Hermeneutika Hans Georg Gadamer dan Visibilitasnya untuk diintegrasikan ke dalam Ilmu Tafsir

Hermeneutika Hans Georg Gadamer dan Visibilitasnya untuk diintegrasikan ke dalam Ilmu Tafsir 
A. Teori-teori Pokok Hermeneutika Gadamer
Karya Gadamer Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode) memuat pokok-pokok pikirannya tentang hermeneutika filosofis yang tidak hanya berkaitan dengan teks, melainkan seluruh obyek ilmu sosial dan humaniora. Meskipun demikian, bahasa dalam sebuah teks tertentu masih mendapat porsi perhatian Gadamer yang cukup tinggi dan merupakan obyek utama hermeneutikanya. Kaintanya dengan hal ini, Gadamer mengatakan: “Alles Schriftliche ist in der Tat in bevorzugter Weise Gegenstand der Hermeneutik” (Semua yang tertulis pada kenyataannya lebih diutamakan sebagai obyek hermeneutika). Gadamer dalam karyanya memang tidak memberikan penjelasan, baik secara explisit maupun implisit, tentang metode penafsiran tertentu terhadap teks. Hal itu dikarenakan bahwa dia tidak mau terjebak pada ide universalisme metode hermeneutika untuk semua bidang ilmu sosial dan humaniora, sebagaimana yang pernah digagas oleh Dilthey. Alasan lain ialah bahwa filsafat hanya berbicara tentang ide-ide umum, mendasar dan prinsipil tentang suatu obyek pembahasan, sehingga dia menyerahkan sepenuhnya pembicaaran mengenai metode tertentu kepada setiap ahli bidang ilmu tertentu. Meskipun demikian, teori-teori hermeneutika Gadamer dapat digunakan untuk memperkuat metode pemahaman dan penafsiran suatu obyek tertentu, termasuk di dalamnya teks tertulis.


Teori-teori pokok hermeneutika Gadamer kiranya bisa diringkas ke dalam beberapa bentuk teori yang terkait satu dengan yang lainnya: 

1. Teori “Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah” (wirkungsgeschichtliches Bewusstsein; historically effected consciousness)


Gadamer mendefinisikan teori ini sebagai berikut:
Wirkungsgeschichtliches Bewusstsein ist zunächst Bewusstsein der hermeneutischen Situation. Die Gewinnung des Bewusstseins einer Situation ist aber in jedem Falle eine Aufgabe von einer Schwierigkeit. (…) Die Situation stellt einen Standort dar, der die Sichtmöglichkeit beschränkt, in Form eines Horizontes.

(“Wirkungsgeschichtliches Bewusstsein adalah pertama kesadaran terhadap situasi hermeneutik. Namun, mendapatkan kesadaran terhadap sebuah situasi bagaimanapun merupakan tugas yang sulit. ... Situasi tersebut merupakan posisi yang membatasi kemampuan melihat sesuatu; situasi ini berbentuk horison [atau: cakrawala pemahaman].)


Menurut teori ini, pemahaman seorang penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang melingkupinya, baik itu berupa tradisi, kultur meaupun pengalaman hidup. Karena itu, pada saat menafsirkan sebuah teks seorang penafsir harus atau seyogyanya sadar bahwa dia berada pada posisi tertentu yang bisa sangat mewarnai pemahamannya terhadap sebuah teks yang sedang ditafsirkan. Lebih lanjut Gadamer mengatakan: “Seseorang [harus] belajar memahami dan mengenali bahwa dalam setiap pemahaman, baik dia sadar atau tidak, pengaruh dari Wirkungsgeschichte (affective history; “sejarah yang mempengaruhi seseorang) sangat mengambil peran.” Mengatasi problem keterpengaruhan ini memang tidaklah mudah, sebagaimana diakui oleh Gadamer. Pesan dari teori ini adalah bahwa seorang penafsir harus mampu mengatasi subyektifitasnya ketika dia menafsirkan sebuah teks. 


2. Teori “Prapemahaman” (Vorverständnis; pre-understanding)
Keterpengaruhan oleh situasi hermeneutik atau Wirkungsgeschichte tertentu membentuk pada diri seorang penafsir apa yang disebut Gadamer dengan istilah Vorverständnis atau “prapemahaman” terhadap teks yang ditafsirkan. Prapemahaman yang merupakan posisi awal penafsir memang pasti dan harus ada ketika ia membaca teks. Gadamer mengukakan: 


Immer ist im Verstehen ein Vorverständnis im Spiel, das seinerseits durch die bestimmende Tradition, in der der Interpret steht, und durch die in ihr geformte Vorurteile geprägt ist.


(Dalam proses pemahaman prapemahaman selalu memainkan peran; prapemahaman ini diwarnai oleh tradisi yang berpengaruh, dimana seorang penafsir berada, dan juga diwarnai oleh prejudis-prejudis [Vorurteile; perkiraan awal] yang terbentuk di dalam tradisi tersebut)


Keharusan adanya prapemahaman tersebut, menurut teori ini, dimaksudkan agar seorang penafsir mampu mendialogkannya dengan isi teks yang ditafsirkan. Tanpa prapemahaman seseorang tidak akan berhasil memahami teks secara baik. Kaitannya dengan hal ini, wajarlah bahwa Oliver R. Scholz dalam bukunya Verstehen und Rationalität berpendapat bahwa prapemahaman yang disebutnya dengan istilah Präsumtion (“asumsi atau dugaan awal”) merupakan “sarana yang tak terelakkan bagi pemahaman yang benar” (unentbehrliche Mittel für das richtige Verstehen). Meskipun demikian, prapemahaman, menurut Gadamer, harus terbuka untuk dikritisi, direhabilitasi dan dikoreksi oleh penafsir itu sendiri ketika dia sadar atau mengetahui bahwa prapemahamannya itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh teks yang ditafsirkan. Hal ini sudah barang tentu dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman terhadap pesan teks. Hasil dari rehabilitasi atau koreksi terhadap prapemahaman ini disebutnya dengan istilah Vollkommenheit des Vorverständnisses (“kesempurnaan prapemahaman”).


3. Teori “Penggabungan/Asimilasi Horison” (Horizontverschmelzung; fusion of horizons) dan Teori “Lingkaran Hermeneutik” (hermeneutischer Zirkel; hermeneutical circle)

Di atas telah disebutkan bahwa dalam menafsirkan teks seseorang harus selalu berusaha merehabilitasi prapemahamannya. Hal ini berkaitan erat dengan teori “penggabungan atau asimilasi horison”, dalam arti bahwa dalam proses penafsiran seseorang harus sadar bahwa ada dua horison, yakni (1) “cakrawala [pengetahuan]” atau horison di dalam teks, dan (2) “cakrawala [pemahaman]” atau horison pembaca. Kedua horison ini selalu hadir dalam proses pemahaman dan penafsiran. Seorang pembaca teks memulainya dengan cakrawala hermeneutiknya, namun dia juga memperhatikan bahwa teks juga mempunyai horisonnya sendiri yang mungkin berbeda dengan horison yang dimiliki pembaca. Dua bentuk horison ini, menurut Gadamer, harus dikomunikasikan, sehingga “ketegangan antara keduanya dapat diatasi” (the tension between the horizons of the text and the reader is dissolved). Oleh karena itu, ketika seseorang membaca teks yang muncul pada masa lalu (Überlieferung), maka dia harus memperhatikan horison historis, di mana teks tersebut muncul: diungkapkan atau ditulis. Gadamer menegaskan: 

Eine Überlieferung verstehen, verlangt also gewiss historischen Horizont. Aber es kann sich nicht darum handeln, dass man diesen Horizont gewinnt, indem man sich in eine historische Situation versetzt. Mann muss vielmehr immer schon Horizont haben, um sich dergestalt in eine Situation versetzen zu können.

(Memahami sebuah teks masa lalu sudah barang tentu menuntut [untuk memperhatikan] horison historis. Namun, hal ini tidak berarti bahwa seseorang dapat mengetahui horison ini dengan cara menyelam ke dalam situasi historis. Lebih dari itu, orang harus terlebih dahulu sudah memiliki horison [sendiri] untuk dapat menyelam ke dalam situasi historis)


Seorang pembaca teks harus memiliki keterbukaan untuk mengakui adanya horison lain, yakni horison teks yang mungkin berbeda atau bahkan bertentangan dengan horison pembaca. Gadamer menegaskan: “Saya harus membiarkan teks masa lalu berlaku [memberi informasi tentang sesuatu]. Hal ini tidak semata-mata berarti sebuah pengakuan terhadap ‘keberbedaan’ (Andersheit) masa lalu, tetapi juga bahwa teks masa lalu mempunyai sesuatu yang harus dikatakan kepadaku.” Jadi, memahami sebuah teks berarti membiarkan teks yang dimaksud berbicara. Interaksi antara dua horison tersebut dinamakan “lingkaran hermeneutik” (hermeneutischer Zirkel). Horison pembaca, menurut Gadamer, hanya berperan sebagai titik berpijak (Standpunkt) seseorang dalam memahami teks. Titik pijak pembaca ini hanya merupakan sebuah ‘pendapat’ atau ‘kemungkinan’ bahwa teks berbicara tentang sesuatu. Titik pijak ini tidak boleh dibiarkan memaksa pembaca agar teks harus berbicara sesuai dengan titik pijaknya. Sebaliknya, titik pijak ini justru harus bisa membantu memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh teks. Di sinilah terjadi pertemuan antara subyektifitas pembaca dan obyektivitas teks, di mana makna obyektif teks lebih diutamakan. 


4. Teori “Penerapan/Aplikasi” (Anwendung; application)
Di atas telah dipaparkan bahwa makna obyektif teks harus mendapat perhatian dalam proses pemahaman dan penafsiran. Ketika makna obyektif telah dipahami, kemudian apa yang harus dilakukan oleh pembaca/penafsir teks yang mengandung pesan-pesan yang harus atau seyogyanya dipraktikkan ke dalam kehidupan sehari-hari, misalnya kitab suci. Sementara itu, di sisi lain rentang waktu antara munculnya teks tersebut dan masa, ketika seorang penafsir hidup, yang tentunya kondisi sosial, politik, ekonomi dll. juga telah jauh berbeda dengan kondisi pada masa munculnya teks. Menurut Gadamer, ketika seseorang membaca kitab suci, maka selain proses memahami dan menafsirkan ada satu hal lagi yang dituntut, yang disebutnya dengan istilah “penerapan” (Anwendung) pesan-pesan atau ajaran-ajaran pada masa ketika teks kitab suci itu ditafsirkan. Pertanyaannya sekarang: Bagaimana? Apakah makna obyektif teks terus dipertahankan dan diaplikasikan pada masa ketika seorang penafsir hidup? Jawaban atas pertanyaan tersebut terdapat dalam kutipan berikut ini:


The task of interpretation always poses itself when the meaning content of the printed work is disputable and it is the matter of attaining the correct understanding of the ‘information’. However, this ‘information’ is not what the speaker or writer originally said, but what he wanted to say indeed even more: what he would have wanted to say to me if I have been his original interlocutor. It is something of a command for interpretation that the text must be followed, according to its meaningful sense (Sinnesgemäß) (and not literally). Accordingly we must say the text is not a given object, but a phase in the execution of the communicative event. 


Pada kutipan di atas Gadamer berpendapat bahwa pesan yang harus diaplikasikan pada masa penafsiran bukan makna literal teks, tetapi meaningful sense (“makna yang berarti”) atau pesan yang lebih berarti daripada sekedar makna literal. 


B. Argumentasi Visibilitas Hermeneutika Gadamer untuk diintegrasikan ke dalam Ilmu Tafsir
Setelah kita memaparkan pokok-pokok pemikiran hermeneutik Gadamer, kita lalu bertanya-tanya apakah pemikirannya tersebut visible untuk diintegrasikan ke dalam ilmu tafsir yang selama ini telah berkembang di kalangan ulama dan sarjana Muslim. Penulis berasumsi bahwa ide-ide hermeneutik dapat diaplikasikan ke dalam ilmu tafsir, bahkan dapat memperkuat metode penafsiran Alquran. Asumsi ini didasarkan atas beberapa argumentasi sebagai berikut:
1. Secara terminologi, hermeneutika (dalam arti ilmu tentang “seni menafsirkan”) dan ilmu tafsir pada dasarnya tidaklah berbeda. Keduanya mengajarkan kepada kita bagaimana kita memahami dan menafsirkan teks secara benar dan cermat. 
2. Yang membedakan antara keduanya, selain sejarah kemunculannya, adalah ruanglingkup dan obyek pembahasannya: hermeneutika, sebagaimana yang diungkapkan di atas, mencakup seluruh obyek penelitian dalam ilmu sosial dan humaniora (termasuk di dalamnya bahasa atau teks), sementara ilmu tafsir hanya berkaitan dengan teks. Teks sebagai obyek inilah yang mempersatukan antara hermeneutika dan ilmu tafsir. 
3. Memang benar bahwa obyek utama ilmu tafsir adalah teks Alquran, sementara obyek utama hermeneutika pada awalnya adalah teks Bibel, di mana proses pewahyuan kedua kitab suci ini berbeda. Dalam hal ini, mungkin orang mempertanyakan dan meragukan ketepatan penerapan hermeneutika dalam penafsiran Alquran dan begitu pula sebaliknya. Keraguan ini bisa diatasi dengan argumentasi bahwa meskipun Alquran diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai wahyu Allah secara verbatim, sementara Bibel diyakini umat Kristiani sebagai wahyu Tuhan dalam bentuk inspirasi, namun bahasa yang digunakan untuk mengkomunikasikan pesan ilahi kepada manusia adalah bahasa manusia yang bisa diteliti baik melalui hermeneutika maupun ilmu tafsir.
4. Setelah menelaah teori-teori hermeneutika Gadamer, peneliti berkeyakinan bahwa teori-teori tersebut dapat memperkuat konsep-konsep metodis yang selama ini telah ada dalam ilmu tafsir. Poin ini akan lebih dijabarkan pada bab berikut ini. 



Hermeneutika Gadamer dan Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Alquran di Masa Kontemporer
Di atas telah dipaparkan beberapa kata kunci dari hermeneutika Gadamer. Kata-kata kunci tersebut dapat diaplikasikan dalam rangka pengembangan metode pembacaan Alquran di masa kini. Ketika kita berbicara tentang metode pembacaan Alquran pada masa kini, maka pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana seharusnya sarjana-sarjana Muslim menafsirkan Alquran, sehingga pesan-pesan ilahi dapat ditangkap secara baik dan benar? Kita semua tahu bahwa Alquran diturunkan sekitar 14 abad yang lalu, di mana situasi sosial pada saat itu sangat berbeda dengan situasi ssosial saat ini. Haruskah kita memahami dan menafsirkan ayat-ayat Alquran secara literal dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan pemahaman literal tersebut? Dalam hal ini, ada tiga pendapat di kalangan sarjana-sarjana Muslim:


1. Pandangan quasi-obyektivis tradisionalis
Yang dimaksud dengan pandangan quasi-obyektivis tradisionalis adalah suatu pandangan bahwa ajaran-ajaran Alquran harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana ia dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad dan disampaikan kepada generasi Muslim awal. Umat Islam yang mengikuti pandangan ini, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir dan kaum salafi di beberapa negara Islam, berusaha menafsirkan Alquran dengan bantuan berbagai perangkat metodis ilmu tafsir klasik, seperti ilmu asbab al-nuzul, ilmu munasabat al-ayat, ilmu tentang ayat-ayat muhkam dan mutashabih dll. dengan tujuan dapat menguak kembali makna obyektif atau makna asal (objective meaning/original meaning) ayat tertentu. Seluruh yang tertera secara literal dalam Alquran, menurut mereka, harus diaplikasikan juga di masa kini dan masa yang akan datang. Motto yang mereka yakini adalah al-qur’Án ÒÁliÎ li-kulli zamÁn wa-makÁn. Meskipun dalam banyak kesempatan mereka menjelaskan misalnya alasan penetapan hukum tertentu dalam Alquran, namun hal tersebut hanya dimaksudkan untuk menjelaskan rasionalitas penetapan hukum Alquran. Bagi mereka pesan utamanya adalah tetap ungkapan literalnya. 


2. Pandangan quasi-obyektivis modernis
Pandangan quasi-obyektivis modernis memiliki kesamaan dengan pandangan quasi-obyektivis tradisionalis dalam hal bahwa mufassir di masa kini tetap berkewajiban untuk menggali makna asal dengan menggunakan, di samping perangkat metodis ilmu tafsir, juga perangkat-perangkat metodis lain, seperti informasi tentang konteks sejarah makro dunia Arab saat penurunan wahyu, teori-teori ilmu bahasa dan sastra modern dan hermeneutika. Hanya saja, aliran quasi-obyektivis modernis yang di antaranya dianut oleh Fazlurrahman dengan konsepnya double movement, MuÎammad al-ÓÁlibÐ dengan konsepnya al-tafsÐr al-maqÁÒidÐ dan NaÒr ÍÁmid AbÙ Zayd dengan konsepnya al-tafsÐr at-tÁrikhÐ al-siyÁqÐ, memandang makna asal (bersifat historis) hanya sebagai pijakan awal bagi pembacaan Alquran di masa kini; makna asal literal tidak lagi dipandang sebagai pesan utama Alquran. Bagi mereka, sajana-sarjana Muslim saat ini harus juga berusaha memahami makna di balik pesan literal, yang disebut oleh Rahman dengan ratio legis, dinamakan oleh al-ÓálibÐ dengan maqÁÒid (tujuan-tujuan ayat) atau disebut oleh AbÙ Zayd dengan maghzÁ (signifikansi ayat). Makna di balik pesan literal inilah yang harus diimplementasikan pada masa kini dan akan datang.


3. Pandangan subyektivis
Berbeda dengan pandangan-pandangan tersebut di atas, aliran subyektivis menegaskan bahwa setiap penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir, dan karena itu kebenaran interpretatif bersifat relatif. Atas dasar ini, setiap generasi mempunyai hak untuk menafsirkan Alquran sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengalaman pada saat Alquran ditafsirkan. Pandangan seperti ini antara lain dianut oleh MuÎammad ShaÎrÙr. Dia tidak lagi tertarik untuk menelaah makna asal dari sebuah ayat atau kumpulan ayat-ayat. Mufassir modern, menurutnya, seharusnya menafsirkan Alquran sesuai dengan perkembangan ilmu modern, baik itu ilmu eksakta maupun non-eksakta. ShaÎrÙr menegaskan bahwa kebenaran interpretatif terletak pada kesesuaian sebuah penafsiran dengan kebutuahan dan situasi serta perkembangan ilmu pada saat Alquran ditafsirkan. Dalam hal ini dia berpegang pada adagium: thabÁt al-naÒÒ wa-Îarakat al-muÎtawÁ (teks Alquran tetap, tetapi kandungannya terus bergerak atau berkembang).


Dari tiga pandangan tadi, pandangan quasi-obyektivis modernis lebih dapat diterima dalam rangka memproyeksikan pengembangan motode pembacaan Alquran pada masa kini. Kelemahan pandangan tradisionalis terletak pada keterkungkungannya pada makna asal yang literal dan mengenyampingkan pesan dibalik makna literal sebuah ayat atau kumpulan ayat. Padahal ada beberapa ayat Alquran yang makna asal-literalnya hanya diberlakukan pada ruang waktu tertentu, seperti legalisasi perbudakan. Sementara itu, pandangan subyektivis cenderung menafsirkan Alquran sesuai dengan kemauan pembaca, padahal tugas pertama seorang mufassir adalah membiarkan teks yang ditafsirkan itu berbicara dan menyampaikan pesan tertentu, dan bukan sebaliknya. Akseptabilitas pandangan quasi-obyektivis modernis terletak pada apa yang bisa disebut dengan “keseimbangan hermeneutik”, dalam arti bahwa ia memberi perhatian yang sama terhadap makna asal literal dan pesan utama (signifikansi) di balik makna literal. Sekarang, apa hubungannya dengan teori-teori hermeneutika Gadamer?


Hermeneutika Gadamer dapat diasimilasikan ke dalam kajian tafsir untuk memperkuat argumentasi metodis aliran quasi-obyektifis modernis tersebut. Misalnya, untuk mendukung ide pentingnya menangkap makna asal, sebagai tugas awal seorang penafsir, kita dapat menggunakan teori “cakrawala teks” yang mengatakan bahwa teks memiliki cakrawala historis saat teks itu diturunkan atau dibuat. Agar kita tidak salah paham terhadap makna asal teks, maka kita harus selalu sadar dengan teori “kesadaran akan keterpengaruhan mufassir oleh sejarah”. Demikian pula halnya dengan upaya memahami pesan utama di balik makna literal. Dalam hal ini kita bisa menggunakan, di samping teori “asimilasi cakrawala teks dan cakrawala pembaca”, juga teori “aplikasi”.

Subscribe to receive free email updates: