Pengertian Sengketa Utang Pajak

Pengertian Sengketa Utang Pajak 
Pasal 29 ayat (1) UU KUP, “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.


Sebagai produk akhir dan pemeriksaan tersebut, tentu akan diterbitkan surat ketetapan pajak yang bisa berupa kondisi kurang bayar (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar/SKPKB) atau kurang bayar tambahan (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan/SKPKBT), lebih bayar (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar/SKPLB) ataupun nihil (Surat Ketetapan Pajak Nihil-SKPN). Namun, tidak tertutup kemungkinan terbitnya SKPLB atau SKPN juga bisa menimbulkan sengketa antara Wajib pajak dengan fiskus. Hal ini bisa terjadi apabila fiskus menertibkan SK.PLB dengan nilai lebih kecil dan nilai SKPLB yang diharapkan Wajib pajak. Menurut ketentuan Pasal I angka (5) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak), yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan Perundangan-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa. 


1. Upaya Penyelesaian Sengketa Utang Pajak
Seperti kita ketahui, sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesment di mana dengan sistem ini Wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan melunasi sendiri pajak yang terutang. Perhitungan pajak yang terutang ini didasarkan pada ketentuan perpajakan yang berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Dirjen Pajak. Di sisi lain, otoritas pajak, dalam hal ini DJP, diberikan tugas untuk melakukan pengujian dan pengawasan terhadap kepatuhan masyarakat WP terhadap ketentuan perpajakan. Dalam konteks inilah, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan pajak oleh DJP kepada sebagian WP.


Hasil pemeriksaan pada umumnya berbentuk surat ketetapan pajak (SKP) di mana SKP ini berfungsi untuk melakukan koreksi atas perhitungan yang dilakukan oleh Wajib pajak atau bisa juga untuk mengkonfirmasi kebenaran perhitungan oleh Wajib pajak. Jenis-jenis SKP ini adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).


Dalam proses penetapan pajak melalui pemeriksaan ini sering timbul sengketa pajak antara Wajib pajak dan otoritas pajak. Sengketa ini bisa disebabkan oleh perbedaan penafsiran atas ketentuan perpajakan, perbedaan pemahaman atas ketentuan perpajakan, perbedaan sudut pandang dalam menilai suatu fakta, bisa juga karena ketidaksepakatan dalam hal proses pembuktian. 


Untuk menyelesaikan sengketa seperti ini, maka ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh wajib pajak sebagaimana ketentuan UU KUP dalam Pasal 25, Wajib pajak dapat mengajukan keberatan, dengan menyampaikan surat keberatan, hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selain dari pada itu surat keberatan dapat disampaikan oleh Wajib pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. 


Pengajuan keberatan yang dituangkan dalam bentuk surat keberatan harus memenuhi syarat sebagaimana ketentuan dalam UU KUP Pasal 25 ayat-ayat berikut; (2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan; Ayat (3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya; Ayat (3a) Dalam hal Wajib pajak mengajukan keberatan atas surat etetapan pajak, Wajib pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sejumlah yang telah disetujui Wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, um surat keberatan disampaikan; ayat (4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana imaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.


Selanjutnya Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, keberatan yang diajukan WP dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib pajak. Namun demikian, Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar. 


Dalam hal tersebut, apabila WP masih belum menerima keputusan keberatan dan masih merasa keberatan juga, WP masih dapat menempuh upaya hukum berikutnya yaitu dengan mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak. Sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, Pasal 1 angka 6 yaitu : “Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku”.


Selanjutnya berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU KUP, Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. Sedangkan sebagimana ketentuan Pasal 26 Ayat (1) UU KUP, gugatan dapat dilakukan oleh WP atau Penanggung Pajak kepada badan peradilan pajak. Dengan demikian, proses pengajuan banding hanya dapat dilakukan apabila telah melalui proses keberatan. Sedangkan badan peradilan pajak yang dimaksud adalah Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002. 


Adapun syarat mengajukan banding yang harus dipenuhi Wajib pajak diatur dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yaitu: Pasal 35, yaitu ; 
Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak. 
Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. 
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon Banding. 


Dan Pasal 36, yaitu ; 
  • Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding. 
  • Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding. 
  • Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding. 
  • Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen). 


Selanjutnya masih ada upaya lain yang dapat ditempuh oleh WP, yaitu; dengan melakukan upaya Peninjauan Kembali yang diajukan kepada Mahkamah Agung, sebagaimana ketentuan UU Peradilan Pajak, Pasal 77 Ayat (3) ”Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung”.


Sedangkan Pasal 91 UU Peradilan Pajak, Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut : 
a) Apabila Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; 
b) Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda. 
c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada, yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 (1) b dan c UU Pengadilan Pajak; 
d) Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; 
e) Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.


Selanjutnya dalam Pasal 89 UU Peradilan Pajak, Ayat (1) Permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. (2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak. (3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.


KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

1. Peradilan Pajak 
Salah satu perangkat hukum yang memberi jaminan perlindungan hukum atas hak-hak wajib pajak adalah Badan Peradilan Pajak. Untuk memudahkan pemahaman tentang peradilan pajak, terlebih dahulu akan diberikan beberapa definisi tentang peradilan sebagaimana dibawah ini.


Menurut Apeldoorn:
Peradilan ialah memutuskan perselisihan oleh suatu instansi yang tidak mempunyai kepentingan dalam perkara maupun tidak merupakan bagian dari pihak yang berselisih, tetapi berdiri sendiri diatas perkara, dan menyelesaikan pokok perselisihan dibawah suatu peraturan umum.


Sedangkan peradilan pajak adalah implementasi acara prosedur, proses dan sistem kegiatan pengadilan dalam memutus kasus perpajakan dan konsekuensi hukumnya. Berdasarkan beberapa pengertian peradilan dari ahli hukum dan unsur-unsur dari suatu peradilan diatas dapat disimpulkan bahwa, pengertian peradilan pajak dalam arti luas adalah suatu proses penyelesaian semua bentuk sengketa pajak, baik oleh pejabat administrasi pajak maupun oleh badan peradilan pajak yang independen, yang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1. Merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh negara dalam arti sistem dengan wadah atau tempat yang bernama pengadilan;
2. Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan sebagainya khususnya di bidang hukum pajak;
3. Adanya suatu perselisihan hukum pajak yang nyata, seperti keberatan terhadap Surat Ketetapan Kurang Bayar, pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan atas pelaksanaan undang-undang penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa;
4. Ada sekurang-kurangnya dua pihak yang bersengketa, seperti wajib pajak melawan Direktur Jenderal Pajak mengenai pajak-pajak pusat atau wajib pajak melawan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mengenai pajak-pajak daerah.
5. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan, yaitu badan peradilan pajak yang mempunyai wewenang memutus perselisihan-perselisihan di bidang perpajakan.


Sedangkan dalam arti sempit, peradilan pajak adalah proses penyelesaian sengketa pajak oleh badan peradilan pajak yang independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Selama ini badan peradilan pajak telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan bentuk dan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa pajak, yaitu :
1. Majelis Pertimbangan Pajak (1915 s/d 1997), yang mempunyai kewenangan dalam hal banding pajak;
2. Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (1997 s/d 2001), yang mempunyai kewenangan banding pajak dan gugatan pelaksanaan penagihan pajak;
3. Pengadilan Pajak (2002), yang mempunyai kewenangan banding pajak, gugatan pelaksanaan penagihan pajak, dan gugatan pelaksanaan keputusan perpajakan.


Kemudian Rochmat soemitro merumuskan bahwa, peradilan pajak sebagai suatu proses dalam hukum pajak yang bermaksud memberi keadilan dalam sengketa pajak baik kepada Wajib pajak maupun kepada pemungut pajak (pemerintah) sesuai ketentuan undang-undang, dimana proses itu merupakan rangkaian perbuatan yang harus dilakukan oleh Wajib pajak atau pemungut pajak dihadapan suatu instansi (administrasi atau pengadilan) yang berwenang mengambil keputusan untuk mengakhiri sengketa.


Peradilan pajak di Indonesia merupakan peradilan administrasi yang bersifat khusus di bidang perpajakan. Suatu peradilan dikatakan sebagai peradilan administrasi jika memenuhi unsur-unsur, yaitu salah satu pihak yang berselisih harus administrator (pejabat administrasi), yang menjadi terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya, dan terhadap persoalan yang diajukan diberlakukan hukum publik atau hukum administrasi. Peradilan administrasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu peradilan administrasi murni dan peradilan administrasi tidak murni. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, peradilan pajak di Indonesia meliputi, peradilan administrasi murni maupun peradilan administrasi tidak murni, yaitu :
1. Peradilan administrasi murni, seperti penyelesaian sengketa pajak (dulu) oleh majelis Pertimbangan Pajak (1915 s/d 1997) dan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (1997 s/d 2001), dan (sekarang) oleh Pengadilan Pajak (2002).
2. Peradilan administrasi tidak murni, seperti pembetulan dan atau pembatalan ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak (Pasal 16 UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan).


2. Kewenangan Pengadilan Pajak Menurut UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak
Kewenangan Pengadilan Pajak diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 32 UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, yaitu :
1. Dalam hal banding Pengadilan Pajak hanya berwenang memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Pengadilan Pajak dapat pula memeriksa dan memutus permohonan banding atas keputusan/ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sepanjang peraturan perundang-undangan yang terkait mengatur demikian, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 31 Ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002;

2. Dalam hal gugatan, Pengadilan Pajak berwenang memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak, atau keputusan pembetulan, atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 Tentang perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan

3. Pengadilan Pajak berwenang mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.


Berdasarkan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32 UU No. 14 Tahun 2002 di atas dapat disimpulkan bahwa, kewenangan Pengadilan Pajak meliputi kewenangan dalam penyelesaian sengketa pajak (yaitu berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak dalam hal banding dan gugatan) dan kewenangan dalam mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa pada Pengadilan Pajak. 


Selanjutnya dala hal hal gugatan, menurut Pasal 31 Ayat (3) UU No. 14 Tahun 2002, Pengadilan Pajak berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU No. 16 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2007 dan keputusan lainnya menurut peraturan perpajakan yang berlaku. Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU No. 28 Tahun 2007 yang dapat menjadi obyek sengketa dalam hal gugatan, yaitu ;
1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
2. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
3. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 Ayat (1) dan Pasal 26; dan
4. Penerbitan surat ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan.


3. Kedudukan Pengadilan Pajak Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia. 
Dalam Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak disebutkan bahwa, “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.” Kekuasaan kehakiman dalam ketentuan diatas menegaskan bahwa Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan melaksanakan fungsi dan wewenangnya guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 (Perubahan Ketiga), dan juga untuk menegaskan bahwa Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan administrasi murni dimana lembaga ini independen, bukan merupakan bagian dari salah satu pihak yang bersengketa. Dengan demikian Pengadilan Pajak menurut Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 diatas berkedudukan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman khususnya dibidang perpajakan.


Secara normatif, Pengadilan Pajak sebagai pelaku kekuasaan kehakiman berada dalam salah satu lingkungan peradilan yang telah ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 (Perubahan Ketiga) Jo. Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004. Apabila ditinjau dari karakteristik dan substansi sengketa yang diselesaikan oleh Pengadilan Pajak yang mengandung unsur publik, maka lebih tepat jika Pengadilan Pajak ditempatkan sebagai bagian khusus dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.


Dalam UU No. 14 Tahun 2002, baik dalam pasal-pasal maupun penjelasannya, tidak ditemukan ketentuan yang mewajibkan atau menyatakan secara jelas keberadaan Pengadilan Pajak dalam lingkungan peradilan, sedangkan Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 hanya menyebutkan tentang pembinaan teknis peradilan dalam Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan finansialnya dilakukan oleh Departemen Keuangan.


Kecenderungan Pengadilan Pajak berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, adalah karena sifat perselisihan (sengketa) dan sifat para pihaknya. Dilihat dari subyek sengketa, keduanya (Pengadilan Pajak dan Peradilan Tata Usaha Negara) mempertemukan unsur pemerintah dan unsur rakyat sebagai perorangan, dimana posisi pemerintah sebagai tergugat/terbanding yang keputusannya dipersoalkan. Dan dilihat dari obyek sengketa, keduanya mempermasalahkan tentang keputusan konkrit (ketetapan/beschikking) dari lembaga pemerintah yang ditujukan kepada individu, dimana ketetapan tersebut dianggap merugikan rakyat sebagai perorangan. 


Kedudukan Pengadilan Pajak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak dibarengi dengan keberadaan atau eksistensi Pengadilan Pajak itu sendiri. Hal ini karena keberlakuan Pengadilan Pajak tidak murni berdasar kepada UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman, akan tetapi masih mengacu pada UU No. 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. 


Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas maka dilihat dari kedudukannya, Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, namun demikian tidak murni sebagai badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena terdapat tugas-tugas eksekutif yang dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak.

Subscribe to receive free email updates: