Sejarah Towe Hitam

Sejarah Towe Hitam
Sebelum masyarakat dimukimkan pada suatu tempat seperti Towe sekarang mereka tinggal menyebar di dusun-dusunnya yang berbatasan dengan rumpun sagunya. Biasanya terdiri dari 3 (tiga) sampai 10  Rumah Tangga tinggal di suatu dusun. Pola tempat tinggal menyebar di suatu daerah yang luas ini sebenarnya sebagai suatu strategi adaptasi terhadap lingkungan ekosistimnya. Mereka dengan mudah dapat memperoleh makanan tanpa harus berpergian jauh dan ada rasa aman karena 3 (tiga) sampai 10 rumah tangga  ini merupakan suatu kelompok kekerabatan yang di sebut berdasarkan prinsip patrilinial, sehingga rasa solidaritas di antara anggota kelompok kerabat tersebut sangat kuat. Persoalan-persoalan yang timbul di lingkungan tersebut dapat mereka pecahkan bersama-sama.

Walaupun demikian dusun-dusun ini mempunyai kampung besar yang mereka sebut kampung Tua Towe.  Setiap keluarga yang tinggal di dusun-dusun juga mempuyai rumah di kampung Tua Towe.  Masyarakat lebih banyak menghabiskan waktunya di dusun-dusun dari pada kampung Tua Towe. Umumnya mereka hanya  beberapa hari di kampung tua dan selanjutnya di  dusun-dusunnya bisa berminggu-minggu atau bahkan sampai berbulan-bulan. Mereka ke kampung Tua Towe sebenarnya hanya untuk bertemu dengan kerabat-kerabat yang dari dusun lain karena di kampung Tua Towe mereka semua sering berkumpul.

Sampai sekarang orang Towe masih mempunyai dusun-dusun tersebut karena di situlah setiap clan  mempunyai tempat mencari makan, walaupun mereka sudah di beri pemukiman di Towe Hitam.

Aturan mengenai penguasaan sumber daya alam dalam wilayah-wilayah clan sangat kuat, sehingga  membentuk hak-hak dan kewajiban di setiap wilayah penguasaan sumber daya alam setiap clan. Clan Mus  tidak boleh mengambil sagu di dusun clan Yau. Kalau aturan ini di langgar maka akan terjadi pertengkaran-pertengkaran dan tuntutan-tuntutan di antara 2 (dua) clan yang bersengketa.

Dampak dari aturan penguasaan sumber daya alam ini, membuat beberapa clan tertentu harus berpergian jauh selama 2 sampai 4 hari  ke dusun-dusun sagunya dari Towe Hitam untuk meramu sagu. Akibatnya mereka sering 2 (Dua) sampai 3 (tiga ) minggu atau bahkan sampai 2 (dua) bulan meninggalkan Towe Hitam.

Aktivitas seperti ini membawa dampak negatif yang sangat besar terhadap Program YKB pada masyarakat ini, karena untuk menggerakkan partisapasi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan program ini menjadi sulit. Diprediksikan tingkat keberhasilan program kegiatan “Pencegahan Kepunahan Masyarakat Towe dengan Pemberian Makanan Tambahan dan Pengobatan” akan rendah karena partisipasi masyarakat rendah akibat mobilitas ke dusun sagu lebih tinggi daripada berada di dalam kampung.

Dusun-dusun clan yang dapat disebut adalah :
1.      Dusun Linan Labro di miliki clan Mus masih terdapat 3 (tiga) keluarga yang tinggal menetap disitu. Waktu yang ditempuh dari Towe Hitam berjalan kaki selama 11 ( sebelas ) jam.
2.  Dusun Wopma klanan, di miliki clan Yau. Sudah tidak ada penduduk yang tinggal di sini semua clan Yau sudah pindah ke Towe Hitam. Waktu yang di tempuh dari Towe Hitam berjalan kaki, selama 2  Hari (18 jam)
3.  Kampung tua Towe masih ada 10 keluarga yang tinggal dikampung ini, ke tempat ini dari Towe  membutuhkan waktu selama 2 (dua) hari (21 jam).
 
Tahun 1986-1987 ketika gejolak penyanderaan pejabat pemerintah oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) terjadi, banyak masyarakat yang lari meninggalkan kampungnya menyeberang ke negara tetangga PNG karena takut terhadap tentara dan juga OPM.

Tahun 1989 ada seorang penginjil dari missi katolik bernama Tobias Dendegau berusaha mengumpulkan mereka yang tersebar di dusun-dusun kesuatu tempat (reseltement) agar pelayanan gereja dan pemerintahan pada mereka menjadi mudah.

Menurut informasi kepala suku  bahwa upaya reseltement (pemukiman kembali) ini datang dari kemauaan masyarakat Towe. Kemauan ini mereka sampaikan pada camat, kemudian camat mengirimkan 2 (dua) orang stafnya untuk melihat kelayakan menjadi desa sendiri. Kepala desa tidak setuju kampung tua Towe Hitam menjadi desa sendiri.

Karena lewat camat tidak bisa, mereka memberi tahu Pater Yanuarius Koot, OFM untuk mengusahakan buat kampung sendiri agar anak-anak bisa sekolah. Upaya pertama dikirim 2 (dua) orang guru SD untuk membuka sekolah di kampung tua Towe (1989).

Tahun 1990 Tobias Dedenggau dengan dipandu kepala suku mencari tempat untuk pemukiman dan lapangan terbang. Dipilihlah tempat perburuan marga Mbalu. Clan ini sekarang sudah punah. Kepala suku menghubungi Pater Yanuarius dan Pater mengirim  Maks Debem untuk melihat kelayakan membuka lapangan terbang, tempat ini dinyatakan layak karena daerahnya datar dan di pinggir sungai.

Januari 1990 Tobias dan Martin Kuayo dari keuskupan Jayapura bersama masyarakat Towe membuka hutan untuk dijadikan pemukiman dan lapangan terbang. Keuskupan membantu 4 (empat) karung beras dan pakaian.  Selama seminggu bekerja, kemudian dihentikan karena terjadi kecelakaan patah tulang tangan seorang anak.

Lapangan terbang dibangun selama 4 (empat) tahun sampai selesai pada tahun 1994.
Tahun 1995 keuskupan membantu perumahan sebanyak 20 (dua puluh) buah, kemudian ditambah 48 (empat puluh delapan) buah rumah bantuan  dari Bandes.

Identitas Masyarakat Towe
Sebelum menguraikan sejarah orang Towe menempati tempat sekarang, perlu diketahui identitas dan   dimana orang Towe tinggal, agar memudahkan kita mengenal masyarakat Towe Hitam.

Di tinjau dari aspek Bahasa Orang Towe menggunakan Dua Bahasa yaitu Bahasa Yetfa yang merupakan    Bahasa suku bangsa tetangga meraka di Bias (kurang lebih empat jam) jalan kaki ke arah selatan berbatasan dengan kabupaten Jayawijaya. Bahasa ke dua adalah Bahasa Towei. Kedua bahasa ini mereka pakai bersama-sama karena penduduk Towe sendiri berasal dari beberapa kampung  yang menggunakan  2  (dua) bahasa tersebut.

Berdasarkan tinjauan bahasa ini maka kita dapat menyebut masyarakat ini dengan sebutan suku bangsa    Yetfa/Towe. Namun di kalangan pemerintahan, gereja dan masyarakat sekitarnya, mereka biasa di panggil dengan nama orang Towe.

Dalam tulisan ini “Towe” yang dipakai untuk menyebut mereka, karena nama ini sudah populer di   kalangan masyarakat sekitarnya, pemerintahan dan gereja.

Namun jika orientasinya  dilihat dari rasa solidaritas penduduknya sendiri, maka mereka tidak  membedakan sebagai orang Yetfa dan orang Towe karena tiap-tiap orang mempunyai keterikatan pada struktur budaya yang mereka bangun sejak dahulu seperti prinsip kekerabatan, pola-pola organisasi sosial yang sama, dan religiusitas yang sama pula sehingga membentuk rasa integritas budaya yaitu kebudayaan masyarakat Towe.

Kalau di tinjau dari kesatuan masyarakat yang di batasi oleh garis batas suatu daerah administratif. Pemerintahan, maka Towe Hitam termasuk dalam wilayah kecamatan Web, Kabupaten Jayapura. Towe Hitam berada di sebelah selatan dari pusat Kecamatan Web. Jarak tempuh dari pusat  kecamatan adalah empat hari perjalanan kaki. Towe terletak di perbatasan Jayawijaya dan kabupaten Jayapura.

Rasa identitas ini, jika ditinjau dari kesatuan masyarakat yang batasnya di tentukan oleh suatu wilayah geografi yang merupakan kesatuan  daerah fisiknya, maka suku bangsa Towe Hitam meliputi daerah gunung Temar di bagian utara dan Lenan di sebelah selatan dan antara gunung Menena/Ji di barat daya dan Saigiri di barat laut  (T.R Dendegau, 1994;5).

Mencapai Towe
Towe dapat ditempuh melalui transport darat dan udara serta jalan kaki. Lewat darat, kita harus naik bus  selama 6 (enam jam) dari Abepura sampai di daerah Senggi (tepatnya di jembatan Web Jalan Trans Wamena – Jayapura)

Sampai di sini, bus tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Ubrub karena jembatan rusak. Kemudian kita harus jalan kaki menyusuri hutan belantara dan bukit-bukit selama 3  hari, baru tiba di Towe Hitam.

Jika lewat udara, pesawat yang bisa mendarat di landasan Towe hanya jenis pesawat Pilatus Porter dan  Cesna karena panjang landasan pesawat di Towe hanya 300  meter dan kondisi lapangan  tanah berbatu yang ditumbuhi rumput-rumput pendek (lihat gambar 2). Biaya yang diperlukan  dengan pesawat udara untuk mencapai daerah ini sebesar  Rp. 7.000.000 (tujuh juta rupiah) kalau mencarter jenis pesawat Pilatus Porter dengan beban 800 (delapan ratus) kg termasuk 8 (delapan) penumpang. Sedangkan Kalau mencarter  jenis pesawat Cesna dengan beban angkat 400 (empat ratus) kilogram termasuk 4 (empat) penumpang sebesar Rp. 2.000.000. Perusahaan penerbangan yang melayani penerbangan di daerah pedalaman Irian Jaya adalah MAF (Mission Aviation Fellowship),  Yajasi (Yayasan Jasa Aviasi Indonesia), AMA (Assosiated Mission Aviation), RBMU, AAI.  Waktu tempuh dari bandara  Sentani ke Towe selama 55 (lima puluh lima) menit dengan Cesna dan Pilatus Porter selama 45 (empat puluh lima)  menit.

Marga Yang Hampir Punah

Daerah  Towe Hitam berawa, berbukit, dan gunung-gunung yang merupakan jajaran dari pegunungan tengah. Puncak yang tertinggi adalah gunung Manena dan Temar masing-masing 200 (dua ratus) meter dan 1000 (seribu) meter diatas permukaan laut. Sedangkan Towe Hitam berada di atas 150 (seratus lima puluh) meter dari permukaan laut. Daerah rawa-rawa di tumbuhi hutan sagu yang lebat dan luas. Dengan demikian Towe Hitam sangat potensial untuk pengembangan pertanian.

Karakter daerah terdiri dari hutan primer dengan berbagai jenis pohon seperti: damar, venus, mlinjo (genemo). Hewan yang hidup di daerah ini seperti babi hutan, kasuari, kangguru dan berbagai jenis burung seperti kakak tua, jambul kuning, kakak tua raja, cenderawasih, nuri, dan berbagai jenis burung lainnya.

Sungai-sungai merupakan sumber emas bagi masyarakat dan sering di dulang secara tradisional dan di jual di kota kecamatan atau Jayapura. Tapi sering juga pengusaha datang ke sini membeli. Selain sebagai sumber emas, juga merupakan sumber protein, terutapa ikan-ikan yang hidup di sungai seperti  ikan sembilang, dan kura-kura.

Lingkungan alam Towe merupakan kaya dengan berbagai sumber hayati seperti terdapat di daerah hutan primer dengan berbagai jenis pohon, memilliki banyak aliran sungai, mewarisi berbagai jenis hewan air dan darat, dan hutan sagu yang sangat luas.

Tanah yang subur terdapat di daerah rendah dan datar serta sepanjang aliran sungai karena pembusukan daun dan humus yang di bawa air hujan dari daerah  ketinggian ke darah dataran rendah.

Jumlah penduduk Towe Hitam pada tahun 2000 sebanyak 514 orang yang terdiri dari laki-laki 254 orang dan perempuan 260 orang. Jumlah ini tersebar di beberapa dusun yang jarak antara dusun yang satu dengan dusun yang lain berjauhan sedangkan di kampung besar Towe Hitam jumlah penduduknya 133 orang dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak  31 KK.

 

Tabel 1. Distribusi penduduk Towe Hitam Berdasrkan Marga

No
Nama Marga
Laki-Laki
Perempuan
Total
1
Anto
17
10
27
2
Kenai
18
  8
26
3
Waki
  9
  9
18
4
Keyao
17
14
31
5
Yao
23
58
81
6
 Pul
 -
  1
  1
7
Kului
22
16
38
8
Komand
 -
  1
  1
9
Yebreb
  3
  -
  3
10
Mus
  7
  9
16
11
Klaini
  7
14
21
12
Doel
14
39
53
13
Wemi
  -
  1
  1
14
Kri
23
19
42
15
Lemel
20
11
31
16
Lela
26
18
44
17
Menggete
  9
  4
13
18
 Songge
  2
  3
  5
19
Mente
  1
  -
  1
20
Pofai
  8
  3
11
21
Kombe
  1
  1
  2
22
Wiku
23
17
40
23
Wuva
  -
  1
  1
24
Fengla
  4
  3
  7

Jumlah
254
260
514
                        Sumber: Laporan Petugas Lapangan YKB Papua, 2001

Melihat tabel 1 (satu) diatas terdapat marga Pul, Komond, Yebgeb, Wemi, Songge, Mente, Kombe, dan Wuva yang populasinya sudah hampir punah karena hanya berjumlah satu orang sampi tiga orang. Diduga menyusutnya populasi Clan tertentu selain karena rentan terhadap penyakit karena kekurangan gizi, juga karena kepercayaan terhadap Whichcraft3  yaitu suatu kepercayaan yang menghubungkan suatu peristiwa yang menimpa seseorang karena sakit keras dengan kekuatan gaib yang dimiliki oleh orang lain untuk mencelakakan. Namun anehnya orang yang dituduh memiliki Whichcraft (Suanggi) adalah  perempuan. Para perempuan yang dituduh Whichcraft akan diadili dan kemudian dihukum dengan membunuh mereka dihutan. Akibatnya di Towe kita banyak menemukan anak-anak piatu yang dipelihara oleh saudara laki-laki ibunya atau saudara laki-laki ayahnya yang sudah berkeluarga.

Pengurangan populasi penduduk akibat Kepercayaan pada Whichcraftjuga dipengaruhi oleh pola melahirkan yang beresiko sangat tinggi pada kematian ibu dan anak. Pola melahirkan yang berlaku pada umumnya dalam masyarakat Towe bahwa seorang ibu hamil ketika saatnya melahirkan, ia harus pergi sendirian ke dalam hutan mencari tempat untuk melahirkan. Disana ia sendiri mengumpulkan daun-daun muda sebagai tempat melahirkan yang di alas di atas tanah dibawah sebuah pohon kayu besar. Lalu ia sambil jongkok dan memegang batang pohon itu dan dengan mengendan berusaha supaya bayinya bisa lahir ke bumi. Setelah bayinya lahir, ia (Ibu) dengan susah payah harus membersihkan bayinya dan memotong tali pusar bayinya dengan memakai giginya. Baru ia bisa membawa bayinya ke kampung atau ke rumahnya.

Pola melahirkan seperti ini dipraktekan oleh semua perempuan hamil yang ada di kampung Towe. Ada suatu kepercayaan pada darah perempuan yang dianggap sangat kotor dan bisa membuat kekuatan laki-laki melemah sehingga tidak bisa mencari makan, oleh karena itu perempuan pada saat melahirkan harus diasingkan dari kampung karena darahnya akibat melahirkan bisa membawa sial pada laki-laki. Ketika sang ibu sudah melahirkan dan pulang ke kampung ia dilarang menyentuh barang-barang memasak dan tidak boleh memasak karena ia masih dianggap kotor. Setelah infeksi akibat melahirkan mengering baru ia bisa diijinkan memasak untuk keluarganya.

Pola melahirkan seperti ini menyebabkan angka kematian ibu sangat tinggi, padahal mereka adalah sumber penerus keturunan dan ini yang menyebabkan kenapa data penduduk menunjukan jumlah marga tertentu semakin menurun dan cenderung hampir punah.

Subscribe to receive free email updates: