Penerimaan diri dan kebermaknaan hidup Penyandang cacat fisik
Jumlah penyandang cacat setiap hari mengalami peningkatan, hal ini terjadi karena penyakit, kecelakaan, ataupun bencana alam (Solider, 2005). Cacat yang dialami individu pada masa pertumbuhan disebut bukan cacat bawaan karena terjadinya bukan sejak lahir, yaitu disebabkan karena penyakit seperti polio, meningitis, kusta, atau TBC kronis, cacat akibat kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja sehingga menyebabkan amputasi atau kelumpuhan sistem otot, dan cacat akibat peperangan (Suhartono dalam Fatihatulzulfa, 2004). Seseorang yang menderita kelaianan pada tulang dan atau sendi anggota gerak dan tubuh, kelumpuhan anggota gerak dan tulang, tidak lengkapnya anggota atas atau bawah sehingga menimbulkan gangguan atau menjadi lambat untuk memlakukan kegiatan sehari-hari secara wajar disebut penyandang cacat tubuh atau fisik (Widjopranoto & Sumarno, 2004).
Cacat yang tidak dapat disembuhkan dapat menjadi penghambat yang menghalangi penyandang cacat fisik melakukan penyesuaian pribadi maupun sosial, karena sebagai manusia yang memiliki perkembangan fisik kurang memadai atau dengan ciri-ciri fisik kurang menarik akan menghadapi banyak masalah yang jarang dapat diatasi dengan baik (Hurlock, 2006). Penyandang cacat fisik mempunyai keterbatasan kemampuan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya, bahkan kecacatan yang dialami penyandang cacat fisik dapat menjadi hambatan yang membatasi kesempatan dan kemampuannya (Pranowo & Sugiyatma, 2004).
Setiap manusia senantiasa menginginkan dirinya menjadi berguna dan berharga, demikian juga dengan penyandang cacat fisik. Memiliki keinginan untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama sebagai dasar melakukan berbagai kegiatan yang terarah pada tujuan hidup yang jelas, seperti bekerja dan berkarya agar kehidupan dirasakan berarti dan berharga serta menimbulkan perasaan bahagia. Apabila hasrat untuk hidup bermakna tidak terpenuhi akan mengakibatkan kekecewaan hidup, menimbulkan berbagai gangguan perasaan yang dapat menghambat pengembangan pribadi (Bastaman, 1995).
Melalui observasi dan wawancara pada penyandang cacat fisik di Klaten, Surakarta dan beberapa anggota lembaga penyandang cacat di DIY dapat disimpulkan bahwa masih terdapat penyandang cacat fisik yang belum memiliki rencana jangka panjang sebagai tujuan yang jelas untuk masa depan. Kemudian merasa tidak puas dengan kehidupan yang dijalani karena merasa terhambat melakukan aktivitas atas kekurangan yang dimiliki, dan walaupun mempunyai aktivitas pekerjaan yang sesuai kemampuannya tetapi tidak merasa bangga dengan yang dimilikinya dikarenakan kurang percaya diri. Ketidakpuasan semakin dirasakan apabila dalam kehidupan sosial. Masyarakat umum memandang penyandang cacat fisik tidak mampu melakukan aktivitas secara mandiri karena kekurangan yang dimiliki, sehingga penyandang cacat fisik merasa kurang memiliki kebebasan menentukan sikapnya. Penyandang cacat fisik memandang bahwa hidup dengan keterbatasan fisik yang dimiliki merupakan hal yang kurang pantas dialaminya, karena menganggap bahwa menjalani hidup akan lebih baik apabila tidak memiliki kecacatan fisik. Hal tersebut yang kadang-kadang dapat menjadi pemicu munculnya pikiran untuk menyelesaikan permasalahan hidup dengan mengakhiri hidupnya sendiri.
Menurut Frankl (Schultz, 1991), seseorang yang memiliki kebermaknaan hidup akan bertanggungjawab mengarahkan hidupnya, memiliki sikap optimis, tetap eksis, dan mampu mengenali potensi serta kekurangan yang dimiliki. Maka penyandang cacat yang memiliki kebermaknaan hidup akan mampu menyelesaikan permasalahan hidupnya secara bertanggungjawab dengan tetap eksis dan optimis serta mempunyai kesempatan untuk mewujudkan keinginan melalui kegiatan-kegiatan yang memberikan kepuasan hidup dan bebas berbuat kreativitas sesuai dengan minat dan kemampuan individual.
Bastaman (1996) menyatakan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia untuk meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningfull life). Crumbaugh dan Maholick (Koeswara, 1987) mengatakan bahwa kebermaknaan hidup adalah seberapa tinggi individu mengalami hidupnya bermaksud atau bermakna. Makna hidup yang dimaksud merupakan segala sesuatu yang dipandang penting dan berharga, memberikan nilai khusus dan dijadikan tujuan hidup seseorang (Bastaman, 1996). Frankl (2003) mengungkapkan kebermaknaan hidup sebagai keadaan yang menunjukkan sejauhmana seseorang telah mengalami dan menghayati kepentingan keberadaan hidupnya menurut sudut pandang dirinya sendiri.
Menurut Frankl (Koeswara, 1987), kebermaknaan hidup dipengaruhi oleh kehidupan keagamaan dan filsafat sekuler, aktivitas pekerjaan, menyukai dan menghayati kehidupan sebagai wujud keindahan, cinta kepada sesama, dan pengalaman. Menurut Bastaman (1996), faktor yang mempengaruhi kebermaknan hidup adalah kualitas insani, encounter, dan pemenuhan nilai-nilai kehidupan dalam mengatasi, menerima, dan menemukan makna dari penderitaan. Bastaman (1996) menjelaskan keberhasilan individu mengembangkan penghayatan hidup bermakna dilakukan dengan menyadari dan mengaktuialisasikan potensi-potensi kualitas insani melalui berbagai kegiatan yang terarah pada pemenuhan makna hidup. Bentuk aktualisasi dari berbagai potensi kualitas insani yang langsung berkaitan dengan masalah penemuan makna hidup merupakan wujud penerimaan diri. Karena dengan memiliki penerimaan diri akan dapat mengembangkan diri ke arah gambaran yang sesuai dengan keinginan dan mampu melakukan komitmen dengan hal-hal seperti seperti nilai-nilai yang dianggap penting dan bermakna untuk dipenuhi, sebab setiap individu memiliki tanggung jawab mengembangkan dirinya dan menemukan makna hidupnya.
Penyandang cacat fisik yang menyadari mengaktualisasikan potensi-potensi kualitas insani dalam dirinya akan memiliki kesadaran untuk menerima dan memahami dirinya sehingga penyandang cacat fisik dapat mengenali diri sendiri dan akan mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan dirinya (Sartain dalam Rohmah, 2004). Coleridge (1997) mengatakan penerimaan diri bukanlah sikap pasrah, tetapi menerima identitas diri secara positif, pandangan tentang diri sendiri dan harga diri tidak menurun sama sekali, bahkan dapat meningkat. Hurlock (2006) mengemukakan bahwa penerimaan diri merupakan kemampuan menerima segala hal yang ada pada diri sendiri baik kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki, sehingga apabila terjadi peristiwa yang kurang menyenangkan maka individu tersebut akan mampu berpikir logis tentang baik buruknya masalah yang terjadi tanpa menimbulkan perasaan, permusuhan, perasaan rendah diri, malu, dan rasa tidak aman. Sari (2002) menyatakan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri akan mengetahui segala kelebihan dan kekurangannya, dan mampu mengelolanya.
Penerimaan diri terbentuk karena faktor bebas dari hambatan lingkungan, adanya kondisi emosi yang menyenangkan, identifikasi dengan individu yang menyesuaikan dirinya baik, adanya pemahaman diri, harapan-harapan realistik, sikap lingkungan ssosial yang menyenangkan, frekuensi keberhasilan, dan perspektif diri (Hurlock dalam Wrastari dan Handadari, 2003).
Sari (2002) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penerimaan diri adalah pendidikan, yaitu individu yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi pula dalam memandang dan memahami keadaan dirinya, dan faktor dukungan sosial, yaitu individu yang mendapat dukungan sosial akan mendapat perlakuan yang baik dan menyenangkan, sehingga akan menimbulkan perasaan, memiliki kepercayaan serta rasa aman di dalam diri jika seseorang dapat diterima dalam lingkungannya.
Berdasarkan uraian di atas, hipotesis ini adalah ada korelasi positif antara penerimaan diri dengan kebermaknaan hidup pada penyandang cacat fisik. Artinya, semakin positif penerimaan diri pada penyandang cacat fisik maka semakin tinggi kebermaknaan hidupnya, sebaliknya semakin negatif penerimaan diri maka semakin rendah kebermaknaan hidup pada penyandang cacat fisik.