Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja Perusahaan
Globalisasi, inovasi teknologi dan persaingan bisnis yang ketat pada abad ini memaksa perusahaan-perusahaan untuk mengubah cara mereka menjalankan bisnisnya. Agar perusahaan terus bertahan, perusahaan-perusahaan harus dengan cepat mengubah strateginya dari bisnis yang didasarkan pada tenaga kerja (labor-based business) menuju knowledge based business (bisnis berdasarkan pengetahuan), sehingga karakteristik utama perusahaannya menjadi perusahaan berbasis ilmu pengetahuan. Seiring dengan perubahan ekonomi yang berkarakteristik ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dengan penerapan manajemen pengetahuan (knowledge management), kemakmuran suatu perusahaan akan bergantung pada suatu penciptaan transformasi dan kapitalisasi dari pengetahuan itu sendiri (Sawarjuwono, 2003)
Perkembangan ekonomi baru dikendalikan oleh informasi dan pengetahuan, hal ini membawa sebuah peningkatan perhatian pada modal intelektual atau intellectual capital (IC) (Stewart, 1997; Hong, 2007). Area yang menjadi perhatian sejumlah akademisi dan praktisi adalah manfaat dari IC sebagai alat untuk menentukan nilai perusahaan (Hong, 2007; Guthrei, 2001). Penelitian IC menjadi sebuah tantangan yang patut dikembangkan. Oleh karena itu, beberapa penulis menyarankan untuk tidak membentuk sistem manajemen dan pelaporan yang akan meningkatkan kurang relevansian sistem karena sistem tersebut tidak dapat menyediakan eksekutif (direksi) informasi yang esensial untuk proses pengelolaan berdasarkan pengetahuan dan sumber tak berwujud (Bornemann dan Leitner, 2002).
Berdasarkan sejarah, perbedaan antara aset tak berwujud dan IC tidak jelas karena IC dihubungkan sebagai goodwill padahal keduanya berbeda (Accounting Principles Board, 1970; Accounting Standards Board, 1997; Ikatan Akuntan Indonesia, 2007; Hong, 2007). Fakta tersebut dapat ditelusuri kembali ke awal tahun 1980an ketika gagasan umum nilai aktiva tak berwujud selalu dinamai sebagai goodwill sejak praktik bisnis dan akuntansi diterapkan (International Federation of Accountants, 1998 dalam Hong, 2007).
Namun, praktik akuntansi tradisional tidak mengungkapkan identifikasi dan pengukuran aktiva tak berwujud ini pada organisasi, khususnya organisasi berbasis pengetahuan (International Federation of Accountants, 1998 dalam Hong, 2007; Hong, 2007). Intangibel baru seperti kompetensi staf, hubungan pelanggan, model simulasi, sistem komputer dan administrasi tidak memperoleh pengakuan dalam model keuangan tradisional dan pelaporan manajemen (Stewart, 1997 dalam Hong, 2007). Hal ini sangat menarik karena intangibel tradisional seperti modal merk, paten dan goodwill tetap jarang dilaporkan dalam laporan keuangan (Intenational Federation of Accountants, 1998 dalam Hong 2007; Hong, 2007). Menurut fakta, IAS(Intenational Accounting Standard) 38 tentang Intangible Assets atau Aktiva tak Berwujud melarang pengakuan merk yang dibuat secara internal seperti publishing titles dan daftar pelanggan (International Accounting Standards Board, 2004).
Menurut Abidin (2000), modal intelektual masih belum dikenal secara luas di Indonesia. Sampai dengan saat ini, perusahaan-perusahaan di Indonesia cenderung menggunakan conventional based dalam membangun bisnisnya sehingga produk yang dihasilkannya masih miskin kandungan teknologi. Di samping itu, perusahaan-perusahaan tersebut belum memberikan perhatian lebih terhadap human capital, structural capital, dan customer capital. Padahal, semua ini merupakan elemen pembangun modal intelektual perusahaan. Kesimpulan ini dapat diambil karena minimnya informasi tentang modal intelektual di Indonesia. Selanjutnya, Abidin (2000) menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia akan dapat bersaing apabila menggunakan keunggulan kompetitif yang diperoleh melalui inovasi-inovasi kreatif yang dihasilkan oleh modal intelektual perusahaan. Hal ini akan mendorong terciptanya produk-produk yang semakin favourable di mata konsumen.
Modal intelektual telah menjadi aset yang sangat bernilai dalam dunia bisnis modern. Hal ini menimbulkan tantangan bagi para akuntan untuk mengidentifikasi, mengukur dan mengungkapkannnya dalam laporan keuangan. Selain itu, penelitian mengenai modal intelektual dapat membantu Bapepam dan Ikatan Akuntan Indonesia menciptakan standar yang lebih baik dalam pengungkapan modal intelektual.
Laporan keuangan tradisional dirasakan gagal untuk dapat menyajikan informasi yang penting ini. Perusahaan yang sebagian besar asetnya dalam bentuk modal intelektual seperti Kantor Akuntan Publik, tidak mengungkapkan informasi ini dalam laporan keuangan akan menyesatkan karena dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan. Oleh karena itu, laporan keuangan harus dapat mencerminkan adanya aktiva tidak berwujud dan besarnya nilai yang dapat diakui. Adanya perbedaan yang besar antara nilai pasar dan nilai yang dilaporkan akan membuat laporan keuangan menjadi tidak berguna untuk pengambilan keputusan.
Konsep modal intelektual telah mendapatkan perhatian besar oleh berbagai kalangan terutama para akuntan dan akademisi. Fenomena ini menuntut mereka untuk mencari informasi yang lebih rinci mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan modal intelektual. Mulai dari cara pengidentifikasian, pengukuran sampai dengan pengungkapan IC dalam laporan keuangan perusahaan.
Tujuan penelitian ini menguji secara empiris hubungan antara ukuran IC dengan kinerja perusahaan. IC sendiri diukur dengan the Value Added Intellectual Coefficient™ yang dikembangkan oleh Pulic (1998) dalam Hong (2007). Sedangkan ukuran kinerja perusahaan tradisional diukur dengan Return on Equity (ROE), Earning per Share (EPS), Annual Stock Return (ASR).
Review Literatur dan Pengembangan Hipotesis
Sebuah wabah penelitian tentang IC telah mengubah fokus dan lingkupnya pada tahun-tahun belakangan ini. Penelitian sebelumnya juga menempuh sejumlah kerangka untuk mengklasifikasikan dan mengukur konsep itu. Model klasifikasi yang telah dikembangkan Petrash (1996) dalam Hong (2007) Value Platform Model. Model tersebut mengklasifikasikan IC menjadi jumlah modal manusia, modal organisasional dan modal pelanggan. Edvinsson dan Malone (1997) dalam Hong (2007) mengembangkan Skandia Value Scheme yang mengklasifikasikan IC menjadi modal struktural dan modal manusia.
Haanes dan Lowendahl (1997) dalam Hong (2007) mengklasifikasikan IC sebuah perusahaan menjadi sumber kompetensi dan hubungan. Model Lowendahl (1997) dalam Hong (2007) menghaluskan model sebelumnya dan membagi kategori kompetensi dan hubungan menjadi dua subkelompok yaitu individual dan kolektif. Stewart (1997) mengklasifikasikan IC menjadi tiga bentuk dasar menjadi modal manusia, modal struktural dan modal pelanggan.
The Danish Confederation of Trade Unions (1999) dalam Hong (2007) mengelompokkan IC menjadi orang, sistem dan pasar. The European Commission (MERITUM, 2001 dalam Hong, 2007) mengelompokkan IC menjadi modal manusia, modal struktural dan modal hubungan. Leliaert et al (2003) mengembangkan the 4-Leaf model yang mengklasifikasikan IC menjadi modal manusia, pelanggan, struktural dan modal aliansi strategis. Selain itu, metode mengukur IC dapat dikelompokkan secara garis besar menjadi dua kategori, yaitu: IC yang tidak menggunakan sebuah penilaian moneter dan IC yang menaksir nilai moneter. Kelompok yang terakhir tidak hanya mencoba metode yang mengestimasi nilai rupiah dari IC, tetapi juga metode yang menggunakan nilai moneter melalui penggunaan rasio keuangan.
Hong (2007) menyatakan sebuah daftar kunci ukuran yang akan ditunjukkan sebagai berikut: The Balance Scorecard dikembangkan oleh Kaplan dan Norton, Brooking’s Technology Broker method, The Edvinssion dan Malone Skandia IC Report method, The IC-Index dikembangkan oleh Ross, dkk, Sveiby’s Intangible Asset Monitor Approach, The Heuristic Frame dikembangkan oleh Joia (2000), Vanderkaay’s Vital Sign Scorecard; dan Model Ernst & Young.
Penilaian dolar kunci dari model IC, yaitu model EVA dan MVA, model Market to Book Value, metode Tobin’s q; model Pulic VAIC™; Calculated intangible value dan The Knowledge Capital Earnings Model. Sedangkan metode lain dari badan akuntansi dan praktisi adalah: Human Resource Costing & Accounting (Johanson dan Grojer, 1998), Accounting for The Future (Nash, 1998), Total Value Creation, dan The Value Explorer™ dan Weigthless Weights (Andriessen, 2001).
Teknik mengukur IC masih terus berkembang dan peneliti mencoba mengaplikasikan konsep keunggulan kompetitif. Model klasifikasi dan pengukuran yang dilakukan di penelitian ini menggunakan model Pulic. Bontis (1998) menyatakan bahwa IC sangat penting dalam meningkatkan kemampuan organisasi dan penelitian tersebut bertujuan untuk mengembangkan model dan pengukuran IC. Penelitian tersebut juga menggunakan kuesioner dalam pengumpulan data. Bontis (2000) juga menyatakan bahwa IC berpengaruh positif dengan kinerja perusahaan di Malaysia tanpa memperhatikan jenis industrinya.
Hidayat (2000) menyatakan bahwa orang di Indonesia hanya memberikan sedikit perhatian terhadap modal intelektual karena mereka tidak bisa melihat manfaat daya pikir dalam balas jasa investasi mereka. Joia (2000) menyatakan bahwa aktiva tak berwujud perusahaan berhubungan dengan strategi perusahaan. Aktiva tak berwujud itu berupa modal intelektual yang ada di perusahaaan tersebut.
Petty (2000) menyatakan bahwa pentingnya teori dan kontribusi empiris yang berhubungan dengan pengukuran dan pelaporan IC (studi pustaka). Sugeng (2000) menyatakan bahwa modal intelektual digunakan untuk mengurangi tuntutan kerja karyawan dan meningkatkan kemampuan karyawan (studi pustaka).
Sawarjuwono (2003) menyatakan bahwa metode pengukuran IC dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu: pengukuran nonmonetary dan pengukuran monetary. Dari model-model pengukuran yang dikembangkan, masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan sehingga untuk memilih model yang paling tepat untuk digunakan merupakan tindakan yang tidak tepat karena pengukuran tersebut hanyalah sebuah alat yang dapat diterapkan pada situasi dan kondisi perusahaan dengan spesifikasi tertentu.
Astuti (2005) menunjukkan bahwa human capital akan memiliki hubungan yang lebih kuat dengan structural capital jika hubungan tersebut bersifat langsung daripada hubungan tersebut tidak bersifat tidak langsung dengan customer capital sebagai variabel intervening. Di samping itu, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa customer capital dan structural capital dapat berfungsi sebagai variabel intervening hubungan human capital dan business performance, sedangkan structural capital dapat digunakan untuk memediasi hubungan customer capital dan business performance.
Ekawati (2005) menyatakan bahwa memaksimalkan tingkat pertumbuhan tidak memaksimalkan profitabilitas akuntansi dan nilai perusahaan. Penelitian tersebut dilakukan pada 493 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Abdolmohammadi (2005) menyatakan bahwa ada hubungan positif antara pengungkapan IC dengan market capitalization pada 53 perusahaan Fortune 500. Hal ini akan menghasilkan manfaat bagi perusahaan jika perusahaan melakukannya. Meskipun, manfaat tersebut dibandingkan dengan akumulasi biaya untuk menyediakan informasi tersebut.
Purnomosidhi (2006) menyatakan bahwa praktik pengungkapan IC dalam laporan tahunan berdasarkan hasil content analysis terhadap laporan tahunan dapat disimpulkan rerata jumlah atribut IC yang diungkapkan dalam laporan tahunan sebanyak 14 atribut (56 persen). Meskipun, praktik pengungkapan IC di antara perusahaan sangat bervariasi. Persentase ini menggambarkan bahwa perusahaan go public sudah memiliki kesadaran terhadap arti pentingnya IC bagi peningkatan keunggulan kompetitif. Hong (2007) menyatakan bahwa ada pengaruh modal intelektual dengan kinerja perusahaan pada 150 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Singapura. Penelitian ini menguji empat hipotesis, yaitu:
H1 : Ada pengaruh positif antara IC sebuah perusahaan dengan kinerjanya.
H2 : Semakin tinggi nilai IC sebuah perusahaan, semakin tinggi kinerja masa depan perusahaan.
H3 : Ada pengaruh positif antara tingkat pertumbuhan IC sebuah perusahaan dengan kinerja masa depan perusahaan.
H4 : Kontribusi IC untuk sebuah kinerja masa depan perusahaan akan berbeda sesuai dengan jenis industrinya.