Filsafat Analitik Dan Pendidikan
Salah satu perkembangan terbaru dalam ilmu filsafat disebut “Filsafat Analitik”. Filsafat analitik bukan suatu filafat sistematik sebagaimana idealism, realism, atau pragmatism. Sungguh, kebanyakan ahli filsafat analitik bekerja dengan hati-hati untuk menanggalkan identitas sebagai filsafat sistematis, mereka berpendapat bahwa pendekatan sistem dalam filsafat lebih banyak membawa masalah daripada memberikan solusi kepada masalah-masalah manusia (Knight:1982) . Sebagain besar ahli filsafat analitik mencari cara untuk memperjelas bahasa, konsep-konsep, dan metode-metode yang digunakan secara lebih tepat untuk aktifitas kehidupan , misalnya dalam bidang sains. Usaha-usaha filsafat analitik diperluas dalam bidang lain seperti pendidikan.
”Klarifikasi” adalah satu kesamaan tema yang sederhana dalam filsafat analitik. Asumsi yang mendasari dari para analis yaitu kebanyakan masalah-masalah dalam filsafat pada masa lalu bukan benar-benar masalah yang berfokus pada kenyataan terakhir atau kebenaran, kebaikan, dan keindahan; akan tetapi masalah-masalah berada pada kerancuan bahasa, ketidaklurusan atau ketidakjelasan makna, dan konsep yang membingungkan. Pengetahuan sejati, sebagaimana yang diklaim oleh filsafat analitik merupakan urusan ilmu pengetahuan (business of science) daripada sebuah filsafat. Aturan yang sesungguhnya dari filsafat adalah ”klarifikasi yang kritis”. Oleh karena itu, filsafat analitik berpaling dari peran-peran filsafat yang bersifat spekulatif, preskriptif, dan sintesa. Filsafat analitik menolak untuk mengembangkan teori-teori filsafat.
Filsafat analitik mungkin lebih baik dilihat sebagai suatu pemberontakan terhadap tujuan dan metode filsafat tradisional. Filsafat analitik bukan sebagai suatu bentuk aliran filsafat, tetapi lebih pada suatu pendekatan dalam berfilsafat. Gerakan analitik dalam filsafat bukanlah suatu filsafat sistematik seperti idealisme dan pragmatisme . Filsafat tersebut tidak tertarik dalam pembuatan pernyataan-pernyataan metafisik, epistemologi, atau pernyataan aksiologi. Sebaliknya para filosof analitik berkeyakinan bahwa pernyataan-pernyataan tersebut hanya menambah kebingungan umat manusia. Problem-problem masa lalu sebagaimana diklaim oleh para analis, bukanlah problem yang sesungguhnya tentang realitas akhir (ultimate reality), kebenaran, serta nilai; tetapi problem yang berkenaan dengan kebingungan dalam bahasa dan makna. Ketidaktepatan dalam menggunakan bahasa dan makna yang tidak jelas terletak pada pusat kebingungan filsafat. Banyak problem filsafat yang disebabkan oleh penggunaan bahasa yang ”miskin/ tidak teratur”.
Model filsafat analitik terdiri dari dua golongan besar yaitu :
1. ANALITIK LINGUISTIK
Model analitik linguistik mengandung arti bahwa filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah. Para filosof memakai metode analitik linguistik untuk menjelaskan arti sebuah istilah dan pemakaian bahasa. Beberapa filsuf mengatakan bahwa analisis tentang arti bahasa merupakan tugas pokok filsafat dan tugas analisis konsep sebagai satu-satunya fungsi filsafat. Para filsuf analitik seperti G.E.Moore, Bertrand Russell, G.Ryle, dan yang lainnya berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah menyingkirkan kekaburan-kekaburan dengan cara menjelaskan arti istilah atau ungkapan yang dipakai dalam ilmu pengetahuan dan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka berpendirian bahwa bahasa merupakan laboratorium para filsuf, yaitu tempat menyemai dan mengembangkan ide-ide . Menurut Wittgenstein tanpa penggunaan logika bahasa, pernyataan-pernyataan akan tidak bermakna.
Filsafat analitik linguistik bukan merupakan suatu bangunan pengetahuan, melainkan suatu aktivitas yang bertujuan menjernihkan istilah-istilah yang dipergunakan. Di antara filosof-filosof analitik akan muncul perbedaan-perbedaan, tetapi mereka masih memiliki tujuan yang sama, yaitu pemakaian bahasa yang jelas dan jernih. Ahli filsafat analitik cenderung skeptis, berhati-hati dan cenderung tidak berkeinginan untuk membangun suatu mazhab dalam sistem berfikir. Dewasa ini pendekatan analitik mendominasi filsafat di Amerika dan Inggris. Di daratan Eropa pada umumnya masih berlaku pendekatan spekulatif.
Tidak bisa diasumsikan, bahwa realisme merupakan cikal bakal dari gerakan filsafat analitik, tetapi dalam hal ini meskipun begitu, ada kemiripan yang sangat dekat dan kuat. Filsafat analitik pada awalnya memiliki sejarah yang cukup panjang sejak zaman Yunani. Socrates telah memiliki perhatian bahwa istilah-istilah dan konsep-konsep harus dipahami sebagaimana mestinya. Aristotels memiliki perhatian dalam mendefnisikan kata-kata yang ia gunakan. Bagi para filosof sebelum abad 20 , analisis merupakan sarana untuk mengklarifikasi bahasa sehingga implikasi dari dalil-dalil filsafat tersebut dapat dipahami. Para filosof analitik lebih banyak memperhatikan terhadap penggunaan bahasa yang tepat sehingga mereka dapat mencapai tujuan pernyataan-pernyataan yang penuh makna tentang realitas dan kebenaran.Filosof analitik secara berbeda melihat penggunaan bahasa yang tepat sebagai tujuan itu sendiri. Filsafat analitik tidak membuat dalil-dalil, tetapi lebih tertarik pada mengklarifikasi arti yang tepat tentang dalil-dalil yang ditulis oleh orang lain.
Analisis linguistik telah berkembang pada awal abad ke-20 Inggris. Hal ini didorong oleh Bettrand Russell dan Alfred North Whitehead dalam karyanya Principia Mathematica . Russell dan Whitehead menggunakan matematika ke dalam bahasa logika. Ide-ide mereka adalah bahwa matematika memiliki kejelasan dan logika yang tidak bisa ditemukan dalam penggunaan bahasa yang bersifat umum. George Edward Moore mngambil jalan yang agak berbeda dengan whitehead danRussell, mengklaim bahwa analisis bahasa biasa (ordinary language) dan pemahaman umum (common sense), yang lebih dari bahasa saintifik-matematis, seharusnya menjadi point utama dalam analisis linguistik. Barangkali orang yang paling berpengaruh terhadap gerakan analitik adalah Ludwig Wittgenstein, yang telah mempublikasikan karyanya dalam bukunya Tractatus Logico-Philosophicus pada awal abad ke-20. Wittgenstein pada masa mudanya dipengaruhi oleh Russell gurunya dan kemudian telah mempengaruhi filosof-filosof positivistic perkumpulan Vienna (Vienna Circle)
2. ANALITIK POSITIVISTIK LOGIS
Positivisme merupakan salah satu akar utama dari filsafat modern selain analisis linguistik. Para postivitis Perancis abad ke-19, di bawah kepemimpinan Auguste Comte, berpegang bahwa pengetahuan (knowledge) harus didasarkan pada persepsi rasa (sense perception) dan investigasi ilmu pengetahuan (science) yang objektif, oleh karena itu,positivisme telah membatasi pengetahuan kepada statements fakta yang dapat diobservasi dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dan menolak pandangan dunia yang bersifat metafisik atau pandangan dunia yang berisi unsur-unsur yang tidak dapat diverifikasi secara empiris. Sikap negatif terhadap setiap realitas di luar rasa (sense) manusia telah mempengaruhi banyak bidang-bidang pemikiran modern, termasuk pragmatisme, behaviorisme, naturalisme saintifik, dan gerakan analitik tersebut. Positivisme menjadi tempat berkumpul bagi kelompok ilmuwan abad 20 yang dikenal dengan nama ”Perkumpulan Vienna (Vienna Circle)” . Kelompok ini terdiri dari ilmuwan ahli matematika, ahli logika simbol (symbolic logician) yang tertarik pada filsafat. Perkumpulan Vienna tersebut melihat filsafat sebagai logika sains dan bentuk pemikiran mereka yang kemudian dikenal sebagai positivisme logis. Tujuan utama kelompok ini adalah untuk menemukan suatu sistem terminologis dan konseptual yang bersifat inklusif tapi umum (berlaku) terhadap semua sains. Perlu dicatat bahwa filsafat analitik merupakan istilah payung (umbrella term) yang mencakup beberapa pendirian yang agak berbeda yang biasanya mengacu kepada positvisme logis, empirisme logis, aanalisis linguistik, atomisme logis, dan analisis oxford.
Pada dasarnya logical positivisme berfikir bahwa tidak ada dalil yang dapat diterima dengan penuh arti kecuali jika dapat diverifikasi dengan alasan-alasan formal (yaitu : logika dan matematika) atau diverifikasi pada tataran empiris, atau data yang nyata.
Model analitik positivistik logis dikenal dengan neo positivism dikembangkan oleh Bertrand Russell yang berakar pada dan meneruskan filsafat positivisme dari Comte yang merupakan peletak dasar pendekatan kuantitatif dalam pengembangan ilmu (science), dengan meletakkan matematika sebagai dasar bagi semua cabang ilmu.
Positivisme memiliki pengaruh yang kuat pada metode ilmiah. Konsep-konsep positivisme menyumbangkan pendekatan baru dalam penemuan kebenaran ilmiah yang melahirkan revolusi paradigm. Prinsip dan prosedur dalam ilmu alam dan ilmu sosial,yang berasal dari asumsi John Stuart Mill (1843), terus hidup sampai sekarang sebagai paradigm metodologis. Mill tidak membedakan metodologi ilmu social dan ilmu kealaman.
Tokoh-Tokoh dan Pandangannya
George Edward Moore (1873-1958)
Suatu ketahanan dari ”akal sehat (common sense)” adalah salah satu ide terbesar Moore. Pada dasarnya, Moore tertarik pada sesuatu yang kita sebut ”ordinary life”. Moore percaya bahwa sebagian besar akal sehat (common sense) adalah sesuatu yang benar dan bahwa kita tahu apa yang kita bicarakan tentang kebiasaan, bahasa, dan akal sehat. Kebanyakan ahli filsafat, selain Moore, telah membuat suatu cara keluar dari perdebatan tentang akal sehat. Bagaimanapun, dalam dua hal yaitu bahasa yang biasa dan dalam filsafat, ada beberapa pernyataan yang keduanya dapat dibuktikan, dan Moore memandang seperti yang dia kerjakan bahwa penemuan kebenaran atau kepalsuan dari dalil-dalil termasuk bukan terletak dalam bahasa yang biasa dan filsafat, tetapi ada pada analisis makna dari dalil-dalil. Dengan analisis tersebut, Moore berfikir cara yang dapat memperjelas terhadap pemahaman yang lebih baik terhadap arti kebenaran dan kebenaran dari apa yang kita katakan dan kita tulis.
Illustrasi : kata-kata ”baik”, ”tahu”, ”nyata” .Kita semua tahu arti kata-kata tersebut dalam keseharian dan sesuatu yang diterima akal sehat. Moore percaya bahwa kita telah memiliki suatu konsep tentang ”baik” sudah ada dalam pikiran kita sebelum kita mempergunakannya. , akan tetapi mengetahui maksud (atau memiliki konsep) dan menganalisis makna/ maksud adalah dua hal yang berbeda. Menganalisis suatu makna akan membanu kita memahami secara lebih tepat dan jelas dari makna tersebut , atau dengan kata lain kita dapat menyebutnya ”kebaikan yang sesuai/ cocok” .
Bertrand Russell (1872-1970)
Kalau Moore dihormati dengan filsafat analitiknya yang mencoba menganalisis maksud-maksud dari kata-kata biasa dan akal sehat, Russell mengembangkan sebuah analisis logika formal yang akrab disebut ilmu pasti dan keharusan sebuah perbendaharaan kata yang tepat. Dalam bukunya Principia Mathematica yang ditulis oleh Russell dan Alferd, matematika dapat menyederhanakan untuk suatu bahasa logika. Russell memastikan bahwa matematika memberi kita suatu kejelasan dan logika yang tidak dapat ditemui dalam penggunaan bahasa pada umumnya, kita perlu untuk mencoba membuat hal tersebut lebih tepat dan jelas. Aristoteles menyebut konsep ini dengan nama metode silogisme ( argumen deduktif) . Illustrasi : ”Jika hujan, maka jalanan basah” terdiri dari dua klausa ” jika hujan” dan ”jalan-jalan basah”, kedua klausa tersebut oleh Russell dinamakan implikasi.
Baik Moore maupun Russell mengemukakan ada hubungan yang kuat bahwa analisis berkaitan erat dengan filsafat realisme; Moore berpendapat dengan tegas dan gamblang bahwa analisis akan kata-kata yang biasa dari fakta-fakta dan kesadaran pengalaman. Sedangkan Russell dengan tegas memakai pendekatan ilmiah dan logis, rapi, dan sistematis. Gerakan analitik masih berorientasi pada filsafat realisme, meskipun filsafat modern menolak sistem tersebut.
Ludwig Wittgenstein (1889-1951)
Dalam bukunya Tractatus Logico-Philosophicus, Ludwig berargumentasi bahwa ilmu-ilmu alam adalah sumber utama dari kebenaran dalil dan maksud utama dari ditemukannya fakta-fakta baru. Ilmu Filsafat tidak seharusnya melihat penemuan kebenaran , akan tetapi lebih merupakan kegiatan untuk memecahkan dilema-dilema, memperjelas masalah-masalah, dan memperjelas pemikiran-pemikiran yang berasal dari sumber-sumber yang lain. Para ahli filsafat tidak seharusnya terfokus pada diri mereka sendiri dengan kebenaran dari data yang ada, tetapi harus selalu dihubungkan dengan “bahasa” dan pernyataan-pernyataan sekitar data tersebut. Kesimpulannya kita perlu menetapkan apa yang dapat dan tidak dapat dikatakan, itulah yang disebut “limits of language”
Tujuan filsafat analitik secara ringkas digambarkan oleh Wittgenstein sebagai berikut : Filsafat bertujuan pada klarifikasi filsafat yang bersifat logis- Filsafat bukanlah sebuah tubuh dokrin tetapi sebuah aktivitas- sebuah karya filsafat secara essensial terdiri dari uraian – Filsafat tidak menghasilkan dalil-dalil filsafat (philosophical prepositions) tetapi lebih kepada klarifikasi dalil-dalil tersebut – Tugas filsafat adalah adalah membuat jelas dan memberikan batas-batas yang jelas terhadap sesuatu.
Para penganut positivisme percaya bahwa semua “kalimat analitik” berada dalam kenyataan logika formal- artinya kalimat tersbut benar disebabkan oleh struktur kalimatnya- dan semua pernyataan sintetik kepunyaan sains, menyediakan investigasi yang empiris untuk validitasnya.
Implikasi Pada Pendidikan
Pada pendekatan analitik linguistik, untuk menguji rasionalitas yang berkaitan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan pendidikan, dan menguji bagaimana konsistensinya dengan gagasan lain. Misalnya kita memperkenalkan konsep “ cara belajar siswa aktif” . Dengan menggunakan tata bahasa dan logika, kita kaji konsep tersebut dengan cara menganalisis dari sudut pandang tertenu. Pendekatan analitik linguistik menguji secara logis konsep-konsep pendidikan seperti “manusia seutuhnya”, “tujuan pedidikan”, “pendidikan seumur hidup”, kedewasaan”, dll.
Dalam konteks pendekatan positivistik logis, menurut Kunto Wibisono (1997), positivism merupakan suatu model dalam pengembangan ilmu pengetahuan (knowledge) yang di dalam langkah kerjanya menempuh cara melalui observasi, eksperimentasi, dan komparasi sebagaimana diterapkan dalam ilmu kealaman, dan model ini dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial. Positivisme mempergunakan presisi,verifiabilitas,konfirmasi, dan eksperimentasi dengan derajat optimal (Saduyoh:22), dengan sejauh mungkin dapat melakukan prediksi dengan derajat yang optimal pula. Dengan demikian kebenaran ilmiah dan keberhasilan pendidikan diukur secara positivistik, dalam arti yang benar dan yang nyata haruslah konkrit,eksak, akurat, dan memberi kemanfaatan.
Implikasi paham positivisme dalam pengembangan ilmu pendidikan tidak mengenal ilmu pendidikan secara utuh, namun yang ada adalah ilmu-ilmu pendidikan seperti : psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan, administrasi pendidikan, dll. Ilmu-ilmu tersebut merupakan aplikasi dari llmu murni sebagai ilmu dasarnya. Positivisme merupakan model pendekatan ilmiah kuantitatif dalam keilmuan, para penganutnya menyebut dirinya berparadigma ilmiah.
Implikasi lain dari filsafat analitik menurut R.S.Peters (seorang filosof analitik terkemuka) , mengemukakan bahwa filsafat pendidikan terdiri dari formulasi tingkat tinggi (high level) yang akan memandu praktek pendidikan dan membentuk organisasi sekolah. Dengan kata lain, fungsi filsafat pendidikan secara tradisional telah berkembang dan menentukan jalan dan praktek pendidikan yang dibangun dan cocok dengan pandangan filsafat yang didasarkan pada pandangan tertentu berkenaan dengan sifat realitas (nature of reality), kebenaran, dan nilai. Pendekatan ini tampaknya akan bertentangan dengan pendirian Wittgenstein, yang pada awal karirnya menyatakan bahwa pernyataan –pernyataan metafisik adalah ”omong kosong ” (nonsense) .
Pertanyaannya adalah: apa nilai, kegunaan, dan fungsi filsafat pendidikan bagi analis? Jawabannya telah diberikan oleh Peters yang menyatakan bahwa salah satu keasyikan utama bagi filosof analitik adalah untuk mendesain petunjuk-petunjuk tingkat tinggi bagi pendidikan. Pada dasarnya Peters dan teman-temannya menyatakan bahwa peran filsafat pendidikan bukan untuk mengembangkan ”isme-isme” atau ideologi pendidikan yang baru, tapi untuk membantu kita memahami secara lebih baik arti ideologi kita sekarang ini. Manfaat yang akan dicapai oleh siswa/ mahasiswa, orang tua, guru, staf administrasi, dan masyarakat dari klarifikasi semacam itu akan menjadi suatu pendekatan yang lebih berarti terhadap proses pendidikan. Para analis berpendapat bahwa banyak problem pendidikan terletak pada poblem bahasa mereka sendiri. Oleh karena itu, apabila kita dapat menyelesaikan problem bahasa tersebut, kita dapat menguraikan secara lebih baik problem pendidikan.
Para analis kemungkinan memberikan perhatian terhadap pernyataan-pernyataan yang umum (typical) semacam itu sebagaimana, ”guru-guru seharusnya memberikan pengalaman kehidupan nyata pada siswa” atau ”kurikulum” seharusnya didasarkan pada situasi kehidupan yang sebenarnya” . Pertama, pernyataan –pernyataan ini seharusnya dikenal sebagai preskriptif. Kedua, istilah-istilah deskriptif ”pengalaman kehidupan nyata” dan ”seperti kehidupan yang sebenarnya ” harus diuji untuk menetukan artinya. Istilah ”kehidupan” merupakan suatu deskripsi dari seluruh aktivitas umat manusia. Salah satu aktivitas umat manusia yang sekarang adalah ”mentasrifkan” kata kerja. Namun demikian ketika pernyataan ini seringkali digunakan, maka ”mentasrifkan” kata kerja bukanlah hal yan seperti dimaksudkan, untuk latihan-latihan tata bahasa bukanlah dianggap ” seperti kehidupan sebenarnya ”, tetapi apabila tata bahasa merupakan bagian dari ”kehidupan” mengapa hal tersebut tidak dimasukkan dalam preskepsi tersebut ?
Para analis filsafat tidak hanya tertarik dalam mengklarifkasi penggunaan bahasa pendidik (educator), tetapi juga dalam mengklarifikasi alat-alat konseptual (conceptual devides) yang digunakan oleh pendidik, kemajuan menggunakannya, perkiraan-perkiraan yang mendasarinya, dan tujuan-tujuan yang tercakup.Filsafat analitik memberikan perhatian kepada analisis”konsep pendidikan”, ”konsep pelatihan” , ”konsep yang berpusat pada anak” (concept of child centered), dan konsep-konsep lain yang meliputi tujuan, budaya, kurikulum, pendidikan liberal, kondisi dan indoktrinasi, penentuan nilai (value-judgement), nilai, moral, dan kebebasan, serta otoritas.
Para analis bukan hanya menghindari untuk menggunakan pernyataan-pernyataan preskriptif tentang apa yang mungkin dan tidak mungkin dilakukan oleh siswa, tetapi juga mereka menghindari pernyataan-pernyataan nilai berkenaan aktivitas semacam di atas. Sebagai contoh, kita perhatikan bahwa saran tersebut dikeluarkan oleh otoritas sekolah tertentu bahwa siswa sekolah dasar harus membaca, befikir, atau belajar, maka analisakan menguji apa yang kita maksudkan dengan membaca, berfikir, atau belajar. Ia tidak akan melakukan (memberi preskriptif) ataupun membuat sebuah putusan nilai; fungsinya adalah untuk mengklarifikasi melalui analisis.
Suatu area di mana analisis bergerak dalam pendidikan yaitu pengembangan model yang membantu kita mengklarifikasi dan menyusun konsep-konsep kita. Hal ini dianggap berkenaan dengan strategi untuk membantu kita dalam ”permainan bahasa” yang spesifik. Mereka juga mengembangkan model teoritis unuk membantu guru-guru yang memiliki problem tertentu. Mereka mencatat bahwa para saintis seringkali membangun sebuah teori sebelum terjun dalam suatu aktivitas. Klaim para analis bahwa hal tersebut akan diikuti sesuatu yang sama akan membantu dalam pengajaran. Penggunaan model tersebut dapat membantu untuk menghilangkan ambiguitas dan karena itu akan membantu profesi dalam pendidikan.
Kritik Terhadap Filsafat Analitik
Flsafat analitik di satu sisi memiliki sejumlah kelemahan yang cukup mencolok, apabila analisis dilihat sebagai suatu cara untuk berfilsafat.
Kritik Pertama; ada banyak kritik bahwa filsafat analitik terlalu sempit dan terbatas untuk menjawab tuntutan yang begitu besar dari kehidupan modern, masyarakat, dan pendidikan. Filsafat analitik dalam usahanya untuk mencapai kejelasan dan ketepatan, telah dilihat oleh sejumlah orang sebagai suatu upaya untuk lepas dari problem yang sangat penting abad ini dan problem filsafat yang bersifat abadi.
Kritik kedua; Filsafat analitik membuat kerancuan antara ”sarana ” dan ”tujuan” filsafat. Berkaitan dengan kebingungan ”sarana ” dan ”tujuan”, John Wild mengilustrasikan seperti ”orang yang begitu tertarik pada titik dan noda debu yang ada di kacamatanya sehingga ia kehilangan semua ketertarikannya untuk melihat yang lain melalui kacamata tersebut. Dalam penelusurannya untuk klarifikasi dan ketepatan , filsafat analitik sering membesar-besarkan teknik filsafat dan pada situasi tertentu mengarahkan filosof menjadi ”teknisi” yang berkeahlian tinggi. Seseorang mungkin akan bertanya kepada para filosof analitik, apakah klarifikasi dari apa yang kita lakukan akan bernilai apabila kita melakukan kesalahan dari awal. Seorang filosof analitik merasakan masalah ini dan mencatat bahwa ” suatu ambiguitas sistematik tertentu lebih diinginkan daripada sebuah ketepatan artificial” . Dalam konteks lain, apabila para filosof berhenti untuk bicara tentang pertanyaan metafisik dan aksiologi, sedangkan yang lainnya seperti Ilmu Sosial dan Fisika akan terus membuat pernyataan-pernyataan dan dalil-dalil besar berkaitan dengan kehidupan dan penghidupan. Seseorang tidak akan terlepas dari menghadapi pertanyaan dasar umat manusia ”dengan hanya ” mendefinisikannya dalam cara yang keluar dari definisi filsafat.
Kritik ketiga; Filsafat analitik sebagai cara total pendekatan terhadap isu-isu filsafat berakar dari kebutaannya terhadap perkiraan – perkiraan metafisik dan epistemologi. Di satu sisi, para analis secara umum menghindari suatu asumsi apriori. Di sisi lain, ketika mereka mendesak bahwa setiap istilah deskriptif atau faktual seharusnya dalam bahasa sains dan bahwa dalil-dalil harus dapat diverifikasi dengan suatu observasi sensory, maka mereka mengasumsikan sebuah dokrin metafisik yang sesuai dengan materialisme, realisme, dan positivisme. Dengan hal seperti di atas, metafisik dan epistemologi mereka, apakah dipilih secara sadar atau tidak, terbuka untuk kritik yang sama seperti posisi filsafat ini.
Kritik lain yang disampaikan terhadap paham positivism disampaikan oleh Lincoln dan Guba dalam Uyoh (2004), bahwa positivisme menghasilkan penelitian dengan responden manusia, namun kurang mengindahkan kemanusiaan. Hal ini dapat dikatakan bahwa pendekatan positivism tidak memiliki implikasi etis, selain itu positivism kurang berhasil menggarap formulasi empiris dan konseptual dari berbagai bidang ilmu (terutama ilmu sosial dan humaniora).