Integrasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir?
Upaya mensintesiskan kajian Islam dengan disiplin-disiplin ilmu “sekular” bukanlah hal yang baru di dunia Islam. Tentunya sintesis antara dua atau lebih disiplin ilmu tersebut dilakukan dari masa ke masa dengan memperhatikan perkembangan ilmu yang ada. Pada abad ke-3 H./ke-9 M. kaum Mu‘tazilah menggabungkan teologi Islam dengan filsafat Yunani yang pada saat itu menjadi trendmark dan dominan dalam kajian-kajian keagaman, sosial dan sains. AbÙ l-Hudhayl al-‘AllÁf (w. 227/841), misalnya, mensintesakan Atomismus Yunani dengan teologi Islam. Fakhr al-DÐn al-RÁzÐ, seorang mufassir klasik, memasukkan temuan-temuan ilmiah pada masanya ke dalam kitab tafsirnya MafÁtÐÎ al-Ghayb untuk menunjukkan kemukjizatan Alquran dalam bidang sains. Dua contoh tersebut kiranya telah cukup untuk membuktikan bahwa penggabungan kajian Islam dengan satu atau lebih disiplin ilmu yang lain telah lama dipraktikkan oleh tokoh-tokoh Islam. Hasil dari sebuah sintesis ilmiah tentunya beragam dalam hal bentuk, kualitas maupun kuantitas. Keberagaman ini sangat mungkin disebabkan oleh banyak faktor, seperti struktur keilmuan masing-masing dan kualitas pemahan orang yang melakukan perpaduan tersebut.
Pada abad modern ide perpaduan beberapa disiplin ilmu ini kembali muncul di kalangan sarjana-sarjana Muslim yang antusias dengan pengembangan keilmuan Islam. AmÐn al-KhÙlÐ (1885-1967), seorang pemikir Islam dari Mesir yang sangat berpengaruh pada awal abad ke-20 khususnya dalam bidang pembaruan ilmu tafsir, misalnya mengemukakan ide perlunya menggunakan teori-teori sastra modern, di samping teori-teori ilmu tafsir klasik, dalam menafsirkan Alquran. Ide ini kemudian diejawentahkan oleh murid-muridnya seperti ‘À’isha ‘Abd al-RaÎmÁn (Bint al-ShÁÔi’) yang mengelaborasi keindahan bahasa Alquran dalam menyampaikan pesan-pesan ilahi dan MuÎammad AÎmad Khalaf AllÁh yang meneliti seni qur’ani dalam memaparkan kisah-kisah tentang beberapa umat terdahulu. Fazlur Rahman mengemukakan teori double movement (“Gerakan Ganda”) dalam penafsiran Alquran, setelah beliau berinteraksi dengan konsep-konsep hermeneutik yang diutarakan oleh Hans Georg Gadamer dan Emilio Betti, meskipun sebagian Orientalis mempertanyakan kebenaran pemahaman Rahman terhadap hermeneutika Gadamer. Yudian Wahyudi menggunakan sebagian teori hermeneutik Gadamer, ketika mengemukakan kritikan terhadap pemikiran Ulil Abshar Abdalah, yang menurutnya mengabaikan prinsip Horizontverschmelzung (penggabungan cakrawala teks dan cakrawala pembaca) dan lebih mengedepankan subyektifitas interpretif-nya. Beberapa contoh ini menunjukk bahwa pemikir-pemikir tersebut memandang penting adanya perpaduan ilmiah untuk menyempurnakan disiplin ilmu keislaman.
Paradigma “interkonneksi” dan “integrasi” keilmuan yang terutama didengung-dengungkan dan dipropagadakan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan didukung oleh Departemen Agama RI merupakan kelanjutan dari paradigma tersebut di atas. Pengejawentahan paradigma ini memang perlu terus dintensifkan untuk pengembangkan disiplin-disiplin ilmu dalam kajian Islam dan untuk memperkecil – atau bahkan menghilangkan – dikotomi antara ilmu agama dan ilmu sekular. Namun yang perlu dipikirkan adalah apa, mengapa dan bagaimana dua disiplin ilmu tertentu dapat dan seyogyanya dihubungkan, diselaraskan dan diintregasikan.
Penelitian ini dimaksudkan untuk memaparkan lebih lanjut rasionalitas pentingnya “interkonneksi” dan “integrasi” antara teori-teori hermeneutika yang berkembang di Barat dan khazanah keilmuan Islam, khususnya teori dan metode klasik dalam penafsiran Alquran. Bahasan-bahasan yang akan dijadikan pokok-pokok masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan istilah “hermeneutika” dan bagaimana perkembangan pemikiran hermeneutik? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menyakup definisi dari istilah tersebut dan memaparkan ruang lingkupnya, serta perkembangan pemikiran para ahli tentang hermeneutik.
2. Bagaimana teori-teori hermeneutika yang dikemukakan oleh Hans Georg Gadamer? Mengapa teori-teorinya visible untuk diaplikasikan dalam penafsiran Alquran? Di sini akan disajikan pokok-pokok pemikiran Gadamer dan beberapa alasan mengapa teori-teori pokoknya sangat mungkin, dan bahkan berguna, untuk diaplikasikan dalam rangka mengembangkan metode pembacaan teks Alquran di masa kontemporer.
3. Bagaimana mengembangkan metode pembacaan Alquran pada masa kontemporer? Jawaban atas pokok masalah terakhir berkisar pada penjabaran tentang proyek pengembangan metode tafsir Alquran pada masa kini dengan cara menggabungkan teori-teori yang ada pada ilmu tafsir dan teori-teori hermeneutik, khususnya pemikiran Gadamer.
Pokok-pokok masalah tersebut akan dibahas dalam makalah singkat ini secara deskriptif, analitis, interpretatif dan komparatif-sintesis. Sisi deskriptif makalah ini terletak pada pemaparannya terhadap obyek bahasan yang dilakukan seakurat mungkin untuk menghindari kesalahpahaman terhadapnya. Penelitian ini juga bersifat analitik, dalam arti bahwa data-data yang didapatkan, baik dalam bidang hermeneutika maupun dalam bidang ilmu tafsir konvensional, akan dianalisis secukupnya. Interpretasi digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap pemikiran ahli hermeneutika, yang dalam hal ini Hans Georg Gadamer, sesuai dengan tarap pemahaman sang peneliti. Komparasi-sintesis dilakukan untuk membandingkan ide-ide hermeneutik dan pandangan-pandangan interpretatif ilmu tafsir yang pada akhirnya dimaksudkan untuk menjelaskan poin-poin mana dari pokok-pokok pikiran hermeneutika yang dapat diadopsi ke dalam metode penafsiran Alquran untuk saat ini.
Definisi Hermeneutika, Sejarah Perkembangannya dan Ruang Lingkup Pembahasannya
Secara etimologis kata hermeneutika diambil dari bahasa Yunani, yakni hermeneuein, yang berarti “menjelaskan” (erklären, explain). Kata tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Jerman Hermeneutik dan bahasa Inggris hermeneutics. Sebagai sebuah istilah kata tersebut didefinisikan sebagai “ajaran tentang proses pemahaman interpretatif, juga tentang pemberian arti atau penafsiran” (die Lehre vom interpretativen Verstehen, auch vom Deuten oder Auslegen). Friedrich Schleiermacher mengartikan istilah tersebut dengan “seni memahami secara benar bahasa orang lain, khususnya bahasa tulis” (the art of understanding rightly another man’s language, particularly his written language). Meskipun para ahli memberikan definisi yang agak berbeda, namun mereka sepakat bahwa hermeneutika digunakan untuk memahami ungkapan-ungkapan yang – karena berbagai macam faktor – sulit dipahami. Hermeneutika yang muncul bersamaan dengan ide dan aliran Humanisme pada awal abad ke-16 M. digunakan untuk membantu memahami teks-teks sulit dari Bibel. Para teolog Kristen saat itu berupaya membuat aturan-aturan metodis tertentu yang dapat membantu menemukan apa yang diyakini mereka sebagai “kebenaran Bibel” dan menentukan satu penafsiran yang benar dari sekian macam penafsiran yang mungkin dilakukan. Pemahaman semacam ini merupakan reaksi terhadap pandangan para teolog Kristen abad pertengahan yang mengatakan bahwa Bibel memiliki empat macam arti/makna (vierfacher Sinn), yakni: literal, moral, allegoris dan anagogis/eskatologis.
Sejak diterbitkannya tulisan-tulisan Schleiermacher pada abad 19 M. hermeneutika berkembang menjadi displin pokok filsafat. Melalui Schleiermacher hermeneutika mengalami perubahan yang signifikan dan tidak lagi memandang teks-teks yang ditafsirkan sebagai Wahrheitsvermittler (“perantara/penyampai kebenaran”), melainkan sebagai ungkapan kejiwaan, ungkapan hidup dan epoche historis seorang penulis. Atas dasar ini memahami sebuah teks berarti “mengalami kembali” (wiedererleben) dan “memasuki” (einleben) kesadaran, kehidupan dan epoche sejarah, di mana teks tersebut berasal. Jadi, seorang penafsir, menurutnya, harus “menyelam” (sich hineinversetzen) ke dalam pikiran seorang penyusun teks yang ditafsirkan untuk menangkap makna teks yng ditulisnya. Hermeneutika semacam ini merupakan satu prinsip dalam aliran Historisisme. Pemikiran ini mempengaruhi pemikir-pemikir lain seperti Emilio Betti, seorang ahli hermeneutika berkebangsaan Itali. Obyek penelitian hermeneutik di tangan Schleiermacher dan para pengikutnya terbatas pada mencari jalan untuk memahami secara benar teks kebahasaan, terutama teks yang tertulis.
Perkembangan berikutnya ditandai oleh pemikiran Wilhelm Dilthey yang membedakan antara ilmu alam / ilmu eksakta (Naturwissenschaft) dan ilmu sosial dan humaniora / ilmu non-ekaskta (Geisteswissenschaft). Ilmu alam menjelaskan (erklären) sesuatu dan bertanya tentang penyebab-penyebab terjadinya sesuatu secara fisik, sementara ilmu sosial dan humaniora mencoba mencari tahu dan memahami (verstehen) sesuatu yang bersifat psikis, non-fisik. Satu contoh sederhana, Naturwissenschaft berusaha mencari tahu penyebab medis kematian seseorang, sementara Geisteswissenschaft membicarakan apa dan hakikat kematian itu. Di sini hermeneutika tidak lagi terbatas pada pemahaman teks kebahasaan, melainkan seluruh obyek penelitian ilmu-ilmu non-eksakta. Dilthey bersemangat untuk mengkonstruksi sebuah metode universal bagi ilmu-ilmu non-eksakta yang didasarkan pada kondisi kejiwaan.
Selain dua pemikir hermeneutika yang disebutkan di atas masih banyak lagi pemikir-pemikir lain yang tidak bisa disebutkan di dalam penelitian terbatas ini. Untuk mendapatkan informasi tentang pemikiran-pemikiran hermeneutika mereka, kita bisa merujuk, misalnya, pada buku yang berjudul New Horizons in Hermeneutics karya Anthony C. Thiselton. Dalam buku ini dia memaparkan keberagaman aliran-aliran hermeneutika secara komprehensif. Di antara sekian aliran hermeneutika yang sangat berpengaruh sejak separoh kedua abad 20 M. adalah pemikiran hermeneutika Hans Georg Gadamer (1900-2002) yang akan dibahas dalam penelitian ini dalam rangka mencari signifikansinya dalam pengembangan metode penafsiran Alquran.