islam dan budaya madura
Religiusitas masyarakat etnik Madura telah dikenal luas sebagai bagian dari keberagamaan kaum muslimin Indonesia yang berpegang teguh pada tradisi (ajaran?) Islam dalam menepak realitas kehidupan sosial budayanya. Kendati pun begitu, kekentalan dan kelekatan keberislaman mereka tidak selalu mencerminkan nilai-nilai normatif ajaran agamanya. Kondisi itu dapat dipahami karena penetrasi ajaran Islam ─ yang dipandang relatif berhasil ─ ke dalam komunitas etnik Madura dalam realitasnya berinteraksi (tepatnya, to be interplay) dengan kompleksitas elemen-elemen sosiokultural yang melingkupinya, terutama variabel keberdayaan ekonomik, orientasi pendidikan, dan perilaku politik. Hasil penetrasi Islam ke dalamnya kemudian menampakkan karakteristik tertentu yang khas dan ─ sekaligus juga ─ unik.
Oleh karena itu, pemahaman dan penafsiran atas ajaran Islam normatif pada warga etnik Madura pada perkembangannya berjalan seiring dengan kontekstualitas konkret budayanya yang ternyata sangat dipengaruhi ─ jika tidak dikatakan bermuatan heretical ─ oleh lingkup lokalitas dan serial waktu yang membentuknya (Rahman, 1994: 141). Dalam perwujudannya, keberagamaan etnisitas komunal itu ternyata menampakkan diri dalam bentuk local tradition di mana Islam sebagai great tradition (ajaran dan praksis normatif) membentuk konsepsi tentang realitas yang mengakomodasi kenyataan sosiokultural masyarakatnya atau komunitas yang dibentuknya itu (Azra, 1999: 12). Kehadiran dan keberadaan Islam ke dalam suatu entitas sosial budaya telah menjadi “gerakan aktual-kultural” yang mengakomodasi dialog dalam/dengan beragam segmentasi kehidupan sehingga wajah Islam normatif dimungkinkan mengalami perubahan walaupun pada sisi periferalnya.
Kenyataan demikian tampak pada konsepsi yang teraktualisasikan dalam bentuk-bentuk perilaku pada budaya orang-orang Madura yang ternyata mengalami perubahan format ─ jika tidak disebut bias atau deviasi ─ dari norma asalnya. Perilaku demikian dapat diungkapkan, antara lain: sebagian pedagang Madura berjualan tidak sesuai dengan spesifikasi yang diucapkan (dijanjikan), tindakan premanisme, penghormatan berlebihan atau kultus individual pada figur kiai, ketersinggungan yang sering berujung atau dipahami sebagai penistaan harga diri, perbuatan heretikal, temperamental, reaktif, keras kepala, dan penyelesaian konflik melalui tindak kekerasan fisik (biasa disebut carok).
Contoh-contoh tersebut tidak saja menggambarkan bahwa keberagamaan sebagian masyarakat Madura “berseberangan” dengan ajaran normatif, moral, dan perenial Islam, melainkan berdampak juga pada munculnya stigma dan stereotipikal etnik secara komunal dan kultural dalam realitas praksis yang berjangkauan luas. Menghadapi kenyataan demikian, kearifan pandangan budaya benar-benar perlu dihadirkan sebagai bagian dari upaya solutif atas beragam problema tersebut. Hal itu didasari karena bias-bias perilaku mereka terwujud sebagai deviasi produk akomodatif Islam dan kenyataan sosial budaya dalam praksis dan kontekstualitas kehidupannya.
Dalam kerangka itulah artikel ini disusun dengan maksud untuk mengupas tentang budaya masyarakat Madura pada sisi praksis religiusitasnya. Kajian ini diupayakan berorientasi pada pola pandang yang relatif utuh dan holistik dengan menghindari penilaian maupun justifikasi simplistik atau dikotomik yang kemudian hanya akan menghasilkan pandangan “hitam-putih” atau otentisitas-heretikal yang sulit memberi pemahaman dan penjelasan tentang kompleksitas seting dan konteks pada realitas kehidupan etnisitas mereka. Artikel ringkas ini diharapkan mampu menghadirkan solusi yang bermanfaat dan bermakna melalui kejernihan dan sekaligus kecerahan persepsi dan pandangan.
Kekhasan Budaya
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik. Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian bahwa entitas etnik Madura memiliki kekhususan-kultural yang tidak serupa dengan etnografi komunitas etnik lain (Hasan Alwi, 2001: 563). Kekhususan kultural itu tampak antara lain pada ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan mereka secara hierarkis kepada empat figur utama dalam berkehidupan, lebih-lebih dalam praksis keberagamaan. Keempat figur itu adalah Buppa,’ Babbu, Guru, ban Rato (Ayah, Ibu, Guru, dan Pemimpin pemerintahan). Kepada figur-figur utama itulah kepatuhan hierarkis orang-orang Madura menampakkan wujudnya dalam kehidupan sosial budaya mereka (Wiyata, 2003: 1).
Bagi entitas etnik Madura, kepatuhan hierarkis tersebut menjadi keniscayaan untuk diaktualisasikan dalam praksis keseharian sebagai “aturan normatif” yang mengikat. Oleh karenanya, pengabaian atau pelanggaran yang dilakukan secara disengaja atas aturan itu menyebabkan pelakunya dikenakan sanksi sosial maupun kultural. Pemaknaan etnografis demikian berwujud lebih lanjut pada ketiadaan kesempatan dan ruang yang cukup untuk mengenyampingkan aturan normatif itu. Dalam makna yang lebih luas dapat dinyatakan bahwa aktualisasi kepatuhan itu dilakukan sepanjang hidupnya. Tidak ada kosa kata yang tepat untuk menyebut istilah lainnya kecuali ketundukan, ketaatan, dan kepasrahan kepada keempat figur tersebut.
Kepatuhan atau ketaatan kepada Ayah dan Ibu (buppa’ ban Babbu’) sebagai orangtua kandung atau nasabiyah sudah jelas, tegas, dan diakui keniscayaannya. Secara kulturak ketaatan dan ketundukan seseorang kepada kedua orangtuanya adalah mutlak. Jika tidak, ucapan atau sebutan kedurhakanlah ditimpakan kepadanya oleh lingkungan sosiokultural masyarakatnya. Bahkan, dalam konteks budaya mana pun kepatuhan anak kepada kedua orangtuanya menjadi kemestian secara mitlak, tidak dapat dinegosiasikan, maupun diganggu gugat. Yang mungkin berbeda, hanyalah cara dan bentuk dalam memanifestasikannya. Kepatuhan mutlak itu tidak terkendala oleh apa pun, sebagai kelaziman yang ditopang oleh faktor genealogis. Konsekuensi lanjutannya relatif dapat dipastikan bahwa jika pada saat ini seseorang (anak) patuh kepada orangtuanya maka pada saatnya nanti dia ketika menjadi orangtua akan ditaati pula oleh anak-anaknya. Itulah salah satu bentuk pewarisan nilai-nilai kultural yang terdiseminasi. Siklus secara kontinu dan sinambung itu kiranya akan berulang dan berkelanjutan dalam kondisi normal, wajar, dan alamiah, kecuali kalau pewarisan nilai-nilai kepatuhan itu mengalami keterputusan yang disebabkan oleh berbagai kondisi, faktor, atau peristiwa luarbiasa.
Kepatuhan orang-orang Madura kepada figur guru berposisi pada level-hierarkis selanjutnya. Penggunaan dan penyebutan istilah guru menunjuk dan menekankan pada pengertian Kiai-pengasuh pondok pesantren atau sekurang-kurangnya Ustadz pada “sekolah-sekolah” keagamaan. Peran dan fungsi guru lebih ditekankan pada konteks moralitas yang dipertalikan dengan kehidupan eskatologis ─ terutama dalam aspek ketenteraman dan penyelamatan diri dari beban atau derita di alam kehidupan akhirat (morality and sacred world). Oleh karena itu, ketaatanorang-orang Madura kepada figur guru menjadi penanda khas budaya mereka yang ─ mungkin ─ tidak perlu diragukan lagi keabsahannya.
Siklus-generatif tentang kepatuhan orang Madura (sebagai murid) kepada figur guru ternyata tidak dengan sendirinya dapat terwujud sebagaimana ketaatan anak kepada figur I dan II, ayah dan ibunya. Kondisi itu terjadi karena tidak semua orang Madura mempunyai kesempatan untuk menjadi figur guru. Kendati pun terdapat anggapan-prediktif bahwa figur guru sangat mungkin diraih oleh murid karena aspek genealogis namun dalam realitasnya tidak dapat dipastikan bahwa setiap murid akan menjadi guru, mengikuti jejak orangtuanya. Oleh karenanya, makna kultural yang dapat ditangkap adalah bahwa bagi orang Madura belum cukup tersedia ruang dan kesempatan yang leluasa untuk mengubah statusnya menjadi orang yang senantiasa harus berperilaku patuh, tunduk, dan pasrah.
Kepatuhan orang Madura kepada figur Rato (pemimpin pemerintahan) menempati posisi hierarkis keempat. Figur Rato dicapai oleh seseorang ─ dari mana pun etnik asalnya ─ bukan karena faktor genealogis melainkan karena keberhasilan prestasi dalam meraih status. Dalam realitasnya, tidak semua orang Madura diperkirakan mampu atau berkesempatan untuk mencapai posisi sebagai Rato, kecuali 3 atau 4 orang (sebagai Bupati di Madura) dalam 5 hingga 10 tahun sekali. Itu pun baru terlaksana ketika diterbitkan kebijakan nasional berupa Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, tahun 1999 yang baru lalu.
Oleh karena itu, kesempatan untuk menempati figur Rato pun dalam realitas praksisnya merupakan kondisi langka yang relatif sulit diraih oleh orang Madura. Dalam konteks itulah dapat dinyatakan bahwa sepanjang hidup orang-orang Madura masih tetap dalam posisi yang senantiasa harus patuh. Begitulah posisi subordinatif-hegemonik yang menimpa para individu dalam entitas etnik Madura.
Deskripsi tentang kepatuhan orang-orang Madura kepada empat figur utama tersebut sesungguhnya dapat dirunut standar referensinya pada sisi religiusitas budayanya. Sebagai pulau yang berpenghuni mayoritas (+ 97-99%) muslim, Madura menampakkan ciri khas keberislamannya, khususnya dalam aktualisasi ketaatan kepada ajaran normatif agamanya (Wiyata, 2002: 42). Kepatuhan kepada kedua orangtua merupakan tuntunan Rasulullah SAW walaupun urutan hierarkisnya mendahulukan Ibu (babbu’) kemudia Ayah (Buppa’). Rasulullah menyebut ketaatan anak kepada Ibunya berlipat 3 daripada Ayahnya. Selain itu juga dinyatakan bahwa keridhaan orangtua “menjadi dasar” keridhaan Tuhan. Oleh karena secara normatif-religius derajat Ibu 3 kali lebih tinggi daripada Ayah maka seharusnya produk ketaatan orang Madura kepada ajaran normatif Islam melahirkan budaya yang memosisikan Ibu pada hierarki tertinggi. Dalam kenyataannya, tidak demikian. Kendati pun begitu, secara kultural dapat dimengerti mengapa hierarki Ayah diposisikan lebih tinggi dari Ibu. Posisi Ayah dalam sosiokultural masyarakat etnik Madura memegang kendali dan wewenang penuh lembaga keluarga sebagai sosok yang diberi amanah untuk bertanggung jawab dalam semua kebutuhan rumah tangganya, di antaranya: pemenuhan keperluan ekonomik, pendidikan,kesehatan, dan keamanan seluruh anggota keluarga, termasuh di dalamnya Sang Ibu sebagai anggota dalam “kepemimpinan” lelaki.
Di sisi lain, kepatuhan kultural orang Madura kepada Guru (Kiai/Ustadz) maupun kepada pemimpin pemerintahan karena peran dan jasa mereka itu dipan dang bermanfaat dan bermakna bagi survivalitas entitas etnik Madura. Guru berjasa dalam mencerahkan pola pikir dan perilaku komunal murid untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan mendiami negeri akhirat kelak. Kontribusi mereka dipandang sangat bermakna dan berjasa besar karena telah memberi bekal untuk survivalitas hidup di alam dunia dan keselamatan akhirat pascakehidupan dunia. Sedangkan pemimpin pemerintahan berjasa dalam mengatur ketertiban kehidupan publik melalui penyediaan iklim dan kesempatan bekerja, mengembangkan kesempatan bidang ekonomik, mengakomodasi kebebasan beribadat, memelihara suasana aman, dan membangun kebersamaan atau keberdayaan secara partisipatif. Dalam dimensi religiusitas, sebutan figur Rato dalam perspektif etnik Madura dipersamakan dengan istilah ulil amri yang sama-sama wajib untuk dipatuhi.
Persoalan yang paling mendasar sesungguhnya terletak padapemaknaan kultural tentang kepatuhan dalam konteks subordinasi, hegemoni, eksploitasi, dan berposisi kalah sepanjang hidup. Pemaknaan tersebut perlu diletakkan dalam posisi yang berkeadilan dan proporsional. Jika kepatuhan hierarkis kepada figur I dan II tidak ada masalah karena terbentang luas untuk memperoleh dan mengubahnya secara siklis maka upaya untak mengubah kepatuhan hierarkis pada figur III dan IV dapat ditempuh melalui kerja keras dan optimisme disertai bekal pengetahuan yang sangat memadai. Karenanya, persoalan-persoalan kultural tentang konsepsi kepatuhan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang tanpa solusi untuk mengubahnya.
Ungkapan budaya Madura: mon kerras pa-akerres (jika mampu dan kompeten untuk berkompetisi maka harus wibawa, kharismatik, dan efektif layaknya sebilah keris) kiranya dapat mengilhami para individu entitas etnik Madura untuk meraih keberhasilan dan ketenteraman dalam menjalani kehidupan yang berdaya di dunia maupun di akhirat.
Keunikan Budaya
Istilah unik menunjuk pada pengertian leksikal bahwa entitas etnik Madura merupakan “komunitas tersendiri” yang mempunyai karakteristik berbeda dengan etnik lain dalam bentuk maupun jenis etnografinya (Alwi, 2001: 1247). Keunikan budaya Madura itu tampak tidak sejalan dengan kuatitas komunalnya yang menyebar ke berbagai daerah di Nusantara, yakni 9,7 Juta Jiwa (7,5%), menempati peringkat kuantitas etnik terbesar setelah Jawa (45%) dan Sunda (14%) (Kompas, 24 Sept. 2005). Walaupun kedua konsepsi itu tampak tidak sejalan tetapi realitasnya mencerminkan kondisi itu.
Hingga saat ini komunalitas etnik Madura di daerah-daerah perantauan masih tetap harus “berjuang” untuk mempertahankan survivalitasnya dalam menghadapi arus industrialisasi dan modernisasi yang semakin cepat. Keberadaan mereka seolah-oleh kian menyusut karena mereka ternyata mulai enggan mengakui komunitas asalnya saat status sosial ekonominya meningkat. Keengganan untuk mengakui identitas asal mereka dapat dimengerti karena selama ini citra tentang orang Madura selalu jelek sedangkan komunitasnya cenderung termarginalkan sehingga menimbulkan “image traumatik.”
Identitas diri mereka makin tidak dapat dikenali karena ada kecenderungan escapistic dalam berinteraksi sosial di daerah perantauan. Dalam istilah lain, mereka “melucuti identitasnya” yang merupakan ciri khas dan karakteristik etnisitas sesungguhnya yang justru masih melekat erat pada dirinya. Termasuk di dalamnya juga menyembunyikan penggunaan berbahasa Madura antarsesama etnik. Kondisi sosiologis demikian jarang ditemukan pada komunitas etnik lain karena sesungguhnya penggunaan bahasa lokal untuk sesama etnik justru memunculkan kebanggaan tersendiri. Ungkapan budaya (etnografi), misalnya taretan dhibi’ (saudara sendiri) dalam bertutur-bahasa Madura saat berkomunikasi dengan sesama etnik kadang cenderung mempererat persaudaraan serantau sekaligus dukungan untuk saling memberdayakan. Penggunaan konsep budaya taretan dhibi’ justru seriung ditirukan oleh individu etnik lainnya sebagai ungkapan tentang bertemunya dua orang Madura atau lebih dalam satu lokasi.
Keunikan budaya Madura pada dasarnya banyak dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi geografis dan topografis hidraulis dan lahan pertanian tadah hujan yang cenderung tandus sehingga survivalitas kehidupan mereka lebih banyak melaut sebagai mata perncarian utamanya. Mereka pun dibentuk oleh kehidupan bahari yang penuh tantangan dan risiko sehingga memunculkan keberanian jiwa dan fisik yang tinggi, berjiwa keras dan ulet, penuh percaya diri, defensif dalam berbagai situasi bahaya dan genting, bersikap terbuka, lugas dalam bertutur, serta menjunjung martabat dan harga diri. Watak dasar bentukan iklim bahari demikian kadang kala diekspresikan secara berlebihan sehingga memunculkan konflik dan tindak kekerasan fisik. Oleh karena itu, perilaku penuh konflik disertai tindak kekerasan “dikukuhkan dan dilekatkan” sebagai keunikan budaya pada tiap individu kelompok atau sosok komunitas etnik Madura.
Penghormatan yang berlebihan atas martabat dan harga diri etniknya itu seringkali menjadi akar penyebab dari berbagai konflik dan kekerasan. Kondisi itu terjadi karena hampir setiap ketersinggungan senantiasa dinisbatkan kepada/atau diklaim sebagai pelecehan atau penghinaan atas martabat dan harga diri mereka. Sebagian anak-anak muda Madura di perantauan ─ biasanya tidak memperoleh kesempatan pendidikan yang memadai ─ secara sengaja tampak menonjolkan citra negatif etnik-komunalnya untuk menakut-nakuti orang lain agar mendapat keuntungan individual secara sepihak.
Kearifan budaya Madura yang juga menjadi keunikan etnografisnya tampak pada perilaku dalam memelihara jalinan poersaudaraan sejati. Hal itu tergambar dari ungkapan budaya oreng dhaddhi taretan, taretan dhaddhi oreng, (orang lain bisa menjadi/dianggap sebagai saudara sendiri, sedangkan saudara sendiri bisa menjadi/dianggap sebagai orang lain). Keunikan yang muncul dari ungkapan kultural (pseudo-kinship) itu diwujudkan dalam bentuk perilaku aktual. secara konkret, ucapan kultural tersebut memiliki makna bahwa kecocokan dalam menjalin persahabatan atau persaudaraan dapat dikukuhkan secara nyata dan abadi. Artinya, orang lain yang berperilaku sejalan dengan watak-dasar individu etnik Madura dapat dengan mudah diperlakukan sebagai saudara kandungnya (pseudo-kinship). Sebaliknya, saudara kandung dapat diperlakukan sebagai orang lain jika seringkali mengalami ketidakcocokan pendapat, pandangan, dan pendirian (Wiyata, 2005: 4; Astro, 2006: 2).
Keunikan “budaya persaudaraan” tersebut , menurut Glaser & Moynihan (1981: 50) dapat terjadi karena adanya persamaan atau kesesuaian dengan keserupaan unsur-unsur penting primordial, misalnya genealogi (keturunan dan ikatan kekerabatan, sistem kepercayaan (agama dan ritulitasnya), dan kesamaan berbahasa. Dalam realitasnya, elemen primordial itu dapat membentuk identitas etnik baru sebagai identitas tersendiri yang yang teraktualisasikan dalam perilaku etnografinya. Oleh karenanya, elemen primordial di antara kelompok-kelompok etnik dapat menjadi unsur pembeda.
Seringkali keunikan kultural melahirkan perilaku absurd berupa sikap defensif sebagian kelompok etnik Madura. Misalnya, orang Madura dikenal mudah tersinggung harga-dirinya dan kemudian marah-marah, kemudian memilih alternatif solusi atas ketersinggungannya itu melalui kekerasan fisik, berupa carok. seorang Madura yang defensif serta-merta akan menegaskan jatidiri etniknya dengan lontara humor pernyataan sanggahan: “Anda tahu, bahwa orang Madura dalam kondisi apa pun tidak akan pernah tersinggung apalagi marah-marah. Lho, koq begitu? Karena begitu seseorang berniat untuk melakukannya, dia sudah terkapar lebih dulu karena terkena sabetan cluritnya...”
Contoh lain dapat dihadirkan atas perilaku unik (absurditas-etnografi) orang Madura. “Seorang pemuda Madura datang dari pelosok desa hendak nonton sepak bola ke Stadion 10 November Surabaya. Saat akan menyeberang naik Ferry, tiket yang dibelinya diminta petugas, disobek menjadi dua, sobekan kecil dikembalikan sedangkan sobekan besar diambil petugas itu. Melihat perilaku petugas Ferry itu, pikirannya galau dan tidak menentu. Dia kembali untuk membeli lagi 2 karcis sekaligus: 1 lembar diberikan kepada petugas Ferry sedangkan satu lembar sisanya disembunyikan di dalam saku celananya untuk menyelamatkan sobekan petugas. Dengan perasaan tenang dan hati yang ternteram, dia melangkah mantap… menaiki deck kapal Ferry, untuk menyeberang…”
Stereotip Budaya
Penggunaan istilah stereotip dalam etnografi diartikan sebagai konsepsi mengenai sifat atau karakter suatu kelompok etnik berdasarkan prasangka subjektif yang tidak tepat oleh kelompok etnik lainnya (Alwi, 2001: 1091). Dalam realitasnya, perilaku dan pola kehidupan kelompok etnik Madura tampak sering dikesankan atas dasar prasangka subjektif oleh orang luar Madura. Kesan demikian muncul dari suatu pencitraan yang tidak tepat, baik berkonotasi positif maupun negatif. Prasangka subjektif itulah yang seringkali melahirkan persepsi dan pola pandang yang keliru sehingga menimbulkan keputusan individual secara sepihak yang ternyata keliru karena subjektivitasnya. Dalam perspektif budaya, setiap kelompok etnik berpeluang memiliki penilaian dan justifikasi subjektif-stereotipikal dari kelompok etnik lainnya yang diidentifikasi atas dasar false generalization atas parsialitas perilaku yang ternyata tidak representatif (Glaser & Moynihan, 1981: 27)
Astro (2006: 1) mengemukakan contoh dalam sebuah artikel tentang stereotip kelompok etnik manusia Madura oleh komunitas etnik lain, yaitu: berkulit hitam legam, berpostur tubuh tinggi besar, berkumis lebat, dan berbusana garis selang-seling merah-hitam yang dibalut oleh baju dan celana longgar serba hitam, serta menakutkan. Pencitraan kurang tepat lainnya, bahwa orang Madura itu memiliki sosok yang angker, tidak kenal sopan santun, kasar, beringas, dan mudah membunuh. Pelabelan demikian mengjadi hilang atau berkurang jika realitas budaya yang dijumpainya tidak sedikit pun menggambarkan persepsi sebagaimana yang telah tertanam-kuat dalam pikirannya.
Untuk memberi pemahaman yang relatif efektif tentang gambaran nyata, utuh, dan lengkap tentang bagaimana sesungguhnya sosok etnik Madura ─ dengan segala kekurangan dan kelebihannya ─ dapat dilakukan upaya yang memungkinkan. Di antara upaya itu adalah ta’aruf (saling mengenal atau memperkenalkan jatidiri etnografi masing-masing) dalam segala jenis dan bentuknya. pengenalan kulturan demikian diharapkan mampu menghilangkan ─ sekurang-kurangnya mereduksi ─ kesan dan pencitraan subjektif atas dasar persepsi sepihak yang tertanam begitu kuat dalam pikiran kelompok-kelompok etnik masing-masing.
Sebaliknya, persepsi, penilaian, dan justifikasi secara sepihak seringkali dimunculkan oleh individu maupun kelompok etnik Madura tentang perilaku dan pola kehidupan etnik lain , semata-mata didasarkan juga oleh gambaran pikiran maupun prasangka subjektifnya. Jika pandangan subjektif itu tidak mampu terjembatani secara arif dan efektif maka kesalahpahaman cenderung dan mudah muncul yang kemudian bermuara pada konflik etnik atau budaya.
Stigma Budaya
Pemaknaan atas istilah stigma menunjuk pada pengertian tentang ciri negatif yang menempel kuat pada pribadi atau entitas etnik karena pengaruh lingkungan yang membentuknya (Alwi, 2002: 1091). Stigma yang paling kuat dan menonjol pada kelompok etnik Madura adalah kekerasan fisik yang bermuara pada adu-ketangguhan dengan bersenjatakan clurit. Tindakan kekerasan itu kemudian dikenal populer dengan istilah Carok.
Menurut Ibnu Hajar, budayawan Madura asal Sumenep, bahwa carok sesungguhnya merupakan sarkasme bagi entitas budaya Madura. Dalam sejarah orang Madura, belum dikenal istilah carok massal sebab carok adalah duel satu lawan satu, dan ada kesepakatan sebelumnya untuk melakukan duel. Malah dalam persiapannya, dilakukan ritual-ritual tertentu menjelang carok berlangsung. Kedua pihak pelaku carok, sebelumnya sama-sama mendapat restu dari keluarga masing-masing. Karenanya, sebelum hari H duel maut bersenjata celurit dilakukan, di rumahnya diselenggarakan selamatan dan pembekalan agama berupa pengajian. Oleh keluarganya, pelaku carok sudah dipersiapkan dan diikhlaskan untuk terbunuh.
Yang terjadi di Desa Bujur Tengah bukanlah dikategorikan carok, tapi tawuran massal, kerena tidak sesuai dengan arti carok sebenarnya. Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita. Intinya adalah demi kehormatan. Ungkapan etnografi yang menyatakan, etembang pote mata lebih bagus pote tolang (daripada hidup menanggung perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah) yang menjadi motivasi untuk melakukan carok, seharusnya tidak dipahami secara eksklusif, karena setiap orang di mana saja–tidak hanya orang Madura–punya pemahaman yang sama untuk membela harga dirinya (tempo interaktif, 16 Agustus 2006).
Menurut Wiyata (2002: 6), banyak orang mengartikan bahwa setiap bentuk kekerasan, baik berakhir dengan kematian atau tidak, terutama yang dilakukan orang Madura, itu carok. Padahal kenyataannya, tidaklah demikian. Carok selalu dilakukan oleh sesama lelaki dalam lingkungan orang-orang desa. Setiap kali terjadi carok, orang membicarakan siapa menang dan siapa kalah. Dalam temuan penelitiannya, Wiyata menegaskan bahwa ternyata carok tidak merujuk pada semua bentuk kekerasan yang terjadi atau dilakukan masyarakat Madura, sebagaimana anggapan orang di luar Madura selama ini. Carok seakan-akan merupakan satu-satunya perbuatan yang harus dilakukan orang-orang pelosok desa yang tak mampu mencari dan memilih opsi lain dalam upaya menemukan solusi ketika mereka sedang mengalami konflik.
Kekurangmampuan para pelaku carok dalam mengekspresikan budi bahasa itu lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik untuk membunuh orang-orang yang dianggap musuh sehingga, konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi. Carok selalu dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap istri sehingga menyebabkan malu. Dalam konteks itu, carok mengindikasikan monopoli kekuasaan suami terhadap istri. Monopoli ini ditafsirkan Wiyata (2002: 8) antara lain dengan ditandai adanya perlindungan secara over.
Karakter yang juga lekat dengan stigma orang Madura adalah perilaku yang selalu apa adanya dalam bertindak. Suara yang tegas dan ucapan yang jujur kiranya merupakan salah satu bentuk keseharian yang bisa kita rasakan jika berkumpul dengan orang Madura. Pribadi yang keras dan tegas adalah bentuk lain dari kepribadian umum yang dimiliki suku Madura. Budaya Madura adalah juga budaya yang lekat dengan tradisi religius. Mayoritas orang Madura memeluk agama Islam. Oleh karena itu, selain akar budaya lokal (asli Madura) syariat Islam juga begitu mengakar di sana. Bahkan ada ungkapan budaya: seburuk-buruknya orang Madura, jika ada yang menghina agama (Islam) maka mereka tetap akan marah.
Carok sebagai sebuah bagian budaya, bukan berlangsung spontan atau seketika. Ada proses yang mengiringi sebelum berlangsungnya carok. Biasanya, solusi itu selalu dijadikan jalan efektif ketika harga diri orang Madura merasa terhina. Namun demikian selalu ada proses rekonsiliasi terlebih dahulu yang dilakukan sebelum terjadi carok. Pihak-pihak yang berada di sekitar pihak yang akan melakukan carok, selalu berposisi menjadi negosiator dan pendamai. Carok merupakan bagian budaya yang memiliki serangkaian aturan main, layaknya bentuk budaya lainnya.
Ketika akhirnya carok harus terjadi maka tetap ada aturan-aturan main yang melingkupinya. Pelaku carok harus membunuh lawannya dari depan dan ketika lawannya jatuh tersungkur, maka posisi mayat menentukan proses kelanjutan dari sebuah carok. Jika mayat jatuh dengan posisi terlentang, maka keluarga si mayat berhak melakukan balas dendam. Posisi mayat yang terlentang, seolah dijadikan komunikasi terakhir, yang dimaknai sebagai bentuk ketidakterimaan mayat terhadap kondisinya (yang menjadi korban carok). Akan tetapi, jika posisi mayat telungkup dengan muka menghadap tanah maka balas dendam menjadi tabu untuk dijalankan oleh keluarga yang menjadi korban carok.
Hingga saat ini, sebenarnya carok kadang terjadi dalam komunitas etnik Madura, baik di Madura maupun di daerah Tapal Kuda — Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, dan Situbondo. Hanya saja, carok yang berlangsung bersifat individual. Kegagalan pemerintah sebagai penyelenggara utama administrasi bidang-bidang kehidupan di negara ini juga terlihat ketika kultur yang berbentuk kekerasan masih tetap terjadi di beberapa daerah. Pengetahuan sebagai warga bangsa masih terlampau kecil disadari oleh berbagai individu. Hal ini tentu saja karena tingkat pendidikan masih sangat rendah. Pendidikan agama dan religiusitas haruslah menjadi proses bagi manusia untuk mengetahui mana yang baik dan buruk sesuai dengan pertimbangan nurani dan akal. Selain itu, tokoh agama semisal figur kyai juga masih terlihat lemah dalam mengisi mental rakyat dengan siraman rohani yang mengutamakan persaudaraan dan perdamaian dalam menyelesaikan persoalan hubungan antarmanusia. Jika ada sinergi yang kuat antara peran lembaga pemerintah dan tokoh agama, tentu kekerasan kultural dapat dihapuskan.