Implementasi Csr Dalam Mendukung Pengembangan Masyarakat Melalui Peningkatan Peran Pendidikan
Memasuki milenium ketiga dewasa ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada permasalahan multidimensi yang menyentuh berbagai tatanan kehidupan mendasar manusia, bukan hanya berkaitan dengan aspek ekonomi, namun juga aspek sosial, budaya dan akhlak. Berbagai bentuk kemiskinan sosial juga banyak diperlihatkan, seperti miskin pengabdian, kurang disiplin dan kurang empati terhadap masalah sosial.
Meskipun kedudukan pendidikan cukup strategis untuk perubahan suatu bangsa, namun bangsa kita belum cukup optimis mengandalkan posisi tersebut karena pada kenyataannya kondisi dan hasil pendidikan di Indonesia belum memadai. Kondisi tersebut ditunjukkan dari kecilnya kemampuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia untuk berkompetisi dengan bangsa lain. Data yang dipublikasikan oleh United Development Index sangat memprihatinkan karena Human Development Index (HDI) Indonesia tahun 2007/2008 menempati peringkat 107, dua peringkat di bawah Vietnam. Indikator dari HDI meliputi pendapatan perkapita, akses terhadap pendidikan dan akses terhadap kesehatan. Peringkat Indonesia pada HDI tersebut merupakan indikator dari kualitas pendidikan di Indonesia bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah (Okvina et al. 2008).
Dilihat dari latar belakang pendidikan, gambaran SDM belum menggembirakan. Berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat telah terjadi, di antaranya adalah: a) Ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan; b) Ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar penduduk kaya dan penduduk miskin (Zamroni 2009). Selain faktor paradigma pendidikan nasional yang memisahkan peranan agama dari kehidupan, mahalnya biaya pendidikan dan terbatasnya sarana prasarana pendidikan juga merupakan penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Angin segar yang tengah berhembus bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia, ditandai dengan keseriusan pemerintah menetapkan 20 persen dari APBN untuk dana pendidikan pada tahun 2009. Meskipun demikian, untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan, perlu dilakukan program terobosan, mendukung peningkatan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat dengan melibatkan secara langsung pihak swasta sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab sosial.
Salahsatu program nyata gerakan kepedulian pihak swasta (perusahaan) terhadap masyarakat adalah Corporate Social Responsibility (CSR). Kepedulian sejumlah perusahaan untuk memajukan dunia pendidikan melalui kegiatan CSR sangat berarti bagi dunia pendidikan. CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No.40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1). Elkington (1998) menyatakan bahwa perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi (profit) melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). Oleh sebab itu, implementasi CSR dalam membantu memecahkan persoalan pendidikan perlu dilakukan untuk mendukung peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat.
KONSEP CSR
CSR adalah tanggung jawab perusahaan di berbagai sektor dalam mengembalikan sebagian keuntungan yang diperolehnya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di negara tempat perusahaan tersebut beroperasi. Konsep CSR pada dasarnya mendorong korporasi untuk ikut memikirkan kepentingan masyarakat dengan cara mengambil tanggung jawab terhadap dampak dari aktivitas perusahaan di seluruh aspek operasinya yang dapat dirasakan oleh para pelanggan, karyawan, pemegang saham, masyarakat, serta lingkungan. Perusahaan diharapkan secara sukarela mengambil langkah-langkah lebih jauh untuk meningkatkan kualitas hidup para karyawan dan keluarganya, serta bagi masyarakat sekitarnya dan masyarakat secara keseluruhan (Gondomono 2007).
Sampai saat ini, belum ada definisi CSR yang secara universal diterima oleh berbagai lembaga. Pengertian CSR menurut berbagai organisasi (Majalah Bisnis & CSR 2007 serta Wikipedia 2009) disajikan dalam beragam definisi sebagai berikut:
1. Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya (World Business Council for Sustainable Development);
2. Komitmen dunia bisnis untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerja sama dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan (International Finance Corporation);
3. Jaminan bahwa organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu memberi dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham (stakeholders) mereka (Institute of Chartered Accountants, England and Wales);
4. Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan yang dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang (Canadian Government);
5. Sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan (European Commission);
6. Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan dan menyeimbangkan beragam kepentingan stakeholders (CSR Asia).
7. Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak dari keputusan dan kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh (ISO 26000-draft 3, 2007). CSR mencakup tujuh komponen utama, yaitu: the environment, social development, human rights, organizational governance, labor practices, fair operating practices and consumer issues (Sukada & Jalal 2008). Apabila dipetakan, menurut pendefinisian CSR yang relatif lebih mudah dipahami dan dapat dioperasionalkan untuk kegiatan audit adalah dengan mengembangkan konsep Tripple Bottom Lines (Elkington 1998) dan menambahkannya dengan satu line tambahan, yaitu procedure (Suharto 2007);
8. Komitmen bisnis untuk berperan untuk mendukung pembangunan ekonomi, bekerjasama dengan karyawan dan keluarganya, masyarakat lokal dan masyarakat luas, untuk meningkatkan mutu hidup mereka dengan berbagai cara yang menguntungkan bagi bisnis dan pembangunan (Petkoski & Twose 2003).
Dengan demikian, konsep CSR secara umum adalah: Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional. Dalam aplikasinya, konsep 4P dapat dipadukan dengan komponen dalam ISO 26000. Konsep planet berkaitan dengan aspek the environment. Konsep people dapat merujuk pada konsep social development dan human rights yang tidak hanya menyangkut kesejahteraan ekonomi masyarakat (seperti pemberian modal usaha, pelatihan keterampilan kerja) namun juga kesejahteraan sosial (pemberian jaminan sosial, penguatan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan pendididikan, penguatan kapasitas lembaga-lembaga sosial dan kearifan lokal). Sedangkan konsep procedur bisa mencakup konsep organizational governance, labor practices, fair operating practices, dan consumer issues (Marlia 2008).
Dalam prinsip responsibility, penekanan yang nyata diberikan pada kepentingan stakeholders perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan dan memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Sedangkan stakeholders perusahaan dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan termasuk di dalamnya adalah karyawan, konsumen, pemasok, masyarakat, lingkungan sekitar dan pemerintah sebagai regulator. CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangan (financial) saja. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini, bottom lines lainnya selain finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup (Idris 2005).
Fajar dalam Badri (2009) mengatakan bahwa perilaku para pengusaha dalam mengimplementasikan CSR cukup beragam, dari kelompok yang sama sekali tidak malaksanakan sampai kelompok yang menjadikan CSR sebagai nilai inti (core value) dalam menjalankan usaha. Terkait dengan praktek CSR, pengusaha dikelompokkan menjadi empat, yaitu: kelompok hitam, merah, biru dan hijau.
Kelompok hitam adalah pengusaha yang tidak melakukan praktek CSR sama sekali karena hanya menjalankan bisnis untuk kepentingan sendiri. Kelompok merah adalah yang mulai melaksanakan CSR, tetapi memandangnya hanya sebagai komponen biaya yang akan mengurangi keuntungannya. Kelompok biru adalah mereka yang menganggap praktek CSR akan memberi dampak positif (return) terhadap usahanya dan menilai CSR sebagai investasi, bukan biaya. Kelompok keempat, kelompok hijau, merupakan kelompok yang sepenuh hati melaksanakan praktek CSR. Mereka telah menempatkannya sebagai nilai inti dan menganggap sebagai suatu keharusan, bahkan kebutuhan dan menjadikannya sebagai modal sosial (ekuitas). Kelompok hijau diyakini akan mampu berkontribusi besar terhadap pembangunan berkelanjutan.
CSR merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era di mana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability. Perusahaan yang menjadikan program tanggung jawab sosial sebagai bagian dari perencanaan strategis perusahaan mempunyai corporate image yang lebih tinggi sehingga dapat berdampak pada loyalitas yang tinggi bagi masyarakat yang telah diuntungkan oleh perusahaan tersebut dan juga bagi konsumen yang sering mengandalkan corporate image dalam mengonsumsi apa yang dibeli.
Berdasarkan sifatnya, pelaksanaan program CSR dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Program Pengembangan Masyarakat (Community Development/CD); dan 2) Program Pengembangan Hubungan/Relasi dengan publik (Relations Development/RD). Adapun sasaran dari Program CSR adalah: (1) Pemberdayaan SDM lokal (pelajar, pemuda, dan mahasiswa termasuk di dalamnya); (2) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat sekitar daerah operasi; (3) Pembangunan fasilitas sosial/umum; (4) Pengembangan kesehatan masyarakat dan (5) Sosial budaya.
PERANAN PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan, peranan pendidikan amatlah strategis. John C. Bock dalam Philip et al. (1982) mengidentifikasi peran pendidikan adalah untuk: a) Memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa; b) Mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial dan c) Meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lainnya merupakan fungsi ekonomi.
Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: paradigma fungsional dan paradigma sosialis. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern dalam jumlah yang cukup. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis human investmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik (Zamroni 2009).
Paradigma sosialis melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) Mengembangkan kompetensi individu; b) Kompetensi yang lebih tinggi diperlukan untuk meningkatkan produktivitas; dan c) Secara umum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat sehingga meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialis ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.
Paradigma fungsional dan paradigma sosialis telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Mekanistik melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan dan ijazah.
Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan, pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Pendidikan harus diorganisir secara terpusat dalam suatu lembaga pendidikan formal, bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal ini lembaga pendidikan diharapkan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar efisien dan efektif, proses pendidikan harus disusun dalam struktur yang rigid, manajemen bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori (text bookish).
Namun demikian, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendidikan nasional sistem persekolahan tidak dapat berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass dalam Zamroni (2009) lewat tulisannya berjudul Education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.
Berbagai masalah pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic). Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.
Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan atas paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri. Oleh karena itu, dewasa ini telah muncul paradigma baru peranan pendidikan dalam pengembangan masyarakat, yaitu: Pendidikan Sistemik-Organik.
Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional, namun peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi semacam ini, pendidikan tidak dapat lagi disebut sebagai engine of growth, sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan formal sangat terkait dan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lembaga pendidikan sendiri tidak dapat meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan tenaga kerja baik jumlah dan kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan kecepatan perubahan ekonomi dan masyarakat.
Paradigma peran pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif, melahirkan paradigma pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada doktrin ekspansionisme dan teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan bahwa segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri dan 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan. Dengan double tracks ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.
IMPLEMENTASI CSR UNTUK MENINGKATKAN PERANAN PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT INDONESIA
Secara umum, pendidikan mempunyai peranan dalam meningkatkan kualitas manusia sebagai sumber daya pembangunan dan menjadi titik sentral pembangunan. Manusia yang berkualitas memiliki keseimbangan antara tiga aspek yang ada padanya, yaitu aspek pribadi sebagai individu, aspek sosial dan aspek kebangsaan. Sinergis peran antara dunia pendidikan dan dunia kerja, diantaranya adalah dunia usaha (perusahaan) yang secara terpadu memberikan kesempatan interaksi di antara keduanya untuk membangun sistem pendidikan dengan paradigma sistemik-organik. Berkaitan dengan hal ini, tampak adanya peluang perlunya membangun sinergi dunia pendidikan dengan perusahaan, pasca disahkannya Udang-Undang tentang Perseroan Terbatas (UUPT) pada 20 Juli 2007 khususnya Pasal 74 UUPT yang menyatakan adanya kewajiban melaksanakan pengaturan tentang tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR).
Menurut The World Bank Institute, salah satu komponen utama CSR adalah pengembangan kepemimpinan dan pendidikan. Karena pendidikan merupakan salah satu kunci pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan yang berpihak kepada kelompok miskin, maka dunia bisnis dapat memberikan kontribusi penting dalam menyediakan akses pendidikan berkualitas. Bahkan, perusahaan pun dapat memberikan dampak yang kritis terhadap proses pemberdayaan melalui peningkatan standar pengembangan kepemimpinan dan pendidikan dalam perusahaan. Oleh karena itu, kemajuan dunia pendidikan memang tidak dapat berjalan sendiri, sehingga perlu ada kerja sama antara perusahaan, masyarakat dan pemerintah, yang dikemas melalui program CSR.
Salah satu implementasi CSR dalam dunia pendidikan adalah Program Cooperative Academic Education disingkat Co-op. Co-op adalah belajar bekerja terpadu yang melibatkan tiga pihak yaitu Mahasiswa, Perguruan Tinggi dan Dunia Usaha. Program ini merupakan salah satu strategi pendidikan dan pengembangan SDM yang mengintegrasikan mahasiswa dengan berbagai latar belakang ilmu dari bangku kuliah dengan pengalaman kerja yang produktif (“work-based learning” atau “work-integrated learning”) agar mahasiswa dapat menemukan dan mengalami sendiri apa yang disebut “dunia kerja.”
Kebijakan perusahaan dalam mengembangkan lingkungan strategis yaitu melalui CSR akan menjadi landasan dari program-program kolaborasi yang terkait dengan pemberdayaan para mahasiswa dalam mengembangkan kemampuan kewirausahaan melalui program Co-op. Selain dari sasaran yang bernuansa kemampuan penguasaan teknologi dan bisnis tersebut, program CSR juga ditujukan untuk memberikan akses dalam pemberdayaan masyarakat baik yang terkait langsung dengan proses Bisnis Perusahaan maupun lingkungan strategis yang lain, misalnya lingkungan dunia pendidikan.
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk bekerjasama dengan DPPK (Dewan Pengembangan Program Kemitraan) telah menyelenggarakan Program Co-op sejak tahun 1998. Hingga tahun 2008, perguruan tinggi yang telah berpartisipasi dalam Program Co-op PT Telekomunikasi Indonesia Tbk berjumlah 32 perguruan tinggi yang tersebar diseluruh Indonesia dan telah merekrut dan memberikan kesempatan Magang untuk sebanyak 1.170 mahasiswa dan dari 1170 mahasiswa yang telah melaksanakan Co-op di TELKOM sebagian direkomendasikan untuk dapat mengkuti Program Rekrut dan banyak di antara mereka saat ini telah meniti karir di PT. TELKOM (Telkom 2009)
Kegiatan lain terkait dengan CSR di bidang pendidikan adalah Partners in Learning oleh Micosoft Indonesia. Kegiatan ini dilakukan dengan mendukung berbagai pihak yang memiliki tujuan meningkatkan mutu pengajaran melalui peningkatan kemampuan profesional pendidik. Selama empat tahun terakhir, Microsoft telah bermitra erat dengan Depdiknas, terutama melalui Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, yang memiliki 30 Lembaga Penjamin Mutu Pendidik (LPMP) di 30 provinsi. Program pelatihan bagi pendidik yang dilakukan secara rutin merupakan satu cara strategis bagi Microsoft untuk menawarkan dukungannya dalam berpartispasi di dalam kegiatan pendidikan melalui peer coaching.
Peer coaching tidak hanya sekedar pelatihan pemanfaatan informasi teknologi di sekolah. Modul pelatihan ini merupakan upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru secara menyeluruh. Penekanan dalam pelatihan ini adalah pada komunikasi dan bagaimana para pesertanya berbagi materi ajar yang berbasis TIK. Oleh karenanya, para peserta modul pelatihan peer coaching sudah diasumsikan mampu dan terbiasa dalam menggunakan komputer di kelas. Yang penting adalah para peserta dibawa ke pemikiran bahwa mereka tidak sendiri dalam menjalankan tugas-tugasnya karena rekan-rekan sesama pendidik ikut mendukung, dan mereka pun diharapkan juga memberi dukungan yang sama dalam pengajaran (Gondomono 2007).
Dalam laporan Yulnardi (Maret 2009), dinyatakan bahwa kepedulian sejumlah perusahaan untuk memajukan dunia pendidikan melalui kegiatan CSR sangat berarti bagi dunia pendidikan. Jika sekarang cenderung CSR diarahkan pada peningkatan kualitas SDM melalui pemberian beasiswa maka ke depan CSR diharapkan dapat mendongkrak pencapaian angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi, yang sampai sekarang masih rendah. APK perguruan tinggi sampai sekarang masih menjadi masalah. Tahun 2008 lalu APK perguruan tinggi (PT) adalah 17,75 persen. Tahun 2009 diharapkan dapat meningkat menjadi 19 persen. Lima tahun ke depan, APK PT ditargetkan mencapai 25 persen. Untuk mencapai peningkatan APK ini, perlu diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada lulusan SMA untuk masuk perguruan tinggi.
Selain untuk calon mahasiswa, CSR korporasi perlu diarahkan untuk membantu penelitian dosen dan membantu perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi berkualitas. Biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi berkualitas tidaklah murah, terutama apabila diarahkan untuk mencapai taraf daya saing dunia (global competitiveness). Sementara itu, alokasi dana dari pemerintah sendiri maupun yang dihimpun dari penerimaan pendidikan juga terbatas. Kepedulian perusahaan swasta dalam memberikan dukungan bagi pendidikan tinggi sebagaimana ditunjukkan oleh Bank CIMB Niaga yang merealisasikan bantuan senilai Rp 17 miliar untuk implementasi kegiatan CSR dalam bentuk pembangunan Gedung Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) yang berlokasi di Depok. Selain itu, Bank CIMB Niaga akan membantu FEUI dalam berbagai materi pengajaran yang menyangkut aspek teknis penerapan corporate banking dan corporate finance dengan mengirimkan pengajar yang merupakan praktisi perbankan Bank CIMB Niaga sendiri. Bank CIMB Niaga juga menyediakan program magang bagi mahasiswa yang baru lulus. Di lain pihak, FEUI juga akan mengirimkan pengajar untuk meningkatkan knowledge management karyawan Bank CIMB Niaga sendiri sehingga dapat diterapkan pola training for trainers. Dalam skema kerja sama ini, FEUI juga akan memberikan kesempatan beasiswa bagi karyawan Bank CIMB Niaga untuk menempuh program pendidikan S-1 hingga S-3 di FEUI (Yurnaldi 2009).
Dalam mengimplementasikan CSR di bidang pendidikan, ribuan insinyur akan direkrut dalam empat tahun mendatang untuk mendukung kegiatan hulu Pertamina, khususnya dalam rangka memperoleh sumber energi yang baru. Dalam hal ini IPB telah menerima bantuan pembangunan Auditorium Fakultas Kehutanan IPB, rumah kaca, dan penambahan fasilitas kemahasiswaan berupa komputer serta printer senilai Rp 2,272 milyar dari Pertamina melalui program CSR. Selain IPB, bantuan di sektor pendidikan juga diberikan kepada beberapa universitas lain oleh Pertamina seperti UI, ITB, UGM, Unhas, Unpad dengan jumlah bantuan bervariasi. Bantuan tersebut juga merupakan bagian dari program Pertamina Goes to Campus yang sudah mulai berjalan sejak 2007 dan akan terus dikembangkan pada 2009. Selain itu, Pertamina juga telah memberikan beasiswa kepada ribuan pelajar untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan di Indonesia (Suara Karya 2009)
Arah implementasi CSR yang mulai menitikberatkan pada aspek pendidikan semakin terasa diwujudkan oleh berbagai perusahaan. Sebagaimana dilakukan oleh PP London Sumatra (Lonsum) Indonesia, Tbk, yang dewasa ini memfokuskan pengucuran dana CSR-nya kepada dunia pendidikan. Alasan manajemen perusahaan itu memfokuskan ke dunia pendidikan, karena selain melihat fakta bahwa sarana dan prasarana pendidikan masih memprihatinkan, juga dengan pemikiran diperlukannya SDM handal yang “lahir” dari pendidikan yang memadai. Pada tahun 2008 ini, Lonsum membantu perbaikan 44 sekolah negeri di berbagai desa yang beroperasi di sekitar wilayah kerja perusahaan dan juga memberikan bantuan berupa komputer, beasiswa kepada siswa dan termasuk pelatihan kepada para guru. Lonsum secara langsung dan tidak langsung menciptakan sekitar 12 ribu lapangan pekerjaan di pedesaan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa yang merupakan wilayah operasional perusahaan tersebut (Lonsum 2009).
PT HM Sampoerna, salah satu perusahaan rokok besar di negeri ini juga menyediakan beasiswa bagi pelajar SD, SMP, SMA maupun mahasiswa. Selain kepada anak-anak pekerja PT HM Sampoerna, beasiswa tersebut juga diberikan kepada masyarakat umum. Selain itu,melalui program bimbingan anak Sampoerna, perusahaan ini terlibat sebagai sponsor kegiatan-kegiatan konservasi dan pendidikan lingkungan.
Implementasi CSR untuk meningkatkan peranan pendidikan dalam pengembangan masyarakat tidak hanya dapat diterapkan di perusahaan-perusaaan multinasional, atau perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan-perusahaan yang memiliki omzet tidak terlalu besar juga dapat melakukannya. Inti dari CSR bukanlah kepada besar kecilnya dana yang dikeluarkan, melainkan komitmen yang diberikan perusahaan kepada masalah-masalah yang terjadi di masyarakat sekitarnya, khususnya bidang pendidikan. Berkaitan dengan keuntungan, CSR tentu menguntungkan, tetapi keuntungan yang diterima mungkin dalam jangka waktu panjang. Karena CSR bukanlah program sekali dan selesai, namun harus tetap berkelanjutan. Meskipun implementasi CSR khususnya di bidang pendidikan membutuhkan waktu yang lama, namun CRS akan memberikan keuntungan jangka panjang yang berkelanjutan bagi perusahaan.
Implementasi CSR dapat lebih mengarah kepada suatu biaya materi pendidikan yang dikelola dan diterapkan langsung kepada masyarakat, sekaligus mendatangkan keuntungan sosial dalam bidang pendidikan. Upaya mensinergikan CSR dengan dunia pendidikan, merupakan langkah strategis perusahaan yang manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar di lokasi perusahaan itu berdiri. Kepekaan perusahaan terhadap dunia pendidikan merupakan investasi yang tak akan mubazir serta memberi manfaat secara berkesinambungan.