Pendekatan Terpadu Hukum Islam Dan Sosial
Berkaitan dengan banyak hal, era modern saat ini telah mengantarkan fiqih (hukum Islam) pada posisi problematis dan dilematis. Fiqih bukan hanya kesulitan menuntaskan berbagai masalah dan isu sosial yang dihadapi tapi juga masih gagap mendefinisikan kediriannya, terutama dalam konteks merumuskan metode hukum yang viable dipergunakan menuntaskan berbagai masalah tersebut. Dalam pandangan Coulson, problem inilah yang merupakan di antara sebab terjadinya “konflik dan ketegangan” antara teori dan praktek dalam sejarah penelitian dan penerapan hukum Islam. Di sisi lain, problem akut ini pula yang sekarang ini telah menstimulasi berbagai upaya pembaruan dalam bidang ini.
Dalam perspektif umum setidaknya ada tiga level yang mesti dilakukan dalam upaya merekonstruksi fiqih. Pertama, level pembaruan metodologis yaitu perlunya interpretasi terhadap teks-teks fiqih klasik secara kontekstual, bukan teks mati; bermazhab secara metodologis (manhaj); dan verifikasi ajaran yang pokok (usul) dan cabang (furu’). Dalam level ini setidaknya dapat ditempuh dua upaya yaitu dekonstruksi (al-qat’iyah al-ma’rifiyah) dan rekonstruksi (al-tawasul al-ma’rifi). Kedua, pembaruan level etis yaitu perlunya menghindari upaya formalisasi dan legalisasi fiqih, dan lebih meneguhkannya sebagai etika sosial. Ketiga, pembaruan level filosofis yaitu mengantarkan fiqih sebagai yang selalu terbuka terhadap filsafat ilmu pengetahuan dan teori-teori sosial kontemporer. Kohesivitas dalam ketiga level inilah idealitas pembaruan hukum Islam diharapkan menuai kontinum keberhasilan.
Sebagai langkah awal dari upaya rekonstruksi fiqih, tulisan berikut berihtiar menjelaskan sebuah tawaran solusi metode fiqih, yaitu a univied approach to shari’ah and social inference. Secara sederhana, metode ini berusaha menjembatani dan “memadukan” pendekatan tekstual (normatif) dan pendekatan kontekstual (historis-empiris) secara simultan dalam model penelitian ilmiah yang “Islami”. Asumsi dasarnya bahwa upaya ini akan bermanfaat bagi alternasi metode penemuan hukum Islam di era multi cultural dan religius ini.
Persoalan Tekstualitas Metode Penemuan Hukum Islam.
Dalam perspektif ushul fiqih, setidaknya terdapat tiga pola (tariqat) atau metode ijtihad, yaitu bayani (linguistik), ta’lili (qiyasi: kausasi) dan istislahi (teleologis). Ketiganya, dengan modifikasi di sana sini, merupakan pola umum yang dipergunakan dalam menemukan dan membentuk peradaban fiqih dari masa ke masa. Dengan berbagai pola dan basis epistemik inilah lahir dan tersusun ribuan kitab fiqih dengan derivasi cabang yang bermacam-macam di dalamnya.
Pola ijtihad bayani adalah upaya penemuan hukum melalui interpretasi kebahasaan. Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada sekitar penggalian pengertian makna teks. Usaha ini mengandung kelemahan jika dihadapkan dengan permasalahan yang baru yang hanya bisa diderivasikan dengan makna yang jauh dari teks. Pola implementasi inilah yang berkembang dan dipergunakan oleh para mujtahid hingga abad pertengahan dalam merumuskan berbagai ketetapan hukum. Mereka hanya melakukan reproduksi makna dan belum melakukan produksi makna baru.
Sebagai pengembangan, sebenarnya pada masa kontemporer ini mulai ada upaya rethinking metode ini dengan memakai alat bantu filsafat bahasa yang memungkinkan dapat melakukan produksi makna baru. Salah satu pendekatan dimaksud adalah interpretasi produktif yang dikemukakan oleh Gadamer. Interpretasi produktif sebagai model dari hermeneutika memiliki relevansi tersendiri dalam upaya interpretasi terhadap penemuan hukum Islam. Mekanisme interpretasi produktif Gadamer ini dimulai dengan memandang suatu teks tidak hanya terbatas pada masa lampau (masa teks itu dibuat) tetapi memiliki keterbukaan untuk masa kini dan mendatang untuk ditafsirkan menurut pandangan suatu generasi. Sebagai hal yang bersifat historis, sebuah pemahaman sangat terkait dengan sejarah, yaitu merupakan gabungan dari masa lalu dengan masa sekarang.
Namun, upaya ini sepertinya tidak begitu berkembang. Karena kurangnya spisifikasi analisis sosial dan tiadanya mekanisme operasional yang jelas adalah di antara faktor kurang berkembang dan diminatinya metode ini. Akhirnya, apriori asumsi muncul bahwa pengembangan penafsiran teks dengan memakai tawaran Gadamer ini, bagaimanapun diusahakan, tetap saja akan terjebak dengan hegemoni makna lama dari pada pencapaian makna baru. Dalam konteks sebagai sarana bantu penyelesaian kasus hukum baru, upaya penafsiran ini berimplikasi pada pencapaian status hukum yang tetap rigid dan kaku. Karena, upaya maksimal yang dapat dilakukan hanya mampu memodifikasi makna baru teks, membuat metode ini hanya cocok dipakai dalam ranah terbatas.
Sedangkan pola ijtihad ke dua yaitu ta’lili (kausasi) berusaha meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nas ke kasus cabang yang memiliki persamaan illat. Dalam epistemologi hukum Islam pola ini teraplikasi melalui qiyas. Dasar rasional aplikasi pola ini adalah adanya keyakinan kuat mujtahid yang melakukan qiyas mengenai adanya suatu atribut (wasf) pada kasus pokok yang menjadi alasan ditetapkannya hukum yang berlaku terhadap kasus tersebut dan atribut yang sama terdapat pada kasus cabang sehingga hukum kasus pokok itu berlaku pada kasus cabang.
Dengan melihat dasar dan pola operasionalnya, terlihat bahwa metode ini sangat gagap jika harus dihadapkan pada penyelesaian berbagai kasus baru yang muncul. Ke-monolitik-an metode ini menguasakan hukum segala persoalan aktual kepada nas, dengan cara menempelkan hukum masalah di dalam nas (asal) kepada cabang. Deduktifitas qiyas –dengan sendiri– menjauhkannya dari nuansa empirical approach, alih-alih equilibrium approach bagi sebuah metode, yang mengakibatkan produk hukum yang dihasilkan terasa utopis, sui generis, dan “ngawang-ngawang”, tidak menyelesaikan masalah. Karena, ideal sebuah metode penemuan hukum tidak semata berpijak pada nalar bayani (bahasa, teks, nas) akan tetapi perpaduan gerak nalar bayani dan nalar alami (perubahan empirik).
Upaya penemuan metode yang prospektif-futuristik sebenarnya dapat diharapkan pada pola ijtihad istislahi yang lebih memberi ruang kepada kemungkinan analisis sosial. Namun usaha yang dirintis oleh al-Ghazali dan tertata sebagai bidang keilmuan yang mantap dan terstruktur di tangan as-Syatibi ini tidak begitu berkembang, dipakai sebagai piranti ijtihad. Alasan umum realitas ini adalah tiadanya kata mufakat di antara pemikir akan otensitas dan landasan epistemik pola ini sebagai metode penemuan hukum Islam. Sebagaimana akan terlihat nanti betapa prospek metode ini akhirnya hilang dan baru muncul pada akhir-akhir ini dengan format, struktur dan kemasan yang modern.
Sampai di sini, terasa sekali kesan bahwa studi hukum Islam yang berkembang selama ini adalah semata-mata bersifat normatif dan sui-generis. Kesan demikian ini sesungguhnya tidak terlalu berlebihan, karena jika kita cermati dari awal dan mendasar, usul al-fiqh sendiri –yang nota bene merupakan induk dasar metode penemuan Islam itu sendiri— selalu saja didefinisikan sebagai "القواعد لإستنباط الآحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية" “seperangkat kaidah untuk mengistimbathkan hukum syar’i amali dari dalil-dalilnya yang tafsili”.
Istilah yang tidak pernah lepas tertinggal dari semua definisi usul al-fiqh tersebut adalah kalimatمن أدلتها التفصيلية . Ini memberi kesan sekaligus membuktikan bahwa kajian metode hukum Islam memang terfokus dan tidak lebih dari pada analisis teks. Lebih dari itu, definisi di atas juga memberi petunjuk bahwa hukum dalam Islam hanya dapat dicari dan diderivasi dari teks-teks wahyu saja (law in book). Sementara itu, realitas sosial empiris yang hidup dan berlaku di masyarakat (living law) kurang mendapatkan tempat yang proporsional di dalam kerangka metodologi hukum Islam klasik.
Lemahnya analisis sosial empiris (lack of empiricism) inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini. Dari tiga model metode penemuan hukum Islam yang merupakan jabaran dari ushul fiqh klasik di atas, adalah ilustrasi nyata akan semua asumsi sulitnya kajian hukum Islam memberi proporsi yang seimbang bagi telaah empiris. Studi ushul al-fiqh pada akhirnya masih berputar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif dan tetap saja bersifat sui-generis.
Kesulitan ini dari masa ke masa tetap saja merupakan tantangan yang belum terjawab tuntas. Walaupun usaha menjawab tantangan ini telah banyak dilakukan diantaranya melalui tawaran metodologis yang diusulkan oleh para pemikir hukum Islam klasik seperti al-Ghazali dengan metode induksi dan tujuan hukumnya maupun asy-Syatibi dengan induksi tematisnya. Menurut sebagian pengamat, meskipun telah merintis jalan pengembangan analisis empiris, tetapi dalam praktek dan kebanyakan tulisan mereka masih terpusat pada analisis normative-tekstual. Demikian juga upaya pembaruan pemikiran kontemporer, sebagaimana dilakukan oleh Fazlur Rahman sampai Muhammad Sahrur, masih belum memberikan ketegasan untuk menjawab pertanyaan sekaligus persoalan di atas. Artinya, meskipun telah demikian jauh diupayakan perluasan (makna) teks melalui berbagai cara, kecenderungan mendasar tekstualitas sekaligus kurangnya analisis empiris metode penemuan hukum Islam masih belum terselesaikan. Paling tidak secara metodologis hukum Islam, dengan demikian, masih menyisakan ruang kosong (jarak) antara dirinya dengan realitas di sekelilingnya.
Tekstualitas metode penemuan hukum Islam (ushul al-fiqh) tersebut di atas tentu saja bukan suatu kebetulan. Sebaliknya, ia merupakan karakteristik yang lahir dari satu sistem paradigma, epistemologi dan orientasi kajian tertentu. Penjabarannya bisa dilacak lebih jauh dengan adanya fakta bahwa sebagian besar umat Islam masih menganut subjektifisme teistik yang berimplikasi pada satu keyakinan bahwa hukum hanya dapat dikenali melalui wahyu Ilahi yang dibakukan dalam kata-kata yang dilaporkan Nabi berupa al-Qur’an dan as-Sunnah. Contoh dari keyakinan inilah yang tampaknya telah ikut menggiring fokus wacana hukum Islam pada analisis teks-teks suci tersebut.
Disadari bahwa kecenderungan tekstualitas yang berlebihan dalam metode penemuan hukum seperti ini pada gilirannya telah memunculkan kesulitan dan ketidak-cakapan hukum Islam itu sendiri dalam merespon dan menyambut gelombang perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in book oriented dan kurang memperhatikan law in action --sebagai akibat dari kecenderungan tekstualitas metodologinya-- tidak kecil kemungkinan akan selalu tertinggal di belakang sejarah; sampai batas tertentu bahkan mungkin ditinggalkan karena tidak releven lagi dengan situasi aktual umatnya.
Dalam pandangan Louay Safi, sangat terbatasnya metode-metode klasik untuk diterapkan dalam menghadapi realitas modern inilah, sesungguhnya, kesulitan yang dihadapi pemikir muslim saat ini. Ketidak-cakapan metode tradisional juga terungkapkan dalam dua kecenderungan yang saling berlawanan secara diametral, yaitu pembatasan lapangan ijtihad ke dalam penalaran legalistik dan adanya kecenderungan menghilangkan seluruh kriteria dan standar rasional dengan menggunakan metodologi yang murni intuitif dan esoteris. Aspek lain dari keterbatasan tersebut adalah ketika studi fenomena sosial mengharuskan pendekatan holistik yang dengan cara demikian relasi-relasi sosial disistematisasikan menurut aturan-aturan universal, justru metode klasik bersifat atomistik yang pada dasarnya disandarkan pada penalaran analogis.
Keterbatasan metode klasik tersebut pada akhirnya membawa kajian keislaman pada satu krisis metodologis yang melanda hampir seluruh wilayah kajian Islam termasuk di bidang hukum. Pada situasi seperti inilah kemunculan satu tawaran alternatif yang bisa menutupi kekurangan metode sebelumnya menjadi sangat diharapkan. Khususnya di dalam hukum Islam, adanya upaya metodologi baru diharapkan bisa memberi jalan yang lebih memungkinkan untuk menjembatani problem tekstualitas tersebut di atas ke arah kontekstualisasi metode penemuan hukum Islam.
Pendekatan Terpadu Hukum Islam dan Sosial
Krisis metodologi keilmuan Islam, yang berpangkal pada kurangnya dimensi empirisitas serta tidak adanya sistematisasi secara menyeluruh, disadari oleh para pemikir muslim sebagai persoalan yang harus segera mendapatkan terapi intelektual. Akan tetapi, kekurangan tersebut tidak dapat semata-mata ditutup atau diganti dengan menerapkan ilmu-ilmu sosial modern Barat. Hal itu disebabkan karena metode dan pendekatan ilmu-ilmu sosial modern juga tengah mengalami krisis epistemologis yang tidak kalah akutnya. Jika metode dan pendekatan keilmuan Islam terjebak pada analisis tekstual dan kurang mengapresiasi dimensi sosial-empiris, maka sebaliknya, keilmuan Barat terjebak pada positivisme yang tidak pernah memperhitungkan dimensi normative (wahyu) dalam metode dan pendekatannya.
Berdasarkan hal itu, maka sesuatu yang diperlukan adalah sebuah upaya mendekatkan, secara epistemologis, dua karakteristik keilmuan tersebut sehingga melahirkan sintesa positif yang diharapkan bermanfaat bagi keduanya, yaitu dapat diterimanya dimensi normatif di dalam analisis sosial keilmuan Barat; sementara bagi ilmu-ilmu keislaman dapat membantu memasukkan fakta-fakta sosial empiris di dalam analisis tekstualnya. Menyatukan elemen religius ke wilayah ilmu sekuler ini, menurut Abu Sulayman, tentu saja berarti suatu proses restorasi wahyu dan akal yang harus “berhenti” dan beroleh pada proses metodologis tertentu. Yang perlu dicatat bahwa integrasi ini bukanlah suatu percampuran eklektik dari Islam klasik dan Barat modern, tetapi lebih sebagai reorientasi seluruh bidang pengetuhuan kemanusiaan sesuai dengan sejumlah kategori dan kriteria baru atas dasar Islam.
Apa yang coba diupayakan oleh Louay Safi dalam Towards A Unified Approach to Shari’ah and Sosial Inference dan tokoh lain, adalah dalam kerangka tersebut di atas. Dalam usulannya, Safi terlebih dahulu menjelaskan bagaimana setiap pengetahuan tidak bisa lepas dari pra-anggapan tertentu atau tidak bebas nilai (value free); bagaimana wahyu juga mengandung suatu “rasionalitas” tertentu dan; bagaimana realitas wahyu dan realitas empiris sama-sama bisa menjadi sumber pengetahuan. Menurutnya, ilmu dan aktifitas ilmiah adalah akibat dari ontologi tertentu yang mengaitkan upaya ilmiah dengan individu dan lingkungannya dan melengkapinya dengan dasar motivasional. Sebaliknya, aktivitas ilmiah mengandaikan sejumlah pernyataan tentang sifat eksisten, suatu kebenaran yang harus diakui sebelum terlibat dalam berbagai studi empiris. Oleh sebab itu, memisahkan kebenaran keagamaan (metafisika, wahyu) dari wilayah ilmiah –terutama wilayah ilmu-ilmu sosial-- adalah pendapat yang tidak dapat dibenarkan.
Perlu digasrisbawahi bahwa “ilmu sosial” yang dimaksudkan oleh Safi dalam a univied approach to shari’ah and sosial inference, menurut penulis, adalah ilmu sosial kemanusiaan (humaniora) secara umum. Oleh sebab itu, ia tidak hanya terbatas pada ilmu sosiologi saja, tetapi mencakup pula ilmu sejarah, antropologi, politik dan sebagainya dengan karakternya yang “historis”, empiris dan tedas makna. Ini tampak ketika Safi memaparkan kekhasan “ilmu sosial” dihadapan metode-metode kealaman (naturalistic methods). Penolakan wahyu dalam analasis ilmiah karena itu menjadi tidak relevan terutama dalam bidang ilmu-ilmu sosial humaniora. Sebagai konsekuensinya, maka sumber-sumber pengetahuan juga harus digali baik dari wahyu maupun dari realitas empiris-historis. Meski demikian, pemaduan ini (univied model), disadari oleh Safi, tidak dimaksudkan untuk mengharmonisasikan (mencampuradukkan) secara eklekstis antara dua tradisi (keilmuan Islam dan Barat), akan tetapi mengintegrasikan pengetahuan yang diperoleh oleh dari wahyu dengan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman manusia.
Lebih jauh bagaimana upaya merumuskan kerangka dasar dan bagaimana langkah-langkah metodologis dari upaya mengintegrasikan normativitas (wahyu) dan rasionalitas (empirisitas) itu menjadi mungkin dilakukan? Bagi Safi, hal ini mungkin dilakukan dengan terlebih dahulu membuat inferensi tekstual dan historis-empiris untuk kemudian dibuatkan analisisnya yang bersifat “terpadu” antara keduanya. Kedua inferensi tersebut dilakukan dengan suatu prosedur inferensi yang khas, sebagaimana dijelaskan Safi sebagai berikut:
Prosedur Inferensi Tekstual
Prosedur inferensi tekstual ini dimaksudkan untuk menderivasi aturan-aturan dan konsep-konsep dari wahyu secara sistematis dan memadai. Ada empat langkah yang harus dilewati dalam prosedur ini, yaitu:
1. Mengindentifikasi teks (al-Qur’an dan Sunnah) yang relevan dengan persoalan yang sedang dibahas. Tetapi identifikasi ini tidak semata-mata inventarisasi, tetapi mencakup pula analisis dan pendalaman linguistik secara tematis.
2. Memahami (menafsirkan) makna pernyataan teks secara memadai dan relevan baik secara individual (leksikal) maupun dalam kaitanya dengan yang lain (secara kontekstual).
3. Menjelaskan (ta’lil) terhadap teks, yaitu mengidentifikasi causa efisien (‘illah) yang menjadi dasar adanya perintah atau petunjuk dalam teks. Ini bertujuan mengindentifikasi sifat umum yang dimiliki oleh benda yang berbeda-beda yang menjustifikasi acuan pengunaan term yang sama sebagai langkah awal menemukan prinsip-prinsip universal yang mengatur berbagai pernyataan syari’ah.
4. Membangun suatu aturan dan konsep umum yang diderivasi dari teks. Ini dapat dicapai dengan proses abstraksi terus-menerus, sehingga aturan/konsep hasil derivasi dari teks itu dapat dimasukkan ke dalam aturan lain yang memiliki tingkat abstraksi lebih tinggi.
Secara sederhana dapat digambarkan dalam ragaan di bawah ini:
Ragaan Prosedur Inferensi Tekstual
Sebelumnya harus disadari bahwa bagaimanapun canggihnya sistem aturan dan konsep yang berhasil diderivasikan dari wahyu, hal itu tidak cukup memadai untuk mendasari perbuatan/tindakan tertentu, karena dua alasan. Pertama, sistem itu sendiri terdiri dari aturan general dan universal, aplikasinya terhadap kasus partikular membutuhkan pertimbangan dan spesifkasi lebih lanjut. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan informasi tentang watak aksi dan interaksi individual atau kolektif. Kedua, aplikasi aturan universal mensyaratkan pengetahuan tentang syarat-syarat yang ada. Aplikasi aturan dimungkinkan ketika syarat teoretis dari suatu aksi bersesuaian dengan kondisi aktualnya.
Berdasarkan hal itu diperlukan suatu studi terlebih dahulu terhadap aksi dan interaksi manusia sebelum suatu aturan wahyu diimplementasikan. Dalam hal ini diperlukan satu inferensi sosial-historis (empiris) yang berbeda dengan metode Barat yang harus dimulai dari menganalisis elemen-elemen dasar yang membentuk fenomena, yakni aksi manusia dengan prosedur inferensi seperti di bawah ini.
Prosedur Inferensi Historis
1. Menganalisis aksi individu yang termasuk ke dalam fenomena sosial yang sedang dibahas. Maksud yang ingin diketahui di sini adalah tujuan, motif dan aturan aksi tersebut. Tujuan adalah seluruh obek yang dikemukakan oleh aktor. Motivasi adalah dorongan psikologis aktor. Sedangkan aturan adalah suatu prosedur teknis (hukum-hukum sosial) yang harus diikuti untuk mencapai tujuan aksi.
2. Mengklasifikasi berbagai bentuk atau tipe aksi berdasarkan kesamaan atau perbedaan komponennya (tujuan, motif dan aturannya). Aksi yang bertujuan sama akan membentuk satu kelompok homogen, sebaliknya aksi yang bertujuan berbeda akan terbagi dalam populasi heterogen.
3. Mengidentifikasi aturan-aturan universal yang membangun interaksi antara berbagai kelompok yang diidentifikasi pada langkah kedua. Guna menarik aturan-aturan universal atau hukum-hukum interaksi, pola-pola kerja sama dan konflik, dominasi dan submisi, pertumbuhan dan kemunduran sosial harus dikaji secara komparatif melampaui batasan waktu dan geografi.
4. Sistematisasi aturan-aturan universal yang didapatkan dari langkah sebelumnya. Ini dimaksudkan untuk menghilangkan inkonsistensi internal di dalam sistem aturan yang dihasilkan.
Berikut digambarkan ragaan prosedur inferensi historis.
Ragaan Prosedur Inferensi Historis
Setelah dilakukan inferensi tekstual dan historis (sosial-empiris), maka kemudian dapat disusun suatu prosedur inferensi yang padu antara keduanya. Hal ini, menurut Safi, dikarenakan keduanya memiliki suatu pola-pola general inferensi ilmiah. Inferensi terpadu tersebut dapat dilakukan melalui prosedur berikut:
1. Analisis teks atau fenomena ke dalam komponen-komponen dasarnya, yaitu pernyataan (wacana) dan aksi (fenomena)
2. Pengelompokkan pernyataan atau aksi yang sama di bawah satu kategori
3. Mengidentifikasi aturan-aturan yang menyatukan berbagai kategori
4. Identifikasi aturan-aturan dan tujuan-tujuan general yang membangun interaksi atau inter-relasi berbagai kategori
5. Sistematisasi aturan-aturan yang diperoleh melalui prosedur-prosedur sebelumnya (menghilangkan kontradiksi).
Keterpaduan pola-pola inferensi tekstual dan historis di atas tidak terbatas pada persamaan prosedur analisis tektual dan historis, tetapi juga dapat diperluas kepada struktur aksi dan wacana. Baik aksi maupun wacana, sesungguhnya memiliki sistem aturan motif dan tujuan yang memungkinkan penyatuan dan koherensi serta memperbandingkan dan mempertentangkan antara keduanya. Di sinilah kiranya, dapat dicari lebih lanjut tentang pola hubungan antara wayhu di satu pihak dan rakyu, empirisitas di pihak lain. Tentang langkah-langkah pemaduan analisis tekstual dan historis dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini:
Ragaan Prosedur Inferensi Tekstual dan Historis Padu
Menuju Metode Penemuan Hukum Islam Kontekstual
Pendekatan metodologis yang digagas Louay Safi, sesungguhnya hanya menyajikan suatu model penelitian ilmiah (sosial) alternatif yang dekat dengan aspirasi Islam. Namun demikian, ancangan metodologi alternatif tersebut barangkali bisa dijadikan inspirasi bagi pengembangan studi hukum Islam yang mencoba mengapresiasi dan memasukkan data-data sosial empiris dalam analisisnya, meskipun disadari, bahwa Safi sendiri tidak memaksudkan kajiannya ini sebagai suatu pengembangan metode yang khusus di dalam hukum Islam.
Apabila dibawa ke dalam metode hukum Islam, maka integrasi ini berjalan di atas peta yang berbeda. Jika proses integrasi wahyu dan rakyu (empirisitas) dalam ilmu-ilmu sosial modern bergerak untuk memasukkan wahyu –yang sekian lama telah disingkirkan-- ke dalam analisis sosial-historis (empiris), maka hal itu terjadi pada arah yang sebaliknya dalam metode penemuan hukum Islam, yaitu membawa data-data dan fenomena sosial-historis (empiris) masuk ke dalam analisis hukum Islam (tekstual-wahyu).
Hal ini diakibatkan oleh karena dimensi sosial empiris-lah yang telah disingkirkan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini.
Pada tingkat metode keilmuan yang lebih operasional, proses tersebut mengandaikan adanya pendekatan “induksi sosial” dalam hukum Islam yang dilakukan secara simultan dengan pendekatan deduktif. Artinya, metode penemuan hukum Islam –mengikuti inferensi terpadu a la Louay Safi-- mesti memasukkan data realitas empirik dalam proses analisis dan penyimpulan hukumnya (Istinbath al-Ahkam), bukan semata-mata diderivasi dari teks. Cara induksi ini menurut Qodri Azizy, lebih hidup dan leluasa, tetapi perlu pembatasan sejauh mana seseorang dapat berinduksi dalam berhukum.
Kesulitan yang masih ditemukan dalam memasukkan realitas empiris itu adalah melalui jalan manakah realitas dan data-data sosial empirik itu dapat ditarik dan disertakan dalam analisis teori dan metode penemuan hukum Islam (Ushul al-Fiqh)? Dalam banyak hal pendekatan induksi sosial itu sendiri tampaknya lebih relevan bergerak untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan causa efisien maupun causa finalis (‘illah dan atau hikmah) dari objek-objek hukum dengan memanfaatkan baik ilmu-ilmu sosial maupun kealaman. Ketika kasus hukum telah disebut dalam teks tanpa disertai illat dan hikmah, analisis empiris bertujuan untuk menjelaskan atau mengungkapkan ‘illat dan hikmahnya guna memantapkan penerimaan terhadap hukum tersebut, atau juga mungkin untuk merubahnya. Bagi kasus hukum baru yang belum ada dalam teks, analisis empiris bertujuan untuk membangun fondasi hukum kasus tersebut. Dalam teori hukum Islam hal ini disebut ta’lil al-Ahkam atau kausasi hukum. Menurut penulis hal ini sesuai dengan inferensi historis Louay Safi, bahwa analisis aksi –pada langkah pertama inferensi hitorisnya-- berupaya membongkar tujuan, motif dan aturan. Metode ini paralel dengan analisis ta’lil dalam prosedur inferensi tekstual. Di sinilah kemudian dimensi sosial empiris dapat dimasukkan dalam setiap analisis hukum Islam.
Pada situasi ketika antara keduanya berhadapan secara kontradiktif, maka realitas empiris (misalnya institusi adat dsb.) harus direkonstruksi –sistem aturan dan tujuannya--sedemikian rupa dengan tetap memberinya hak hidup. Ini didasarkan kepada kesimpulan inferensi terpadu Safi, bahwa suatu aksi kolektif (fenomena sosial empiris) maupun wacana (wahyu) memiliki sistem aturan dan tujuan hingga memungkinkan dilakukannya penyatuan, memperbandingan atau mempertentangkan.
Berdasarkan hal itu maka pola hubungan yang terbangun bersifat bukan hirarkis, tetapi alternatif-saling mendukung antara realitas empiris dan wahyu dalam metode hukum Islam. Realitas empiris dan wahyu harus berfungsi komplementer dan berhubungan dialektis selamanya, baik ketika realitas sosial itu tidak terdapat dalam teks wahyu maupun ketika ia berseberangan dengan teks wahyu.
Berbagai bentuk pembaruan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, seperti taklik talak (pasal 45), pengaturan harta bersama/gono-gini (pasal 85-97), ahli waris pengganti (plaatsvervulling) untuk cucu yatim (pasal 185), wasiat wajibah untuk anak dan orang tua angkat (pasal 209) serta harta hibah yang diperhitungkan sebagai warisan (pasal 221), bisa dijadikan sebagai contoh sekaligus aplikasi pendekatan terpadu hukum Islam dan sosial ini. Sejauh pengetahuan penulis, semua bentuk pembaruan tersebut telah banyak terinsprasi sekaligus merupakan kreasi hukum Indonesia berhadapan dengan realitas sosial dan kultural yang benar-benar menjadi living law di masyarakat. Di bawah ini akan dibahas harta hibah orang tua kepada anaknya yang kemudian --ketika orang tua tersebut meninggal-- harta hibah tersebut diperhitungkan sebagai warisan bagi anak yang bersangkutan.
Kata “hibah” adalah bentuk masdar dari kata وهب yang artinya memberi. Secara istilah, pengertian hibah adalah pemilikan suatu benda melalui transaksi atau akad tanpa mengharap imbalan apapun dari orang yang diberi ketika pemberi masih hidup. Sedangkan dalam rumusan KHI pasal 171 huruf (g), disebutkan “Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki”.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa hibah dapat dilakukan oleh siapa saja yang cakap tanpa adanya unsur paksaan. Sebagaimana hal itu disebutkan dalam pasal 210 ayat (1) dan (2) KHI: (1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebaganyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. (2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah
Mengenai hibah orang tua kepada anaknya yang selanjutnya diperhitungkan sebagai harta warisan belum pernah ditemukan pembahasannya dalam literatur kitab-kitab fiqh. Pendeknya, hal ini merupakan suatu fenomena baru dalam konteks pemikiran hukum Islam. Di Indonesia sendiri, persoalan ini hanya dapat ditemukan dalam hukum adat, sebuah realitas sosial-kultural empiris di masyarakat kita.
Menurut Hilman Hadikusuma, dalam hukum adat, penerusan harta warisan yang bersifat individual --seperti dalam hukum waris Islam-- kepada para ahli waris dapat terjadi sebelum pewaris wafat maupun sesudahnya. Terjadinya penerusan harta warisan ketika pewaris masih hidup, di kalangan keluarga Jawa disebut “lintiran”. Hal ini berla`ku melalui penunjukkan dalam bentuk hibah-wasiat tertulis maupun tidak tertulis yang berupa pesan dari orang tua (pewaris) kepada ahli warisnya. Penunjukkan itu dilakukan dengan cara menentukan harta warisan tertentu kepada ahli waris tertentu, atau dengan menunjukkan batas-batas tanah pertanian, atau dengan menunjukkan jenis barangnya. Sedangkan di Aceh, apabila dilakukan wasiat, maka harta yang dapat dipesankan bagi ahli waris tertentu tidak boleh melebihi 1/3 jumlah seluruh warisan. Jika terjadi kelebihan, maka ketika diadakan pembagian warisan, bagian yang lebih itu dapat ditarik kembali.
Dalam persoalan hibah sebagai warisan ini, KHI mengkonstruksikannya secara tegas menjadi ketentuan hukum Islam yang positif. Dalam pasal 221 disebutkan sebagai berikut: “Hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.” Apabila kita perhatikan lebih jauh, maka terobosan baru KHI dalam bidang kewarisan ini ternyata mendasarkan diri pada realitas sosial yang hidup disekelilingnya, yaitu fenomena aksi kolektif berupa hibah wasiat. Meminjam inferensi historis Louay Safi, dapat dijelaskan bahwa formulasi (istinbath) hukum tersebut juga dilakukan dengan memasukkan analisis empiris terhadap fenomena hibah wasiat, dengan mengungkapkan motif dan tujuannya, yaitu mendistribusikan keadilan ekonomis dan menjaga perdamaian di antara anak-anaknya. Muatan pasal 221 KHI yang bertendensi untuk mendistribusikan keadilan bagi para ahli waris berarti sesuai dengan asas hukum kewarisan Islam, yaitu asas keseimbangan dan keadilan.
Sedangkan sistem aturannya di rekonstruksi sesuai dengan aturan (Furud al-Muqaddarah) dalam hukum waris Islam.
Sebagian pakar beranggapan bahwa penyerahan semacam ini dipandang sah dalam hukum Islam, karena sesungguhnya dilatarbelakangi keinginan untuk menghindari kemungkinan adanya rasa ketidakadilan di kalangan anak-anaknya. Para orang tua biasanya memberikan bagian-bagian tertentu dari hartanya kepada anak-anaknya yang telah berkeluarga. Kemudian, ketika orang tua meninggal maka harta tersebut diperhitungkan sebagai warisan, dengan ketentuan jika kurang maka dapat ditambah. Sebaliknya, jika dipandang lebih –sepanjang tidak merugikan orang lain-- dapat dikembalikan.
Sampai di sini maka dapat dikatakan bahwa hibah sebagai waris tidaklah bertentangan dengan hukum waris Islam. Betul bahwa hartanya diserah-terimakan pada saat pewaris (orang tua) masih hidup –sehingga menurut sebagian ahli tidak bisa anggap waris— tetapi itu hanya serah-terimanya. Akadnya masih tetap hibah (pada saat si orang tua masih hidup). Sebaliknya, sebutan harta warta waris baru muncul setelah pewaris (orang tua) meninggal –sesuatu yang memang diharapkan demikian oleh orang tua dalam tradisi di masyarakat.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa ketentuan KHI dalam hal ini tampak sekali mengakomodasi realitas empiris sebagaimana dikandung dalam nilai-nilai hukum adat yang telah hidup dan mapan di tengah masyarakat. Ketentuan KHI tentang hibah sebagai warisan, di samping mempertimbangkan tujuan dan motifnya, yaitu nilai-nilai kemaslahatan, berupa keadilan dan kedamaian tanpa saling cemburu secara sosial dalam pembagian tersebut, juga melakukan revisi sistem aturannya dengan memasukkan sistem pembagian tidak melebihi 1/3 harta keseluruhan, yang sesuai dengan hukum waris Islam.
Beberapa Catatan Akhir.
Usaha pembaruan metode penemuan hukum Islam dengan pendekatan terpadu berupa analisis inferensi historis dan tekstual, merupakan satu capaian intelektual yang cukup ideal --meskipun masih terasa sangat abstrak dan belum sepenuhnya mengejawantah. Sifat sui-generis metode penemuan hukum Islam tampaknya merupakan trade mark, yang mungkin memang harus demikian, nampaknya tidak mungkin dirubah. Namun demikian, hal ini perlu diimbangi dengan apresiasi proporsional terhadap realitas sosial yang harus dapat dibawa dan masuk dalam analisis penyimpulan hukumnya. Dengan membawa realitas empirik masuk ke dalam analisis penemuan hukum, akan sedikit ada jaminan hukum Islam di Indonesia dapat tampil lebih kreatif dan hidup di tengah-tengah proses regulasi sosial modern.
Tawaran pendekatan Louay Safi tampaknya sengaja diarahkan pada suatu upaya merekonstruksi suatu pemahaman di dalam wilayah baru yang belum ada teks-teks hukumnya dengan menghargai tradisi secara proporsional sekaligus mengurangi kesan arogansi intelektual. Hal ini dilakukan melalui penggabungan teori system dan teori aksi di dalam perangkat analisisnya. Inilah yang secara substansial harus diakui berbeda dari tawaran pembaruan pemikiran hukum Islam yang diajukan oleh Fazlur Rahman, Muhammad Sahrur dan kawan-kawannya. Meskipun begitu, paradigma pembacaan al-Qur’an yang mendasari kerja keilmuan ini masih menggunakan kategori qath’i dan dzanni –satu kategori yang dalam studi ilmu al-Qur’an sangat controversial.
Pembaruan yang ditawarkan Fazlur Rahman, Muhammad Sahrur dan kawan-kawannya, berdasarkan analisis Hallaq, lebih tertuju pada interpretasi makna baru terhadap teks-teks yang telah ada. Sebaliknya, kurang memberikan mekanisme yang jelas tentang bagaimana bersikap secara metodologis terhadap suatu fenomena yang teks, tidak memberikan status hukumnya. Inilah yang memberi kesan abstrak dan intelektual oriented, sehingga kurang membumi.
Sebagai catatan akhir, bolehlah dikatakan bahwa suatu pendekatan terpadu hukum Islam dan sosial memang menjadi suatu kebutuhan yang perlu terus ditindaklanjuti. Ini penting agar hukum Islam dapat terus dan kembali bermain dalam berbagai proses regulasi masyarakat modern. Sebuah cita-cita yang tentu saja meliputi seluruh bidang garap hidup dan kehidupan manusia.