Pengertian Post Modernisme, Strukturalisme, Filsafat Hidup
“Post” pada istilah ini banyak menimbulkan perbedaan arti, Lyotard mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan. David Griffin, mengartikannya sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan. Anthony Giddens, mengartikannya sebagai wajah arif kemodernan yang telah sadar diri. Sementara Habernas, satu tahap dari proyek modernisme yang memang belum selesai. Sementara menurut Tony Cliff, posmodernisme berarti suatu teori yang menolak teori. Akhiran ”isme” berarti aliran atau sistem pemikiran yang menunjukkan pada kritik filosofis atas gambaran dunia, epistemologi, dan ideologi modern.
Konteks Sosial yang Melahirkan : ”Penyimpangan Modernisme”
Munculnya pasca modernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu sendiri. Kita modernisme mengandung makna serbamaju, gemerlap dan progresif. Pengertian ini tidak berlebihan, modernisme mempunyai sisi gelap yang menyebabkan kehidupan manusia kehidupan disorientasi
”Sisi Gelap” mdoernisme, menurut Anthony Gidden dalam The Sonsequences of Modernity (1990), menimbulkan berkembang biaknya petaka bagi umat manusia. Pertama, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa. Kedua, penindasan oleh yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian parah. Keempat, kerusakan lingkungan hidup yang kian mengkhawatirkan. Produk akhir yang menimbulkan petaka tersebut, terutama dipicu oleh : Pertama, kapitalisme liberal yang menyaratkan kompetisi tiada akhir akan pertarungan pasar. Kedua, industrialisme yang mensyaratkan inovasi tiada henti untuk memenangkan persaingan pasar bebas. Ketiga, lemahnya kekuatan negara di dalam mengemban tugas minimalnya untuk menciptakan tertib sosial yang aman, rukun, damai dan adil”
Pada taraf prktis, terdapat konsekensi buruk modernisme, antara lain : Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritul-material, manusia-dunia, dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivikasi alam secara berlebihan dan pengurasan alm semena-mena. Hal ini telah mengakibatkan krisis ekologi. Kedua, pandangan modern yang bersifat objektivitas dan positivis, akhirnya menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkaya bagai mesin. Ketiga, modernisme memandang ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Keempat, materialisme, yakni orientasi hidup untuk memiliki dan menguasai hal-hal material. Aturan main utama adalah survival of the fittest, atau dalam skala yang besar : persingan pasar bebas. Kelima, militerisme. Kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekersan adlah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Keenam, bangkitnya kembali tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri. Setelah perang dingin selesai, kini agama menjadi kategori identits penting yang melegitimasi konflik dan tindak kekerasan. Munculnya fndamentalisme agama adalah contoh dari fenomena ini.
Krisis sains modern yang menimbulkan petaka kehidupan manusia, menyadarkan ilmuan untuk merevisi asumsi-asumsi yang mendasar bangunan sains modern. Krisis ini menjadi cikal bakal terjadinya revolusi ilmiah.
Krisis ini metode ilmiah dan lahirnya revolusi, dapat digambarkan tahap-tahapnya sebagai berikut :
Tahap I : paradigma ilmiah membimbimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science)
Tahap II : menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiks dan dipercayakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap III : para ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sembari memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya.
Skema ketiga tahap tersebut sebagai berikut
Filsuf Awal Postmodernisme
Awal mula tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme sebenarnya dapat dilacak pada filsafatnya Soren Kierkegaard (1813-1855), yang menentang rekonstruksi-rekonstruksi rasional dan masuk akal yang menentukan keabsahan kebenaran ilmu. Kriteria kebenaran yang berlaku bagi dunia modern adalah yang rasional dan objektif Kierkegaard justru berpendapat scbaliknya, bahwa kebenaran itu bersifat subjektif, "truth is subjectivity'. Pendapat tentang "kebenaran subjektif' ini menekankan pentingnya pengalaman dan relativitas, yang dialami oleh individu-individu."'
Sementara. itu, Horkheimer dan Adorno dalam buku Dialectic. Lewat tulisan-tulisannya, Nietzsche menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan modernitas. Pandangan Nietzsche terhadap kebudayaan modern bersifat reduksionis. Modern atau modernitas dipandangnya sebagai musuh bagi kehidupan dan insting-insting semenjak zaman renaissance dan selanjutnya, yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan seperti pencerahan, romantisisme, demokrasi, utilitarianisme, ilmu pengetahuan, dan sosialisme. Kekuatan-¬kekuatan tersebut merupakan suatu domestikasi kekuasaan dalam kebudayaan yang kian universalistik. Dampaknya adalah berupa suatu kebudayaan yang kehilangan keyakinan akan kemampuannya sendiri untuk mencipta dan menilai, suatu kebudayaan nihilisme Eropa dipengujung abad ini. Nietzsche melihat modernitas sebagai peningkatan kondisi dekadensi di mana tipe-tipe tinggi dilevelkan oleh rasionalisme, liberalisme, demokrasi, dan sosialisme dan di mana insting mengalami penurunan tajam.
Menurut Nietzsche, nihilisme adalah kondisi dimana "nilai-nilai tertinggi mendevalusi dirinya sendiri”. Nihilisme tak lain adalah "Kondisi postmodern", yakni berakhirnya segala metanarasi.
Dengan memproklamirkan "tuhan telah mati", Nietzsche berpandangan tidak ada kebenaran absolut lagi. Manusia harus bebas dari segala makna absolut yang menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendiri harus menciptakan dunia dan memberinya nilai, yakni nilai yang tidak, mengandung kebenaran mu dak atau rata dunia moral. Kalau suatu nilai atau kebenaran sudah mengarah menjadi absolut, manusia harus meninggalkannya. Nietzsche mengibaratkan, kalau sampan kita sudah aus dan tak dapat lagi digunakan untuk berlayar, sampan itu harus dihancurkan dan diganti dengan sampan yang baru. Menurut Nietzsche, hanya dengan cara ini kita dapat bebas dan terhindar dari mengabsolutkan sesuatu
Edmund Husserl. (1859-1938), juga dipandang sebagai tokoh penting perintis postmodernisme. Dalam karyanya The Idea of Phenomenology, Husserl mencoba mengatasi persoalan "subjek-objek" dengan cara membongkar se-cara efektif paham tentang "subjek epistemologis" dan "dunia objektif. Sejak itu, persoalan epistemologi dan juga tentang `ilmu" dan "keilmiahan" terus-menerus dipertanya¬kan. Dalam pencarian ini, Husserl menemukan fondasi absolut pengetahuan yang murni, yakni dalam subjektivitas transendental. Subyektifitas trnsedent, menurut Husserl, terletk pada Lebenswelt, yakni aliran kehidupan langsung sebelum terfleksikan, lapisan dasar yang kemudian memunculkan tematisasi dan teoritisasi ilmiah. Dengan demikian, yang disebut dengan ”dunia objektif” sebetulnya hanyalah penafsiran tertentu saja atas dunia pengalaman hidup sehari-hari (Lebenswelt) yang mengatasi dan mendahului kategori-kategori objektivistik maupun subjektivistik.
Di samping Kierkegaard, Nietszche, dan Husserl, M Keidegger (1889-1976) juga dipandang sebagai perintis postmodernisme. Heidegger sangat kritis terhadap filsafat modern tentang manusia. Manusia bukanlah segumpal substansi berpikir yang sadar diri, atau makhluk yang kerjanya memikirkan dan merumuskan ihwal; tetapi manusia adalah dasein, ia "ada dalam dunia". Hubungan manusia dengan kenyataan tidak semata-mata hubungan intelektual, subyek memahami obyek.
Kontribusi pokok pemikiran Heidegger bagi postmodernisme adalah langkah awalnya membongkar tradisi filsafat Barat yang pada dasarnya berpuncak pada filsafat modern. Universalis representasionalisme, dualisme, dan dialektika adalah pilar-pilar filsafat modern yang dirobohkan Heidegger. Robohnya pilar-pilar itu membuka pintu bagi lahirnya "pemikiran lain" yang terlupakan dari pemikiran modern. Pengetahuan, moral, sejarah, dan politik tidak lagi tunggal. Lokalitas mendapatkan penghargaan tersendiri. Kalaupun ingin mendapatkan patokan universal, jalan yang harus melalui konsensus. Pengetahuan bukan lagi soal pendasaran melainkan percakapan.
Fokus filsafat Heidegger terletak pada duatema. Pertama Heidegger memperlihatkan suatu anti-Cartesianisme, yaitu penolakan dualisme pikiran-tubuh, dan pembedaan antara subyek dan objek. Kedua, filsafat Heidegger sebagian besar adalah pencat terhadap autentisitas, atau apa yang mungkin lebih tepat dilukiskan sebagai ”kepunyaan sendiri”, yang dapat dimengerti dengan penjelasan tertentu, sebagai keutuhan. Pencarian terhadap autentisitas ini akan membawa kita ke dalam persoalan-persoalan abadi tentang haki diri dan arti kehidupan.
Teoretisi Postmodernisme
1) Francouis Lyotard
Dilahirkan di Versailles 10 Agustus 1924, dan meninggal di Paris tahun 21 April 1998. Dalam buku The Postmodern Condition, ia memperlihatkan bagaimana identifikasi pengetahuan bersama representasi, karakteristik masyarakat modern, tindakan yang kita tampilkan mereduksi ragam dari tindakan yang kita tampilkan dalam bahasa menjadi denotasi. Bahasa kemudian menjadi serangkaian pernyataan yang dapat diperlakukan sebagai benda, sebagai komoditas dalam masyarakat kapitalis. Bagi Lyotard pengetahuan rasional tidakbisa lagi dijadikan sebagai dasar bagi kritik, juga tidak memiliki emansipasi sebagaimana dijanjikan oleh para pemikir pemikir abad pertengahan. Pengetahuan adalah narasi teror Barat, sejauh yang dituju adalah membungkam cerita-cerita lain dengan menyajikan dirinya sebagai satu-satunya penjelasan yang benar dan absah.
Bagi Lyotard, postmodernisme itu sepertinya intensifikai dinamisme, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan eksperimentasi dan revolusi kehidupan terns-mencrus. Lyota mengatakan, "Marilah kita perangi totalitas ... marilah kita hidupkan perbedaan. Kenyataannya, postmodernisme menjadi wadah pertemuan berbagai perspektif teoritis yang berbeda-beda : ”Ilmu pengetahuan postmodern bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa; ilmu pengetahuan postmodern memperluas kepekaan kita terhadap pndangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertolernsi atas pendirian yang tak mau dibanding-bandingkan.
Michel Faucault (1926 – 1984)
a. Discourse, Power and Knowledge
Pemikiran Nietzhe berimbs pada pemikiran Foucault. Faucoult memang tidak secara tegas menolak keuniversalan pengetahuan, tetapi dari pandangannya tentang wacana yng bersifat diskontinu” tampaklah penolakan itu. bagai Foucault , setiap era sejarah memiliki pandangan, deskripsi, klasifikasi, dan pemahaman tentang dunia secara khas, berbeda dengan era sejarah yang lain. Dengan kata lain, era historis yang berbeda tentunya memiliki perbedaan episteme untuk setiap periodenya. Pandangan diskontinuitasnya ini merupakan salah satu aspek dari gugatannya terhadap tema-tema modern seperti asal-muasal, tujuan akhir, kontinuitas, totalitas, dan subjek yang utuh.
Ada beberapa asumsi pemikiran pencerahan “klsik” yang ditolak oleh Foucault, yaitu:
a) Pengetahuan itu tidak bersifat metafisis, transendental atau universal, tetapi khas untuk setiap waktu dan tempat
b) Tidak ada pengetahuan menyeluruh yang mampu menangkap karakter ”objektif” dunia, tetapi pengetahuan itu selalu mengambi perspektif
c) Pengetahuan tidak dilihat sebagai cara pemahaman yang netral dan murni, tetapi selalu terikat dengan rezim-rezim kekuasaan.
d) Pengetahuan sebagai wacana tidak muncul sebagai evolusi sejarah yang konstan, melainkan bersifat diskontinu.
Salah satu yang paling inspiratif bagi postmodernisme adalah sikapnya dalam memahami fenomena-fenomena modern yang bernama “pengetahuan” itu, terutama pengetahuan sosial, ia memerkarakan tentang “Apa itu pengetahuan” secara genealogis dan arkeologis, artinya dengan melacak bagaimana pengetahuan itu telah beroperasi dan mengembangkan diri selama ini. Kategori-kategori konseptual macam “kegilaan”, “seksualitas”, “manusia”, dan sebagainya yang biasanya dianggap “natural” itu sebetulnya adalah situs-situs produksi pengetahuan, yang membawa mekanisme-mekanisme dan aparatus kekuasaan; kekuasaan untuk “mendefinisikan” siapa kita. Ilmu ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan adalah agen-agen kekuasaan itu. Kendati kekuasaan itu tidak selalu negatif-represif melainkan juga positif-produktif (menciptakan kemampuan dan peluang baru), toh secara umum ia memaksa kita memahami kemodernan bukan lagi sebagai pembebasan melainkan sebagai proses kian intensif dan ekstensifnya pengawasan (surveillane) lewat ”penormalan”, regulasi dan disiplin (Discipline and Punish, Power/Knowledge).
b. Arkeologi Foucault
Jika kita memandang modernitas bermula pada abad ke 16 dan ke-17, maka karya Foucault bisa dilihat sebagai refleksi kritis atas perbedan antara bentuk-bentuk kebudayaan pra-modern dan modern. Dalam Madnes and Civilization (1961) Foucault mengawali gagasannya tentang ”arkeologi kebisuan penderita kegilaan” di dalam suatu dunia di mana penderita kegilaan menggantikan penyakit kusta sebagai kematian ”yang telah tiba”.
Menurut Foucault, “posisi liminal” penderita kegilaan di abad pertengahan terlihat dari disingkirkannya mereka secara sosial ke dalam ”bahtera untuk orang-orang sinting”. Humanisme renaissance berperan membebaskan suara penderita kegilaan sekaligus mengontrolnya dengan cara memasukkan kegilaan ke dalam ”semesta diskursus”, namun demikian, hanya dalam periode klasiklah penderita kegilaan direduksi menjadi kebisuan dengan jaln mengungkungnya dalam rumah-rumah sakit.
Foucault berangkat dari gagasan tentang episteme atau ”bidang epsitemologis” yang mengatur syarat-syarat bagi pengetahuan yang mungkin. Menurut Foucault, terdapat tiga episteme berbeda-beda yang saling mendukung masa renaissance, period-periode klasik, dan abad ke-19, yang memisahkan periode klasik dengan abad ke-19 adalah bahwa yang terdahulu masih mempertahankan hubungan yang tak terbatas, sedangkan masa berikutnya meneguhkan perbatasan analitis.
c. Geneology of Knowledge
Gagasan tentang geneologi muncul sejak pidato inaugurasi Foucolt yang lantas diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Discourse on Language (1971 : 1972). Di sini gagasan tersebut muncul demi melengkapi analisis tentang aspek diskursu yang mirip sistem dengan suatu analisis tentang bagaimana aspek itu terbentuk. Tugas geneologi kekuasaan sesungguhnya adalah menganalisis silsilah pengetahuan.
Menurut Foucault, pembedaan Nietzsche antara asal usul (origin) dan silsilah (descent) adalah pembedaan antara presentasi sejarah sebagai terbentangnya suatu gagasan secar jelas serta sebagai fenomena yang murni kebetulan.
Studi paling terkenal dalam periode ini adalah Discipline and Punishment (1975). Sekali lagi modernitas sebagai pemisah paling menentukan antara periode klasik dn abad ke-19 dipersoalkan. Terdapat dua bentuk masyarakat yang berbeda, yang didominasi oleh dua bentuk kekuasaan yang amat berlainan. Konsep kedaulatan yuridiko-politis dalam masyarakat pra-modern menyelenggarakan eksekusi publik untuk memperbarui kedaulatan yang keropos.s edangkan dalam modernitas, adanya bentuk-bentuk baru ”penghukuman yang digeneralisasikan” disebbkan oleh adanya bentuk baru kekusan yang merembeas dan menjangkau setiap bagian tubuh sosial, dan yang tergambarkan paling jelas dalam Pnopaticon Bentham.
Serangan Foucault terhadap hipotesis ekspresif merupakan konsekuensi dari gagasan barunya tentang kekuasaan. Foucault bukannya mengonsepsi modernitas sebagai sumber pembatasan seks, namun sebagai penyebab penyebarannya, terseretnya seks ke dalam diskursus.
Di sini ia memperkenalkan gagasan tentang bio-power. Namun, pada volume-volume kelanjutannya ternyata dia tidak mengulas hal itu.
d. Kilas balik Filsafat Foucault
Foucault dalam karya use of Pleasure (1984a) dan Care of The Self (1984b) tidak mengonsentrasi diri pada kaidah internal atau regularitas formasi diskursif. Namun, kini mengarahkan perhatian pada hubungan antara manusia dan dunia.
Pengarahan arkeologi menuru “problematisasi” ini lebih merupakan suatu peralihan hermeneutis dalam pemikirannya mengenai kebudayaan.
Dalam dua buku itu Foucault kembali, meski dalam bentuk yang telah dimodifikasi, pada jenis gaya analisis komplementer yang pernah ia janjikan dalam pidato inaugarasinya
Dengan begitu, meski terdapat perubahan dalam programnya, tetap tertarik pada persoalan sentral berupa bagaimana manusia Barat akhirnya sebegitu jauh melibatkan dirinya sendiri dalam persoalan seksualitasnya
Karya Foucault mengenai sejarah dapat menimbulkan salah paham. Kontroversi mengenai karyanya pun tak jarang dijumpai.
Jacques Derrida (1930-2004 M)
Membahas filsuf yang satu ini pasti tidak akan lepas dari buh pikirannya tentang dekonstruksi. Istilah ini merupakan salah satu konsep kunci postmodernisme. Apa itu dekonstruksi ? Secara etimologis, dekonstruksi dalah berarti ”mengurai”, melepskan, dan membuka”. Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks secara interpretatif atau, katakanlah, suatu hermeneutik dengan cara radikal.
Podisi Derrida terletak di pinggiran: dekonstruksi bergera pada batas-batas di antara kedua perspektif tersebut. Derrida menjelaskan pelintasan batas interpretasi ini secar tepat melalui sebuah neologisme.
Dekonstruksi menunjukkan bahwa pembedaan dan antinomi konseptual pada akhirnya tidak terkontaminasi, dna karenanya juga tidak dapat dipertahankan. Makna tidak berdasarkan pada sebuah hierarki makna, melainkan terbentuk dalam sebuah jaringan acuan-acuan lewat momen suspensi.
Penagguhan ini, difereance, atau – Derrida menyebut demikian – spesialisasi atau temporalisasi ini berarti pula bahwa makna teks tidak bisa distabilkan. Teks tidak didekonstruksikan, melainkan mendekonstruksi dirinya sendiri. Dengan kata lain, makna dari teks itu ditunda atau ditangguhkan. Namun, menunda dan menagguhkan tidak berarti bahwa pembedaan hanyalah omong kosong belaka. Dengan pemahaman ini Derrida tidak ingin menyebarkan nihilisme.
Untuk tujuan tersebut dekonstruktivisme adalah sebuah cara berpikir yang senantiasa menantang kita untuk menjawab pertanyaan, bagaimana kita bisa membedakan sesuatu tanpa menilai dan tanpa memutuskan.
Richard Rorty (1931-2007)
Menurut Rorry, apa yang kita sebut sebagai filsafat selama ini telah menuju ke banyak tiotik kebuntuan di bidang epistemologi, metafisika, bahkan teori-teori moral.
Berbeda dari para post-strukturalisme atau postmodernitas lainnya, dalam buku Philosophy and the Mirror of Nature, Rorty ingin menyudahi apa yang disebutnya “epsitemology centered philosophy” atau tradisi Cartesian-Kantian.
Menurutnya, dewasa ini merupakan ”the end of philosophy (as epistemology)”. Memang, dalam alam pikir modern, tugas pokok filsafat adalah mencari segala fondasi pengetahuan (foundasionlisme) dan tugas pokok subjek adalah mempresentasikan kenytaan objektif (representasionalisme)
Untuk memusnahkan epistemologi, dia memakai istilah Cadamer yaitu “hermeneutik”. Hermeneutik, baginya, bukan suatu disiplin, metode alternatif bagi epistemologi, ataupun program riset, melainkan “... suatu ungkapan pengharapan bahwa ruang kultural yang disisakn oleh kesudahan epistemologiu tidak akan terisi”
Dalam memberikan penajaman di bidang filsafat, Rorty berusaha untuk menyatukan dan mengaplikasikan Dewey hegel dan Darwin dalam sintesis pragmatis antara historisisme dan anturalisme.
Jean Baudrillard (1929 – 2007)
Melalui karya-karyanya, Baudrillard mempunyai sumbangan besar terhadap perkembangan teori ssial postmodernisme. Karya awal Baudrillard (1968, 1970) sangat dipengaruhi oleh perspektif Marxian yang menitikberatkan pada masalah ekonomi . bedanya, kalau Marxian lebih memfokuskan pada produksi, Baudrillard memfokuskan dirinya pada masalah konsumsi. Menurut Baudrillard, objek konsumsi merupakan “sesuatu yang diorganisir oleh tatanan produksi” atau “perluasan kekuatan produktif yang diorganisir” Baudrillard menambahkan, konsumsi bukanlah tambahan kecil bagai puataran kapital … tetapi [merupakan] kekuatan produktif yang penting bagi kapital itu sendiri.
Secara umum, pemikiran Budrillard memusatkan perhatian pada kultur, yang dilihatnya mengalami revolusi besar-besaran dan merupakan bencana besar. Revolusi kultural itu menyebabkan massa menjadi semakin pasif ketimbang semakin berontak seperti yang diperkirakan pemikir Marxis. Dengan demikian, masa dilihat sebagai “lubang hitam” yang menyerap semua makna, informasi, komunikasi, pesan, dan sebagainya, menjadi tidak bermakna … masa menempuh jalan mereka sendiri, tak megindahkan upaya yang bertujuan memanipulasi mereka. Kekacauan, apatis, dan kelebaman in merupakan istilah yang pepat untuk melukiskan kejenuhan massa terhadap tand meida, simulasi, dan hiperrealitas.
Fredric Jamerson (1934)
Fredric Jamerson lahir 14 April 1934 di Cleverland, Ohio. Ia merupakan salah satu kritikan literatur berhaluan Marxis pling terkemuka. Kini ia menjabat sebagai Profesor of Comparative Literature di Duke University (Durham NC, USA), sekaligus mengepalai the Center for Cultural Theory.
George Ritzer dalam Postmodern Social Theory, menempatkan Jamerson ke dalam pemikir Amerika yang berhaluan postmodern bersama dengan Daniel Bell, kaum feminis (Sandra Harding, Judith Butler, Susan Bordo, dan lain-lain), dan teoritikus multikultural.
Jamerson jelas-jelas mengadopsi posisi Marxis untuk mengembangkan teori sosial budayanya. Namun demikian, ia menolak mengikuti pola dan klaim yang dikembangkan oleh para pengikut Marxis dari Prncis (seperti Lyotard, Baudrillrd dan Foucault) yang percaya bahwa teori Marxis termasuk ”narasinya(continuity).
Teori ” Logika Kultural Kapitalisme Akhir
Istilah ”kapitalisme lanjut” (late capitalism) mulai digunakan di Eropa menjelang akhir tahun 1930-an, yaitu ketika banyak ahli ekonomi percaya kapitalisme bergerak mendekati ajalnya. Di penghujung Perang Dunia II, cukup banyak pakar ekonomi termasuk Paul K. Samuelson dan Joseph Schumpeter yang percaya bahwa akhir dari kapitalisme akan segera terjadi dalam arti banyak sekali kendala dan persoalan ekonomi yang tak tertaggulangi.
Periode late capitalism yang dipakai Jamerson dipinjam dari periodisasi yang dibuat oleh Mandel, yang membagi perkembangan kapitalisme menjadi tiga fase, yaitu (1) kapitalisme pasar, (2) monopoli (imperialisme), dan (3) modal multinasional.
Contoh dari fase late capitalism ini, misalnya : penetrasi dan kolonialisasi alam dan duni bawah sadar, penghancuran sistem agribudaya negara-negara berkembang oleh Revolusi Hijau serta mentasnya industri media dan iklan ke panggung keseharian.
Kritik terhadap Postmodernisme
Dalam buku The Philosophical Discourse of Modernity, Habermas mengemukakan berbagai kritiknya terhadap pemikiran postmodernisme. Ia menyatakan bahwa asal-usul konsep “post-modernity” itu sendiri harus diteliti. Habermas menyatakan ada kelemahan mendasar pemikiran kaum postmodernis tentang (“modernitas” yang dianggap ahistoris. Para pemikir postmodernis seakan-akan menghilankan dimensi dan cakrwila historis yang memunculkan “postmodern” itu. haberms berpendapat bahwa apa yang disebut postmodern itu hanyalah lanjutan dari modernitas yang belum selesai, karena itu pemikir postmoderni tidak dapat menyatakan diri melampaui modernitas itu.
Para pengikut Hegel, termasuk Teori Kritis Mazhab Franfurt, mencoba mengatsi msalah modernitas dengan etap bertolak dri asumsi-asumsi epistemologi modern. Nietszche justru mengambil jalan radikal dengan mencoba modernitas dan rasionalitas modern itu.
Ben Agger dalam The Discourse of Domination : from the Franbkfurt School to the Postmodernism (1992), dalam bab berjudul ”Postmodernism : Ideology or Critical Theory” menyatakan posmodernisme dan feminisme sebagai teori Kritis.
Ada karakteristik yang sama dan menjadi ciri utama Teori Kritis dan postmodern, yaitu bahwa teori sosial harus memiliki peran yang berarti bagi proses transformasi duani dan meningkatkan kondisi kemanusian pada arah yang lebih manusiawi. Hal ini terlihat jelas pada teori poskolonial, feminisme, dan cultural studies atau multikulturalisme.
Fredric Jameson dalam tulisannya “Postmodernisme dan Masyarakat Konsumer” menyatakan bahwa datangnya era postmoderni membawa serta pemusnahan telak distingsi-distingsi tempat bergantungnya Teori Kritis itu.
Bourdieu menantang egaliterianisme budaya dan menunjukkan bagaimana dan hubungan yang mendalam antara kelanjutan ketidaksetaraan ekonomi dan budaya. Menurut Bourdieau, masing-masing lokasi kelas sosial memiliki habitusnya sendiri-sendiri yang membawa anggotanya pada kecenderungan bentuk-bentuk khusus seler dan presiasi khusus objek budaya, sosial dan lainya (Turner, 2002, 17)
Postmodernisme dan Kritik Pembangunan
Pemikiran-pemikiran postmodernisme dapat digunakan untuk menganalisis diskursus terhadap tantangan pembangunan. Kata devbelopment, yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi “pembangunan”, menyiratkan dominasi, penindasan dan pengeksploitasian postmodernisme telah menyumbangkan perkembangan teori kritik terhadap teori pembangunan dan modrnisasi dari perspektif yang sangat berbeda dengan teori-teori kritik sebelumnya.
Sumbangan terbesar postmodernisme terhadap teori dan perubahan sosial adalah membuat teori itu lebih sensitif terhadap relasi kekuasaan dan dominasi menyadarkan kita bagaimana relasi kekuasaan teranyam di setiap aspek kehidupan, dan ini bertentangan dengan umumnya ilmu sosial yang berasumsi ilmu ini netral objektif, dan tak berdosa.
Kalau bagi Marx kekuasaan ad pada kaum pemilik modal, Dahdenrof pada kelompok elite, maka pada Foucault kekuasaan bisa terjadi pada diskursus dan pengetahuan.
Kilas Balik Postmodernisme
Modernisme dan postmodernisme, tidak sekedar sebagai aliran filsafat dan teori sosial yang hanya berorientasi pada konsep, sistem, dan metode saja. Bukan juga sekadar strukturalisme dn postrukturalisme dalam pengertian Strauss dan Foucault.
Para pemikir modernisme kontemporer seperti Karl Popper, Houston Smith, dan Haberms, tidak menganggap penting soal timbulnya gerakan postmodernisme.
Dalam kaitannya dengan keragaman gerakan postmodernisme sendiri, maka post modernisme dapat dibagi dalam dua aliran besar, yakni postmodernisme epistemologis dan postmodernisme empirik.
Pemikir postmodernisme yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah Lyotard, Derrida, Foucault, dan Rorty. Ulrich Beck, dalam bukunya Risk Society : Towards a New Modernity (1998) menjelaskan “risiko” sebagai kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental dan sosial) yang disebabkan oleh proses teknologi dan proses-proses lainnya, seperti proses sosial, politik, komunikasi.
Eksplorasi Beck terhadap peran, status, dan implikasi teknologi menimbulkan perdebatan yang hangt. Pertama, karyanya berhubungan dengan tema-tema pasca-modernitas dan pasca modern. Argumen Beck bahwa masyarakat berisiko yang telah membelah kontrak asurnsi antara masa kini dan masa depan bisa dperbandingkan dengan keraguan pasca-modern atas meta-naratif kemajuan. Kedua, Beck menekankan signifikansi sosiologi lingkungan dan ekologi. Di Jerman, Beck berpengaruh besar pada pemikiran dan politik lingkungan hidup, namun di negara-negara berbahasa Inggris pengaruhnya telah berkurang karena perbedaan bahasa antara publikasi asli dan terjemahan (buku Beck dipublikasikan di Jerman tahun 1986, terjemahan bahasa Inggrisnya keluar tahun 1992)
Risiko juga merupakan tema karya Anthony Giddens. Ia membedakan risiko lingkungan pra-modern (tradisional) dan modern. Giddens menekankan pentingnya lingkungan, perang dan hubungan personal dalam pengalaman modern dan konstruksi risiko.
Relevansi Postmodernisme bagi kehidupan Masa Kini
Jika diamati dengan seksama, banyak hal menarik dan bisa diterima dari apa yang ditawarkan oleh pasca-modernisme. Lepas dari sah atau tidaknya keberadaan pasca-modernisme, kenyataannya dia ada dan keberadaanya harus diakui.
Pasca modernisme ingin menghilangkan pendasaran umum dan lebih melihat cerita-cerita. Tanpa ada kerangka atau dasar pijakan tersbut kita tidak bisa bicara apa-apa. Selain itu, jika kita hanya berpegang pada cerita-cerit lokal atau keyakinan setempat, sangat sulitlah untuk mengambil keputusan dan yang terjadi adalah siapa yang kuat, itulah yang menang.
Hal ini sudah terbukti jika kita menengok proses peradilan hukum di Indonesia yang sering kali orang kecil menjadi korban hanya karena buta hukum dan hukum ditafsirkan sesuai keinginan pihak tertentu yang tentunya mempunyai power.
Lalu apa yang harus dilakukan ? Saya setuju perlu adanya dekonstruksi, tetapi kurang sependapat jika itu dilakukan terhadap semua narasi besar.
Dengan melihat sisi negatif postmodernisme, apakah dengan demikian ia harus dibuang ? tentu sisi positifnya tetap ada. Ia telah mengingatkan pada kita agar kita mewaspadai teori-teori besar jangan sampai merek berkembang menjadi ideologi. Jangan sampai ideologi berlindung di balik teori-teori besar, tetapi ternyata di balik itu ia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi.
Segala sesuatu perlu dikritisi, dipertanyakan apakah ia benar berjuang demi menegaskan martabat dan kebahagiaan manusia yang lebih besar.
Jadi, kita harus memegang kedua-duanya, yang universal dan yang lokal, menghargai cerita besar yang memang memperjuangkan martabat manusia dan juga menghargai cerita-cerita kecil sebagai tanda penghargaan terhadap manusia-manusia individu asal memperkembangkan individu tersebut. Dengn demikian, kehidupan kita menjadi tercerahkan.
Filsafat Strukturalisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran filsafat strukturalisme dalah Michael Foucolt (1926 – 1984). Kesudahan ”manusia” sudah dekat, pendirian Fouclot yang sudah terkenal tentang ”kematian” manusia. Maksud Fouclot bukannya bahwa nanti tidak ada manusia lagi, melainkan bahwa akan hilang konsep ”manusia” sebagai suatu kategori istimewa dalam pemikiran kita. Manusia akan kehilangan tempatnya yang sentral dalam bidang pengetahuan dan dalam kultur seluruhnya.
Para penganut aliran filsafat strukturalisme ini memiliki corak yang beragam, namun demikian mereka memiliki kesamaan, yaitu : penolakan terhadap prioritas kesadaran. Bagi mereka manusia tidak lagi merupakan titik pusat yang otonom, manusia tidak lagi menciptakan sistem melainkan takluk pada sistem.
Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat. Pertama, strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Disini ilmu-ilmu kemanusiaan dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu yang dalam terminologi Dilthey disebut Geistewissenschaften yang dibedakan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam atau Naturwissenschaften. Kedua, strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat. Di sini metodologi struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah, kebudayaan, serta hubungan antara kebudayaan dan alam.
Filsafat Hidup
Pada abad yang ke-19 dan awal abad ke-20 ilmu pengetahuan dan tehnik berkembang dengan cepat, yang mengakibatkan perkembangan industrialisasi yang cepat juga. Hal ini menjadikan segala pemikiran orang diarahkan kepada hal-hal yang bendani saja. Akal manusia dipakai untuk menyelidiki segala sesuatu. Segala sesuatu dianalisa, dibongkar dan ditaf¬sirkan, serta disusun kembali. Juga ilmu yang menyelidiki jiwa manusia (psikologi) berbuat demikian. Baik jagat raya maupun manusia dipandang sebagai mesin, yang terdiri dari banyak bagian, yang masing-masing menempati tempatnya sendiri-sendiri, serta yang bekerja menurut hukum yang telah ditentukan bagi masing-masing bagian itu. Demikianlah juga halnya dengan manusia. Roh bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ker¬janya disebabkan karena akibat proses-proses bendani yang berjalan karena keharusan, seperti umpamanya ginjal harus mengeluarkan air ken¬cing, jantung harus memompa darah, otak harus mengeluarkan buah pikiran, dan lain sebagainya.
Salah satu reaksi terhadap pandangan yang demikian itu adalah filsafat hidup, yang salah seorang penganutnya adalah Henri Bergson (1859-1941), seorang yang berdarah campuran Perancis dan Yahudi, semula ia belajar matematika dan fisika. Tetapi justru karena kecakapannya untuk menganalisa itulah ia segera dihadapkan dengan persoalan-per¬soalan metafisika yang tersembunyi di belakang tiap ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan dia berpaling ke filsafat.
Banyak buah tulisannya, di antaranya: Essai cur les donn&s immMute de la conscience, atau "Karangan mengenai hal-hal yang langsung ditemui dalam kesadaran" (1889), yang diterbitkan dalam -bahasa Inggris di bawah judul Time and Free Will, atau "Waktu dan Kehendak Bebas"; L'Evolu¬tion creatrice, atau "Evolusi yang kreatif" (1907); Les Deux sources de la morale et de la religion, atau "Kedua cumber kesusilaan dan agama" (1932).
Seorang tokoh berdarah campuran Perancis - Yahudi, kelahiran Perancis, Henri Bergson (1859-19.41), melahirkan filsafat hidupnya sebagai reaksi atas pandangan materialisme dan pragmatisme.
Menurut Bergson, hidup adalah suatu tenaga eksplosif yang telah ada sejak awal. dunia, yang berkembang dengau melawan penentangan-penentangan materi. (yaitu sesuatu yang lamban yang menentang gerak, dan dipandang oleh akal sebagai materi atau benda). Manakala gerak, perkembangan hidup itu digambarkan sebagai gerak ke atas, materi adalah gerak ke bawah yang menahan gerak ke atas itu. Dalam perkembangannya sebagai gerak ke atas, hidup mempunyai penahanan gerak ke bawah. Hal ini mengakibatkan hidup terbagi-bagi menjadi arus yang menuju banyak jurusan, yang sebagian ditundukkan oleh materi, sedangkan sebagian lainnya tetap memiliki kecakapannya untuk berbuat secara babas dan dengan terus berjuang keluar dari.genggaman materi.
"Bergson yakin akan adanya evolusi, tetapi tidak seperti yang diajarkan Darwin.. Evolusi yang raeuggambarkan evolusi sebagai perkembangan linear (segaris), yang, satu sesudah yang lain dengan manusia sebagai puncaknya. Menurut Bergson, evolusi adalah suatu perkembangan.yang menciptakan, yang meliputi segala kesadarani. segala hidup, segala kenyataan, yang dalam perkembangannya terus-menerus menciptakan bentuk baru dan menghasilkan' kekayaan baru. Evolusi ini tidak terikat oleh keharusan seperti keharusan yang tersirat dalam hukum sebab-akibat mekanis. Evolusi menurut Bergson. bukan bergerak ke satu arah dibawah dorongan, suatu semangat hidup yang bersifat umum, tetapi evolusi itu berkembang ke arah bermacam-macam. Pada tumbuh-tumbuhan perkembangan itu kandas dalam bentuk-bentuk yang tanpa kesadaran. Pada binatang, perkembangan itu berhenti dalam naluri, sedangkan pada manusia, perkembangan itu berlangsung sampai ke akal.
1. Naluri
Naluri adalah tenaga bawaan kelahiran guna memanfaatkan alat-alat organis tertentu dengan cara tertentu. Kerja naluri terjadi otomatis, tanpa memberi tempat padsaspontanitas atau pembaharuan. Naluri semata-mata diarahkan pada kepentingan kelompok atau rumpunnya. Oleh karena itu, sifat individual ditaklukkan kepada sifat.kelompok.
2. Akal
Manusia mempunyai akal yaitu merupakan kecakapan untuk menciptakan alat kerja bagi dirinya dan secara bebas mengubah-ubah pembuatan alat kerja itu. Akal mencakapkan manusia untuk menyadarkan diri akan kepentiagan individu. Akan letapi, akal tidak dapat dipakai untuk menyelami hakikat yang sebenarnya dan segala kenyataan. Sebab, akal adalah basil perkembangan, yaitu perkembangan dalam rangka proses hidup. Akal itu timbul karena panyesuaaan manusia. Dengan akalnya, manusia dapat menyesuaikan diri dengan dunia sekitarnya. Oleh karena itu, akal memihki fungsi praktis. Itulah sebabnya, akal tidak dapat menyelami hakikat yang sebenarnya dari segala kenyataan. Akal hanya berguna bagi pemikiran ilmu fisika dan mekanika, tetapi akal tidak berguna bagi penyelaman ke dalam hakikat segala sesuatu.
3. Intuisi
Intuisi diperlukan untuk menyelami hakikat segala kenyataan. Intuisi adalah suatu kecakapan yang dapat molepaskan diri dan akal, kecakapan untuk menyimpulkan serta meininjau dengan sadar. Intuisi adalah naluri yang telahn mendapat kesadaran diri, yang telah dicakapkan untuk memikirkan sasarannya serta memperluas sasaran itu menurut kehendak sendiri tanpa batas.
4. Agama
Bergson membagi agama pada dua macam. Pertama, agama statis,. dan kedua, agama dinamis.
1. Agama statis ialah agama yang timbul karena hasil. karya perkembangan. Dalam perkembangan ini, alam telah memberikan kepada manusia kecakapan untuk menciptakan dongeng-dongen yang dapat mengikat manusia yang seorang dengan yang lain dan dapat mengikat manusia dengan hidup. Karena akalnya, manusia, tahu bahwa ia harus mati. Karena akalnya juga, manusia tahu bahwa ada rintangan-rintangan yang tak terduga sehingga menghalangi usahanya untuk mencapai tujuannya. Alam telah membantu manusia untuk memikul kesadaran yang pahit ini dengan khayalan-khayalan. Demikianlah, akhirnya timbul agama sebagai alat bertahan terhadap segala'sesuatu yang dapat menjadikan manusia putus asa.
2. Agama yang dinamis adalah agama yang diberikan oleh intuisi. Dengan perantaraan agama inilah, manusia dapat berhubungan dengan asas yang lebih tinggi yang lebih berkuasa daripada dirinya sendiri. Bentuk agama yang paling tinggi adalah mistik yang secara sempurna terdapat dalam agama Kristen. Itulah filsafat hidup Bergson yang besar sekali pengaruhnya di Perancis. Ketika ia membahas agama Kristen, yang berati sebagai pegangan hidup karena ia agama yang paling tinggi.