Ilmu Sosial Kritik Dan Ilmu Sosial Positif
Akar pemikiran ilmiah terletak pada kepercayaan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan adalah alat yang paling efektif untuk membebaskan manusia. Akan tetapi apa yang telah terjadi dalam ilmu sosial positif adalah sekedar penjelasan pengetahuan dari dasar-dasar metodologi dan epistemologinya. Ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk pembebasan manusia telah diganti dengan nama ganda, yakni untuk membebaskan atau menindas sama saja. Ilmu-ilmu sosial kontemporer, dengan demikian tidak lebih dari dominasi metodologi dan epistemologi ilmu-ilmu alam yang melihat bahwa subyek perlu dipisahkan dengan obyek, peneliti dengan yang diteliti.
Teori kritis berlawanan sama sekali dengan anggapan-anggapan seperti diatas. Teori-teori kritis secara tegas menolak pandangan bahwa manusia dan masyarakat dapat dipahami melalui anggapan dasar (otonosi) dan metode ilmu alam yang dilihat bahwa sebagai manusia tidak kreatif dalam berfikir dan bertindak. Untuk membandingkan antara ilmu sosial positif dan ilmu sosial kritis, paling tidak terdapat empat pokok perbedaan:
1. Perbedaan dalam melihat hakekat manusia dan masyarakat.
2. Pemahaman terhadap proses-proses sosial.
3. Bentuk penjelasan ilmiah tentang proses-proses sosial yang dilakukan dan
4. Peranan ilmuwan-ilmuwan sosial (Sewart, 1978).
1. Pandangan terhadap hakekat manusia dan masyarakat
Ilmu sosial positif melihat masyarakat sebagai fenomena obyektif yang dapat dideskripsikan sebagai seperangkat kekuatan yang tidak mengenal sejarah (ahistoris). Ilmu sosial kritik, dilain fihak memandang masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang dapat dibangun kemanusiaannya melalui pemahaman historis progressive terhadap proses-proses dan struktur-struktur sosialnya. Ilmu sosial positif melihat hakekat manusia sebagai data mati (tidak bergerak), sedang ilmu sosial kritis melihat bahwa manusia dapat merubah diri mereka sendiri melalui pranata-pranata yang diciptakan sendiri. Oleh karena pandangan ilmu sosial positif yang demikian maka Barry Smart (1976) menyebut pandangan tadi sebagai "kenyataan semu" dan karena itu dibuat-buat. Pada masyarakat kapitalis, ilmu-ilmu sosial positif dikembangkan dengan cara mengasingkan individuindividu dalam proses penciptaan sejarah dan karena itu ilmu sosial positif gagal sama sekali dalam menganalisa masyarakat sebagai sebuah bangunan kemanusiaan. Karena kegagalannya melihat proses-proses dan struktur-struktur sosial maka ilmu sosial positif tidak dapat banyak diharapkan dapat melakukan perubahan secara fundamental. (Horkheimer, 1972).
Ilmu sosial kritis justru melihat manusia sebagai pembentuk sejarah. Bukan ilmu sosial kritis kalau dia hanya mampu mendiskripsikan fakta-fakta sosial sejarah, tanpa pemahaman dan aksi bersama rakyat. Horkheimer menulis "teori sosial kritis ..... melihat manusia sebagai pencipta sejarah mereka sendiri". (1972 :244). Perbedaan pandangan antara ilmu sosial positif dan kritis terhadap hakekat manusia dan masyarakat itu mempunyai pengaruh mendalam dalam melihat bagaimana ilmu pengetahuan sosial diciptakan.
2. Penciptaan Ilmu Pengetahuan Sosial
Bagi ilmu sosial positif, pengetahuan berusaha diciptakan melalui observasi-observasi empiris yang dapat diuji secara ketat. Apa yang disebut data menurut ilmu sosial positif adalah deskripsi tentang perilaku-perilaku sosial, dan nilai individual (Taylor 1971 : 32). Data disebut obyektif kalau dapat diuji dengan model-model teori yang sudah ada. Konsep-konsep utama yang lalu dikembangkan diantaranya adalah konsep bebas nilai. Menurut Habermas apa yang disebut sebagai bebas nilai sebenarnya adalah mengandung muatan nilai-nilai. (1971 :69). Obyektifitas dan bebas nilai bagi ilmu sosial positif tidak lain adalah keinginan untuk membedakan fakta dengan nilai, antara teori dan praktek. Meskipun tidak diketahuai mengapa demikian, ilmu sosial positif berusaha keras untuk meramalkan dan mengontrol alam (Hambermas, 1971, Bernstein, 1976). Brian Fay juga menyatakan bahwa apabila kepentingan tersebut diterapkan untuk meneliti dunia manusia (bukan alam) maka hasilnya adalah manipulasi hubungan-hubungan sosial, mengagungkan kepentingan-kepentingan teknis dari pada moral, membutakan manusia dari urusan-urusan politik, dan terakhir adalah memperkuat dominasi kelas berkuasa (1976 : 57).
Dilihat dari perspektif ilmu sosial kritis, maka pengetahuan diciptakan untuk dua kepentingan. Pertama, karena manusia adalah makluk sosial, maka prinsip-prinsip moral dan etik harus di ciptakan. Kedua, bahwa prinsip-prinsip moral dan etik itu harus di pahami secara inter-subyektif. Ilmu sosial kritis karena itu tidak dapat melepaskan diri dari pemahaman norma-norma, nilai-nilai dan makna-makna yang bersifat inter-subyektif dalam kehidupan manusia sehari-hari. Karena dua kepentingan diatas maka kemudian timbul kepentingan manusia yang ketiga dan tipe pengetahuan yang ketiga pula. Kepentingan ketiga ini disebut kepentingan pembebasan, yang berarti kritik ideologi dan perubahan sosial fundamental.
Ilmu sosial kritis menolak untuk menerima praktek-praktek sosial sebagai kebenaran akhir. Baik ide dan tindakan (aksi) yang terjadi dalam proses sejarah sampai sekarang adalah manivestasi dari perubahan struktur sosial. Ilmu sosial kritis harus menganalisis bentuk-bentuk struktur penindasan dan sekaligus mencari jalan keluar untuk pembebasannya (Farganis, 1975). Ilmu sosial kritis harus sampai pada penyingkapan lembaga-lembaga struktural yang bersifat menindas dari satu periode keperiode lainnya. Kalau sudah dipahami makna-makna demikian tadi, maka kemudian diteruskan dengan adanya aksi-aksi sosial dengan cara melawan pengertian-pengertian dan aksi-aksi yang dilakukan sebelumnya. Lebih jauh dari itu ilmu sosial kritis sebenarnya lahir untuk membebaskan manusia dari konsep-konsep ideologi dan tindakan yang salah kaprah, dan karena itu perjuangan ini menjadi perjuangan politik. Pengetahuan kritis tidak pernah netral, terutama bagi orang-orang yang sudah paham duduk persoalannya diatas. Dalam ilmu sosial krtitis, validitas konsep-konsep data dan teori selalu dikaitkan dengan aspek historis dan tujuan-tujuan subyektif. (Piccone, 1973). Ilmu sosial kritis hadir antara menyeruak makna-makna sejarah dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan aksi yang dapat dilakukan manusia yang sementara ingin membebaskan diri dari dunia penindasan. Untuk melakukan semuanya itu harus digabungkan teori perubahan struktural dengan kritik ideologi. Dalam ilmu sosial kritik senantiasa harus ada dialog anatara teori dan praktek.
3. Bentuk Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Ilmu sosial positif berasumsi bahwa cara penjelasan yang dilakukan terhadap suatu obyek diberlakukan secara umum terhadap semua ilmu pengetahuan. Paradigma yang dikembangkan adalah nomologis dan ini tidak bisa diterima oleh ilmu sosial pada umumnya, terutama ilmu sosial kritis. Cara ilmu ini selain nomologis adalah ahistoris, diterministik dan prohabilistik. Penjelasan terhadap suatu gejala biasanya dikaitkan dengan usaha meramalkan apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Semua kegiatan didalam ilmu sosial positif, dari pengumpulan data, penyempurnaan data, korelasi data, dan formulasi generalisasi, hipotesa dan pengembangan model-model penelitian, semuanya diarahkan untuk menguji teori yang dikembangkan berdasarkan kaidah-kaidah logika yang ditetapkan secara ketat.
Ilmu sosial kritis justru hadir menentang kaidah-kaidah keilmuan yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial positif, dan karena itu mudah menggoncang paradigma. Bila ilmu-ilmu sosial positif mempelajari perilaku manusia maka ilmu sosial kritis mempelajari aksi manusia dan melihat bahwa dunia sosial diciptakan melalui tindakan manusia dan pemahaman inter subyektif. Ilmu sosial kritis mencoba memahami hubungan kondisi-kondisi sosial dengan tindakan subyektif manusia dengan berbagai macam kepentingannya. Karena hubungan antara kondisi sosial dan tindakan manusia itu sifatnya sangat rumit, maka ilmu sosial kritis tidak percaya dengan apa yang disebut prediksi. Karena hakekat masyarakat adalah pemahaman dan tindakan masyarakat itu sendiri maka secanggih apapun kondisi sosial itu diramalkan dan diatur dengan ketat sedemikian rupa, didalamnya pasti terdapat banyak kesalahan. Seperti dikatakan Taylor (1971) kalaulah konsep-konsep dan katagori-katagori ilmu sosial positif masih banyak kita gunakan sekarang, pada masa datang nanti sudah tidak dapat lagi. Kaum positivist beranggapan bahwa apa yang dilakukan sekarang adalah usaha mengembangkan disiplin ilmu yang dipelajari, tetapi tragisnya mereka justru melepaskan bagaimana proses-proses sosial itu tercipta.
Jika semua proses sosial dipahami sebagai produk tindakan manusia, maka semua pertimbangan kritis harus dimulai dari pemahaman, nilai-nilai, dan inter subyektif. Selanjutnya seperti dikatakan Von Wright (1971), pengertian-pengertian, nilai-nilai dan motif-motif ini harus dikembangkan dengan proses-proses sosial dengan cara menunjukkan dengan jelas bagaimana mereka dibangun oleh tindakan dan refleksi manusia.
Penjelasan-penjelasan kritis didalamnya meliputi teori-teori dasar tentang perubahan struktural, nilai-nilai, pengertian-pengertian dan motif-motif yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan struktural. Perbedaan-perbedaan pemahaman tentang struktur sosial (meliputi kekuatan domianan dan kekuatan pinggiran) harus dikaji dalam teori kritis. Sebagai contoh suatu gagasan mobilitas sosial boleh jadi didukung oleh pengalaman personal golongan minoritas kapitalis, terutama di Amerika Serikat pada waktu itu. Konsep mobilitas sosial dalam prakteknya ternyata hanya memberikan keuntungan kaum kapitaslis belaka, sedang orang-orang golongan lemah justru semakin tersingkir karena kelemahannya secara ekonomis oleh penguasa kapitalis.
Konsep-konsep yang diciptakan oleh manusia ternyata dalam praktenya dapat memberikan keuntungan bagi beberapa pihak dan merugikan beberapa pihak-pihak lainnya. Selama manusia yang mencari keuntungan ingin tetap mempertahankan posisi mereka sedang mereka yang tidak diuntungkan dengan sistim tersebut sengaja dibuat tidak paham agar terus menerus dapat dijadikan ajang dominasi. Ilmu sosial kritis hadir ditengah-tengah masyarakat dengan pertimbangan-pertimbangan kritis, ingin menyadarkan manusia yang tidur didunia mereka sendiri. Karena karakternya yang demikian, maka didalam dirinya senantiasa terkandung keinginan untuk melakukan perubahan, baik secara radikal atau tidak. Perubahan-perubahan radikal terjadi karena adanya kontrakdisi-kontrakdisi dalam proses sosial, artinya ada pihak yang mencari keuntungan dan ada yang dirugikan dari haknya antar kelompok didalam ilmu sosial. Semua ini dapat dipahami lewat ideologi dan kondisi-kondisi sosial yang berkembang selama ini. Kontrakdisi fundamental akan terjadi apabila kepentingan-kepentingan sebagian fihak bertentangan terus menerus dengan kepentingan pihak lainnya, misalnya dalam satu sistim sosial yang memberlakukan praket-praket monopoli berhadapan dengan sistim kompetisi bebas. Satu kelompok atau kelompok yang tertindas di dominasi dalam sistim yang berkembang sekarang ini akan melakukan perlawanan dan melakukan perubahan sosial sebagaimana mereka kehendaki. Ini adalah perkara politik dan karena itu harus berkali-kali dijelaskan bahwa teori kritis memang tidak bisa dipisahkan dari politik praktis.
Sejauh mana Pergolakan politik itu timbul tergantung pada derajad pertentangan kepentingan kaum progressive dengan para pemegang kekuasaan. Kalau kontradiksi yang terjadi tidak terlalu mendesak, pada umumnya dapat diselesaikan melalui cara damai tanpa harus membungkus ideologi dan struktur kekuasaan. Tetapi kalau kontradiksi itu sangat mendesak, tidak ada cara lain kecuali merombak ideologi dan struktur yang dianggap tidak mapan. Kapan kontradiksi fundamental itu akan terjadi tidak dapat diramalkan oleh ilmu sosial, sebab ini menyangkut kesepakatan manusia secara bersama-sama menghadapi ideologi dan struktur yang berkembang. Karena itu dapat dirumuskan bahwa tujuan teori kritis bukanlah untuk meramalkan perubahan sosial, melainkan memahami perkembangan sejarah masyarakat sehingga mereka melakukan perubahan sosial. Masuknya ilmu sosial kritis dalam percaturan politik praktis seperti dikatakan diatas kemudian membedakan para ilmuwan sosial positif disatu pihak dengan ilmuwan sosial kritis dilain pihak seperti diuraikan dibawah.
4. Peran Ilmu Sosial
Horkheimer (1972) mencatat bahwa ilmu sosial tradisional positif, dalam usaha memulai kehidupan politik, memisahkan ilmu sosial dengan menggunakan istilah ilmu sosial murni dan ilmu sosial praktis. Dalam pandangan Marx, siapa yang disebut dengan ilmuwan sosial dibedakan menjadi dua: Pengamat teoristis yang bebas nilai dan a-politik disatu pihak dan orang-orang politik yang menyuarakan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan politik mereka dipihak lain. Orang-orang positif pada umumnya selalu berusaha membedakan dua peran tersebut. Mereka pilih jadi warga negara yang baik dan jadi peneliti dan ilmuwan yang sopan dan obyektif yang bisa menangkap issue-issue penting pada masanya. Menurut paham ini jelas bahwa tugas ilmuwan sosial adalah mendiskripsikan dan menjelaskan fakta-fakta, tidak mencampuri apa yang seharusnya dilakukan [Bernstein, 1976: 44].
Ilmu sosial kritis melihat bahwa ilmuwan sosial adalah harus berpartisipasi dalam proses pembangunan manusia. Karena itu para ilmuwan sosial harus menentukan keberpihakannya kepada siapa mereka melayani. Ilmu sosial kritis sama sekali menolak pemisahan antara praktek dan teori, dan bahwa semua praktek dan teori harus didiskusikan, begitu terus tidak berhenti. Kepentingan praktek bagi para ilmuwan sosial kritis adalah bagaimana membebaskan kaum tertindas agar dengan demikian posisi mereka sebagai manusia dapat berubah (juga dilihat sebagai manusia yang pantas hidup dan berkembang, tidak terus ditindas).
Ilmu sosial kritis melihat masyarakat sebagai kesatuan manusia dan karena itu hakekat manusia adalah makhuk yang baru mendapatkan kemanusiaannya dalam kebersamaan. Melalui kebersamaan itu kemudian ilmu sosial kritis mencoba melihat struktur, proses dan makna sosial, baik pada masa lalu atau sekarang. Ilmu pengetahuan sosial, karenanya tidak dapat memisahkan diri dari kehidupan sosial nyata, didalamnya mempelajari nilai-nilai, tujuan-tujuan individu, kelompok dan kelas. Ilmu sosial kritis, karena lebih emansipatif, maka mempunyai karakternya berbeda dari ilmu sosial positif yang lebih dekat dengan kelompok dominan yang menindas. Karena sifatnya yang emansipatif, maka ilmu sosial kritis mengenal apa yang disebut sebagai praxis dimana aksi berperan sebagai sumber dan pengesahan teori. Meskipun demikian ilmu sosial kritis tetap menolak cara prediksi karena prediksi dilakukan harus dengan mengeluarkan manusia sebagai unsur pembentuk sejarah mereka sendiri. Ilmu sosial kritis melihat manusia sebagai persatuan subyek yang berusaha mendekati kembali dunia yang mereka bangun. Karena itu bentuk penjelasan ilmiah yang digunakan bersifat historis. Dalam bentuk ini ada dialog antara kondisi yang terjadi pada masa lalu dan sekarang. Secara lebih tegas ilmu sosial kritis melihat kesatuan subyek manusia berusaha membebaskan diri dari struktur yang menindas melalui usaha-usaha mereka sendiri (mandiri).
Kriteria kebenaran teori dalam ilmu sosial kritis sangat subyektif. Karena ilmu sosial kritis dinilai dari pemahaman-pemahaman subyektif terhadap proses-proses sosial dan nilai-nilai sosial. Metode penelitian dan validitas penelitian didasarkan pada dialog antar subyek. Riset ini tidak hanya melihat manusia sebagai obyek tetapi melihat mereka sebagi manusia yang dapat berlaku mandiri. Seksi berikutnya saya akan menguraikan metide riset yang didasarkan pada paradigma dialog dan partisipasi, bukan observasi dan manipulasi.