Public Relation, Tidak Semudah Membalikkan Tangan

Public Relation, Tidak Semudah Membalikkan Tangan
Realita dewasa ini menungungkapkan bahwa relasi pemerintah baik di pusat maupun daerah dengan publik pers, nonpers seperti masyarakat intelektual/ akademisi dan mahasiswa perguruan tinggi dan LSM seringkali hambar dan “satu arah” atau masih tipisnya “pertanggungjawaban sosial “ (stakeholders responsiveness). Strategi organisasi membutuhkan dukungan PR (Public Relations – selanjutnya tidak dicetak miring- Red.) yang profesional, etis dan bertanggung jawab. 

Demikian pula relasi DPR, Penegak Hukum dan pebisnis dengan publiknya. Akibatnya publik ini merasa segan dan tidak sreg untuk bertanya “apa, mengapa, bagaimana secara kritis/analitik”. Tampak sekali belum lancarnya keharmonisan dengan saling memberi komentar, kritik dan berdialog. Mem-bangun dialog demi proses strategi organisasi yang jelas belum menjadi kebiasaan. De-mi-kian pula mendiskusikan laporan keuangan tahunan yang sudah diaudit belum menjadi kebiasaan untuk mencari masukan perbaik-an masa mendatangnya.

Interaksi dalam Public Relations yang selama ini terjadi, sifatnya insidental dan reaktif serta terlalu formal dan terstruktur. Keluwesan dan tercapainya proses komunikasi dwi arah tidak ada dan kaku dengan masing pasing reaktif kurang responsif dwi arah. Memang selama ini kritik dianggap perlawanan yang harus ditekan atau tidak dianggap layak untuk diajak komunikasi dwi-arah/dialog yang segar, penuh senyum meskipun serius. 

Praktek “Public Relations” (pakai “s”) seringkali menimbulkan salah pemahaman (mi-sunderstanding). Karena itu kita semua perlu menyimak definisi yang tepat dan sudah diakui secara internasional dari Institute of Public Relations, Inggeris :“Praktek Public Relations merupakan upaya yang sengaja, direncanakan dan berkesinambungan untuk membangun dan memelihara saling pengertian antara sebuah organisasi dengan aneka publiknya” (Public relations is the deliberate, planned and sustained effort to establish and maintain mutual understanding between an organization and its public). 

Tiga kata “sengaja, direncanakan dan berkesinambungan” adalah penting sekali. Dengan mengambil definisi yang sudah banyak diterima secara internasional, maka kita makin meyakini bahwa definisi ini bukanlah tabu bagi setiap organisasi publik pemerintahan termasuk organisasi bisnis menengah dan besar kita. Jadi kalau dikatakan “sengaja” berarti tidak amburadul, tetapi harus memiliki suatu maksud yang tepat. Bukan reaktif sifatnya, tetapi upaya yang direncanakan dan berkesinambungan.


Yang pasti, maksud (purpose) upaya public relations adalah membangun saling pengertian dan komunikasi dwi arah antara organisasi dan publiknya. Yang juga pasti adalah bahwa upaya ini tidak melulu gebyar-gebyar yang bertolak belakang dengan realita citra organisasi. Melakukan penekanan dan intimidasi pada publiknya bertentangan dengan moralita/etika profesi Public Relations. 

Bisa saja karena kompetensi dan kredibilitas pelakunya atau yang dikenal sebagai PRO (Public Relations Officer) yang masih di bawah standar karena hanya satu dua yang memiliki kompetensi profesional. PRO profesional berani keluar dari sarangnya dan bergaul akrab tanpa kekakuan jarak

Dengan kompetensi profesional itu “Public Relations” itu samasekali tidak boleh bersikap/ berperilaku : tidak etis, tidak benar, hanya bisa ber-publisitas murahan, berat sebelah, menumbuhkan kekecewaan karena janji dan memberi ekspektasi yang tidak realistik”

Selama ini saya melihat bahwa pemahaman Public Relations (yang di Indone-siakan sebagai “Hubungan Masyarakat (Humas) secara kurang tepat) dan kompetensi yang dibutuhkan seorang PRO masih di bawah profesional. Pelaku Public Relations kita yang bersikap reaktif/bohong dan menutup tutupi (cover up) pasti tidak berhasil dengan fungsinya dan menjadi bahan tertawaan publiknya (meskipun tidak secara terbuka). 

Seorang pimpinan yang menunjuk seorang atau beberapa PRO yang hanya bisanya komunikasi satu arah di mana publik harus manggut-manggut takut dan dibentak-bentak, berarti pemimpin itu gagal dalam memahami fungsi Public Relations. Kalau gagal, pemimpin harus mengulangi kembali pencarian talenta (search for talents) yang benar benar menjiwai fungsi itu.

Secara profesional lima kompetensi dan kredibilitas merupakan tuntutan :
Pertama, seni berkomunikasi. Ini pasti berarti kemampuan menjadi pendengar dan ketrampilan menyampaikan pendapat/pandangannya secara tertulis dan lisan dialogis.Tidaklah mudah menjadi pendengar yang baik, karena orang biasanya lebih suka berbicara, apalagi kalau biasanya menjadi pimpinan yang otoriter. Egoisme pribadi biasanya mencuat menjadi senang sekali mendengarkan suaranya sendiri senang sekali dipuji dan mengabaikan pendengar yang sudah berkorban waktu untuk itu. Pemanfaatan sarana media komunikasi modern (pers cetak dan elektronik) secara profesional adalah sangat penting dan bukanlah tuntutan yang dicari-cari. 

Kedua, kemampuan mengorganisir. Kemampuan ini tidak hanya menjadwalkan pertemuan, memprogram acara pertemuan, tetapi justru mengantisipasi komunikasi dwi arah yang subur, sekalipun dengan kritik yang tajam tetapi bersahabat. Kecermatan untuk langkah-langkah yang mendetail karena mewakili organisasi. Keteraturan mengorganisasikan pertemuan, kunjungan, dialog, sponsorship tanpa terlalu menonjolkan diri dsb. haruslah termasuk kemampuan itu. 

Ketiga, kemampuan bergaul dengan orang/publik . Di sini ketrampilan tukar pikiran dialogis dengan berbagai publik dari segala lapisan. Dasarnya menghargai publik dan tidak menjauhinya atau membentak-bentaki publik. Tidak selalu seorang PRO itu benar apalagi kalau ingin menutupi (cover up) suatu kejadian yang fatal. Taruhannya adalah citra organisasi yang diwakilinya. Di sini berlaku “propaganda ends, when friendly, fair and firm dialog starts”. 

Ke-empat, integritas pribadi. Sekalipun harus mengungkapkan citra organisasinya betapa pun kurang sukses atau penuh kelemahan, harus tetap memiliki integritas. Integri-tas itu mencuat karena dapat diandalkan (reliability), dan tidak memihak dalam menyajikan informasi (impartiality of his information), membangun respek karena profesionalismenya. Boleh saja tadinya profesional di bidang lain, tetapi kalau tidak profesional dalam Public Relations, sebaiknya “menggugat diri” apakah fungsi itu tepat baginya.

Kelima, memiliki kualifikasi seorang manusia yang kreatif, mampu memecahkan masalah, dan imajinasi untuk membuat komunikasi dwi arah dengan berbagai publik itu konstruktif dan menyenangkan publik yang kritis analitis.

Menjadi PRO profesional itu bukan dadakan hanya dengan hasil mengikuti kursus pendek 1-2 bulan dengan hanya mengejar ijazah yang dipajang di tembok kantornya. Pengetahuan dasar harus diberi muatan secara kontinu. Seorang PRO harus berani menelan pil yang pahit, tidak enak karena menerima kritik yang sulit dibantah kebenarannya. Ketrampilan dasar menyusun press release, menjamu publik, mengadakan pertemuan dengan publik yang dipilih barulah suatu langkah pertama ketrampilan teoretik dan banyak abstraknya. 

Subscribe to receive free email updates: