara.
Lembaga Pertahanan Nasional/Lemhannas (kini Lembaga Ketahanan Nasional) menyusun konsep melalui pendekatan: rasa khawatir menghadapi masa depan dan ingin mengadakan perubahan. Konsep: pembangunan dipersepsikan melalui perubahan 3 (tiga) dimensi, yaitu: fisik, sikap mental dan cara berfikir. Tannas diidentikan keuletan dan daya tahan kita dalam menghadapi segala kekuatan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, langsung maupun tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup bangsa.
Dep. HANKAM (1974) sebagai lembaga yang membawahi Lemhannas meng-upayakan sosialisasi Tannas melalui MPR RI. Tannas didefinisasikan sebagai: Kondisi dinamis suatu bangsa berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional di dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perju-angan mengejar tujuan perjuangan nasional.
Konsep selanjutnya dikembangkan di perguruan tinggi: UI sejak 1983 dan UGM sejak 1989. Pengembangannya diarahkan pada upaya memantapkan pemikiran ontologi, epistomologi tentang konsepsi tannas sebagai ilmu. Mengembangkan konsep potensi kekuatan nasional dalam ilmu-ilmu sosial/politik pendukung tannas dengan model kuantitatif
Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsepsi Geostrategi Indonesia
Konsepsi Tannas (geostrategi Indonesia) dipengaruhi:
1. Pengalaman sejarah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pengalaman Negara Sedang Berkembang (NSB) dalam melaksanakan pembangunan nasional, dengan hasil ketidak seimbangan pembangunan fisik dan nonfisik.
3. Perang dingin (pasca PD II) antara Blok Timur (negara sosialis) melawan Blok Barat (negara liberal) dan berkembang “Teori Domino” yang menyatakan bila salah satu negara masuk/dikuasai oleh blok Timur, maka tetangganya akan bergabung (cepat atau lambat).
4. Tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan pada periode pembangunan lebih kompleks, penuh ketidak pastian dibanding pada masa Perang Kemerdekaan.
5. Tulisan Hans J. Morgenthau (secara tidak langsung) tentang elemen kekuatan bangsa menjadi bahan pengelompokan faktor elemen kekuatan/kehidupan bangsa (gatra) (Morgenthau, 2006: 123-161)
Konsepsi Geostrategi Indonesia
Konsepsi disusun dengan sistimatika: Astagatra yang terdiri dari trigatra yaitu aspek kekuatan alamiah (geografi, kekayaan alam, kemampuan penduduk) dan pancagatra berupa aspek kekuatan sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan). Dengan kaidah:
1. Menggunakan kerangka pikir Pancasila yang komprehensif-integral, dalam IPTEK dikenal dengan pemikiran kesisteman. Sedangkan sub sistemnya berupa aspek keku-atan alamiah dan aspek kekuatan sosial.
2. Dalam pengaturan dan penyelenggaraan negara (kehidupan nasional) masalah kea-manan dan kesejahteraan ibarat sebagai sebuah koin. Satu sisi merupakan gambaran kesejahteraan, sisi yang lain adalah gambaran keamanan.
3. Tannas merupakan integrasi dari ketahanan masing-masing aspek kehidupan sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan keamanan).
Oleh karena itu konsepsi tannas meliputi masa damai maupun perang.
Hubungan antar Gatra
Hubungan antar gatra dalam trigatra dapat disimpulkan: Geografi dipengaruhi: letak, bentuk, iklim dan posisi. Sumber daya alam dipengaruhi geografi, dapat menjadi hambatan maupun nilai tambah bagi penduduk. Penduduk (jumlah dan komposisi) dipengaruhi geografi dan sumber daya alam dan melahirkan konsep wawasan yang dikenal sebagai geopolitik. Oleh karenanya pemanfaatan dan penyebaran sumber daya tergantung dari penduduk.
Hubungan antar gatra dalam pancagatra saling mempe-ngaruhi. Ideologi akan memengaruhi politik karena ketidak sesuaian pola pikir (ide) antar satu golongan bangsa, pembangunan nasional yang merupakan pelaksanaan geopolitik tidak dapat direalisasi. Sebagai akibatnya proses lain akan tersendat. Oleh karenanya pembangunan setiap gatra diperlukan untuk saling menunjang.
Sedangkan hubungan dengan trigatra adalah bahwa trigatra inilah yang harus dibangun sehingga kejayaan negara dan bangsa dapat terwujud.
Fungsi Ajaran Geostrategi Indonesia
Geostrategi Indonesia berfungsi sebagai:
1. Doktrin Nasional. Pada hakekatnya adalah suatu ajaran (konsensus) bangsa Indonesia dalam mengimplementasikan falsafah Pancasila, UUD-1945, geopolitik Indonesia guna menjamin pola pikir, pola tindak dan cara kerja guna mempersatukan usaha bersama bangsa yang bersifat inter sektoral dan multidisiplin.
2. Pola Dasar Pembangunan. Pada hakekatnya adalah arah pedoman dari setiap Program Kerja (dikenal Repelita, Prolita, Propena) Pemerintah.
3. Sistem Nasional Indonesia. Pada dasarnya adalah pola masyarakat Indonesia dalam mana falsafah Pancasila dan UUD 1945 diterapkan didalamnya.
4. Metoda Pembangunan. Menggunakan metoda Komprehensif integral (utuh dan menyeluruh) berdasarkan astagatra.
Perkembangan Konsepsi Geostrategi
Globalisasi berdampak negatif pada negara sedang berkembang (NSB). Dalam globalisasi keinginan serba lintas (sosial, budaya, ekonomi dan wilayah) dari negara maju menyebabkan berkembang konsep ketahanan nasional yang berlapis. Konsep geostrategi Indonesia membangun dua elemen utama: trigatra (geografi, sumber daya alam, penduduk), pancagatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam) diterapkan melalui upaya: ketahanan individu, ketahanan keluarga, ketahanan wilayah, ketahanan nasional dan dilanjutkan konsep ketahanan regional:
1. Ketahanan Individu (ketahanan rohani dan jasmani) yang baik, akan menciptakan kerukunan keluarga, dan akan meningkatkan kerukunan masyarakat.
2. Ketahanan Keluarga harus dibina agar dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan fisik (Soemarno S., 1997: 50 s/d 72).
3. Ketahanan Wilayah, yang merupakan bagian dari negara dan sangat tergantung dari hubungan individu baik dalam komuniti/grup maupun individu di luar komuniti/grup.
4. Ketahanan Regional, dengan pengertian; (a) sekitar negara dengan penekanan wilayah yang homogen atas dasar ciri geostrategis, dan (b) dapat berupa persamaan ras, budaya, sumber daya dan dapat meningkatkan pembentukan kelompok (Persatuan Skandinavia, BENELUX, ASEAN dan lain sebagainya). Oleh karenanya keuletan ketahanan regional sangat tergantung dari semangat kebersamaan dan adaptif sesama anggota, dengan komponen: stabilitas politik, kekuatan ekonomi dan kekuatan militer yang siaga.
Dari gambaran tersebut diatas yang seharusnya selalu diingat bahwa program “Nation and Character Building” yang telah dilaksanakan sejak tahun 1950an, pada hakikatnya adalah untuk menumbuhkan cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia, yakin terhadap ideologi bangsa dan negara Pancasila serta rela berkorban untuk negara dan bangsa. Konsep Ketahanan nasional yang berlapis itu hendaknya kita tumbuhkembangkan melalui proses pendidikan sejak sekolah dasar sampai dengan pendidikan tinggi.
Geostrategi Negara Lain.
Sebagai negara kepuluan terbesar kita mendapat tan-tangan berupa geopolitiki dan geostrategi negara lain terutama yang berkepentingan dengan laut. Dengan asumsi bahwa negara tetangga (kecil dan maju) cenderung menerapkan teori Ratzel dan Haushoffer.
Malaysia berupaya membangun daerah perbatasan lebih baik dan melakukan silent occupation di pulau terpencil. Singapura melakukan reklamasi pantai dan berupaya menjadi pusat perekonomian dan menjadikan negara lain hinterland. Philipina melalui pengaruh sosial, budaya dan ekonomi serta melakukan silent occupation (di p. Miangas berlaku pula mata uang Pesso). Palau melakukan silent occupation. Papua Nugini berupaya melalui pengaruh sosial, budaya dan ekonomi. Australia dengan menggelar proyek Australia Maritime Identification Zone (AMIZ), yang pada hakikatnya memantau apa yang terjadi pada radius 1.000 km dari Darwin. Timor Leste tidak mustahil akan meniru Malaysia (bila telah makmur).
Menghadapi Geopolitik dan Geostrategi Negara Lain
Menghadapi negara tetangga (ASEAN, non ASEAN): (1) mewaspadai upaya silent occupation atas pulau-pulau di perbatasan yang belum terbina, (2) adanya AMIZ, kita harus lebih aktif menginventarisasi pulau yang belum bernama, (3) mewaspadai manuver “Five Pillars Defence Arrangement” (Pakta Pertahanan Inggris-Australia-New Zealand-Malaysia-Singapore), (4) Pemantapan dan pembinaan kekuatan maritim, dan (5) kunjungan Presiden dan Wakil Presiden ke perbatasan sangat perlu.
Menghadapi negara yang berkepentingan dengan perikanan: (1) meningkatkan kemampuan nelayan, dari “nelayan pantai” menjadi “nelayan laut” (mampu membaca peta dan mampu menggunakan kompas modern), dan (2) pembangunan desa pantai serta memfungsikan nelayan sebagai monitor terhadap pengganggu negara kita yang berupa antara lain pencurian ikan, pencemaran lingkungan, perusakan alat navigasi.
Menghadapi negara pemilik armada angkutan laut dan negara adidaya yang ingin tetap berperan dalam era globalisasi, mereka memiliki keterampilan dan modal. Sikap kita hendaknya: (1) tidak mengabulkan permintaan International Maritime Organization (IMO) untuk menambah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), (2). ALKI diinformasikan lebih intensif kepada masyarakat maritim dan diharapkan masyarakat maritim proaktif mengawasi ALKI, (3) perlu kita renungkan dan waspadai bersama bahwa konflik di daerah banyak terjadi di tempat yang dilalui ALKI