Konservasi alam secara tradisional menurut kelompok etnik Matbat di kampung Lilinta, Pulau Misol, Kabupaten Kepulauan Raja Ampat, Provinsi Papua.

Konservasi alam secara tradisional menurut  kelompok etnik Matbat di  kampung Lilinta, Pulau  Misol, Kabupaten Kepulauan Raja Ampat,  Provinsi Papua.
Penduduk kampung Lilinta di Pulau Misol, Kepulauan Raja Ampat termasuk kelompok etnik Matbat, adalah penduduk asli yang mendiami pulau Misol, salah satu pulau besar di gugusan Kepulauan Raja Ampat. Seperti halnya pada penduduk di kampung-kampung lain di pulau Misol pada khususnya dan penduduk Kepulauan Raja Ampat pada umumnya dikenal suatu system konservasi alam yang disebut  samsom.   Samsom berarti larangan untuk mengambil hasil laut pada kurung waktu tertentu. Larangan ini dilakukan atas dasar pandangan orang Matbat tentang hubungan antar manusia dengan sumber-sumber daya alam disekitarnya. Dalam pandangan orang Matbat,  Sumber Daya Alam (SDA) baik yang habis terpakai maupun yang dapat diperbaharui (renewable), termasuk yang terdapat di laut,  mempunyai batas-batas untuk dimanfaatkan oleh manusia. Oleh sebab itu di dalam tradisinya diciptakan suatu pranata atau institusi yang berwujud  aturan-aturan tertentu untuk menjaga dan mengelola pemanfaannya agar  dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara lestari. Pranata yang dibuat untuk mengelolah pemanfaatan sumber daya alam, khususnya sumber daya laut, disebut samsom. System konservasi tradisional ini  dikenal juga di tempat lain di Tanah Papua dan juga di Daerah Kepulauan Maluku, dan masing-masing kelopok etnik menggunakan istilah tertentu untuk menamakannya, misalnya pada orang Biak disebut sasisen, pada orang Maya di Samate (Salawati) disebut rajaha,dan pada orang Depapre (Tabla) disebut takayeti. Meskipun masing-masing kelompok etnik menggunakan istilah yang berbeda  tetapi istilah-istilah yang berbeda itu mengandung makna yang sama dan seca luas dipakai istilah yang sama untuk system konservasi tradisonal ini yaitu istilah sasi. Istilah sasi sendiri berasal dari daerah Maluku.

Arti kata samsom dalam bahasa Matbat adalah larangan. Dengan demikian apabila sesuatu benda atau barang dikenakan samsom atau sasi maka hal itu berarti bahwa barang atau benda itu dilarang untuk diganggu dalam pengertian dirusak atau diambil untuk digunakan ataupun dimanfaatkan. Sedangkan tujuan dari pelaksanaan samsom atau sasi adalah dalam rangka mengatur penggunaan, penegelolaan dan perlindungan terhadap biota laut serta pendistribusian yang merata bagi masyarakat sehingga sumber daya alam ini dapat dinikmati secara berkelanjutan.

Samsom atau sasi  yang merupakan system konservasi alam secara tradisional oleh orang Matbat ini dilaksanakan sekali setiap tahun dan berlangsung kurang lebih enam sampai tujuh bulan. Biasanya acara sasi dilaksanakan pada bulan-bulan dimana angin bertiup kencang, yaitu musim angin barat  yang berlangsung antara bulan … sampai bulan….. Ritus sasi  dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat yang disebut mirinyo yang dalam struktur kekuasaan pemerintahan adat adalah pembantu raja yang mempunyai tugas untuk memimpin upacara-upacara kegamaan dan menyelasaikan masalah-masalah sengketa yang terjadi antar warga dalam masyarakat.

Pelaksanaan sasi  dimulai dengan acara penanaman tanda larangan yang disebut “gasamsom” sebanyak tiga buah. Tanda larangan atau gasamsom itu berupa  batang pohon salam yang daunnya dipangkas sedangkan cabang dan rantingnya dibiarkan utuh pada batang pohonnya. Tanda larangan  yang pertama ditancapkan di depan kampung yang menghadap ke laut dan dua yang lainnya masing-masing ditancapkan di ujung-ujung kampung, juga menghadap ke laut.

Ritus penanaman tanda larangan itu diawali dengan pembacaan mantra oleh pemimpin uapacara tutup sasi, yaitu mirinyo. Mantra yang dibacakan iu ditujukan kepada para penjaga laut yang dipercayai bahwa merekalah yang menjaga dan memberi kesuburan kepada biota laut sehingga jumlahnya akan berlimpah-limpah. Kata-kata mantra itu diucapkan oleh mirinyo  menjelang fajar pagi bertempat di depan kampung yang menghadap ke laut dan setelah mantra diucapkan maka tanda larangan pertama, gasamson, berupa pohon larangan itu ditancapakan kedalam tanah. Pada cabang dan ranting-ranting pohon yang dijadikan tanda larangan itu digantung sesaji yang disebut sababete berupa rokok, tembakau, pinang dan carik-carik kain berwarna merah. Pada saat  pohon larangan itu ditanam  maka sejak saat itu larangan untuk mengambil hasil biota laut diberlakukan bagi seluruh warga masyarakat kampung maupun orang lain yang berkunjung atau bertamu ke kampung itu. Larangan tersebut berlaku selama masa sasi di daerah /perairan laut yang merupakan wilayah kekuasaan kampung.

Wilayah  perairan yang merupakan teritorium kekuasaan kampung ini dibagi atas tiga zona. Zona pertama meliputi daerah perairan pantai beserta pulau-pulau diatasnya yang dekat kampung. Zona dua berupa wilayah perairan yang letaknya agak jauh dari kampung dan zona ketiga berupa wilayah perairan yang letaknya paling jauh dari kampung.

Apabila sudah genap waktunya untuk sasi dibuka, biasanya terjadi pada musim teduh, tidak ada lagi angin dan ombak besar, maka menjelang pagi saat upacara sasi dibuka, semua warga kampung yang mampu (kuat) baik laki-laki, perempuan dan bahkan anak-anak yang sudah cukup usia untuk menyelam dan mengumpul hasil laut, berkumpul di tempat tertentu di daerah zona satu (daerah yang letaknya tak jauh dari kampung) yang sudah ditentukan.  Upacara pembukaan sasi dilaksanakan pada pagi hari menjelang matahari terbit, yaitu kira-kira pukul enam pagi, waktu setempat.   Pada saat itu kepala adat , yaitu kepala pemerintahan adat yang disebut raja, mengucapkan mantra-mantra tertentu yang ditujukan bagi para penjaga dan penghuni laut serta para leluhur yang telah lama meninggal dunia.

Tujuan dari pembacaan mantra tersebut adalah sebagai tanda ungkapan terima kasih dan syukur atas perlindungan para penjaga laut dan leluhur kepada warga masyarakat selama sasi atau larangan itu dilaksanakan dan atas kesuburan yang diberikan kepada biota laut.. Juga mantra-mantra yang diucapkan itu bermaksud memohon penyertaan dan perlindungan dari para penjaga laut dan leluhur kepada warga masyarakat agar mereka tidak kena musibah atau kecelakaan selama mereka mengumpulkan hasil-hasil laut yang ada. Setelah mantra-mantra itu diucapkan, maka kepala adat urusan upacara adat yang bergelar mirinyo meniupkan kulit triton yang mengeluarkan suara yang keras. Bunyi atau suara ini menandakan bahwa sasi secara resmi dibuka sehingga setiap warga masyarakat dapat dengan bebas mengumpulkan berbagai biota laut yang ada di daerah zona satu. Lamanya pengumpulan hasil laut di daerah zona satu ini berlangsung selama satu hari . Pada hari berikutnya warga masyarakat pencari hasil laut di zona pertama ini diperkenangkan untuk mencari dizona kedua yang letaknya di bagian tengah dari daerah perairan milik kampung.  Setelah hari kedua, maka pada hari ketiga mereka diperbolehkan untuk mencari hasil laut pada zona ke tiga daerah perairan milik kampung  yang letaknya paling jauh dari kampung. Setelah itu  urutan waktu dan tempat mencari sperti terurai di atas dilakukan , maka selanjutnya penduduk bebas untuk mencari kapan saja dan pada zona mana saja mereka kehendaki tanpa ada larangan. Hal ini mereka lakukan sampai tiba saatnya untuk diberlakukan sasi atau larangan  berikutnya.

Untuk menjamin agar larangan ini dipatuhi oleh seluruh warga masyarakat maka diatur mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh seluruh warga masyarakat kampung. Apabila terdapat warga masyarakat yang melakukan pelanggran (mengambil hasil biota laut pada saat larangan itu masih berlangsung), maka warga masyarakat lainnya yang menemukan sipelanggar itu segera melaporkannya kepada pimpinan adat dan selanjutnya piminan adat menugaskan bawahannya yang menangani masala-masalah hukum adat di dalam kampung untuk segera mengambil tindakan terhadap pelanggar. Pada masa lampau sangksi yang biasanya dikenakan kepada para pelanggar adalah hukuman fisik berupa dicambuk atau dipasung. Bentuk-bentuk hukuman ini sekarang tidak dipakai lagi. Bentuk hukuman yang sekarang dipakai untuk mengganjar para  pelanggar adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat untuk kepentingan umum, misalnya perbaikan jalan utama dalam kampung dengan menggunakan bahan yang diadakan sendiri seperti misalnya mengumpulkan batu karang untuk menimbun jalan,  perbaikan balai desa, perbaikan jeti tempat berlabuh perahu para nelayan atau sarana lainnya yang bermanfaat untuk kepentingan umum.  Selain dikenakan hukuman, semua hasil biota yang dikumpul oleh sipelanggar disita oleh petugas pemerintah adat. Barang-barang sitaan ini kemudian dijual dan hasilnya disimpan dalam kas adat dan selanjutnya digunakan untuk membiayai upacara-upacara adat. Peneliti Novi Senoaji yang melakukan penelitian tentang system Konservasi Tradisional  pada orang Matabat di kampung Lilinta, Distrik Misol, Kepulauan Raja Ampat, melaporkan dalam skripsinya bahwa selama tiga bulan (yaitu dari bulan November 1995 hingga januari 1996) tercatat 16 pelanggaran dan terhadap para pelanggar itu  dikenakan bentuk-bentuk hukuman seperti tersebut di atas. Perlu ditambahkan disini bahwa bentuk-bentuk hukuman ini bervariasi sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dibuat oleh seseorang.

Kecuali sistem sasi tersebut, pada masyarakat tradisional tertentu seperti misalnya pada orang Sentani dan orang Nimboran dikembangkan pula pranata sosial yang khusus mengatur pemanfaatan sumber daya alam. Hal itu terwujud dalam struktur kepemimpinan masyarakatnya yang melimpah kewenangan kepada fungsionaris-fungsionaris tertentu di dalam struktur  itu untuk mengatur pemanfaatan sumber daya alam. Uraian dalam kotak pada contoh 2 di bawah ini menggambarkan hal tersebut.

Subscribe to receive free email updates: