Kiblat

Kiblat : BAITULLAH yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dengan bantuan puternya Ismai’il ‘alaihima as-salam di samping menjadi pusat ibadah haji dan ‘umrah, juga menjadi pusat peribadatan kaum Muslimin seluruh dunia. Baitullah atau Ka’bah adalah kiblat shalat umat Islam seluruh dunia, di mana pun mereka berada. Teknisnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits riwayat Hakim dari Ibnu ‘Abbas, adalah apabila kaum Muslimin shalat di dalam al-Masjid al-Haram (Masjidil Haram) maka mereka harus shalat menghadap arah Ka’bah. Jika shalat tidak di Masjidil Haram, tapi masih di tanah suci Makkah, maka shalatnya menghadap ke arah Masjidil Haram, bila shalat di luar kota Makkah, jauh mau pun dekat, dari seluruh penjuru dunia, maka shalatnya menghadap ke arah kota Makkah.

Sebelum menghadap Ka’bah, Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Sebenarnya Nabi lebih senang shalat menghadap ke Ka’bah, kiblat Nabi Ibrahim dan Isma’il, dari pada ke Baitul Maqdis. Sewaktu berada di Makkah, Nabi dapat melakukan ke dua-duanya sekaligus. Shalat menghadap Baitul Maqdis dan ke Ka’bah sekaligus. Tetapi cara seperti itu tidak dapat lagi dilakukan setelah hijrah ke Madinah, karena Makkah terletak di sebelah selatan Madinah, arah yang berlawanan dengan Baitul Maqdis. Orang-orang Yahudi yang jumlahnya banyak dan menguasai perekonomian kota Madinah sangat senang kaum Muslimin shalat menghadap ke Baitul Maqdis yang merupakan negeri para Nabi. 

Rasulullah SAW sering menengadahkan muka beliau ke langit mengharapkan Allah SWT menetapkan Ka’bah sebagai kiblat shalat.. 

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah 2:144)

Perobahan kiblat itu terjadi pada bulan Rajab tahun ke dua hijriyah. Shalat pertama menghadap Ka’bah setelah perintah perobahan itu adalah shalat ‘Ashar, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Al-Barra’ ibn ‘Azib. Tetapi ada juga riwayat yang mengatakan shalat Zhuhur, bukan shalat ‘Ashar. Menurut Ibnu Katsir, yang masyhur adalah shalat ‘Ashar, bulan shalat Zhuhur. Wallahu ‘Alam.

Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa peristiwa perobahan kiblat itu terjadi pada waktu Nabi sedang memimpin shalat Zhuhur di Masjid Bani Salamah. Rasulullah, diikuti kaum Muslimin, langsung mengubah shalat menghadap ke arah Ka’bah, sehingga masjid itu kemudian dikenal dengan sebutan masjid Qiblatain, artinya masjid dua kiblat. Masjid ini tidak pernah dilupakan oleh jama’ah haji untuk menziarahinya waktu berada di Madinah.

Perpindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Baitullah itu direaksi negatif oleh kaum Yahudi dan munafiqin di Madinah dan juga oleh orang-orang musyrikin di Makkah. Kaum Yahudi mengatakan: “Tiadalah Muhammad itu berpindah kiblat ke Ka’bah, melainkan karena kecenderungannya kepada agama kaumnya dan kecintaan kepada negerinya; sekiranya dia berada di atas kebenaran, tentulah ia akan tetap berkiblat ke kiblat para nabi sebelumnya”. Orang-orang munafiq berkata: “Berpindah-pindah kiblat itu menunjukkan bahwa Muhammad dalam keragu-raguan dan tidak berpendirian.” Sementara orang-orang musyrikin memberikan komentar: “Muhammad telah kembali kepada kiblat kita dan akan kembali kepada agama kita”. 

Orang-orang yang mengingkari dan mengejek perpindahan kiblat tersebut, baik Yahudi, munafiqin dan musyrikin, oleh Allah dikategorikan sebagai orang-orang yang kurang akalnya (as-sufaha’). 

“Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.” (Q.S. Al-Baqarah 2:142)

Allah menegaskan dalam ayat di atas, bahwa secara substantif, tidak ada perbedaan shalat menghadap ke Baitul Maqdis atau ke Ka’bah, karena kemana pun seseorang menghadap shalat, di sana pasti ada Allah. Timur dan barat itu semua kepunyaan Allah SWT. Substansinya adalah kepatuhan secara mutlak kepada perintah Allah SWT. Menghadap ke Baitul Maqdis berdasarkan perintah Allah, dan menghadap ke arah Ka’bah pun atas perintah Allah SWT. 

Bagi kaum Muslimin sendiri, perpindahan kiblat ini juga merupakan ujian keimanan, siapa yang betul-betul patuh mengikuti Rasulullah SAW, dan siapa yang kemudian berpaling gara-gara perpindahan kiblat ini. Bagi orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk dari Allah, memang perpindahan kiblat ini akan terasa berat. Pada saat itu juga sebagian kaum Muslimin mempertanyakan tentang status shalat orang-orang yang sudah meninggal dunia sebelum berpindahan kiblat terjadi, padahal sebelumnya mereka shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Allah SWT menjelaskan bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan iman dan amal orang-orang yang mematuhi Rasul karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. 

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Q.S. Al-Baqarah 2:143)

Allah SWT membimbing Nabi untuk tidak mempedulikan reaksi dan komentar negatif dari Ahlul Kitab tentang perobahan kiblat ini. Karena bagaimana pun dijelaskan kepada mereka bahwa perubahan kiblat ini tidak merubah keimanan apapun karena semuanya berdasarkan perintah Allah, mereka tetap tidak akan menerimanya. Allah menegaskan, bahwa mereka tidak akan mengikuti kiblatmu ya Muhammad sebagaimana engkau juga tidak akan pernah mengikuti kiblat mereka. Begitu juga sesama mereka sendiri, antara Yahudi dan Nasrani juga tidak akan saling mengikuti kiblat yang lainnya. Sekalipun Rasulullah SAW tidak akan pernah terpengaruh dengan komentar-komentar mereka, tetapi Allah mengingatkan juga dan kaum Muslimin semuanya untuk tidak mengikuti kemauan mereka. 

“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah 2:145)

Perintah untuk menghadap arah Masjidil Haram diulangi kembali pada ayat 149-150 untuk menegaskan bahwa perintah itu bersifat umum dan berlaku untuk seluruh umat manusia sampai Hari Akhir nanti. 

“Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu, takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan ni`mat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-Baqarah 2:149-150)

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah 2:115)

Ayat tersebut turun dilatarbelakangi oleh beberapa kasus di mana para sahabat tidak dapat menentukan arah kiblat. Misalnya kasus yang dialami oleh Jabir dan rombongan. Jabir mengisahkan: “Kami telah diutus oleh Rasulullah SAW ke Siria yang dahulu kami pernah ke sana. Sedang kami berada di tengah perjalanan kegelapan mencekam kami, sehingga kami tidak mengetahui arah kiblat. Segolongan di antara kami berkata: “Kami telah mengetahui arah kiblat, yaitu ke sana… Maka mereka shalat dan membuat garis di tanah. Dan sebahagian kami berkata: “Arah kiblat ke sana …”. Dan mereka membuat garis di tanah. Tatkala hari subuh dan mataharipun terbit, garis itu mengarah ke arah yang bukan arah kiblat. Tatkala kami kembali dari perjalanan dan kami tanyakan kepada Rasulullah SAW tentang peristiwa itu, maka Nabi diam dan turunlah ayat ini yang membolehkan shalat menghadap ke mana saja dalam keadaan darurat. 
Sumber: SM-06-2002

Subscribe to receive free email updates: