Definisi Property Rights
Banyak yang mengartikan property sebagai benda (a thing). Namun penelusuran ilmiah oleh para ahli hukum, ekonomi, politik, dll, menunjukan bahwa property merupakan hak atas sesuatu bukan sesuatu itu sendiri. Hak mengandung pengertian klaim atas sesuatu yang dapat ditegakan (enforceable) atau dihormati oleh pihak lain. Klaim atas sesuatu tanpa adanya perlindungan hukum atasnya atau tanpa bisa ditegakan tidak akan bermakna dan memberikan manfaat apa-apa. Oleh karena itu, unsur terpenting dari property adalah penegakan (enforcement).
Walaupun pengertian property sudah mengandung makna hak (rights) tapi banyak ditemukan adanya penggandengan kata property dengan right sehingga muncul frase property rights (hak-hak kepemilikan). Ini merupakan penegasan atas kandungan makna hak yang ada dalam kata property. Dengan kata lain, property dapat diartikan sebagai kepemilikan atas sesuatu yang didalamnya terkandung makna hak untuk (paling tidak) mengambil manfaat dari sesuatu tersebut.
Karena property merupakan hak yang harus ditegakan/dihormati oleh pihak lain, maka property merupakan institusi/lembaga/aturan main, yang dalam penegakannya memerlukan badan/lembaga yang berwenang menjamin tegaknya hak-hak tersebut. Ada juga yang beralasan mengapa property right perlu ditegakan karena property dianggap sebagai hak azasi manusia. Hak manusia untuk memiliki merupakan hak yang paling mendasar. Bila hak ini tidak ada, maka manusia kehilangan eksistensinya. Oleh karena itu, pihak berwenang (pemerintah, lembaga adat, atau lembaga yang mendapatkan mandat) harus berupaya agar property manusia atas sesuatu bisa tegak.
Property rights atau hak kepemilikan atas sesuatu mengandung pengertian hak untuk mengakses, memanfaatkan (utilize), mengelola atas sesuatu, mengubah atau mentransfer sebagian atau seluruh hak atas sesuatu tersebut pada pihak lain. Sesuatu yang dimaksud bisa berupa barang (fisik), jasa atau pengetahuan/informasi yang bersifat intangible. Pengertian property seperti ini sangat dekat dengan menguasai sesuatu secara ekslusif.
Bromley (1989) mendefinisikan propety right sebagai hak untuk mendapatkan aliran laba/keuntungan secara aman (secure) karena orang lain respek terhadap aliran laba tersebut (terekait dengan transaksi).
Dari penjelasan di atas, property right merupakan klaim seseorang secara ekslusif atas sesuatu untuk memanfaatkan (utilize), mengelola atas sesuatu, mengubah atau mentransfer sebagian atau seluruh hak tersebut. Transfer bisa dalam bentuk menjual, menghibahkan, menyewakan, meminjamkan dll. Property sangat penting dalam ekonomi karena berkaitan dengan kepastian pengusaan faktor-faktor produksi.
Faktor-faktor produksi harus mendapat prioritas utama untuk memperoleh kepastian karena kalau tidak proses produksi akan terganggu yang akan menyebabkan perekonomian macet. Karena itu, kepastian penguasaan atas lahan dan tenaga kerja sebagai faktor produksi utama telah mendapatkan perhatian penting dalam sejarah ekonomi dari masa ke masa.
Teori Property Rights
Furubotn dan Richter (2000) melacak teori kepemilikan dan bermuara pada dua teori, yaitu teori kepemilikan individu dan teori kepemilikan sosial. Teori kepemilikan individu merupakan penopang utama doktrin hak-hak alamiah (natural rights) dari ekonomi klasik yang mengarah pada lahirnya private property right/individualistis. Sedangkan teori kepemilikan sosial mendorong lahirnya commons property atau state property yang dianut secara ekstrim oleh negara-negara sosialis.
Furubotn dan Richter (2000) melacak teori kepemilikan dan bermuara pada dua teori, yaitu teori kepemilikan individu dan teori kepemilikan sosial. Teori kepemilikan individu merupakan penopang utama doktrin hak-hak alamiah (natural rights) dari ekonomi klasik yang mengarah pada lahirnya private property right/individualistis. Sedangkan teori kepemilikan sosial mendorong lahirnya commons property atau state property yang dianut secara ekstrim oleh negara-negara sosialis.
Caporapo dan Levine (1992) menjelaskan dua teori yang berbeda mengenai property rights. Menurutnya, aliran positivis menganggap hak-hak kepemilikan lahir melalui sistem politik. Sistem politik/kekuasaan mendesain hak kepemilikan dan menegakannya melalui pengadilan hukum. Kedua, aliran alamiah yang mengatakan bahwa hak kepemilikan melekat pada seseorang sejak lahir. Kelahiran individu disertai dengan kelahiran atas hak-haknya yang tidak bisa dipisahkan. Ditegakan atau tidak melalui prose pengadilan hukum, hak bawaan lahir sejatinya harus ada
Hak kepemilikan tidak merujuk pada hubungan antar manusia dengan sesuatu tapi hubungan antar manusia dengan manusia yang muncul dari keberadaan sesuatu dan penggunaannya. Kepemilikan atas sesuatu menjadi penting manakala sesuatu tersebut bersifat langka. Kepastian kepemilikan atas sesuatu yang langka sangat penting untuk dapat berlangsungnya proses transaksi. Semakin tinggi kepastian tersebut, biaya transaksinya semakin rendah. Dalam konteks property rights, biaya transaksi meliputi biaya transfer hak-hak kepemilikan dan perlindungan kepemilkan tersebut dari klaim pihak lain
Tietenberg (1992) mengidentifikasi karakteristik property right sebagai berikut:
1. Ekslusivitas: pemanfaatan, nilai manfaat dari sesuatu dan biaya penegakan, secara ekslusif jatuh ke tangan pemilik termasuk keuntungan yang diperoleh dari transfer hak kepemilikan tersebut
2. Transferability: seluruh hak kepemilikan dapat dipindahkan dari satu pemilik ke pemilik yang lain secara suka rela melalui jual beli, sewa, hibah dll
3. Enforceability: hak kepemilikan bisa ditegakan, dihormati dan dijamin dari praktek perampasan/pembeslahan pihak lain.
Hanna (1995) membagi kepemilikan menjadi empat macam sebagaimana disajikan pada tabel di bawah. Pertama adalah private property, yaitu suatu kepemilikan oleh swasta dimana hak akses, pemanfaatan, pengelolaan dan lain-lain yang melekat dengan barang atau komoditas tersebut sepenuhnya menjadi hak swasta. Swasta disini bisa bersifat perorangan atau badan hukum. Kedua adalah kepemilikan oleh negara, dimana hak akses, pemanfaatan, dan pengelolaan dikendalikan oleh negara. Negara pula yang berhak mentransfer hak atas barang/komoditas tersebut kepada pihak lain. Ketiga adalah kepemilikan kolektif, dimana hak akses, pemanfaatan, dan pengelolaan menjadi milik bersama dari sekelompok orang yang sudah terdefinisi secara jelas, misalnya anggota kelompok, koperasi atau organisasi tertentu. Artinya, hak-hak tersebut hanya melekat pada sejumlah orang yang telah terdefinisikan secara jelas. Keempat adalah kepemilikan terbuka (open access). Pada hakekatnya, kepemilikan terbuka bukanlah hak kepemilikan karena tidak ada pihak yang dapat mengklaim sebagai pemilik dari komoditas atau sumberdaya tersebut. Lautan lepas atau hutan belantara umumnya merupakan kepemilikan terbuka karena tidak ada yang mengklaim sebagai pemiliknya.
Table Tipe Kepemilikan beserta hak-haknya
Juka Hanna (1995) menggunakan istilah tipe kepemilikan, Bromley (1991) menyebutnya rezim pengelolaan kepemilikan. Menurutnya, ada empat rezim kepemilikan, yaitu:
1. Rezime kepemilikan individu/pribadi (private property regime), yakni kepemilikan pribadi atas sesuatu dimana hak atas sesuatu tersebut melekat pada pemiliknya, sehingga aturan berkenaan dengan sesuatu tersebut ditetapkan sendiri dan hanya berlaku untuk pemiliknya.
2. Rezim kepemilikan bersama (common property regime), yakni kepemilikan oleh sekelompok orang tertentu dimana hak, kewajiban dan aturan ditetapkan dan berlaku untuk anggota kelompok tersebut
3. Rezim kepemilkan oleh negara, hak kepemilikan dan aturan-aturannya ditetapkan oleh negara, individu tidak boleh memilikinya
Rezim akses terbuka, tidak ada aturan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban
Sistem Ekonomi dan Property Rights
Sistem ekonomi tidak dapat lepas dari masalah kepemilikan, bahkan kepemilikan merupakan faktor pembeda dari sistem ekonomi dunia. Terkait dengan model kepemilikan, sistem ekonomi dunia dibagi menjadi tiga, yaitu kapitalis, sosialis dan campuran.
Sistem ekonomi kapitalis, seluruh kemepilikan diserahkan kepada swasta. Sistem ekonomi ini percaya, penyerahan kepemilikan kepada swasta yang diatur oleh mekanisme pasar akan menghasilkan pencapaian ekonomi yang efisien. Hal ini karena setiap pemilik memiliki kepastian atas kepemilikannya sehingga menjadi insentif untuk melakukan aktivitas transaksi. Namun, pencapaian efisiensi pemerataan akan terhambat karena kepemilikan atas aset tidak merata, adanya eksternalitas, informasi yang tidak merata, dll sehingga aset hanya akan menumpuk pada segelintir orang. Setiap individu memiliki insentif untuk mengambil manfaat atas sumberdaya langka yang ada pada domain publik sehingga akan menyebabkan sumberdaya tersebut over used.
Sistem sosialis, hak kepemilikan diserahkan kepada negara dimana negara berhak memiliki dan mengelola seluruh sumberdaya yang ada. Penganut sistem ini yakin bahwa dengan menyerahkan hak kepemilikan pada negara efisiensi distribusi akan mudah dicapai. Namun faktanya, efisiensi itu sulit dicapai karena pertama: ekonomi dikendalikan oleh birokrat yang umumnya tidak reponsif terhadap kebutuhan masyarakat, kedua: penempatan kaum usahawan pada perusahaan publik kurang termotivasi (kurang insentif) untuk mencari keuntungan; ketiga: kontrol negara atas faktor produksi menyebabkan kekuasaan politik berada ditangan orang yang titunjuk negara; keempat: ketiadaan pasar menempatkan perencanaan ekonomi secara terpusat dimana supply, demand, preferensi konsumen ditentukan oleh negara.
Sistem ekonomi campuran, kepemilikan pribadi dijamin keberadaannya tapi negara juga berhak memiliki dan mengelola sumberdaya strategis yang menyangkut kepentingan umum, seperti sumberdya air, lahan, laut, hutan dll. Sistem ini muncul karena baik kapitalis maupun sosialis memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Sistem campuran ini dikenal dengan welfare economic system/social market economy dimana peran kelembagaan sangat dominan dalam mendistribusikan kesejahteraan pada masyarakat. Dalam welfare state, hak kepemilikan diserahkan kepada swasta sepanjang hal tersebut memberikan insentif ekonomi bagi pelakunya dan tidak merugikan secara sosial, namun kepemilikan dapat pula diserahkan kepada negara manakala pasar tidak responsif atau mengalami kegagalan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial. Penyerahan kepemilikan pada swasta pada saat pasar tidak reponsif atas sumberdaya tersebut hanya akan menimbulkan kesejangangan kesejahteraan. Disinilah peran negara diperlukan untuk mengintroduksi kelembagaan sebagai pengganti pasar yang mengalami kegagalan.