Ekonomi Kelembagaan
Definisi Kelembagaan
Para ilmuwan sosial yang memiliki latar belakang yang beragam mendefinisikan kelembagaan secara beragam menurut sudut pandang keilmuwanannya. Doglas North seorang sejarawan ekonomi terkemuka mendefinisikan kelembagaan sebagai batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial dan ekonomi (North, 1990). Senada dengan North, Schmid (1972) mengartikan kelembagaan sebagai sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab, baik sebagai individu mauapun sebagai kelompok. Sedangkan menurut Schotter (1981), kelembagaan merupakan regulasi atas tingkah laku manusia yang disepakati oleh semua anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situa tertentu yang berulang.
Jauh sebelum ketiga ilmuwan di atas, Veblen (1899) seperti yang dikutip 30 (YYY) mengartikan kelembagaan sebagai cara berfikir, bertindak dan mendistribukan hasil kerja dalam sebuah komunitas. Mirip dengan definisi ini diuangkapkan oleh Hamilton (1932) yang menganggap kelembagaan merupakan cara berfikir dan bertindak yang umum dan berlaku, serta telah menyatu dengan kebiasaan dan budaya masyarakat tertentu. Menurut Jack Knight (1992), kelembagaan adalah serangkaian peraturan yang membangun struktur interkasi dalam sebuah komunitas. Sedangkan Ostrom (1990) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya. Singkatnya, kelembagan adalah aturan main yang berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi (memiliki kekuatan sanksi) dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi di antara sesama anggota masyarakat. Interaksi yang dimaksud terkait dengan kegiatan ekonomi, politik maupun sosial.
Berdasarkan atas bentuknya (tertulis/tidak tertulis) North (1990) membagi kelembagaan menjadi dua: informal dan formal. Kelembagaan informal adalah kelembagaan yang keberadaannya di masyarakat umumnya tidak tertulis. Adat istiadat, tradisi, pamali, kesepakatan, konvensi dan sejenisnya dengan beragam nama dan sebutan dikelompokan sebagai kelembagaan informal. Sedangkan kelembagaan formal adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan, kesepakatan (agreements), perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisniss, politik dan lain-lain. Kesepakatan-kesepakatn yang berlaku baik pada level international, nasional, regional maupun lokal termasuk ke dalam kelembagaan formal. Terkadang kelembagaan formal merupakan hasil evolusi dari kelembagaan informal. Perubahan tersebut merupakan reaksi atas perubahan kehidupan dari masyarakat sederhana menuju masyarakat yang lebih kompleks. Bisa juga dikatakan sebagai tuntutan atas terjadinya perubahan zaman dan dinamika kehidupan. Masyarakat tradisional dengan kehidupannya yang serba sederhana dengan potensi konflik yang sangat minim tentu tidak membutuhkan peraturan tertulis yang rinci. Lain halnya dengan masyarakat modern dengan segala kompleksitas kehidupannya.
Wolfgang Kasper dan Manfred Streit dalam bukunya berjudul Institutional Economics, Social Order and Public Policy Edisi 1998 membagi kelembagaan berdasarkan atas proses kemunculannya menjadi dua, yaitu internal dan external institutions. Internal institution adalah institusi yang tumbuh dari budaya masyarakat seperti nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di masyarakat. Institusi eksternal adalah institusi yang dibuat oleh pihak luar/ketiga yang kemudian diberlakukan pada suatu komunitas tertentu. Regulasi produk pemerintah termasuk external institutions.
Apapun bentuknya, baik formal maupun informal, eksternal ataupun internal kelembagaan bertujuan mengurangi ketidakpastian melalui pembentukan struktur/pola interaksi (North, 1992). Atau untuk meningkatkan derajat kepastian dalam interaksi antar individu (Kasper dan Sterit, 1998). Sedangkan menurut Ostrom (1990) tujuan kelembagaan adalah untuk mengarahkan prilaku individu menuju arah yang diinginkan oleh anggota masyarakat serta untuk meningkatkan kepastian dan keteraturan dalam masyarakat serta mengurangi prilaku oportunis. Selain itu, kelembagaan juga harus dapat membatasi prilaku manusia yang cenderung berfikir strategik, rasional dan mengutamakan kepentingan diri sendiri; serta harus mampu mendistribusikan sumberdaya ekonomi secara adil dan merata (Libecap, 1989).
Banyak kalangan yang menyamakan kelembagaan/institusi dengan organisasi. Penyamaan ini tidak mutlak salah tapi juga tidak selalu benar tergantung pada konteksnya. Namun, untuk keperluan analisis keduanya harus dibedakan secara jelas. Menyamakan kelembagaan dengan organisasi dalam konteks ekonomi kelembagaan adalah menyesatkan. Dan hal ini telah banyak ditemukan dalam karya ilmiah yang melakukan analisis kelembagaan namun salah sasaran.
North (1990) mendefinisikan organisasi sebagai bangunan/wadah tempat manusia berinteraksi, seperti organisasi politik, ekonomi, keagamaan, pendidikan, olah raga dan lain-lain. Yaitu, kumpulan individu yang terikat oleh kesamaan tujuan dan berupaya untuk mencapai tujuan tersebut sebagai kepentingan bersama. North mengilustrasikan organisasi dengan tim olah raga (sepak bola, bola basket) dimana banyak orang terlibat baik sebagai pelatih, pengurus organisasi, pemain, dan lain-lain dengan tujuan bagaimana memenangkan setiap pertandingan. Sedangkan lembaga adalah serangkaian peraturan yang berlaku dalam setiap pertandingan yang harus ditaati baik oleh pemain, pelatih maupun stakeholder lainnya. Ketidakjelasan lembaga akan menyebabkan pertandingan berjalan kacau dan tujuan memenangkan setiap pertandingan yang ditargetkan oleh tim tidak akan tercapai dengan baik.
Perguruan tinggi merupakan lembaga/institusi dalam pengertian organisasi. Ada struktur kepengurusan dimana mahasiswa, dosen dan pegawai merupakan anggota dari organisasi tersebut. Tujuanya adalah mendidik mahasiswa agar menjadi manusia pandai; bermoral dan punya integritas diri; melakukan penelitian dan menyebarkan hasil penelitian tersebutnya agar ilmu pengetahuan terus berkembang; mengadakan pengabdian sebagai kesempatan untuk mengimplementasikan hasil penelitiannya pada masyarakat; dan mensejahterakan stakeholder kampus agar ketiga tujuan tesebut dapat berjalan dengan baik. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan aturan main yang jelas dimana setiap stakeholder dengan penuh kesadaran merasa terikat dengan dan bertanggungjawab untuk melaksanakan aturan main tersebut dengan baik. Dan, aturan main tersebut merupakan lembaga. Demikian juga dengan organisasi keagamaan seperti Dewan Kesejahteraan Masjid, Dewan Gereja Indonesia, Nahdatul Ulama, Muhamaddiyah dan lain-lain merupakan lembaga dalam pengertian oragnisasi. Masing-masing organisasi ini memiliki aturan main yang jelas untuk mencapai tujuan yang ditetapkannya.
Alih-alih mempertentangkan pengertian institusi sebagai organisasi dan aturan main sebagaimana Doglas North lakukan, Uphopf (2002) mengkasifikasi institusi ke dalam tiga kelompok, yaitu institusi yang bukan organisasi, institusi yang organisasi dan sebaliknya (oraginasi juga institusi), dan organisasi yang bukan institusi. Sistem kepemilikan lahan (land tenure system), hukum, pernikahan, uang, dan daya tawar kelompok (collective bargaining power) merupakan contoh kelompok pertama; keluarga, mahkamah agung, dan bank nasional (seperti Bank Indonesia) contoh yang kedua; dan bank daerah, perusahaan dan organisasi penyedia jasa konsultan merupakan contoh organisasi yang bukan institusi.
Organisasi dan institusi juga dapat dilihat dari derajat kekuatan dan kelemahannya. Sebuah organisasi dikatakan kuat (well organized) jika ia tertata dengan baik, produktif efisien, dan tangguh. Jika sebaliknya, maka ia diakatakan organisasi yang lemah (less/weak organized). Demikian juga dengan intitusi dikatakan kuat (more institutionalized) jika dapat berjalan dengan baik, well enforeced, respected, dan effective. Dan, dikatakan institusi yang lemah, kurang melembaga (less institutioalized) jika menunjukan keadaan sebaliknya.
Dari definis dan contoh-contoh di atas nampak jelas ada perbedaan makna antara institusi dan organisasi. Perbedaan pengertian ini sangat penting dalam konteks ekonomi kelembagaan diamana lembaga dalam arti aturan main akan sangat berpengaruh terhadap performansi/kinerja organisasi. Effektifitas/kuat tidaknya suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh kejelasan aturan main yang mengikat setiap anggota dari organisasi tersebut.
Karakteristik Kelembagaan
Institusi bersifat dinamis. Keberadaannya dalam sebuah komunitas selalu berubah, beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dalam komunitas tersebut. Berdasarkan atas cepat atau lambatnya perbahan, Oliver Wiliamson menganalisis perubahan institusi dalam empat tingkatan (Williamson, 2000), yaitu perubahan kelembagaan yang terjadi pada: 1) level social (masyarakat), 2) level kelembagaan formal (formal institutional environment), 3) level tata kelola (governance) dan 4) perubahan bersifat kontinyu (lihat Gambar 1). Yang dimaksud perubahan kelembagaan pada level masyarakat adalah perubahan yang terjadi pada kelembagaan yang keberadaannya telah menyatu dalam sebuah masyarakat (social embeddedness) seperti norma, kebiasaan, tradisi, hukum adat, dll. Perubahan kelembagaan pada level ini berlangsung sangat lambat sehingga para ahli ekonomi kelembagaan tidak menganggapnya variable analisis yang berpengaruh terhadap performa ekonomi. Pada level ini, perubahan kelembagaan dapat berlangsung dalam waktu yang sangat lama, antara 100 sampai 1000 tahun.
Kedua, perubahan kelembagaan yang terjadi pada lingkungan kelembagaan formal. Menurut Wiliamson (2000), yang dimaksud kelembagaan formal adalah kelembagaan yang kelahirannya umumnya dirancang secara sengaja seperti perundang-undangan (konstitusi) yang dibuat oleh lembaga legislatif/pemerintah. Namun demikian, hal ini bukan merupakan kriteria mutlak, karena banyak kasus kelembagaan formal yang merupakan hasil evoluasi dari kelembagaan informal sebagaimana undang-undang perikanan di Jepang yang berasal dari hukum adat atau tradisi yang hidup dan menyatu dalam masyarakat selama ratusan tahun (Ruddle, 1993). Perubahan kelembagaan pada level ini dapat berlangsung dalam kurun waktu 10 sampai 100 tahun (Williamson, 2000).
Ketiga, perubahan kelembagaan yang terjadi pada level governance (tata kelola). Yaitu, serangkaian peraturan (rule of the game) dalam sebuah komunitas yang membentuk struktur tata keleola (governance structure), lengkap dengan tata cara penegakan, pemberian sanksi, dan perubahan dari rule of the game tersebut. Wiliamson (2000) menganggap hal ini merupakan isu sentral ekonomi kelembagaan yang ia asumsikan bahwa penegakan governance tidak bebas biaya (costless). Demikian juga lahirnya sebuah struktur tata kelola yang baik yang menjamin kepastian interaksi dan transaksi antar aktor/pihak-pihak terkait (yaitu adanya resolusi konflik, kepastian sistem kontrak, dll) membutuhkan biaya. Governance akan selalu berubah menuju governance yang lebih efisien. Yaitu, governance yang dapat meminimumkan biaya transaksi. Perubahan kelembagaan pada level governanc berlangsung relatif cepat, yaitu antara 1sampai 10 tahun.
Bila perubahan kelembagaan pada level ketiga masih berlangsung secara diskontinu, perubahan kelembagaan pada level keempat berlangsung kontinu (sepanjang waktu) mengikuti perubahan insetif ekonomi, harga alokasi sumberdaya dan tenaga kerja. Dengan kata lain, kelembagaan berubah mengikuti perubahan harga input produksi, vis versa, perubahan input produski menyebabkan perubahan kelembagaan. Secara teoritis, hal ini dapat dipahami tapi bagaimana mengukur dampak perubahan tersebut terhadap realitas kehidupan ekonomi masih sulit dilakukan (Williamson, 2000).
Analisis perubahan kelembagaan model Williamson ini agak sulit dipahami. Karena perbedaan pada setiap level bersifat tidak jelas, kecuali pada level satu dan dua. Sehingga kerangka analisis tersebut kurang begitu operasional. Menyadari hal ini, Professor Elinor Ostrom, penggiat kelembagaan dari Indiana University, Bloomington, mengembangkan kerangka analisis perubahan kelembagaan yang membaginya dalam tiga level. Yaitu, operasional rule yang berada pada operasional choice level, collective choice rule yang berada pada level collective choice, dan constitutional rule yang berada pada level constitutional choice sebagaimana lengkapnya ditampilkan pada Gambar 2 (Ostrom, 1990).
Operasional rule adalah aturan main yang berlaku dalam keseharian. Yaitu aturan yang ditemukan dalam sebuah komunitas, organisasi atau kelompok masyarakat mengenai bagaimana interaksi antar anggota komunitas tersebut seharusnya terjadi. Terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam, operasional rule merupakan instrument pembatas mengenai kapan, dimana, seberapa banyak dan bagaimana anggota sebuah komunitas memanfaatkan sumberdaya alam. Pengawasan (monitoring) terhadap tindakan setiap aktor, penegakan sanksi bagi para pelanggar dan pemberian reward kepada mereka yang taat aturan semuanya diatur dalam operasional rule. Operasional rule berubah seiring dengan perubahan teknologi, sumberdaya, budaya, keadaan ekonomi dll (Ostrom, 1990)
Walaupun operasonal rule berubah secara spontan, namun dalam pelaksanaannya ada ketentuan-ketentuan atau kesepakatan-kesepakatan mengenai bagaimana opersional rule tersebut berubah. Ketentuan-ketentuan/kesepakatan-kesepakatan tersebut disebut collective choice rule. Yaitu, aturan mengenai bagaimana operasional rule dibuat atau diubah, siapa yang melakukan perubahan, dan kapan perubahan tersebut harus berlangsung. Hasil pekerjaan aktor-aktor yang bermain pada level collective choice akan langsung berpengaruh pada opersional rule (Ostrom, 1990).
Kelembagaan pada constitutional choice level mengatur, utamanya, mengenai siapa yang berwenang bekerja pada level collective choice dan bagaimana mereka bekerja. Constitutional rule merupakan rule tertinggi yang tidak semua kelompok, oragnisasi atau komunitas memilikinya. Collective choice rule berbeda dengan constitutional rule walaupun aktor yang terlibat dalam pembuatannya kemungkinan sama. Sebagai contoh, perda mengenai pengelolaan sumberdaya air di sebuah kabupaten merupakan operasional rule. Perda ini dibuat oleh DPRD yang memiliki aturan main bagaimana perda tersebut dibuat. Aturan main ini disebut collective choice rule. Selain itu ada juga aturan main yang mengatur tentang anggota DPRD, mengapa seseorang terpilih menjadi anggota DPRD, sampai kapan mereka berhal menjadi anggota DPRD dll. Aturan main ini bisa merupakan undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi dari sebuah Perda. Menurut kerangka analisis Ostrom, undang-undang yang mengatur tentang anggota DPRD tersebut berada pada level constitutional choice dan disebut constitutional rule.
Teori Perubahan Institusi
Telah dijelaskan di subbab sebelumnya bahwa lembaga/institusi bersifat berubah. Perubahan dapat terjadi pada setiap level. Tidak ada lembaga yang bersifat permanen. Ia akan selalu berubah menuju tatanan kelembagaan (institutional arrangement) yang lebih efisien. Banyak teori yang menjelaskan mengenai perubahan kelembagaan. Dari sejumlah teori yang ada, Schlueter dan Hanisch (1999) mengklasifikasi teori perubahan kelembagaan dalam tiga kelompok, yaitu: berdasarkan efisiensi ekonomi; berdasarkan teori distribusi konflik (distributional conflict theory); dan berdasarkan teori kebijakan publik.
Teori perubahan kelembagaan berbasiskan efisiensi ekonomi memiliki tiga arus pemikiran utama. Arus pemikiran pertama disampaikan oleh Prof. Friedrich Hayek, ekonom terkemuka Austria dan pendukung utama ekonomi neo klasik. Menurut Hayek, perubahan kelembagaan bersifat spontan, tidak disengaja, namun merupakan hasil dari tindakan yang disengaja (Hayek, 1968). Artinya bahwa seseorang atau sekelompok masyarakat tidak akan membuat sebuah lembaga/aturan bila tidak ada dorongan yang menuntut aturan tersebut harus ada. Yang dimaksud Hayek, “perubahan kelembagaan bersifat spontan” adalah bahwa lahirnya dorongan untuk menciptakan atau merubah kelembagaan bersifat spontan (unintenationally). Sedangkan aktifitas membuat atau mewujudkan kelembagaannya bersifat disengaja (intentional). Sebagai contoh, pembuatan perda tentang pengelolaan sumberdaya air tanah merupakan tindakan yang disengaja, tapi lahirnya kebutuhan adanya perda tersebut bersifat spontan sebagai respons terhadap situasi yang berkembang.
Cabang kedua tentang teori perubahan kelembagaan mengatakan bahwa sebuah lembaga/aturan berubah karena adanya upaya melindungi hak-hak kepemilikan (property rights). Artinya, seseorang atau anggota masyarakat terdorong membuat sebuah aturan tujuan utamanya adalah untuk melindungi hak-hak kepemilikan dari gangguan yang datang dari luar. Adanya land tenure system (sistem kepemilikan lahan) dalam masyarakat adat bertujuan agar hak-hak lahan terdistribusi di antara anggota masyarakat adat tersebut dan mereka memiliki kepastiang mengenai hal tersebut. Pemikiran ini disampaikan antara lain oleh Posner (1992).
Pemikiran ketiga perubahan ekonomi kelembagaan berdasarkan atas efisiensi ekonomi antara lain disampaikan oleh Oliver Williamson, Professor Ekonomi dan Hukum. Menurutnya, lembaga/aturan akan terus berubah/bergerak dinamis sebagai upaya meminimumkan biaya transaksi (transaction cost) (Williamson, 2000). Perubahan biaya informasi, penegakan hukum, perubahan harga, teknologi dll mempengaruhi insentif/motivasi seseorang dalam berinteraksi dengan pihak lain. Hal ini akan berpengaruh pada perubahan kelembagaan (North, 1990). Perubahan harga relatif faktor produksi akan mendorong pihak yang terlibat dalam transaksi melakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan baru. Perubahan kesepakatan atau kontraktual akan sangat sulit tanpa perubahan aturan main. Oleh karena itu, North menegaskan, perubahan harga membawa pada perubahan aturan main.
Selain itu, kelembagaan juga tidak resisten terhadap perubahan selera atau kesukaan anggota masyarakat/aktor-aktor yang terlibat dalam sebuah komunitas. Perubahan tersebut, sebagaimana diyakini North (1990), akan mengancam existensi kelemabagaan yang ada. Jika para aktor mersakan bahwa kelembagaan yang berlaku sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan atau kondisi lingkungan yang ada, maka ia akan berusaha melakukan perubahan kelembagaan agar lebih akomodatif terhadap lingkungan yang baru. Kehilangan nilai budaya, norma, tradisi dll dari sebuah komunitas merupakan contoh perubahan kelembagaan karena adanya perubahan kondisi lingkungan, baik karena pengaruh eksternal sosial ekonomi komunitas tersebut maupun karena faktor internal. Sebagai contoh, permintaan pasar ikan karang yang tinggi dengan harga yang sangat bagus merupakan insentif bagi nelayan untuk menangkap ikan sebanyak mungkin. Karena itu, larangan menangkap ikan karang sebagaimana berlaku di beberapa kawasan konservasi laut dianggap oleh para nelayan sebagai faktor penghambat mencari keuntungan ekonomi. Sehingga, nelaya akan berusaha mengubah, mencabut atau mengabaikan larangan tersebut. Pencabutan atau perubahan sebagian dari aturan tersebut merupakan bentuk perubahan kelembagaan.
Demikian juga, ketika undang-undang no. 24/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kondisi terkini sehingga tidak effektif, maka pemerintah mengupayakan perubahan atas undang-undang tersebut yang drafnya kini sedang dibahas. Pada saat undang-udang tentang tata ruang dirasa sudah tidak sesuai lagi maka pemerintah akan berupaya menggantinya dengan undang-undang baru yang bisa lebih baik. Perubahan kelembagaan akan terus berlangsung untuk meminimumkan biaya transaksi.
Teori kedua yang menjelaskan perubahan kelembagaan adalah distributional conflic theory. Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa setiap aktor dalam sebuah arena (komunitas) memiliki perbedaan kepentingan dan kekuatan. Perbedaan kepentingan ini merupakan sumber konflik. Setiap aktor yang terlibat konflik akan berusaha mencari solusi atas konflik tersebut dengan memanfaatkan keuatan (power) yang ia miliki dengan jalan mengubah aturan main yang berlaku. Aktor yang dapat mengendalikan power atau memiliki power lebih baik, misalnya karena menguasai informasi, akses politik, modal, dll, akan mengendalikan proses perubahan tersebut agar berpihak pada kepentingannya (Knight, 1992). Perubahan kelembagaan tersebut bukan untuk memuaskan semua pihak atau untuk mencapai kepentingan kolektif melainkan untuk kepentingan mereka yang punya kekuatan. Proses perubahan tersebut bisa disengaja atau bisa pula sebagai konsekuensi dari stratrgi mencari keuntungan dari aktor-aktor yang bermain. Oleh karena itu, sering ditemukannya tarik menarik dalam proses pembuatan undang-undang karena adanya perbedaan kepentingan dari setiap aktor yang bermain. Mereka tidak peduli apakah kelembagaan baru tersebut akan lebih efisien atau tidak. Yang penting, bagaimana agar aturan main yang baru tersebut dapat menguntungkan kelompoknya (Knight, 1992).
Mengenai power, Knight (1992) mendefinisikannya sebagai kekuatan untuk mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuai dengan kepentingannya. Jika “A” lebih powerful dari pada “B”, maka “A” akan mampu memaksa “B” mengadopsi aturan main yang ide utamanya berasal dari “A” atau dibuat oleh “A”. Dalam hal ini, pada awalnya “A” tidak memikirkan kepentingan “B” meskipun pada akhirnya bisa jadi aturan baru tersebut juga menguntungkan “B”. Dalam hal ini, ketaatan kelompok B atas kelembagaan baru bukan karena mereka setuju dengan isinya, atau menguntungkannya, melainkan karena mereka tidak mampu membuat yang lebih menguntungkan baginya. Kondisi ini, menurut Knight, akan terus berlangsung selama power resources tidak terdistribusi secara merata atau asymmetric power condition.