Potensi Agrowisata dunia, trend dari waktu ke waktu
Laporan yang dikeluarkan World Tourism Organization (WTO) tahun 1990 (dalam Ariyanto, 2003) menunjukkan adanya kecenderungan dan perkembangan baru dalam dunia kepariwisataan yang mulai muncul pada tahun 1990-an. Kecenderungan ini ditandai oleh berkembangnya gaya hidup dan kesadaran baru akan penghargaan yang lebih dalam terhadap nilai-nilai hubungan antar manusia dengan lingkungan alamnya. Perkebangan baru tersebut secara khusus ditunjukkan melalui bentuk- bentuk keterlibatan wistawan dalam kegiatankegiatan di luar lapangan (out-door), keperdulian akan permasalah ekologi dan kelestarian alam, kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan, penekanan dan penghargaan akan nilai-nilai masyarakat.
Nugroho (1997) menyatakan pula, jenis wisata ini menekankan pada beberapa hal dalam implementasinya, yaitu (1) motivasi pencarian pada sesuatu yang unik/ spesifik dan baru (novelty seeking ) dan yang lebih menantang pada lokasi-lokasi baru untuk jenis atraksi yang diminati; (2) motivasi pencarian pada pengalaman wisata yang berkualitas (quality seeking).
Perubahan kecenderungan wisatawan asing untuk mengunjungi Objek Daya Tarik Wisata (ODTW) alam ini sesuai dengan The International Ecotourism Society (2000) yang memprediksikan bahwa pada tahun 1999 terdapat lebih dari 633 juta wisatawan di seluruh dunia dan bahwa hingga 2 (dua) dekade ke depan, pertumbuhan jumlah wisatawan ini rata-rata 4,1% tiap tahunnya. Dari pertumbuhan jumlah wisatawan tersebut di atas, pertumbuhan dari ekowisata (termasuk agrowisata) berkisar antara 10-30%.
Potensi pengembangan Agrowisata di Indonesia dan Bali
a). Potensi pengembangan Agrowisata di Indonesia
Menurut Afandhi (2005), Kebijakan umum Departemen Pertanian dalam membangun pertanian bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan tarap hidup petani, peternak, dan nelayan, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor. Untuk itu, usaha diversifikasi perlu dilanjutkan disertai dengan rehabilitasi yang harus dilaksanakan secara terpadu, serasi, dan merata disesuaikan dengan kondisi tanah, air dan iklim, dengan tetap memelihara kelestarian kemampuan sumber daya alam dan lingkungan hidup serta memperhatikan pola kehidupan masyarakat setempat.
Sejalan dengan kebijaksanaan umum di atas, terlihat bahwa antara pariwisata dan pertanian dapat saling mengisi dan menunjang dalam meningkatkan daya saing produk pariwisata dan produk pertanian Indonesia dalam rangka meningkatkan perolehan devisa dari komoditi ekspor non migas. Sebagai negara agraris, sector pertanian merupakan sector yang dominan dan merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Upaya peningkatan dan penganekaragaman usaha pertanian terus ditingkatkan secara intensif dan terencana, baik yang secara tradisional maupun modern merupakan potensi kuat yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik yang dapat dinikmati oleh wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Potensi budidaya pertanian yang dapat dijadikan agrowisata antara lain :
1. Perkebunan
Suatu kawasan perkebunan yang ideal untuk dapat dimanfaatkan sebagai objek dan daya tarik agrowisata adalah kawasan perkebunan yang kegiatannya merupakan kesatuan yang utuh mulai dari pembibitan sampai dengan pengolahan hasilnya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa setiap kegiatan dan proses pengusahaan perkebunan dapat dijadikan daya tarik atau atraksi yang menarik bagi wisatawan mulai dari pembibitan, penanaman, pengolahan ataupun pengepakan hasil produksinya. Perkebunan sebagai objek agrowisata terdiri dari perkebunan kelapa sawit, karet, teh kopi, kakao, tebu, dan lain-lain. Pada dasarnya luas suatu perkebunan ada batasnya, namun perkekbunan yang dijadikan sebagai objek agrowisata luasnya tidak dibatasi, dengan kata lain luasnya sesuai izin atau persyaratan objek agrowisata yang diberikan.
Untuk menunjukkan kepada wisatawan suatu perkebunan yang baik dan benar, seyogyanya dalam objek dilengkapi dengan unit pengolahan, laboratorium, pengepakan hasil, sarana dan prasarana.
2. Tanaman pangan dan Hortikultura
Daya tarik tanaman pangan dan hortikultura sebagai objek agrowisata antara lain kebun bunga-bungaan, kebunbuah-buahan, kebun sayur-sayuran, kebun tanaman obat-obatan/ jamu.
3. Peternakan
Potensi peternakan sebagai sumber daya wisata antara lain cara tradisional dalam pemeliharaan ternak, aspek kekhasan/ keunikan pengelolaan, produksi ternak, atraksi peternakan dan peternakan khusus seperti bekisar dan burung puyuh.
4. Perikanan
Sebagai negara kepulauan yang sebagian besar terdiri dari perairan dengan potensi sumber daya ikan yang jenis maupun jumlahnya cukup besar, kegiatan perikanan di Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai obyek agrowisata. Secara garis besar kegiatan perikanan dibagi menjadi kegiatan penangkapan dan kegiatan budidaya, dan kegiatan tersebut merupakan potensi yang dapat dikembangkan menjadi obyek agrowisata seperti budidaya ikan air tawar, budidaya Air Payau (tambak), budidaya laut (kerang, rumput laut, kakap merah, dan mutiara)
Pada dekade terakhir, pembangunan pariwisata di Indonesia maupun di manca negara menunjukkan kecenderungan terus meningkat. Konsumsi jasa dalam bentuk komoditas wisata bagi sebagian masyarakat negara maju dan masyarakat Indonesia telah menjadi salah satu kebutuhan sebagal akibat meningkatnya pendapatan, aspirasi dan kesejahteraannya.
Preferensi dan motivasi wisatawan berkembang secara dinamis. Kecenderungan pemenuhan kebutuhan dalam bentuk menikmati objek-objek spesifik seperti udara yang segar, pemandangan yang indah, pengolahan produk secara tradisional, maupun produk-produk pertanian modern dan spesifik menunjukkan peningkatan yang pesat. Kecenderungan ini merupakan signal tingginya permintaan akan Agrowisata dan sekaligus membuka peluang bagi pengembangan produk-produk agribisnis baik dalam bentuk kawasan ataupun produk pertanian yang mempunyai daya tarik spesifik.
Hamparan areal pertanaman yang luas seperti pada areal perkebunan, dan hortikultura disamping menyajikan pemandangan dan udara yang segar, juga merupakan media pendidikan bagi masyarakat dalam dimensi yang sangat luas, mulai dari pendidikan tentanig kegiatan usaha dibidang masing-masing sampai kepada pendidikan tentang keharmonisan dan kelestarian alam.
Objek Agrowisata tidak hanya terbatas kepada objek dengan skala hamparan yang luas seperti yang dimiliki oleh areal perkebunan, tetapi juga skala kecil yang karena keunikannya dapat menjadi objek wisata yang menarik. Cara-cara bertanam tebu, acara panen tebu, pembuatan gula pasir tebu, serta cara cara penciptaan varietas baru tebu merupakan salah satu contoh objek yang kaya dengan muatan pendidikan. Cara pembuatan gula merah kelapa juga merupakan salah satu contoh lain dari kegiatan yang dapat dijual kepada wisatawan yang disamping mengandung muatan kultural dan pendidikan juga dapat menjadi media promosi, karena dipastikan pengunjung akan tertarik untuk membeli gula merah yang dihasilkan pengrajin. Dengan datangnya masyarakat mendatangi objek wisata juga terbuka peluang pasar tidak hanya bagi produk dan objek Agrowisata yang bersangkutan, namun pasar dan segala kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian melalui Agrowisata bukan semata merupakan usaha / bisnis dibidang jasa yang menjual jasa bagi pemenuhan konsumen akan pemandangan yang indah dan udara yang segar, namun juga dapat berperan sebagai media promosi produk pertanian, menjadi media pendidikan masyarakat, memberikan signal bagi peluang pengembangan diversifikasi produk agribisnis dan berarti pula dapat menjadi kawasan pertumbuhan baru wilayah. Dengan demikian maka Agrowisata dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan baru deerah, sektor pertanian dan ekonomi nasional.
Potensi Agrowisata yang sangat tinggi ini belum sepenuhnya dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu, perlu dirumuskan langkah-langkah kebijakan yang konkrit dan operasional guna tercapainya kemantapan pengelolaan Objek Agrowisata di era globalisasi dan otonomi daerah. Sesuai dengan keunikan kekayaan spesifik lokasi yang dimiliki, setiap daerah dan setiap objek wisata dapat menentukan sasaran dan bidang garapan pasar yang dapat dituju. Dalam pengembangan Agrowisata dibutuhkan kerjasama sinergis diantara pelaku yang teribat dalam pengelolaan Agrowisata, yaitu masyarakat, swasta dan pemerintah.
Brahmantyo, dkk (2001) telah melakukan penelitian tentang potensi dan peluang dalam pengembangan pariwisata Gunung Salak Endah, menemukan beberapa potensi alam dapat dimanfaatkan sebagai atraksi objek wisata. Potensi tersebut adalah, Air Terjun Curug Ciumpet, areal perkemahan, lahan pertanian sebagai objek agrowisata, kolam air deras, arena pancing (perikanan darat), peternakan lebah, peternakan kuda, wisata perhutanan dan perkebunan, dan wisata industri pengolahan hasil tanaman kopi.
b). Potensi pengembangan Agrowisata di Bali
Bali itu merupakan daerah yang kaya akan alamnya dan indah bila dipandang secara kasat mata. Nuansa dan panorama indahnya alam Bali itu, mungkin akan semakin menyentak pemandangan anda bila anda bebepergian ke wilayah Tabanan yang terkenal dengan bentangan sawah yang berterasering atau ke kawasan Swiss-nya Bali, Bedugul, atau terus ke Utara di Singaraja menyaksikan hamparan pepohonan cengkeh milik petani- petani dengan diselingi nyiur dan tetumbuhan kopi Robusta dan Arabica (Moruk, 2005)
Bila Wisatawan menyisir perjalanan dari Gianyar dengan Tampak Siringnya, terus ke utara di Bangli yang terkenal dengan bukit Kintamani-nya. Di sana pasti disuguhkan sebuah potret alam asri dan asli dengan gunung dan danau Batur-nya yang sangat menawan. Wisatawan dapat berpetualang menyaksikan kawasan hutan Salak Gula Pasir yang terhampar di wilayah Kabupaten Karangasem di Bali Timur. Itulah sentra-sentra yang ngetrend menjadi objek terhandal bagi para wisatawan pencinta agrowisata. Agrowisata sebenarnya merupakan lahan atau produk terbaru dalam sektor kepariwisataan Indonesia guna memenuhi keperluan wisatawan yang mencintai keindahan alam pertanian, perdesaan, informasi dan teknologi, barang dan jasa yang terbuat dari produk pertanian. Dengan demikian, sangat jelas bahwa agrowisata itu ditunjang penuh oleh eksotiknya keindahan alam, kesuburan tanah, kesejahteraan petani, kebersihan lingkungan sekitar. Makin indah alamnya, subur tanahnya, sejahtera petaninya dengan keberhasilan menerapkan pembangunan pertanian, justru semakin menjadikan suatu kawasan atau daerah sebagai obyek agrowisata yang handal dan berkualitas (Moruk, 2005)
Sudibya (2002) mengindentifikasikan, ecotourism potensial dikembangkan di Bali. Kabupaten Jembrana potensial untuk pengembangan berbagai jenis wisata alam dengan memanfaatkan kawasan Taman Nasional Bali Barat, camping dan trekking dikombinasikan dengan snorkeling di Pulau Menjangan. Kabupaten Buleleng potensial untuk pengembangan berbagai agrowisata mengingat daerah ini memiliki kawasan pertanian yang luas. Berbagai tanaman industri seperti jeruk keprok, tembakau, anggur dan holtikultura bisa dibudidayakan di kabupaten ini. Di Kabupaten Tabanan dapat diintensifkan pengembangan holtikultura dan kebun bunga untuk keperluan hotel dan restoran serta masyarakat umum. Kebun Raya Eka Karya Bali juga dapat ditingkatkan pemanfaatannya, baik untuk atraksi wisata maupun untuk penelitian dan pendidikan.
Kabupaten Bangli potensial untuk pengembangan peternakan sapi, terutama penggemukan (fattening) dan unggas untuk pasokan daging ke hotel dan restoran. Danau Batur dikembangkan sebagai tempat perikanan air tawar, baik untuk keperluan industri pariwisata maupun konsummsi lokal. Pulau Nusa Penida potensial untuk pengembangan penggemukan sapi untuk menghasilkan daging yang berkualitas. Pada prinsfnya, alam Bali memiliki potensi yang begitu besar untuk dikembangkan menjadi ecotourism.
Lebih lanjut Sudibya (2002) menjelaskan, saat ini di Bali sudah ada atraksi wisata yang erat hubungannya dengan prinsip ecotourism, seperti misalnya, arung jeram (whitewater rafting), cruising/sailing, taman burung, taman gajah, taman reptil, taman kupu-kupu, taman anggrek, dan wisata berkuda (horse riding).
Dalam rangka mempercepat penyeimbangan dan keselarasan pembangunan antar wilayah/kawasan Badung Utara dan Badung Selatan telah diupayakan penataan kawasan pertanian khususnya perkebunan yang sangat potensial di wilayah Badung Utara menjadi suatu kawasan agrowisata yang akhirnya dapat menjadi pembangunan industri dan agrobisnis. Untuk mewujudkan hal itu telah pula dilakukan kerja sama dengan beberapa BUMN seperti BTDC untuk mengembangkan tanaman hias dan bunga di wilayah Badung Utara. Sementara untuk merangsang pembangunan sektor pertanian telah diberikan berbagai stimulan baik berupa benih, subsidi pupuk, pemberdayaan lembaga pangan, dan pemberdayaan kelompok wanita tani. Yang lebih mendidik lagi dengan adanya kebijakan Pemerintah Daerah untuk membebaskan/memberi subsidi pajak terhadap PKD, pelaba pura dan tanah masyarakat yang terkena jalur hijau. (Bisnis Bali Online:2003)
Beberapa kawasan yang telah berkembang dan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan agrowisata di Bali (Bapeda Bali, 1995) adalah sebagai berikut:
a) Kawasan Pertanian Hortikultural di Baturiti Tabanan dan Pancasari Buleleng
b) Kawasan Perkebunan Rakyat Salak Bali di Sibetan Karangasem
c) Kawasan Terasering Sawah Jatiluwih Tabanan
d) Kawasan Perkebunan Kopi di Pupuan Tabanan
e) Kawasan Petang Badung
f) Kawasan Kintamani Bangli
g) Kawasan Peternakan Ayam di Tiingan, Tegak, dan Pempatan
h) Kawasan Peternakan Sapi Putih di Taro Gianyar
i) Kawasan Perkebunan Anggur di Seririt dan Grokgak Buleleng, dan
j) Beberapa Kawasan Perkebunan Milik PD Prov Bali yang berada di Jembrana.
Perkembangan real Agrowisata di Bali, Faktor penghambat, Faktor pendorong berkembangnya Agrowisata.
Wisatawan yang berkunjung ke Bali belakangan ini memiliki kecenderungan tidak sekedar menikmati keunikan sosial budaya tetapi perhatian akan lingkungan yang semakin meningkat (Sudibya, 2002).
Pada hakekatnya setiap ekosistem dengan segala isinya (sumber daya alam fisik dan hayatinya) merupakan atraksi wisata yang dapat dikembangkan untuk objek wisata alam. Semakin beragam kegiatan wisata alam semakin banyak pula membutuhkan atraksi (Fandeli, 2001)
Kecenderungan di atas mengisyaratkan, pariwisata Bali sebaiknya lebih diperkaya lagi dengan bentuk/produk pariwisata yang lainnya, tidak sekedar menampilkan produk yang telah ada. Agrowisata paling mungkin dikembangkan, karena Bali memang memiliki potensi besar sebagai pendorong diversifikasi produk pariwisata sekaligus produk pertanian.
Sedangkan kendala yang harus dicarikan jalan keluar bersama-sama dalam mengelola agrowisata, di antaranya belum siapnya jaringan transportasi ke lokasi, atau belum memadainya fasilitas di tempat tujuan. Kendala lainnya promosi dan pemasaran agrowisata yang masih terbatas, di mana untuk memperkenalkan potensi agrowisata masih terhalang rendahnya dana promosi dan kurangnya sarana promosi. Selain itu kurangnya kesadaran pengunjung akan lingkungan, koordinasi yang belum berkembang, terbatasnya kemampuan manajerial di bidang agrowisata, dan belum adanya peraturan yang lengkap mengenai tata cara pengusahaan agrowisata di Indonesia (http://lampungpost.com)
Posisi Agrowisata dikaitkan dengan Pariwisata Budaya yang dikembangkan di Bali.
Fenomena pariwisata pada hakikatnya adalah kebutuhan naluriah manusia untuk mengetahui, mencari, mempelajari, menemukenali, mengalami, menikmati sesuatu yang tidak ada di tempat tinggalnya, baik yang bersifat alami maupun budaya. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam dan budaya beserta sarana dan prasarana pendukung yang diperlukan harus dilaksanakan dengan prinsip membangun sekaligus melestarikan.
Kepariwisataan menempatkan kebihnekaan sebagai sesuatu yang hakiki, yang harus ada, dan melalui kebhinekaan tersebut dapat ditumbuhkan pengertian dan saling menghargai di antara sesama manusia, sesama masyarakat, dan sesama bangsa yang selanjutnya membentuk kesadaran bahwa manusia sesungguhnya berderajat sama. Kepariwisataan tidak mepersoalkan perbedaan agama, perbedaan ras, dan perbedaan suku bangsa. Dalam pada itu, kepariwisataan mempunyai hubungan interpedensi dengan pembangunan nasional, dalam arti pembangunan pariwisata dapat mengakselerasikan pembangunan nasional, sebaliknya dinamika pembangunan nasional akan mempengaruhi pula perkembangan pariwisata. Selain itu, kompleksitas kegiatan pariwisata dan sifat pengembangannya yang tidak dapat berdiri sendiri, terkait dengan berbagai sector pembangunan yang mencakup hampir seluruh spectrum pekerjaan, sehingga diperlukan komitmen yang konsisten.
Berdasarkan penalaran di atas, hakikat Pembangunan Kepariwisataan Nasional adalah pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya. Pembangunan Kepariwisataan Nasional dilaksanakan oleh seluruh masyarakat setempat sehingga dapat dirasakan sebagai perbaikan taraf hidup yang berkeadilan sosial. Pembangunan Kepariwisataan Nasional dikembangkan melalui pendekatan kesisteman yang utuh dan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, berencana, bertahap, dan berlanjut; dilakukan oleh dan untuk rakyat dengan menggunakan bahan dan kreativitas dari rakyat; mencakup segenap aspek kehidupan berbangsa yang meliputi geografi, kekayaan alam, kependudukan, ideology, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan; serta senantiasa mengarah kepada semakin kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa disamping semakin tingginya tingkat keamanan dan kesejahteraannya. Kesemuanya itu adalah system pariwisata pada tataran makro.
Adanya kegiatan pariwisata memberikan penghasilan bukan saja kepada mereka yang langsung terlibat, melainkan juga kepada yang lainnya melalui dampak berganda melalui dampak berganda “multiflier efect” yang terjadi baik bersifat fisik maupun non fisik. Akan tetapi, demi kelanjutan dan perkembangannya, kegiatan pariwisata juga menuntut adanya jaminan keamanan dan ketertiban yang memberikan perlindungan, keteraturan, kepastian dan ketenangan. Dengan demikian, pembangunan Kepariwisataan Nasional akan menggugah kesadaran seluruh bangsa Indonesia untuk mengembangkan kemampuan dan aktifitasnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan keamanan atau memperkuat daya tangkal bangsa.
Tri Hita Karana adalah filosofi dalam pemahaman umat Hindu di Bali berkaitan dengan kepercayaan bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan Tuhan sekaligus menjadi karunia Tuhan kepada umat manusia untuk memanfaatkannya guna kelangsungan hidup mereka. Tuntunan sastra agama Hindu mengajarkan agar alam semesta senantiasa dijaga kelestarian dan keharmonisannya.Tri Hita Karana merupakan bentuk perangkat tiga jalan menuju kesempurnaan hidup, yaitu: (1) hubungan manusia dengan Tuhan sebagai "atma – jiwa" dituangkan dalam bentuk ajaran agama yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai upacara persembahan kepada Tuhan. (2) hubungan manusia dengan alam lingkungannya sebagai "angga – badan" tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah pendukungnya (pertanian) yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut "Desa Pekraman". (3) hubungan manusia dengan sesamanya sebagai "khaya – tenaga" yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut "Krama Desa" atau warga masyarakat adalah tenaga penggerak untuk memadukan "atma" dan "angga".
Bukti sejarah Bali yang panjang dalam menata dan menjaga lingkungan hidup yang dilandasi oleh filosofi Tri Hita Karana (keselarasan hubungan antara manusia-alam dan Tuhan), memberikan keyakinan yang kokoh pada masyarakat Bali dalam menyikapi kehidupan secara turun temurun.
Falsafah yang menyangkut hubungan antara manusia dan alam sangat dikenal dengan falsafah segara-gunung, merupakan satu gambaran siklus kehidupan yang harus dijaga. Bagaimana gunung dan hutan harus dijaga, karena gunung memberikan air dan hutannya merupakan sistem reservoir alami yang mengatur suply sumber- sumber air dibagian lerengnya. Lereng gunung yang merupakan daerah subur diolah menjadi persawahan terrasering dengan pengaturan sistem tata air yang dinamakan Subak diatur menjadi hukum adat yang harus dipatuhi oleh para petani dan para petani sangat membutuhkan sistem pengairan tersebut. Sistem subak ini telah berjalan berabad-abad dan menjadi bagian penting dalam siklus kehidupan masyarakat Bali.
Kesadaran terhadap pentingnya harmonisasi antara upaya manusia dalam mengolah alam dan hukum alam yang merupakan sebab akibat yang bersifat tetap telah tertanam dalam tradisi masyarakat Bali. Meski Bali merupakan sebuah pulau yang memadai dalam unsur-unsur ekologisnya, termasuk memiliki sistem tata air tersendiri, artinya pengembangan agrowisata sangat relevan dengan konsep Tri Hita Karana yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bali.
Pembangunan prasarana pariwisata biasanya merangsang investasi lebih jauh, yang membutuhkan ruang wilayah yang lebih luas serta mengubah lingkungan alaminya. Daerah pengembangan wisata di Bali, yang umumnya terdapat di wilayah pesisir, secara umum menimbulkan dampak lingkungan, seperti pengurugan hamparan terumbu karang dan menyebabkan timbulnya sedimentasi di dasar laut. Hal itu menimbulkan dampak yang bersifat sentrifugal (meluas ke arah luar), karena kemudian dibutuhkan sarana dan prasarana jalan yang lebih baik untuk mencapainya.
Perubahan lingkungan tak dapat dihindari juga memberikan dampak pada kondisi sosial dan budaya dari masyarakatnya. Wilayah yang terdesak dengan pedayagunaan sumberdaya alam tak dapat dicegah jika perencanaan dan pembangunan infrastruktur pariwisata tidak pada tempatnya. Ruang dan sumberdaya alam adalah rantai yang menghubungkan aspek sosial budaya dengan lingkungannya.
Sikap dasar tradisi yang lebih bertumpu pada keselarasan hidup kesadarannya lebih merupakan ikatan terhadap ruang yang terkesan statis. Akibat perubahan lingkungan, pengaruh besar main stream modernisme yang mendunia juga mempengaruhi Bali, secara umum terkesan berseberangan dengan nilai-nilai tradisi dan pertemuan keduanya sering menimbulkan benturan-benturan negatif.
Masyarakat modern yang kesadarannya lebih diikat oleh waktu, telah melahirkan pola hidup yang didasari pada pertimbangan efisiensi, efektifitas, sistematis dan terukur secara ekonomis, mau tidak mau akan mempengaruhi secara kuat pola hidup manusia dimasa mendatang. Namun pada kondisi saat ini khususnya yang berada dalam proses transisi yang sebagian besar berada dinegara yang sedang berkembang, filsafat modern hanya diterima kulit luarnya saja dan hanya menyentuh gaya hidup. Pada kondisi tradisional semacam ini, banyak tingkah laku sosial yang membuka peluang buruk terhadap lingkungan hidup.