Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik Indonesia

Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik Indonesia 
Geopolitik sebenarnya merupakan wawasan nasionaI suatu bangsa yang hendaknya dipahami oleh pemimpin bangsa. Wawasan nasional bangsa terbentuk karena bangsa yang tinggal dalam suatu wilaya yang diakui sebagai miliknya—ingin mengelola untuk kehidupannya. Oleh karena itu, apabila kita membahas bangsa akan terkait pula masalah: sejarah diri dan budaya, falsafah hidup serta tempat tinggal dan lingkungannya. Ketiga aspek tercetus aspirasi bangsa yang kemudian dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis (konstitusi) maupun tidak tertulis namun tetap menjadi catatan hidup (motivasi) yang semuanya dituangkan menjadi ajaran (doktrin dasar) untuk membangun negara yang berupa wawasan nasional. 


Wawasan nasional bangsa Indonesia, dinamakan Wawasan Nusantara. Wawasan dari wawas yang berarti meninjau, memandang, mengamati. Dengan demikian wawasan dapat diartikan konsepsi cara pandang (KBBI, 2002: 1271). Sedangkan nusantara yang semula diartikan sebagai akronim dari nusa diantara air/laut, kini diartikan sebagai sebutan bagi seluruh wilayah kepulauan Indonesia (KBBI, 2002: 789). Doktrin Wawasan Nusantara merupakan implementasi perjuangan pengakuan sebagai negara kepulauan yang disesuaikan dengan kemajuan jaman. Pada masa lampau paham negara kepulauan hanya meliputi kumpulan pulau-pulau (berdasarkan contour) yang dipisahkan oleh laut. Paham Nusantara menunjukkan adanya 2 (dua) arah pengaruh: (1) Ke dalam: berlaku asas kepulauan, yang menuntut terpadunya unsur tanah dan air yang selaras dan serasi guna merealisasikan wujud tanah air; (2). Ke luar: berlakunya asas posisi antara, yang menuntut posisi kuat bagi Indonesia untuk dapat berdiri tegak dari tarikan segala penjuru.


Sayangnya pada era reformasi istilah ini menjadi kurang populer karena merupakan suatu doktrin, sehingga para politisipun enggan menggunakan istilah ini. Tidak lagi tersurat dalam GBHN 1999 sebagai wawasan bangsa, apalagi UUD NKRI-1945 tidak mengharuskan adanya GBHN. 


Wawasan Nusantara yang merupakan geopolitik Indonesia, secara umum didefinisikan sebagai cara pandang dan sikap bangsa Indonesia tentang dirinya yang bhineka, dan lingkungan geografinya yang berwujud negara kepulauan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan tujuannya adalah untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan segenap aspek kehidupan nasional dan turut serta menciptakan dalam ketertiban dan perdamaian dunia. Kesemua itu dalam rangka mencapai Tujuan Nasional. Dengan unsur-unsur dasar: 
(1) Wadah (lingkungan) yaitu segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia (alinea ke-4 Pembukaan UUD-1945): bentuk wujud, lokasi geografi, bentuk negara Indonesia, kesadaran politik bangsa. 
(2) Isi (kondisi sosial) yang berupa perspektif bangsa Indonesia dalam eksistensinya mempunyai 2 komponen dasar yang terpadu yaitu : cita-cita dan tujuan nasional, yang berasas persatuan dan kesatuan segenap aspek kehidupan nasional ; 
(3) Tata Laku (terwujud akibat interaksi wadah dan isi), yang berwujud tatalaku bathiniah (berdasarkan falsafah dan sikap mental bangsa) dan lahiriah (dalam bentuk kata dan karya) yang dituangkan dalam tatalaksana. 


Hakikat tujuan wawasan nusantara adalah kesatuan dan persatuan dalam kebhi-nekaan, yang mengandung arti: 
(1) Penjabaran tujuan nasional yang telah diselaraskan dengan kondisi, posisi dan potensi geografi serta kebhinekaan budaya ; 
(2) Pedoman pola tindak dan pola pikir kebijaksanaan nasional; 
(3) Hakikat Wawasan Nusantara adalah persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan.


Kedudukan dan Peran Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara sebagai paradigma sistem kehidupan bangsa Indonesia yang urutannya sebagai berikut: (1) Pancasila sebagai filsafat, ideologi bangsa dan dasar Negara; (2) UUD-1945 sebagai konstitusi Negara; (3) Wawasan Nusantara sebagai geopolitik bangsa Indonesia; (4) Ketahanan Nasional sebagai geostrategi bangsa dan negara Indonesia.


Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional sebagai doktrin dasar pengaturan kehidupan nasional. Doktrin adalah himpunan prinsip atau teori yang diajarkan, dianjurkan dan diterima sebagai kebenaran, untuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan kegiatan, dalam usaha mencapai tujuan. Doktrin dasar adalah doktrin yang timbul dari pemikiran yang bersifat falsafah. Sebagai doktrin (ajaran), Wawasan Nusantara berperan untuk:
1. Mewujudkan serta memelihara persatuan dan kesatuan yang serasi dan selaras, segenap aspek kehidupan nasional. Oleh karena itu diharapkan dalam perencanaan pembangunan nasional dipakai sebagai pola dasar.

2. Menumbuhkan rasa tanggung jawab atau pemanfaatan lingkungannya. Peranan ini berkaitan dengan adanya hubungan yang erat dan saling terkait dan ketergantungan intra bangsa (antar masyarakat/ethnis) dengan ruang hidupnya. Oleh karena itu pemanfaatan lingkungan harus dapat dipertanggungjawabkan. Apabila tidak maka akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya akan merugikan bangsa itu sendiri.

3. Menegakkan kekuasaan guna melindungi kepentingan nasional, merupakan jabaran pandangan geopolitik Indonesia dalam mengimplementasi konsep pertahanan kea-manan untuk menjamin segenap wilayah Indonesia. Sedangkan kepentingan nasional menjadi dasar hubungan antara bangsa.

4. Merentang hubungan internasional dalam upaya ikut menegakkan perdamaian. Dengan kedudukannya di posisi silang dan negara kepulauan terbesar diharapkan dapat melaksanakan secara optimal dalam melaksanakan salah satu tujuan nasional.


Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Kewilayahan
Sebagai faktor eksistensi suatu negara wilayah nasional perlu ditentukan batas-batasnya agar tidak terjadi sengketa dengan negara tetangga. Karena itu pada umumnya batas-batas wilayah suatu negara dirumuskan dalam konstitusi negara (baik tertulis maupun tidak tertulis). Namun UUD-1945 tidak memuat secara jelas ketentuan wilayah negara Republik Indonesia, baik dalam Pembukaan maupun dalam batang tubuh. 


Untuk dapat memahami manakah yang dimaksudkan dengan wilayah atau tumpah darah Indonesia itu, maka perlu ditelusuri pembahasan-pembahasan yang terjadi pada sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, adalah bersumberkan pada Rancangan UUD dan Piagam Jakarta yang dihasilkan oleh BPUPKI. Dalam rangkaian sidang-sidang BPUPKI bulan Mei-Juni 1945, telah dibahas masalah wilayah Negara Indonesia merdeka yang lebih populer disebut tanah air atau juga “tumpah darah” Indonesia.


Dalam sidang-sidang ini yang patut dicatat adalah pendapat: Dr. Supomo, SH, yang menghendaki wilayah bekas Hindia Belanda (Setneg RI, tt: 25), Muh. Yamin, SH menghendaki Nusantara yang meliputi, Sumatera, Jawa-Madura, Sunda Kecil, Borneo, Selebes, Maluku-Ambon, dan semenanjung Malaya, Timor dan Papua (Setneg RI, tt: 49), sedangkan Ir. Sukarno menghendaki kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan (Setneg, tt: 66).


Yang disepakati sebagai wilayah negara Indonesia adalah bekas wilayah Hindia Belanda. Namun demikian dalam rancangan UUD maupun dalam keputusan PPKI tentang UUD 1945, ketentuan tentang mana wilayah negara Indonesia itu tidak dicantumkan. Hal ini dijelaskan oleh Ir. Sukarno bahwa: dalam UUD yang modern, daerah tidak perlu masuk dalam UUD (Setneg RI, tt: 347). 


Untuk menjamin pelestarian kedaulatan, serta melindungi unsur wilayah dan kepentingan nasional dibutuhkan ketegasan tentang batas wilayah. Ketegasan batas wilayah tidak saja untuk mempertahankan wilayah tetapi juga untuk menegaskan hak bangsa dan negara dalam pergaulan internasional. Wujud geomorfologi Indonesia berdasarkan Pancasila (dalam arti persatuan dan kesatuan) menuntut suatu konsep kewilayahan yang memandang daratan/pulau, lautan serta udara angkasa diatasnya, sebagai satu kesatuan wilayah. Dengan dasar inilah laut bukan lagi sebagai alat pemisah wilayah. Sedangkan berdasarkan Ordonansi tahun 1939, laut merupakan pemisah wilayah. Atas dasar inilah Pemerintah RI mengeluarkan Pengumuman yang tidak lagi mengakui wilayah atas dasar contour line (secara rinci dibahas kemudian).


Geopolitik Dan Hukum Kewilayahan
Terjadi perubahan peta bumi pasca PD II, dimana telah lahir banyak negara nasional baru yang miliki laut. Konsep kuno laut menjadi warisan bersama (common heritage of mankind), mulai dipersoalkan karena laut untuk kelangsungan hidup bangsa dan kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya perlu pengaturan bersama pemanfaatan laut dan lingkungan untuk kepentingan bangsa-bangsa, konsep “first come first serve” menjadi alasan untuk kuasai lautan.


Kemajuan teknologi berdampak pada meningkatnya kemampuan manusia memanfaatkan wilayah laut dan dirgantara. Bertambahnya jumlah penduduk, harus diimbangi dengan kenaikan produksi, khususnya dari sumber kekayaan laut dan kini manusia berupaya memanfaatkan wilayah dirgantara.


Bagi bangsa Indonesia wilayah laut dan dirgantara untuk menjamin keutuhan wilayah. Merupakan sarana perhubungan dan transportasi serta salah satu sumber penghidupan. Sudah barang tentu bagi pertahanan: untuk pengamanan militer dalam arti military security.


Perkembangan Hukum Laut
Perkembangan sejarah hukum laut tidak lepas dari kemajuan teknologi maritim (perkapalan dan kepelabuhanan) Belanda dan Inggris serta orientasi komoditi perdagangan dunia (Simbolon, 1995: 456). Sebelum abad XVII laut praktis hanya menjadi milik Spanyol dan Portugal, sehingga ada semacam pembagian wilayah yuridiksi dari kedua negara tersebut. Dengan adanya jaman pencerahan, yang diikuti dengan kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Teknologi maritim Belanda dan Inggris melampaui Spanyol dan Portugal. Oleh karena itu dasar hukum laut banyak ditentukan oleh polemik orang Belanda dan Inggris. Namun sebelum membahas kedua polemik ini perlu diketahui falsafah dasar tentang hukum laut yang berbuntut pada perebutan wilayah laut, yakni:
1. Res Nullius: Laut tidak ada yang memiliki, oleh karenanya dapat diambil dan dimiliki masing-masing negara.
2. Res Communis: Laut milik masyarakat dunia, oleh karena itu tidak dapat diambil/ dimiliki oleh masing-masing negara.


Belanda dan Inggris merasa bahwa mereka tidak harus tunduk pada negara yang lebih “primitif”. Oleh karena itu para ahli hukum dari kedua negara tersebut saling berpolemik mengeluarkan argumentasi tentang hak atas laut.


Hugo Grotius, seorang ahli hukum internasional Belanda memberikan teori “Mare Liberum” (laut bebas). Laut tidak dapat dikuasai suatu negara dengan jalan “okupasi” (menduduki), oleh karena itu laut menjadi bebas. John Selden, seorang ahli hukum Inggris tahun 1635 menulis tentang hukum laut dengan judul “Mare Clausum” (hak kuasai laut, bahwa setiap negara dapat menguasai laut), sebagai jawaban atas teori Hugo Grotius.


Sebagai koreksi atas tulisannya, Grotius membuat argumen bahwa, laut wilayah dapat dimiliki sepanjang dapat dikuasai dari darat. Ini berarti laut hanya milik negara pantai. Selanjutnya Selden menginginkan adanya hak lintas damai bagi kapal-kapal dengan alasan untuk membeli suplai segar dari negara pantai. 


Cornelis van Bijenkershoek (dari Belanda) berpendapat bahwa laut wilayah adalah 3 mil laut dari pantai pada saat pasang surut. Argumentasi ini didasari bahwa jangkauan meriam + 3 mil. Ketentuan ini berlaku hingga tahun 1994 yaitu dengan adanya pengesahan melalui Sidang Umum PBB, yang merupakan tindak lanjut dari United Nations Convention on the Law of the Sea (dikenal sebagai UNCLOS 1982), berdasarkan persetujuan di Montego Bay, Jamaica tahun 1982.


Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Deklarasi 13 Desember 1957 mengajukan NKRI perlu laut wilayah (territory water) selebar 12 mil laut dari Garis Dasar (Base Line) atas dasar “Point to point theory”. Dengan demikian laut antar pulau menjadi Perairan Pedalaman (internal waters) laut pedalaman.


Sebagai akibat konvensi hukum laut timbul bermacam tipe perairan, hal ini tidak terlepas karena perhatian orang yang besar pada laut. Untuk itu dibahas beberapa masalah yang menyangkut hukum laut: 
1. Laut Teritorial/Laut Wilayah (Territorial Sea): wilayah laut yang lebarnya tidak melebihi 12 mil dari garis pangkal/garis dasar. Garis dasar adalah garis yang menghu-bungkan titik-titik terluar pulau terluar.

2. Perairan Pedalaman (Internal waters): wilayah laut sebelah dalam dari daratan/sebelah dalam dari GP. Negara pantai mempunyai kedaulatan penuh.

3. Zona Tambahan (Contiguous Zone): wilayah laut yang lebarnya tidak boleh melebihi 12 mil dari Laut Teritorial, merupakan wilayah negara pantai untuk melakukan peng-awasan pabean, fiskal, imigrasi, sanitasi dalam wilayah laut territorial.

4. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone): wilayah laut yang tidak melebihi 200 mil dari GP, Negara yang bersangkutan mempunyai hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati perairan.

5. Landas Kontinen (Continental Shelf): wilayah laut Negara Pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya, terletak di luar laut teritorial sepanjang merupakan kelanjutan alamiah wilayah. Jarak 200 mil GP atau maksimal 350 mil, atau tidak melebihi 100 mil dari kedalaman 2.500 m.

6. Laut Lepas (High Seas) dikenal pula sebagai laut bebas/laut internasional: Wilayah laut > 200 mil dari Garis Pangkal.


Jaminan Kebebasan Berlayar
Sifat laut sebenarnya adalah bebas, merdeka dan bergerak. Relatif tetap dan tidak mudah dirusak, datar dan tidak dapat dipakai sembunyi, tidak dapat dikuasai secara mutlak serta tidak dapat dikapling karena sulit diberi tanda. Sebagai medium untuk alat angkut besar. Namun dengan adanya ketentuan di atas (hak negara archipelago) negara lain menuntut beberapa hak yang berupa jaminan dari negara kepulauan. Jaminan itu berupa: 
1. Lintas: berlayar/bernavigasi melalui laut territorial, termasuk masuk dan keluar perairan pedalaman untuk singgah di salah satu pelabuhan.
2. Lintas Damai: bernavigasi melalui laut teritorial suatu negara sepanjang tidak merugikan kedamaian, ketertiban, atau keamananan negara yang bersangkutan.
3. Lintas Transit: bernavigasi melintasi pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional antara laut lepas/ ZEE yang satu dan laut lepas/ZEE yang lain.
4. Alur Laut Kepulauan:
a. Alur yang ditentukan oleh Negara Kepulauan untuk alur laut dan jalur penerbangan diatasnya yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat terbang asing.
b. Alur ditentukan dengan merangkai garis sumbu pada peta, kapal dan pesawat terbang tidak boleh melintas lebih dari 25 mil kiri/kanan dari garis sumbu.
5. Laut Lepas: 
a. Semua bagian laut yang tak termasuk laut territorial, perairan pedalaman maupun ZEE.
b. Laut terbuka untuk semua negara baik berpantai ma-upun tidak berpantai.
c. Dalam laut lepas semua negara berhak berlayar, terbang, riset ilmiah dan menangkap ikan.


Perkembangan Hukum Dirgantara
Perkembangan hukum dirgantara hamper sama dengan perkembangan hukum laut. Ada falsafah dasar yang mendasari pemikiran hukum dirgantara yaitu:
1. Teori Udara Bebas (Air Freedom Theory). Bahwa ruang udara bebas dapat digunakan siapa saja, timbul perbedaan persepsi: kebebasan udara tanpa batas dan kebebasan udara terbatas.
2. Teori Negara Berdaulat di Udara (Air Sovereignty Theory). Bahwa negara kolong berdaulat penuh tanpa batas keatas, timbul perbedaan persepsi: kedaulatan negara kolong dibatasi oleh ketinggian tertentu, negara kolong berdaulat penuh tetapi dibatasi oleh hak lintas damai.


Masalah ketinggian dan batas willayah udara dan pembagian wilayah juga menimbulkan polemik. Oleh sebab itu sampai kini masih belum ada kesepakatan batas ketinggian (1910 ditentukan + 500 km). Teori Penguasaan Cooper menetapkan bahwa batas ketinggian ditentukan kemampuan teknologi masing-masing negara. Sementara itu, Teori Udara Schacter mengatakan bahwa ketinggian s/d 30 km atau s/d balon dan pesawat terbang dapat mengapung dan diterbangkan. Sudah barang tentu teori Cooper sangat merugikan negara yang masih berteknologi dirgantara rendah.


Penentuan batas wilayah udara terdapat perbedaan persepsi cara mengukur batas wilayah udara. Perbedaan tersebut antara lain: apabila ditarik garis tegak lurus dari permukaan bumi keatas, luas daratan dan lautan = luas udara, ada daerah yang lowong dan dapat menimbulkan masalah. Akhirnya disepakati menarik garis dari “pusat bumi” sampai batas ruang angkasa/antariksa membentuk kerucut terbalik. Oleh karenanya luas daerah udara lebih luas dari pada luas daratan dan lautan.


Kemajuan teknologi dirgantara menyebabkan manusia berupaya mengorbitkan benda-benda ke ruang angkasa. Selanjutnya ddisepakai pembagian wilayah udara (keatas). Space Treaty 1967 menyepakati: Penggunaan damai bagi antariksa. Antarariksa dan benda-bendanya menjadi wilayah inter-nasional. Sementara ini batas ruang udara dan ruang antariksa ditetapkan 100/110 km.

Geo Stationary Satellite Orbit (GSO)
Geostationary satelit orbit adalah suatu orbit yang berbentuk cicin terletak pada enam radian bumi di atas garis khatulistiwa. GSO untuk menempatkan satelit komunikasi agar satelit tersebut berada pada posisi tetap di ruang angkasa terhadap bumi. Ketinggian GSO + 36.000 km di atas permukaan bumi. Tiga keunikannya: 
1. GSO hanya pada padang khatulistiwa, ruas GSO ada di negara khatulistiwa.
2. Ukuran terbatas: tebal + 30 km dan lebar 150 km.
3. Satelit pada orbit ini akan mengelilingi bumi dari barat ke timur dengan masa orbit + 24 jam (23 jam, 56 menit, 4 detik).


Panjang garis khatulistiwa Indonesia 6.110 km, GSO Indonesia 9.997 km atau 12,5 % keliling GSO. GSO menjadi Sumber daya alam terbatas.


Wilayah Nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia
Dalam menentukan batas wilayah negara, Pemerintah RI mengacu pada Aturan peralihan UUD-1945, pasal II yang memberlakukan peraturan perunngan sebelumnya. Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan wilayah dan termuat dalam ordonansi 1939 yang diundangkan 26 Agustus 1939 dan dimuat dalam Lembaran Negara (Staatblad) No. 422/1939, tentang “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie”. Sebagai gambaran tentang 

1. Masa Penjajahan (Belanda dan Jepang). luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah:
Dasar : Ordonansi Laut Teritur dan Lingkungan Maritim no. 442/1939 (Territoriale Zee en Maritiem Kringen Ordonantie (TZMKO) no. 442/1939). Ukuran: 3 mil laut dari garis pantai pada saat pasang surut (low water), luas wilayah + 2 juta km2


2. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI s/d 13 Desember 1957 
Dasar: Ketentuan Peralihan UUD-1945, Konstitusi RIS, UUDS-1950, tetap berlaku Ordonansi no. 442/1939 ttg TMKZO 


3. Setelah 13 Desember 1957
Dasar: Deklarasi Pemerintah R.I. tanggal 13 Desember 1957 (dikenal sebagai Deklarasi Juanda). Isi Deklarasi: Perubahan atas ordonantie no.442/1939 ttg TMZKO. Cara penarikan batas laut wilayah tidak lagi didasarkan pada garis pasang surut (low water line), tetapi didasarkan pada sistem penarikan garis lurus (straight base line) yang diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar dari pada pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk kedalam wilayah negara Republik Indonesia (= point to point theory). Penentuan lebar laut wilayah menjadi 12 mil laut. Luas Wilayah bertambah + 3,9 juta km2, menjadi 5,9 juta km2 Deklarasi Juanda pada hakikatnya adalah menerapkan asas archipelago atau asas nusantara. Dalam deklarasi ini terkandung kepentingan dan tujuan bangsa Indonesia ialah keutuhan wilayah negara di lautan. Deklarasi Juanda diperkuat dengan PEPERPU no 4/1960 ttg Perairan Indonesia. 


4. Deklarasi Pemerintah R.I. tanggal 17 Februari 1969
Dasar: Deklarasi Pemerintah RI tanggal 17 Februari 1969 UU no 1/1973 tentang Landas Kontingen. Luas Wilayah bertambah + 0,8 juta km2, menjadi + 6,7 juta km2 


5. Pengumuman Pemerintah R.I. tahun 1980 
Dasar: Pengumuman Pemerintah tentang Zone Ekonomi Eksklusif, UU no 5/1983 ttg Pembenahan Kekayaan Alam dan Potensi Alam. Luas Wilayah bertambah + 2,5 juta km2, menjadi + 9,2 juta km2


Tantangan Diterimanya Konsepsi Indonesia tentang Negara Kepulauan 
Konsepsi negara kepulauan telah disahkan oleh PBB tahun 1994 (melalui UNCLOS 1982), menimbulkan tantangan, ancaman, dan gangguan bagi Indonesia. Ada 4 (empat) macam negara yang sangat berkepentingan atas wilayah kita (Kusumaatmaja, 2003: 25), yaitu: 
1. Negara tetangga (ASEAN termasuk Austalia), 
2. Negara dengan armada perikanan besar (a.l : Jepang),
3. Negara pemilik perusahaan perkapalan (sea liners) dan
4. Negara adidaya untuk memudahkan manuver armada militernya dalam rangka melaksanakan global strategi geo-politiknya. 


Geopolitik dan Otonomi Daerah
Menyelenggarakan pemerintahan dari jarak jauh atau dikenal dengan asas sentralisasi tidak akan efektif, lebih-lebih meliputi wilayah yang berbentangan sangat luas. Sentralisasi pelayanan dan pembinaan kepada rakyat tidak mungkin dilakukan dari Pusat saja. Oleh karenanya wilayah negara dibagi atas daerah besar dan daerah kecil. Untuk keperluan tersebut diperlukan asas dalam mengelola daerah, yang meliputi:
1. Desentralisasi pelayanan rakyat/publik. Dan filsafat yang dianut adalah: Pemerintah Daerah ada karena ada rakyat yang harus dilayanani. Desentralisasi merupakan power sharing (otonomi formal dan otonomi material). Otonomi daerah bertujuan untuk memudahkan pelayanan kepada rakyat/publik. Oleh karena outputnya hendaknya berupa pemenuhan bahan kebutuhan pokok rakyat (public goods) dan peraturan daerah (public regulation) agar tertib dan adanya kepastian hukum. Kebijakan desentralisasi dapat bertujuan politis dan tujuan administrasi, namun tujuan utamanya adalah pelayanan kepada rakyat/publik.

2. Dekonsentrasi: diselenggarakan, karena tidak semua tugas-tugas teknis pelayanan kepada rakyat dapat diselenggarakan dengan baik oleh Pemerintah Daerah (kabupaten/kota). Dekonsentrasi: fungsional (kanwil/kandep) dan terintegrasi (kepala wilayah).


Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Nafas otonomi dari undang-undang ini menekankan asas desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Secara filsafati tujuannya pelayanan kepada rakyat. 


Pembagian Daerah
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemer-intah daerah (ps 2 UU no 32/2004). Pemerintah provinsi yang berbatasan dengan laut memiliki kewenangan wilayah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan (ps 18 ayat (4) UU no. 32/2004). Pasal 18 ayat (4) kelihatannya tidak memperhatikan UU no. 6/1996 ttg Perairan Indonesia, yang pada dasarnya menganut “point to point theory”. Sebagai akibatnya sering terjadi perebutan daerah tangkapan ikan antar nelayan daerah.


Pembagian Kewenangan
Untuk dapat menjawab tantangan jaman diterbitkan UU no 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, yang dikenal sebagai UU Otonomi. Nafas otonomi dari undang-undang ini menekankan asas desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Keleluasaan otonomi pada Kabupaten dan Kota adalah keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan pasal 10, pasal 13, pasal 14. Kewenangan otonomi yang utuh dan bulat itu mencakup masalah penyelenggaraan (manajemen) pemerintah di daerah. Dengan kewenangan otonomi yang nyata, daerah memiliki keleluasaan mengatur bidang pemerintahan dan sekaligus peningkatan pelayanan kepada rakyat (public service) secara akuntabel, efektif, efisien dan ekonomis. Sedangkan otonomi yang bertanggungjawab mengandung arti seperti tersebut diatas, adalah juga mengembangkan kehidupan demokrasi, terbinanya hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) serta hubungan antar Daerah, agar terjaga persatuan dan kesatuan. Namun pada kenyataannya sering terjadi konflik antar daerah mupun interen daerah dan konflik sebenarnya dipicu oleh keinginan mendapatkan Pendapat Asli Daerah


UU no. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah tidak lagi menitik beratkan otonomi daerah pada Kabupaten dan Kota. Provinsi sesuai pasal 13 mempunyai wewewang dan tanggung jawab seperti kabupaten dan kota, namun dalam skala yang lebih luas, yang bermakna lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan tertentu. Kewenangan tertentu pada Provinsi meliputi asas dekonsentrasi yaitu asas Pemerintah Pusat yang didelegasikan keapada Daerah. Provinsi bukan merupakan daerah atasan dari Kabupaten atau Kota. Provinsi diberikan otonomi dengan tujuan agar terdapat hubungan serasi antara Pusat dan Daerah. Untuk tetap terjaminnya demokrasi Pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung.


Sumber Penerimaan Pelaksanaan Desentralisasi
Untuk mendukung jalannya pemerintahan di daerah diperlukan dana, namun tidak semua daerah mampu mendanai sendiri gerak roda pemerintahan. Pemerintah hendaknya harus mampu membagi adil dan merata hasil potensi masyarakat. Agar adil dan merata diperlukan aturan yang baku. Dari ketentuan tersebut dikeluarkan beberapa istilah tentang dana untuk keperluan pembinaan wilayah: Pendapatan Asli Daerah (pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan lain-lain), Dana Perimbangan Daerah (dana bagi hasil dar pajak dan sumber daya alam, dana alokasi umum dan khusus), Pinjaman Daerah (dengan persetujuan DPRD), lain penerimaan yang sah.


Untuk pendapatan yang berasal dari eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam dibuat perimbangan pendapatan. Pendapatan jenis kedua ini kini menjadi semacam tawar menawar antara Pemerintah Pusat dan Daerah.


Daerah Frontier
Banyak pimpinan daerah (politisi dan pejabat di daerah) yang tidak menyadari dan mendalami makna filosofi otonomi daerah, sehingga ada wilayah yang terpecil bahkan terisolasi pada era globalisasi. Mereka sering mengabaikan daerah ini dan menamakannya dengan “hinterland”. Namun apabila hinterland ini berada di tapal batas (batas resmi, yang dikukuhkan melalui perjanjian internasional) dengan negara jiran daerah ini merupakan daerah “frontier”. Daerah frontier terbentuk karena sifat manusia yang saling tergantung, baik dengan manusia maupun alam sehingga terjadi simbiose. Kehidupan masyarakat Indonesia dengan masyarakat negara jiran menjadi saling pengaruh memengaruhi. Akibatnya terjadi pergeseran batas negara secara imajiner. Daerah antara batas resmi dengan batas imajiner disebut daerah frontier. Daerah frontier (Sunardi, 2004: 151) terjadi a. l.:
1. Dorongan ekonomi, berupa kemudahan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup.
2. Dorongan sosial budaya, berupa kesamaan subkultur (suku) dan kemudahan menda-patkan fasilitas perlindungan masa depan (sekolah, kesehatan/social security).
3. Dorongan politik, antara lain adanya kepastian hukum dan tidak menutup kemung-kinan menuntut adanya referendum.


Kemudahan di negeri jiran dapat pula mendorong perbuatan kriminal yang berupa a.l: pencurian kayu, penyelundupan barang dan orang, penggeseran patok batas, penjualan pasir di pulau terluar dan lain sebagainya.


Rencana Tata Ruang Wilayah
Berkaitan dengan diundangkannya UU no 32/2004 perlu ditinjau kembali rencana tata ruang wilayah (RTRW), baik provinsi maupun kabupaten dan kota. Pada saat mengacu UU no. 22/1999 ttg Pemerintahan Daerah, RTRW Provinsi sudah sesuai, dan telah menjadi Perda. Namun RTRW Kabupaten dan Kota masih dibawah 50 % yang telah menjadi Perda (dikukuhkan). Dengan diundangkannya UU no. 32/2004, ternyata perlu mengubah RTRW. Pengubahan RTRW hendaknya mengacu pada Kepentingan Nasional, tidak hanya mengacu pada kepentingan daerah semata (UU no. 24/1992). Oleh karena itu perlu standarisasi penataan ruang, dan sudah barang tentu mengacu pada asas negara kepulauan. Selama ini sering RTRW lebih berorientasi pada negara kontinen, sehingga upaya pembenahan pantai kurang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup. Kurangnya pemahaman akan makna hakikat negara nusantara menyebabkan meningkatnya kerusakan lingkungan tidak saja di darat tetapi di daerah maritim. Reklamasi pantai utara DKI Jakarta dengan menebang hutan bakau menimbulkan banjir yang tidak saja di DKI Jakarta tetapi juga provinsi lain. 


Kasus yang sekarang masih terkatung-katung hingga kini adalah masih adanya limbah B-3 dari Singapura yang dionggokkan di pulau-pulau Provinsi Kepulauan Riau. Pulau-pulau tempat teronggokannya limbah B-3 ternyata belum terencana peruntukannya oleh Pemerintah, baik pusat maupun daerah. Masuknya limbah B-3 sebagai barang import menandakan bahwa kita masih belum—mungkin tidak—tahu akan bahaya limbah B-3 yang dimasukkan sebagai pupuk untuk pertanian. Kerusakan lingkungan pada pulau-pulau yang tidak berpenghuni pada gilirannya akan merugikan kita. 


Dari gambaran tersebut diatas, jelaslah bahwa kita sering mengabaikan baku mutu lingkungan, terabaikannya salah satu sektor. Wajib memiliki analisa dampak lingkungan (amdal) sering terabaikan karena kurang disadari oleh para pejabat di daerah. Padahal kita hendaknya mengacu pada filsafat yang mendasarinya yaitu:
1. Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras dan berkelanjutan.
2. Keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.


Implementasi falsafah ini maka akan didapat hal-hal a.l.:
1. Tercapai kelestarian, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan alam.
2. Terwujud manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang miliki sikap untuk melindungi dan membina lingkungan hidup.
3. Terjamin generasi masa kini dan generasi masa depan.
4. Tercapai kelestarian lingkungan hidup.
5. Terkendali pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.
6. Terlindung NKRI terhadap dampak usaha kegiatan di luar. wilayah NKRI yang menyebabkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Oleh karena itu penyusunan RTRW perlu benar-benar terpadu.


Pendaftaran Wilayah Maritim (Marine Cadastre) 
Penjelasan pasal 18 ayat (4) dan ayat (6) UU no. 32/2004 ttg Pemerintahan Daerah sering menimbulkan kerancuan tafsir dikalangan pejabat daerah dalam membina dan mengelola wilayah. Pasal 18 ayat (4) dasar batas wilayah adalah garis pantai (low water line), bertentangan dengan UU no. 6/1996 ttg Perairan Indonesia (yang sejak 1957 kita memperjuangkan garis lurus), ini menimbulkan kerancuan intepretasi para pejabat di daerah, berkenaan penafsiran masalah nelayan dan perijinannya melaut. Apalagi UU tentang wilayah Daerah Otonomi tidak pernah menunjuk batas dengan titik koordinat peta wilayah (laut maupun darat). Dengan tercantumnya titik-titik koordinat peta (terutama di laut) akan mengurangi salah tafsir batas wilayah. Namun masalahnya bahwa kita sebagai negara maritim (dengan wilayah air yang duakali daratan) belum memiliki Dinas Pendaftaran Daerah Maritim, yang ada baru kantor Pendaftaran Tanah (dibawah kendali Badan Pertanahan Nasional). Akibat sampingan lainnya sering menimbulkan konflik antar nelayan satu daerah dengan daerah lainnya.


Pendirian kantor Kadaster Maritim sangat mendesak karena :
1. Banyak pulau yang belum terdata dengan akurat dan belum bernama, untuk keperluan dokumentasi nasional.
2. Untuk didaftarkan ke PBB agar tidak diakui oleh negara lain (kasus Sipadan-Legitan tidak terulang).
3. Jangan sampai kita merasa kehilangan tetapi tidak tahu apa yang hilang.
4. Pembagian wilayah lebih akurat.

Subscribe to receive free email updates: