Era Otonomi Daerah
Runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 memunculkan semangat reformasi sistem pemerintahan RI yang awalnya cenderung sentralistik ke arah yang lebih desentralistik. Salah satu perubahan yang sangat strategis adalah adanya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah melalui pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. Pemberlakuan undang-undang baru tersebut memberikan kepada daerah, kekuasaan penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah secara utuh dan bulat, khususnya kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan RI .
Beberapa karakteristik legal yang tampaknya perlu dipahami oleh masyarakat luas dengan adanya otonomi daerah antara lain adalah : (Desi Fernanda, 2002)
1. Meletakkan otonomi daerah sebagai wujud pengakuan kedaulatan rakyat sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas daerah tertentu dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.
2. Daerah Otonom Kabupaten dan Kota tidak lagi merangkap sebagai wilayah administrasi pusat, sehingga tidak lagi ada perangkapan jabatan Kepala Daerah dan sekaligus Kepala Wilayah.
3. Menempatkan seluruh kewenangan pemerintahan pada Derah Kabupaten dan Kota yang lebih dekat dengan masyarakat, kecuali kewenangan-kewenangan tertentu yang ditetapkan sebagai kewenangan Propinsi dan kewenangan Pusat. Kewenangan Propinsi terbatas pada bidang-bidang yang bersifat lintas Daerah Kabupatan/Kota, atau kewenangan yang belum dapat dilaksanakan oleh Daerah/Kota. Kewenangan Pusat antara lain meliputi lima bidang strategis, yaitu politik luar negeri, agama, ekonomi moneter, pertahanan dan keamanan, dan hukum/peradilan .
4. Tidak ada hubungan hirearki antara daerah otonom Kabupaten dan Kota dengan daerah otonom Propinsi. Jadi Daerah otonom Kabupaten/Kota bukanlah bawahan daerah otonom Propinsi.
5. Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD setempat. Artinya Kepala Daerah wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran, dan akhir masa jabatan.
6. Kedudukan keuangan daerah otonom menjadi lebih kuat dengan adanya desentralisasi fiskal, di mana daerah tidak lagi mendasarkan pengelolaan keuangannya kepada ketentuan alokasi dari Pusat, melainkan memilki otonomi penuh untuk mengelola keuangan daerah , dengan kewajiban melaporkannya kepada DPRD, sebagai bentuk akuntabilitas.
7. Struktur perangkat pemerintahan daerah tidak lagi seragam, melainkan boleh bervariasi sesuai dengan potensi dan keanekaragaman daerah. Sedangkan Kecamatan dan Kelurahan tidak lagi merupakan perangkat pemerintahan wilayah tetapi menjadi perangkat daerah otonom.
8. Pengawasan oleh Pusat lebih bersifat preventif daripada represif, sehingga terdapat keleluasaan bagi daerah untuk melaksanakan otonominya tanpa campur tangan Pusat, kecuali jika ternyata terdapat kebijakan daerah yang bertentangan dengan kebijakan nasional atau yang lebih tinggi.
Dana Pembangunan Daerah
Pembangunan daerah mustahil bisa dilaksanakan dengan baik tanpa adanya dana yang mencukupi. Dalam pasal 27 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 telah diatur bahwasanya dalam rangka pembiayaan pelaksanaan desentralisasi, daerah akan mengandalkan pada sumber-sumber penerimaan yang terdiri atas : (1) Pendapatan Asli Daerah – PAD; (2) Dana Perimbangan; (3) Dana Pinjaman; dan (4) lain-lain Penerimaan yang sah.
Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang dihasilkan dari upaya daerah sendiri yang berasal dari berbagai sumber, antara lain adalah dari pajak daerah, retribusi, hasil keuntungan perusahaan daerah, dan dari berbagai hasil usaha lainnya yang sah menurut peraturan. Kemampuan daerah untuk memperoleh PAD rata-rata sangat rendah, bahkan untuk menutupi biaya rutin pun sangat kekurangan. Untuk daerah otonomi Kabupaten dan Kota dana yang diperoleh dari PAD hanya sekitar 13% dari dana yang dimiliki, sedangkan di daerah otonomi Propinsi sebanyak 30%. (Deddy Supriadi B. , 2002).
Dana Perimbangan adalah dana yang diperoleh pemerintah Daerah dari pemerintah Pusat, baik yang berasal dari PBB, Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan, Penerimaan Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Penerimaan dari PBB dibagi dengan imbangan 10% untuk Pemerintah Pusat dan 90% untuk Daerah; penerimaan dari BPHTB dibagi dengan imbangan 20% untuk Pusat, dan 80% untuk Daerah; penerimaan dari Sumber Daya Alam dibagi dengan imbangan 20% bagi pemerintah Pusat dan 80% untuk Daerah.
Satu hasil penelitian yang dilakukan oleh SMERU dan hasilnya diseminarkan di Bali pada bulan Juni 2002, menunjukan bahwa dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat –Daerah tidak diatur penerimaan dari sektor perkebunan, sehingga daerah yang memiliki areal perkebunan merasa dirugikan karena daerah tidak memperoleh pendapatan dari sektor tersebut. “ In addition, those regions with established industries that make a significant contribution to state revenue, such as the tobacco industry in Kabupaten Kudus, do not receive a share of the profits despite the fact that the natural resources upon which the industries are based lies within their territory. As a result, these regions feel that they have been treated unfairly by regional autonomy laws”. Perlu diketahui yang diatur dalam undang-undang tersebut hanya mencakup penerimaan dari sektor minyak bumi, gas alam, kehutanan, pertambangan umum, dan perikanan.
Berdasarkan data APBD tahun anggaran 2001 untuk 82 Kabupaten/Kota di Indonesia, dapat diketahui bahwa dana perimbangan menempati porsi terbesar yaitu rata-rata 77% (Sadu Wasistiono, 2002). Yang terkecil adalah Kabupaten Badung yakni 32% sedangkan yang terbesar Kabupaten Kutai Kertanegara sebesar 99%. Khusus untuk Kota Palu, mencapai 90%.
Melihat lebih besarnya pendapatan daerah Kabupaten/Kota yang diperoleh dari Dana Perimbangan dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah, maka dapat dikatakan daerah masih belum bisa otonomi secara sepenuhnya. Artinya desentralisasi dalam aspek ekonomi, politik, dan sosial, belum diimbangi dengan desentralisasi aspek fiskal, dan akibatnya ketergantungan Daerah kepada Pusat masih sangat dirasakan.
Sumber Daya Manusia sebagai kekuatan utama pembangunan daerah.
Sebagian besar upaya yang dilakukan daerah untuk bisa mengurangi dana yang diperoleh dari pemerintah pusat adalah dengan memacu uapaya memperoleh Pendapatan Asli Daerah sebesar mungkin. Metode yang paling populer sampai dengan saat ini adalah dengan mengesploitasi Sumber Daya Alam daerah yang ada, dan melalui Pajak dan Retribusi Daerah. Cara pertama sangat mungkin dilakukan apabila di daerah SDA nya memang berlimpah, namun bagi daerah yang miskin akan SDA umumnya mengambil jalan lain yaitu meningkatkan penerimaan dengan cara kedua . Terlepas dengan cara daerah memperoleh PADnya, yang menjadi pertanyaan “mampukah daerah menggali dengan bermodalkan sumber daya manusia yang ada di daerahnya sendiri?”
Ada slogan yang cukup terkenal dalam dunia industri “ Assets make things possible, people make things happen” . Artinya kekayaan alam, modal, bahan baku, dan asset-aset lainnya membuat sesuatu itu mungkin, namun hanya melalui tangan-tangan manusialah membuat semuanya itu terjadi. Indonesia boleh mempunyai laut yang luas penuh dengan ikan, namun tanpa nelayan yang baik, ikan tersebut akan tetap menjadi ikan yang ramai berenang-renang di dalam lautan. Daerah bisa punya modal sendiri atau modal asing, atau hasil penarikan pajak dan retribusi, namun tanpa manusia yang akhli dan bermoral dalam mengelola uang tadi, dapat kita bayangkan bagaimana jadinya. Demikian pula, daerah boleh mempunyai kekayaan alam yang berlimpah, namun tanpa ada sumber daya manusia yang mengolahnya secara benar, kekayaan alam tersebut bukannya menjadi sumber yang bermanfaat, melainkan lebih banyak mudharatnya.
Berdasarkan laporan-laporan tertulis maupun lisan, ternyata semangat reformasi yang di dalamnya adalah juga pelaksanaan otonomi daerah, masih belum sepenuhnya bisa diterjemahkan menjadi tindakan. Dalam salah satu laporannya Ahmad Subagya (2002) salah satu anggota Dewan Konsultasi Otonomi Daerah Kabupaten Bantul mengemukakan beberapa kendala pelaksanaan otonomi daerah, yang antara lain adalah :
1. Partisipasi masyarakat rendah.
Sebagian besar masyarakat kabupaten/kota mempunyai persepsi bahwa otonomi daerah merupakan persoalan pemerintah daerah. Kondisi seperti ini berakibat pada rendahnya partisipasi masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah daerah menjadi rendah. Salah satu akibatnya adalah, dalam perencanaan dan persiapan lainnya pemerintah kabupaten sibuk sendirian, dan kurang mendapat dukungan atau kontrol dari masyarakat. Masyarakat tidak perduli pemerintah siap atau tidak, cenderung menunggu dan melihat apa yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Bagi masyarakat, yang penting ada perubahan pada kinerja pemerintah sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang lebih baik dan murah. Sikap menunggu ini akan sangat mengganggu pelaksanaan otonomi daerah karena sesungguhnya pelaksanaan otonomi daerah akan sangat diuntungkan dengan adanya partisipasi masyarakat.
Permasalahan ini juga ditemukan oleh penelitian yang dilakukan oleh SMERU, yang antara lain berbunyi :“The implementation of regional autonomy must include the involvement of wider circle of participation outside the boundary of government and the bureaucracy. The responsibility of local communities in each autonomous region must also taken into account, so that government and the community share responsibility for successful implementation of regional autonomy. This implies that the implementation of regional autonomy will be a long-term process, which must be widely understood not only by local government but also by civil society”
2. Sikap dan mentalitas aparatur Pemerintah Daerah
Sikap mentalitas aparatur pemerintahan daerah merupakan salah satu kunci penting keberhasilan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, karena merekalah ujung tombak dan eksekutor program tersebut. Ada gejala cukup menonjol pada hampir semua pemerintah kabupaten bahwa sikap dan mentalitas aparatur baik eksekutif maupun legislatif masih menyisakan pengaruh pemerintah yang sentralistik, sehingga mereka lebih baik menunggu dan kurang berani mengambil inisiatif dan prakarsa untuk melaksanakan fungsi keotonomian daerahnya. Kondisi ini sudah tentu tidak menguntungkan pelaksanaan otonomi daerah, karena kepeloporan aparatur pemerintahan daerah mutlak diperlukan.
Di samping itu, ada dua pandangan lain yang tampaknya juga mendukung dua hasil penelitian tersebut di atas, yang datangnya dari Muadim Bisri, SH, Sag. Dalam makalahnya yang berjudul “Melacak Problematika Otoda” . Pertama, otonomi daerah dicurigai sebagai proses transformasi kolusi, korupsi, dan nepotisme ke tingkat daerah, ini juga ternyata terbukti. Banyaknya anggaran belanja daerah yang tidak jelas serta melimpahnya permintaan fasilitas kesejahteraan para eksekutif maupun legislatif tingkat daerah merupakan bukti yang nyata. Kedua, kendala yang muncul berikutnya adalah rendahnya kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM). Perda-perda yang ditelorkan sebagai konsekuensi dari perubahan pola anggaran proyek dan program telah menimbulkan kekhawatiran baru, karena ternyata di daerah tingkat I dan II masih minim staf akhli di bidang keuangan dan manajemen yang diperlukan (Bisri, 2002)
Mencermati permasalahan di atas, maka apa yang sekiranya harus dilakukan oleh daerah dalam menghadapi otonomi ini. Adhitya Wardono dan Asep Mulyana dalam makalah yang yang disampaikan di Frankrut, berjudul “Sumberdaya Padat Otak dan Otonomi Daerah” mengutip buah pikiran seorang ekonom Friedrich List yang mengemukakan konsep Pendekatan Tenaga Produktif. Rekomendasinya adalah kemakmuran suatu daerah (bangsa) bukan disebabkan oleh akumulasi harta dan kekayaan, melainkan dengan cara membangun lebih banyak tenaga yang produktif. Dengan pendekatan ini akan terjadi kekuatan swadaya setempat yang mampu menunjang kemakmuran ekonomi suatu daerah atau bangsa. Yang dimaksud oleh Friedrich List dengan Tenaga Produktif adalah karya kreatif, inovatif, pemahaman atas kekuasaan dan hokum, hak dan kewajiban masyarakat, efektivitas penyelenggaraan pemerintah, ilmu dan kebudayaan, dan sikap terhadap hak asasi manusia serta mentaati norma agama. (Wardono dan Mulyana, 2001).
Hubungan antara Kemajuan Daerah dengan Sumber Daya Manusia
Dari apa yang dikemukakan oleh Fredrich List tersebut di atas maka uraian berikutnya berupaya menjelaskan sejauh mana hubungan antara kemakmuran daerah yang indkatornya adalah kemakmuran ekonomi dengan variabel sumber daya manusia. Dengan mengetahui hubungan yang terjadi di antara kedua variabel tersebut penulis ingin lebih meyakinkan kepada pembaca betapa pentingnya pemerintah Daerah/Kota/Propinsi untuk memfokuskan upayanya pada peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerahnya masing-masing.
Data yang digunakan dalam mencari hubungan tersebut berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan pada tahun 2001 terhadap 26 Propinsi dari 30 Propinsi yang ada di Indonesia. Judul penelitiannya adalah Daya Saing Daerah : Konsep dan Pengukurannya di Indonesia. Penelitian dilakukan oleh Piter Abdulah, SE., MA, Dr. Armida S. Alisjahbana, Dr. Nurry Effendi, dan Dr. Budiono.
Secara umum, penelitian tersebut bertujuan memberikan gambaran tentang daya saing dari 26 Propinsi. Variabel-variabel penelitian utama meliputi Perekonomian Daerah, Keterbukaan, Sistem Keuangan, Infrastruktur dan Sumber Daya Alam, Ilmu pengetahuan dan Teknologi, Sumber Daya Manusia, Kelembagaan, Governance dan Kebijakan Pemerintah, serta Manajemen dan Ekonomi Mikro. Analisis dari ke sembilan variabel tersebut menganghasilkan Daya Saing dari setiap Propinsi di Indonesia.
Dalam penelitian tersebut variabel Perekonomian Daerah didefinisikan sebagai ukuran kinerja secara umum dari perekonomian makro (daerah) yang meliputi penciptaan nilai tambah, akumulasi kapital, tingkat konsumsi, kinerja sektoral perekonomian, serta tingkat biaya hidup. Indikator kinerja ekonomi makro mempengaruhi daya saing daerah melalui prinsip-prinsip berikut: (halaman 17)
1. Nilai tambah merefleksikan produktivitas perekonomian, setidaknya dalam jangka pendek.
2. Akumulasi modal mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing dalam jangka panjang.
3. Kemakmuran suatu daerah mencerminkan kinerja ekonomi di masa lalu.
4. Kompetisi yang didorong mekanisme pasar akan meningkatkan kinerja ekonomi suatu daerah. Semakin ketat kompetisi pada suatu perekonomian daerah, maka akan semakin kompetitif perusahaan-perusahaan yang akan bersaing secara internasional maupun domestik
Tabel di bawah ini menunjukan peringkat daerah menurut indikator perekonomian daerah.
Dalam laporan penelitian tersebut diuraikan (halaman 31-32) bahwa dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa DKI Jakarta, Propinsi Jawa Barat, dan Kalimantan Timur merupakan 3 daerah dengan kondisi perekonomian makro yang terbaik. Jika dilihat dekomposisi menurut sub-indikatornya, maka kinerja perekonomian DKI Jakarta digerakkan oleh investasi yang bersumber dari tabungan, konsumsi, dan semua ini tercermin pada peringkat kinerja sektoral dan nilai tambah yang tinggi. Satu faktor yang cenderung memperlemah kinerja perekonomian DKI Jakarta adalah biaya hidup yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan banyak daerah lain (peringkat ke-15). Hal yang hampir sama berlaku pula untuk Propinsi Jawa Barat. Gambaran kinerja sub-indikator Propinsi Kalimantan Timur sedikit berbeda dalam hal kekuatan perekonomian daerahnya yang ditopang oleh aspek investasi, kinerja sektoral dan nilai tambah, akan tetapi lemah dalam aspek konsumsi dan rata-rata aspek tabungan.
Gambaran kinerja sub-indikator bagi propinsi-propinsi yang berada pada peringkat menengah dari indikator perekonomian daerah (Propinsi Bali, Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Propinsi Sumatera Selatan) menunjukan adanya kombinasi antara dua atau tiga sub-indikator dengan kinerja tinggi, dan selebihnya dengan kinerja di bawah rata-rata nasional. Bagi Propinsi Nusa Tenggara Timur, aspek biaya hidup dan tingkat tabungan relatif memiliki peringkat yang tinggi secara nasional, tetapi hal ini tidak didukung oleh kinerja sektoral, nilai tambah maupun tingkat investasi. Propinsi Bali kuat dalam hal aspek tabungan dan kinerja sektoral, dengan didukung oleh tingat biaya hidup yang relatif murah dibandingkan banyak daerah lain. Meskipun Propinsi Sumatera Selatan cukup kondusif dari sisi investasi, nilai tambah dan pengeluaran konsumsi konsumsi , namun tidak didukung oleh kinerja sektoralnya, dan terhambat oleh laju inflasi yang tinggi.
Untuk tiga propinsi dengan peringkat perekonomian daerah yang terbawah, yaitu Propinsi Nusa Tenggara barat, Bengkulu, dan Maluku, hampir semua sub-indikatornya berada pada peringkat yang sangat rendah. Kinerja perekonomian daerah tidak digerakkan oleh investasi ataupun konsumsi, sehingga perekonomian daerah praktis berada pada posisi yang stagnan. Kinerja perekonomian daerah yang rendah ini kemudian lebih diperburuk lagi oleh tingkat biaya hidup yang relatif tinggi, kecuali untuk Propinsi Maluku.
Kepulauan Sulawesi yang diwakili oleh Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara, menduduki peringkat yang bervariasi. Sulawesi Selatan menduduki peringkat lebih tinggi dibandingkan dengan Sulawesi Utara, Tenggara, dan Tengah. Daerah ini berada di peringkat ke-10. Keunggulan utama terletak pada sub indikator investasi, dengan peringkat ke 2, ditambah dengan tabungan dan nilai tambah. Sulawesi Tengah menduduki peringat terbawah dibanding dengan tiga Propinsi Sulawesi lainnya. Hampir semua sub indikator daerah ini lemah, kecuali tingkat biaya hidup yang relatif lebih rendah. Yang terlemah adalah rendahnya tingkat konsumsi, yang mencapai peringkat 24, artinya dua dari bawah..
Variabel atau indikator Sumber Daya Manusia diukur melalui ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia. Faktor-faktor SDM ini mempengaruhi daya saing berdasarkan prinsip-prinsip berikut:.
.Angkatan kerja dalam jumlah besar dan berkualitas akan meningkatkan daya saing suatu daerah.
1. Pelatihan dan pendidikan adalah cara yang paling baik dalam meningkatkan tenaga kerja yang berkualitas
2. Sikap dan nilai yang dianut oleh tenaga kerja juga menentukan daya saing suatu daerah
3. Kualitas hidup masyarakat suatu daerah menentukan daya saing daerah tersebut.
Semua propinsi yang berada di Pulau Jawa memiliki peringkat yang sangat tinggi untuk aspek Sumber Daya Manusia. , demikian pula dengan Propinsi kalimantan Timur, Bali, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Lampung. Peringkat tinggi ini (1 – 10) merupakan andil dari sub-indikator ketenagakerjaan, pendidikan, kualitas hidup, dan perilaku serta nilai sosial. Propinsi dengan kondisi sumber daya manusia yang terlemah adalah propinsi Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Ketiga propinsi ini lemah di semua sub-indikator, kecuali NTT dan Irian Jaya yang jumlah penduduknya relatif sedikit dibandingkan dengan kebanyak daerah lainnya.
Dari empat propinsi di Sulawesi, yang paling baik peringkat sumber daya manusianya adalah Sulawesi Utara. Daerah ini lebih unggul di sub-indikator ketenagakerjaan dan perilaku dan nilai sosial. Sulawesi Tengah berada di tingkat terbawah (peringkat 21) sedangkan Sulawesi Selatan di peringkat menengah. Kelemahan paling mencolok di masyarakat Sulawesi Tengah adalah tingkat pendidikan, yaitu berada di peringkat 22, berarti keempat dari terbawah (26) .
Dalam laporan tersebut (hal 39) dikemukakan bahwa yang juga menarik untuk dikaji lebih mendalam lagi adalah keterkaitan antara aspek kuantitas dan kualitas SDM, di mana propinsi-propinsi dengan peringkat indikator SDM yang tinggi, umumnya memiliki kuantitas penduduk yang rendah, tetapi di lain pihak memiliki kualitas penduduk yang baik. Sementara itu, pada propinsi-propinsi dengan peringkat menengah maupun rendah, yang terjadi adalah sebaliknya, di mana peringkat kuantitas SDM cenderung berada di atas, sementara kualitasnya berada di bawah rata-rata nasional.
Untuk mencari besarnya hubungan antara peringkat kemajuan Ekonomi Daerah dengan peringkat Sumber Daya Manusia Daerah digunakan rumus statistik Rank Spearman dan hasilnya adalah sebagai berikut :
Hasil perhitungan di atas secara nyata menunjukan bahwa ada kaitan antara kualitas sumber daya manusia dengan kualitas perekonomian. Dengan nilai hubungan (r) sebesar 0,60 dan tingkat kepecayaan 99%, dapat disimpulkan bahwa di antara kedua variabel tersebut ada korelasi yang relatif cukup kuat dan tidak bisa diabaikan. Memang dari hasil tersebut dapat diartikan bahwa kualitas sumber daya manusia yang baik bisa membuat ekonomi menjadi baik, tetapi juga bisa diartikan sebaliknya yaitu karena ekonomi yang baik maka kualitas sumber daya manusianya yang baik Namun interpretasi yang paling utama adalah jika kita ingin membangun perekonomian maka kualitas sumber daya manusia jangan diabaikan, demikian pula jika ingin mengembangan sumber daya manusia, juga tidak bisa mengabaikan pertumbuhan ekonomi.
Dalam indikator kualitas Sumber Daya Manusia Daerah, terdapat lima sub-indikator, yaitu : karakteristik penduduk, ketenagakerjaan, pendidikan, serta perilaku dan nilai sosial masyarakat. Dari ke lima sub indikator ini ternyata sub indikator pendidikan memberikan sumbangan terbesar, berdasarkan perhitungan di bawah ini :
Dengan korelasi sebesar 0,69 maka diperoleh koefisien determinasi sebesar kira-kira 49% yang artinya skor kualitas Sumber Daya Manusia dalam penelitian tersebut sebagian besarnya disebabkan karena pendidikan formal dan non formal.
Temuan lain dari data penelitian tersebut akan menambah daftar betapa pentingnya sumber daya manusia bagi pembentukan daya saing antar daerah. Dalam laporan tadi diurutkan Daya Saing Daerah berdasarkan peringkat. Yang paling berdaya saing menduduki peringkat ke 1 (satu), sedangkan yang paling rendah daya saingnya menduduki peringkat ke 26 (dua puluh enam). Jika diurutkan maka munculah tabel seperti di bawah ini :
Keterangan :
I. : Perekonomian Daerah V : IPTEK IX : Manajemen
II. : Keterbukaan VI : SDM dan Ekonomi Mikro
III. : Sistem Keuangan VII : Kelembagaan
IV. : Infra Struktur dan SDA VIII : Governance/Kebijakan
Untuk mengetahui indikator-indikator mana yang paling banyak memberikan andil pada pencapaian peringkat daya saing daerah, maka digunakan perhitungan korelasi di antara masing-masing peringkat indikator utama dengan peringkat daya saing daerah. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus korelasi Spearman Rho – rumus yang digunakan untuk menghitung besarnya korelasi antara dua variabel yang berskala ordinal – hasilnya adalah seperti berikut :
Hubungan antara Peringkat Daya Saing Daerah dengan Peringkat :
a. Perekonomian Daerah adalah 0,773
b. Keterbukaan adalah 0,629
c. Sistem Keuangan adalah 0,663
d. Infra Struktur dan SDA adalah 0,771
e. IPTEK adalah 0,788
f. Sumber Daya Manusia adalah 0,828
g. Kelembagaan adalah 0,546
h. Governance dan Kebijakan adalah 0,436
i. Manajemen dan Ekonomi Mikro 0,943
Jika diberi peringkat maka Manajemen dan Ekonomi menduduki peringkat I , Sumber Daya Manusia peringkat II, Iptek peringkat III, Perekonomian Daerah peringkat IV, Infra Struktur dan Sumber Daya Alam peringkat ke V, Sistem Keuangan peringkat ke VI, Keterbukaan peringkat ke VII, Kelembagaan peringkat ke VIII, dan yang terakhir Governance dan Kebijakan Pemerintah peringkat ke IX. Makna dari hasil perhitungan ini adalah bahwa berhasil atau tidaknya pembangunan suatu daerah lebih banyak terkait dengan aktivitas masyarakat dalam berusaha, sumber daya manusianya, serta pada perkembangan teknologi. Peran pemerintah diperlukan, namun lebih banyak bertindak sebagai falitator .
Dari hasil di atas tampak dengan jelas bahwa hubungan antara kondisi Sumber Daya Manusia dengan kemampuan Daya Saing Daerah cukup signifikan. Daerah yang memiliki daya saing dengan peringkat 1 s/d 7 , peringkat kualitas sumber daya manusianya berkisar 1 s/d 7 pula. Sedangkan daerah yang mempunyai daya saing peringkat rendah ( 20 s/d 26), juga peringkat kualitas sumber daya manusianya sebagian besar di antara 20 s/d 26. Maknanya, tanpa didukung oleh kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia yang memadai, pembangunan daerah di era otonomi daerah ini, akan mengalami kegagalan.
Agar memperoleh gambaran lebih lengkap, perlu juga diketahui indikator-indikator apa saja yang dihitung untuk bisa menetapkan peringkat kondisi sumber daya manusia daerah. Indikator tersebut meliputi (1) Angka Ketergantungan, yaitu jumlah penduduk yang tidak produktif, (2) Tingkat Harapan Hidup, (3) Angkatan Kerja, (4) Laju Pertumbuhan Angkatan Kerja, (5) Persentase Penduduk Usia Produktif terhadap Total Penduduk, (6) Laju Pertumbuhan Penduduk Usia Produktif, (7) Tenaga Kerja Akhli, (8) Jumlah Penduduk yang Bekerja, (9) Persentase Penduduk yang Bekerja terhadap Total Penduduk, (10) Prospek Kesempatan Kerja , (11) Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja, (12) Pengangguran, (13) Tingkat Partisipasi SD, (14) Tingkat Partisipasi SLTP, (15) Tingkat Partisipasi SLTA, (16) Tingkat Partisipasi Perguruan Tinggi, (17) Rasio Jumlah Guru terhadap Murid SD, (18) Rasio Jumlah Guru terhadap Murid SLTP, (19) Rasio Jumlah Guru terhadap Murid SLTA, (20) Angka Melek Huruf, (21) Laju Pertumbuhan Angka Melek Huruf, (22) Lama Pendidikan, (23) Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Idex), (24) Populasi Penduduk Perkotaan, (25) Kualitas Pelayanan Kesehatan, (26) Fleksibilitas dan Adaptabilitas Menghadapi Tantangan Baru, (27) Kesetaraan dan Kesempatan Memperoleh Pelayanan, (28) Nilai-nilai Kemasyarakatan – kerajinan, kebersihan, perilaku, dsb)
Penutup
Sebagai penutup dari tulisan pendek ini, perkenankan penulis memaparkan selintas daya saing dari daerah Sulawesi Tengah, di mana Palu merupakan ibu kotanya. Secara keseluruan peringkat daya saing propinsi ini pada tingkat 19, yaitu tingkat yang sudah mendekati kategori rendah. Perekonomian Daerah pada peringkat 21, Keterbukaan pada peringkat 24, Sistem Keuangan pada peringkat 19, Infra Struktur dan Sumber Daya Alam pada peringkat 17, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada peringkat 16, Sumber Daya Manusia pada peringkat 21, Kelembagaan pada peringkat 12, Governance dan Kebijakan Pemerintah pada peringkat 9 (transparansi dan kosistensi kebijakan pemerintah daerah) , Manajemen dan Mikroekonomi pada peringkat 18.
Mengingat nilai sumber daya manusia ternyata sangat penting bagi pembangunan daerah, dan skor hubungan antara kualitas sumber daya manusia dengan pendidikan relatif tinggi ( 0,69) , maka sudah seharusnya pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan Propinsi Sulawesi Tengah menganggarkan biaya pendidikan serta pengembangan sumber daya manusia secara lebih memadai lagi. Partisipasi masyarakat untuk mengikuti jenjang pendidikan SD, SLTP, dan SLTA harus segera ditingkatkan karena dibandingkan dengan propinsi lainnya, diketiga jenjang pendidikan tersebut Sulawesi Tengah hanya mncapai peringat 21 dan 22. Partisipasi masyarakat di jenjang Pendidikan Tinggi ternyata lebih baik, dan berada di peringkat 14, sayangnya pendidikan program studi manajemen hanya mencapai peringkat 25, padahal sub-indikator ini memberikan nilai yang tertinggi terhadap pembentukan daya saing daerah.
Sumber Bacaan :
Adhitya Wardhono dan Asep Mulyana, Sumberdaya Padat Otak dan Otonomi Daerah, Makalah untuk Semiloka Otonomi Daerah di Frankrut, 2001.
Akhmad Subagya , Mulai dari Kabupaten : Mekanisme dan Implementasi Otonomi Daerah, Anggota Dewan Konsultasi Otonomi Daerah Kabupaten Bantul, dan Ketua DPC PPP Kabupaten Bantul, 2002.
Deddy Supriadi Bratakusumah, Kompetensi Aparatur Dalam Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jurnal Administrasi Publik Nomor 1, Centre for Public Policy and Management Studies Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Katolik Parahyangan, 2002
Desi Fernanda, Signifikansi Struktur, Kultur, Prosedur, dan Figur dalam Reformasi Administrasi Publik Daerah Otonomi, Jurnal Administrasi Publik Nomor 1, Centre for Public Policy and Management Studies Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Katolik Parahyangan, 2002.
Muadim Bisri, Melacak Problematika Otoda, Laboratorium Konsultasi Pelayanan Hukum Universitas Muhamadiyah Malang, 2002.
Piter Abdullah, Cs., Daya Saing Daerah : Konsep dan Pengukurannya di Indonesia. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksetralan Bank Indonesia, BPFE-Yogyakarta, 2002.
Syaikhu Usman, Regional Autonomy in Indonesia : Field Experiences and Emerging Challenges, The SMERU Research Institute, 2002.