Eksternalitas, Kegagalan Pasar Dan Property Rights
Definisi Eksternalitas
Istilah eksternalitas dalam ilmu ekonomi telah lama dikenal. Kemunculannya tidak lepas dari nama besar ekonom Marshall, Pigou dan Meade. Istilah ini merujuk pada suatu pengertian bahwa kegiatan produksi suatu barang dapat menghasilkan manfaat atau biaya yang belum tercakup pada perhitungan proses produksi dari barang tersebut. Demikian juga, kegiatan konsumsi suatu barang oleh seseorang dapat meningkatkan nilai guna pada pemiliknya atau pada orang lain. Atau bisa juga menimbulkan dampak negatif pada orang lain yang berarti menurunkan daya guna orang yang bukan pemilik dari barang yang dikonsumsi tersebut. Adanya manfaat, biaya, penurunan atau peningkatan nilai guna yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan produksi atau konsumsi yang belum dikalkulasi disebut sebagai output eksternal. Dikatakan eksternal karena mekanisme pasar tidak/belum bisa memasukkan semua biaya atau manfaat tersebut, sebaliknya dianggap sebagai biaya atau manfaat sosial. Artinya, harga barang yang diproduksi atau yang dikonsumsi belum mencerminkan nilai/harga sesungguhnya dari barang tersebut karena adanya dampak-dampak eksternal yang tidak/belum dapat dikalkulasi.
Pengertian lain eksternalitas diberikan oleh Baumol (1978). Menurutnya, eksternalitas adalah efek yang timbul dari suatu kegiatan yang tidak dikompensasi ataupun diapreasiasi. Sedangkan Kolm (1971) seperti dikutip oleh Simarmata (1994) mendefinisikan eksternalitas sebagai dampak dari keputusan seseorang pada orang lain tanpa melibatkan penerima dampak dalam proses pembuatan keputusan tersebut. Dengan kata lain eksternalitas adalah dampak negatif atau positif yang tidak memiliki harga dimana baik penghasil maupun penerimanya tidak merasa memilikinya. Dengan demikian, eksternalitas baik positif maupun negatif tidak dapat diperjualbelikan karena tidak adanya harga dan property rights.
Meade (1973) mendefinisikan eksternalitas secara lebih luas dari definisi-definisi di atas. Ekonomi eksternal (diseconomy) adalah kegiatan yang menimbulkan manfaat atau kerugian secara nyata pada seseorang atau beberapa orang, dimana penerima dari manfaat atau kerugian tersebut tidak dilibatkan dalam proses pengembilan keputusan yang memungkinkan kegiatan tersebut dapat terjadi.
Fauzi (2004) mengartikan eksternalitas sebagai dampak kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak mempengaruhi utilitas pihak lain secara tidak diinginkan. Dampak ini tidak hanya terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam. Musik yang terlalu keras, asap rokok yang terhisap dari orang lain, parfum yang tercium baik yang berbau sedap ataupun sebaliknya merupakan contoh-contoh dari eksternalitas yang ditemukan pada kegiatan sehari-hari.
Dari sejumlah definisi yang disampaikan oleh para pakar ekonomi tersebut, kita bisa menarik sebuah pengertian bahwa eksternalitas merupakan dampak suatu kegiatan yang dirasakan baik oleh pihak penghasil dampak tersebut maupun pihak lain yang sama sekali tidak terlibat dalam proses kegiatan yang menimbulkan dampak tersebut. Contoh berikut diharapkan dapat memperjelas fenomena eksternalitas. Seseorang memanggil tukang layu untuk memperbaiki rumahnya. Selama memberikan jasa perbaikan rumah, tukang kayu juga menghasilkan suara bising yang dihasilkan gergaji dan alat-alat lainnya. Dalam transaksi ini, pengguna jasa tukang kayu membayar jasa pelayanan sekaligus juga dengan suara bising yang dihasilkan selama perbaikan rumah berlangsung. Transaksi antara pemilik rumah dengan tukang kayu dilakukan secara suka rela. Pemilik rumahpun dapat menerima kebisingan dan ketidaknyamanan yang ia dapatkan selama perbaikan rumah berlangsung. Ia menganggap, ketidaknyamanan tersebut merupakan biaya yang harus dipikul sebagai konsekuensi dari jasa pelayanan yang diberikan oleh tukang kayu. Tidak mungkin ia akan mendapatkan jasa dari tukang kayu tanpa suara bising yang dihasilkannya. Walaupun pada hakekatnya, si pemilik rumah juga tidak suka dengan suara bising tersebut.
Jika pemilik rumah dapat menerima suara bising tersebut lain halnya dengan tetangga si pemilik rumah. Ia pasti merasa terganggu oleh suara bising tersebut dan dapat menyampaikan keberatannya. Jika keberatan tersebut tidak disampikan ia harus menanggung semacam biaya/kerugian dari kegiatan renovasi rumah yang ia tidak terlibat dalam proses pembuatan keputusan soal renovasi rumah tersebut. Bagi tetangga si pemilik rumah, hal ini merupakan eksternalitas. Eksternalitas ini bisa menjadi internal bila ada keikutsertaan dalam pengambilan keputusan.
Tipologi Eksternalitas
Sebagaimana telah disinggung di atas, eksternalitas dapat dihasilkan dari kegiatan produksi dan konsumsi. Artinya baik produsen maupun konsumen dapat merupakan penghasil eksternalitas, yaitu sesuatu yang tidak diapreasisi melalui mekanisme pasar. Fauzi (2004) menyebut eksternalitas semacam ini eksternalitas teknologi (technological externality). Selain eksternalitas teknologi, juga dikenal eksternalitas pecuniary (pecuniary externality). Eksternalitas ini terjadi karena adanya perubahan harga dari beberapa input maupun output produksi yang berdampak pada kegiatan ekonomi seseorang. Naiknya harga bahan bangunan menyebabkan orang tidak mampu membuat rumah dimana hal ini dapat menyebabkan tukang bangunan sulit mendapatkan pekerjaan.
Selain pembagian eksternalitas di atas, eksternalitas juga dapat dikelompokan menjadi eksternalitas positif dan eksternalitas negatif. Dikatakan eksternalitas positif jika penerima menganggapnya sebagai sesuatu yang bermanfaat, dan negatif jika dianggap merugikan. Asap rokok yang dihasilkan oleh perokok bisa merupkan eksternalitas negatif, sedangkan harum parfum yang pakai seseorang bisa merupakan eksternalitas positif bagi orang lain.
Barang Publik (public goods) dan Eksternalitas
Rasanya ada yang kurang membicarakan eksternalitas tanpa menyinggung barang publik. Barang publik adalah barang yang dalam pemanfaatannya tidak menimbulkan persaingan (non-rivalry) dan juga tidak berkurang dengan adanya pemanfaatan tersebut (non-subtractable). Dengan kata lain, seseorang tidak dapat menghalangi orang lain untuk memanfaatkan barang tersebut namun juga pemanfaatannya oleh seseorang tidak mengurangi peluang orang lain untuk memanfaatkannya juga. Sinar matahari, informasi ramalan cuaca dan kemanan yang diciptkan oleh negara merupakan contoh public goods paling popular (Buck, 1998, Cornes and Sandler, 1986).
Menyimak pengertian barang publik seperti itu, kita dapat memasukan eksternalitas merupakan barang publik. Suasana hijau, asri, dan menyejukan yang dihasilkan kebun teh merupakan barang publik yang dihasilkan secara tidak sengaja dari kegiatan penanaman pohon teh yang tujuan utamanya menghasilkan daun teh untuk dijadikan bahan minuman. Mengapa pemandangan hijau ini dikatakan barang publik karena setiap orang dapat menikmatinya tanpa persaingan dan tidak berkurang karena kegiatan penikmatan oleh seseorang.
Jika semua orang berhenti menggunakan kendaraan bermotor dengan tujuan nuntuk menghemat BBM maka udara akan menjadi bersih dan pemanasan global yang mengancam kehidupan dunia dapat dikendalikan. Udara bersih dan berkurangnya pemanasan global merupakan eksternalitas positif dari kegiatan penghematan BBM. Ini merupakan barang publik yang dapat dinikmati oleh semua orang, baik mereka yang sebelumnya mempunyai kendaraan bermotor atau tidak, bahkan mereka yang sema sekali tidak terkait dengan kegiatan penghematan BBM dapat turut menikmatinya.
Sebaliknya, orang menggunakan kendaraan bermotor untuk mendapatkan kenyamanan dalam bepergian, ketepatan waktu, dan prestis. Namun selain mendapatkan tujuan-tujuan tersebut, menggunakan kendaraan bermotor juga dapat menambah polusi udara, meningkatkan kadar CO dan CO2 di udara. Polusi udara, dan peningkatan kadar CO dan CO2 dapat dirasakan oleh pemilik dan pengguna kendaraan dan juga oleh mereka yang tidak pernah menggunakan kendaraan bermotor sekalipun. Udara kotor ini merupakan barang publik berupa eksternalitas negatif dari kegiatan penggunaan kendaraan bermotor yang tujuan utamanya adalah mendapatkan kenyamanan, ketepatan waktu dan prestis.
Eksternalitas dan Kegagalan Pasar
Untuk dapat memahami fenomena kegagalan pasar kita perlu mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan pasar. Pasar memiliki dua pengertian, pertama tempat dimana barang-barang yang diperjualbelikan berada dan di tempat itu pula terjadi pertemuan antara penjual dan pembeli. Pasar dalam pengertian ini berwujud secara fisik yang disebut juga market place dalam bahasa Inggris. Kedua, pasar adalah suatu mekanisme pada saat penjual dan pembeli mengadakan interaksi untuk melakukan pertukaran barang, menyepakati harga dan jumlahnya. Bisa berbentuk fisik, abstrak, atau hanya berupa dunia maya seperti apa yang terjadi dalam perdagangan lewat internet (Samuelson dan Nordhaus, 1995). Untuk membedakannya dengan pengertian yang pertama, kata pasar sering digandengkan dengan kata mekanisme sehingga didapat frase mekanisme pasar.
Pasar memiliki kekuatan medistribusikan dan mengalokasikan barang atau sumberdaya ekonomi. Aliran komoditas pertanian dari daerah menuju Jakarta didorong oleh sebuah kekuatan. Demikian juga aliran barang non pertanian dari Jakarta ke kota-kota lain, atau semua komoditas dari satu tempat ke tempat lain. Pergerakan barang-barang tersebut dari satu tempat ke tempat lain tidak ditentukan oleh pemerintah. Juga jumlah barang yang disediakan tidak dirancang oleh kekuatan tunggal melainkan dilakukan oleh jutaan individu, rumah tangga atau perusahaan yang tersebar di mana-mana.
Tidak hanya terjadi di dalam negeri, pergerakan barang juga terjadi dari satu negara ke negara lain. Udang, ikan tuna, kayu, rotan, sepatu, bahan tekstil dan lain-lain yang diproduksi di Indonesia tersebar ke berbagai negara Eropa Barat, Jepang dan Amerika. Sebaliknya, berbagai barang dari luar negeri seperti Apel merah, jeruk sankis, buah pir, anggur, sepatu adidas, mobil BMW, Audi, Babybenz, dan lain-lain bisa ditemukan dengan mudah di berbagai kota di Indonesia. Barang-barang dari Indonesia terdistribusi ke luar negeri dan barang-barang dari luar negeri membanjiri Indonesia bukan dilakukan oleh kekuatan pemerintah.
Pada tahun 1776, Adam Smith menerbitkan buku yang dikenal dengan nama the wealth of nation. Dalam buku tersebut Profesor Smith menuliskan:”Setiap orang berupaya untuk mendayagunakan modal yang dimilikinya untuk menghasilkan nilai paling tinggi. Dalam upaya mendayagunakan modalnya tersebut, orang tidak berniat untuk meningkatkan kesejahteraan bersama, bahkan ia tidak tahu apakah ia sedang menuju ke arah itu. Namun, ketika ia mementingkan diri sendiri, mengejar kepuasan sendiri, ia akan diarahkan oleh tangan yang tidak nampak (invisible hand) yang bukan dari bagian yang diinginkannya menuju arah pencapaian kesejahteraan bersama. Dengan mengejar kepentingan diri sendiri sering kali pencapaian kepentingan umum jauh lebih efektif dibandingkan dengan mengusahakannya secara sengaja”. Tangan tidak nampak itulah yang mendorong barang terdistribusi dari satu tempat ke tempat lain. Belakangan, para ekonom yakin, invisible hand yang dimaksud Adam Smith adalah kekuatan pasar. Mekanisme pasarlah yang menyebabkan barang mengalir dari satu temapt ke tempat lain. Sebagaimana air mengalir dari satu tempat ke tempat lain karena adanya kekuatan hidrolik, gravitasi, dan angin yang tidak nampak.
Hal penting penyebab terjadinya aliran barang adalah adanya harga yang merupakan nilai barang dalam bentuk uang. Harga juga merupakan cerminan suatu kondisi dimana seseorang atau perusahaan mengadakan tukar menukar dengan suka rela. Pasar mobil bekas telah menetapkan harga/nilai Escudo bekas tahun 1995 Rp 60 juta. Si A bersedia membayar Rp 60 juta mobil tersebut dan dealer tidak akan menjualnya jika penawaran dari si A kurang dari Rp 60 juta. Melalui perdagangan atau pertukaran dengan harga sebagai informasi atau media terjadinya komunikasi antara penjual dan pembeli, maka barang teralokasikan dari satu orang ke orang lain. Dalam satu detik jutaan transaksi terjadi di dunia karena adanya kesepakatan harga antara penjual dan pembeli dan barangpun mengalir tiada henti.
Jika harga mobil baru murah maka orang cenderung membeli mobil baru dibandingkan dengan membeli mobil bekas. Maka permintaan mobil bekas menurun drastis. Stok melimpah. Di mana-mana dealer mobil bekas kelebihan barang dagangan. Demi menarik pembeli, dealerpun menurunkan harga. Escudo tahun 1995 yang semula harganya dipatok Rp 60 juta sekarang turun hanya Rp 50 juta. Transaksi yang semula lesu kini kembali bergairah. Jual beli mobil bekas kembali marak dengan harga yang lebih murah. Mobil bekas yang sempat tertahan di dealer-dealer kembali terdistribusi. Suplai dan demand kembali seimbang pada titik harga yang lebih rendah. Dengan demikian, harga merupakan cerminan nilai suatu barang dan informasi penting agar transaksi antara penjual dan pembeli dapat terjadi. Juga pertanda penting (signal) bagi produsen untuk menentukan berapa jumlah barang yang harus disediakan. Bila harga tidak ada maka transaksi tidak terjadi sehingga distribusi/alokasi barang menjadi terhambat. Kondisi inilah yang disebut dengan kegagalan pasar (market failure).
Perman et al., (2003) mengidentifikasi 8 syarat terjadinya alokasi sumberdaya secara efisien melalui mekanisme pasar. Kedelapan syarat tersebut adalah: 1) keberadaan pasar untuk barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi; 2) semua pasar bersifat bersaing sempurna; 3) semua orang yang terlibat dalam transaksi memiliki informasi yang senpurna mengenai barang dan jasa yang ditransaksikan; 4) adanya kejelasan kepemlikan atas barang dan jasa (private property right terdefinisikan secara jelas); 5) tidak adanya eksternalitas; 6) tidak adanya barang publik; 7) all utulity and production functions are well behaved dan 8) all agents are maximizers. Jika syarat ini tidak lengkap pasar tidak akan berjalan sempurna yang pada gilirannya akan mengalami kegagalan.
Dari kedelapan syarat tersebut yang relevan dengan topik eksternalitas adalah syarat nomor 4, 5 dab 6. Ini merupakan penegasan bahwa adanya eksternalitas, barang publik dan ketidakjelasan kepemilikan merupakan penyebab terjadinya alokasi barang secara tidak efisien. Mengapa hal ini terjadi? Karena eksternalitas dan barang publik tidak memiliki harga. Ketiadaan harga berarti kehilangan informasi penting yang harus direspon oleh pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi. Tidak adanya respon daripasar mengindikasikan pasar mengalami kegagalan.
Eksternalitas dan Pengelolaan Lingkungan
Eksternalitas merupakan salah salah satu aspek penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Keberadaannya menyita perhatian karena lingkungan sering menjadi korban dari adanya eksternalitas, terutama eksternalitas negatif (negative externality). Kegiatan produksi maupun konsumsi pasti mengahsilkan eksternalitas. Untuk memahami bagaimana kegiatan produksi menghasilkan eksternalitas, berikut kami sajikan contoh.
Industri tekstil selain menghasilkan tekstil sebagai output utamanya juga menghasilkan limbah limbah cair. Limbah tersebut sering dibuang tanpa melalui proses penjernihan sehingga dapat mencemari lingkungan. Sungai-sungai atau badan air lain tempat dimana limbah tersebut dibuang menjadi kotor dan bau sehingga orang yang tinggal di sekitar badan air tersebut tidak dapat lagi menggunakan badan air tersebut untuk keperluan sehari-hari. Masyarkat dipakasa/terpaksa menerima keadaan ini tanpa kompensasi atas kehilangan sejumlah jasa lingkungan yang disediakan sungai atau badan air yang sebelumnya mereka nikmati.
Produsen tekstil merasa tidak perlu memberikan kompensasi kepada masyarakat karena jasa lingkungan yang disediakan oleh badan air merupakan barang publik, tidak ada harga dan pemiliknya. Masyarakat yang kehilangan jasa lingkungan juga tidak dapat meminta kompensasi kepada pihak industri tekstil dengan alasan yang sama. Mereka tidak tahu berapa kompensasi yang harus diklaim dan mereka juga tidak memiliki dasar untuk melakukan klaim karena bukan pemilik dari sungai atau badan air tersebut. Eksternalitas tidak bisa ditransaksikan karena tidak adanya harga dan kejelasn property right. Karena itu, mekanisme pasar tidak dapat meresponnya. Dengan kata lain, eksternalitas berada di luar mekanisme pasar. Karena itu dikatakan eksternalitas, sesuatu yang ada di luar mekanisme pasar. Adanya eksternalitas dan ketidakberdayaan pasar menangainya merupakan sisi kelemahan dari sistem ekonomi pasar.
Indsutri tekstil tadi hanya merupakan contoh bagaimana kegiatan produksi menghasilkan eksternalitas yang merugikan lingkungan. Contoh lain dapat ditemukan dengan mudah di mana-mana dengan intensitas eksternalitas yang beragam. Degdradasi sungai Citarum, di Jawa Barat, Sungai Siak dan Kampar di Riau, menurunnya kualitas air Danau Toba di Sumatera Utara, diakibatkan oleh eksternalitas yang dihasilkan oleh kegiatan produksi berbagai macam barang. Kegiatan pertambangan merpakan contoh lain yang sering ditemukan. Pertambangan emas, sebagai misal, selain menghasilkan emas juga menghasilkan limbah merkuri yang berbahaya. Jika limbah ini dibuang ke sungai tentu saja akan merugikan pengusaha perikanan yang ada dihilirnya. Usaha pertambangan emas tidak memasukan kerugian yang diderita pengusaha perikanan sebagai biaya yang harus ia tanggung. Sebaliknya, hal tersebut dianggapnya sebagai biaya sosial.
Penggunaan air tanah oleh pihak industri di Kabupaten Bandung, Jawa Barat merupakan contoh lain kasus eksternalitas. Kegiatan ini menghasilkan eksternalitas negatif berupa menurunnya permukaan air tanah, semakin dalamnya sumur-sumur penduduk dan mengeringnya sumur-sumur tersebut di musim kemarau. Industri pengguna air tanah hanya memperhitungkan biaya pengambilan air tanah sementara ia lepas terhadap kerugian masyarakat akibat dari kegiatan pengambilan air tanah oleh industri tersebut.
Tidak hanya kegiatan produksi, kegiatan konsumsi juga menghasilkan eskternalitas. Sebagaimana telah disinggung di atas, penggunaan BBM oleh kendaraan juga menghasilkan eskternalitas negatif berupa pencemaran udara yang sangat merugikan lingkungan. Limbah domestikpun merupakan eksternalitas dari kegiatan konsumsi rumah tangga. Penggunaan batu bara oleh industri, bakar kayu oleh rumah tangga, pestisida dan pupuk unorganik oleh petani menghasilkan eksternalitas yang merugikan. Dari berbagai kasus yang ditemukan, penerima eksternalitas hanya bisa pasrah tak berdaya menerima keadaan yang merugikan tersebut. Sebaliknya, penghasil eksternalitas juga merasa tidak harus bertanggungjawab atas apa yang dihasilkannya.
Upaya Mengatasi Eskternalitas
Untuk menyelesaikan kasus eksternalitas, para ekonom menwarakan tiga allternatif pendekatan (Fauzi, 2004). Ketiga alternatif tersebut adalah 1) melalui proses internalisasi, 2) pembebanan pajak, dan 3) pemberian hak kepemilikan. Ketiga alternatif tersebut akan dibahas secara singkat pada bagian akhir dari tulisan ini.
Internalisasi merupakan salah satu instrumen untuk mengatasi eksternalitas. Pada intinya, internalisasi merupakan upaya memasukan biaya eksternal yang diakibatkan oleh suatu kegiatan produksi maupun konsumsi menjadi sebuah keputusan yang utuh dan menyatu dengan kegiatan produksi maupun konsumsi tersebut. Secara sederhana, hal ini bisa dipahami bahwa penghasil eksternalitas negatif memperhitungkan kerugian sosial akibat dari eksternalitas negatif sebagai bagian dari biaya produksi. Misalnya, industri mengolah air limbah atau mengurangi emisi udara melalui pemasangan instalasi pengolah limbah atau melalui perbaikan teknologi bersih sehingga jumlah limbah yang dihasilkan menjadi berkurang. Kalau hal ini tidak dapat dilakukan, bisa juga dengan jalan memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan. Dengan demikian harga/nilai barang yang dihasilkan menjadi lebih mahal. Sementara pada kegiatan konsumsi, internalisasi biaya sosial dapat mengurangi kenikmatan dari kegiatan mengkonsumsi sesuatu yang dapat menimbulkan eksternalitas negatif tersebut.
Selain melalui proses internalisasi, eksternalitas juga dapat diatasi melalui pendekatan pajak/retribusi. Intinya, penghasil eksternalitas negatif yang merugikan pihak lain harus membayar pajak atau retribusi kepada pemerintah untuk setiap unit ekternalitas negatif yang dihasilkannya. Pemerintah menggunakan uang yang terkumpul dari pajak/retribusi tersebut untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Misalnya, melalui pembangunan instalasi pengelohan air limbah (IPAL) terpadu, proyek kali bersih, penghijauan kota, dan lain-lain.
Kedua pendekatan di atas didasarkan atas asumsi bahwa pasar tidak dapat berjalan. Eksternalitas berada di luar mekanisme pasar. Sedangkan pendekatan ketiga, yaitu melalui pemberian property right kepada pihak yag dirugikan. Jika pihak yang dirugikan diberikan hak, katakanlah, hak untuk mendapatkan lingkungan bersih, dimana hak tersebut dapat diklaim atau ditegakan, maka ia dapat menjual hak tersebut kepada pihak penghasil eksternalitas negatif. Pendekatan ini sesuai dengan temuan Ronald Coase yang meyakini bahwa eksternalitas dapat diselesaikan melalui mekanisme pasar asalkan property right telah didefinisikan secara tegas (Coase, 1960).
Ketiga pendekatan ini pada akhirnya bermuara pada satu persoalan, yaitu nilai eksternalitas. Internalisasi biaya eksternalitas membutuhkan pengetahuan berapa biaya eksternal yang harus diperhitungkan. Dalam penetapan besaran pajak/retribusi pun pemerintah harus memiliki dasar, berapa nilai yang pantas yang harus dibebankan kepada penghasil eksternalitas negatif. Demikian juga dalam penjualan hak atas lingkungan bersih kepada pihak penghasil eksternalitas negatif diperlukan nilai/harga klaim yang pantas. Disinilah letak pentingnya valuasi lingkungan sebagai alat (tool) untuk dapat memberikan nilai atas jasa-jasa lingkungan yang selama ini tidak mendapatkan penilaian yang semestinya.