Dorongan Keseimbangan Hidup

Dorongan Keseimbangan Hidup
Saat ini semakin terlihat adanya fenomena dari golongan elit yang mencoba menemukan perlindungan ketegangan dengan mencari-cari kebutuhan ruhani, setelah sekian lama mengalami ‘mentok’ karena pemenuhan duniawinya tercapai.

Fenomena yang sebetulnya sangat kuat terjadi di dunia Barat, hampir terlihat semua golongan menyibukkan diri dengan urusan materi dan duniawiyah. Di Indonesia sendiri, fenomena itu  melanda di kalangan orang-orang yang memiliki kesempatan untuk menumpuk harta dan melakukan korupsi. Ketika usahanya untuk mencapai dan menumpuk kekayaan sudah tercapai, mereka menjadi kering ruhani dan mudah tergelincir ke dalam dunia ‘haus spiritual’.

Secara rasional, siapa pun yang mengalami fenomena itu kemudian menjadikannya alasan untuk mencari-cari pelarian lain gun pemenuhan ruhani. Disadari atau tidak, dari orang-orang yang sudah mentok dengan pemenuhan duniawinya melakukan penyesalan diri, dan pertaubatan duniawi dengan melakukan kegiatan amal, dermawan, mendalami agama, tasawuf, menyendiri dan bentuk-bentuk lain pencarian spiritualisme.

Tetapi fenomena lain, juga menampakan diri sebagai dari bagian para elite untuk menutupi kecurangannya selama ini setelah menjabat  atau menduduki jabatan tertentu dengan melakukan korupsi, manipulasi dan penumpukan harta secara berlebihan. Untuk menutupi kelemahan itu, mereka melakukan kegiatan beramal , murah harta, dan menolong orang lain secara terbuka.

Motivasi dan latar belakang yang berbeda-beda dari seseorang yang melakukan pertaubatan dengan mencari pendalamaan agama, spiritualisme adalah sebagai bukti bahwa manusia dalam hidupnya memiliki dua sisi kebutuhan, yakni dimensi spiritual dan dimensi duniawiyah. Sikap mentalitas yang benar adalah keduanya harus dapat berjalan secara seimbang, sebab jika suatu ketika kebutuhan duniawiyah sangat menonol tetapi pincang, pasti suatu ketika dia akan kembali kepada fitrahnya untuk mencari ketenangan ruhani.

Drs. H. Abu Sufyan, M. Ag seorang dosen dari Sidoarjo Jawa Timur, berpendapat, bagaimanapun hidup seseorang yang berlimpah harta, dan banyak duit tetapi tanpa diikuti kekuatan spiritual dalam hidupnya akan  diburu kecemasan dan ketakutan.

Saat sekarang ini ada sebuah lembaga pengkajian Islam yang melakukan kegiatan secara rutin untuk meneliti apakah implementasi sikap kesalehan pada amalan sosial masyarakat memiliki basis motivasi yang rasional atau tidak. “Terutama dari kalangan elitisme,” katanya.
Kebanyakan dari elitisme sebetulnya sejak kecil mereka berangkat mengarungi kehidupan sudah terbekali dengan basis santri atau pengajaran sejak kecil di masjid-masjid. Masalahnya apakah sejak mereka mencapai cita-cita kemudian mentok lalu masih membatasi identitas diri sebagai seorang yang saleh? Baik kesalehan untuk kebutuhan sendiri dan orang lain, kita memerlukan semacam pengkajan kembali.

Kebenaran dari pengkajian itu, akan sangat bermanfaat bagi pengajaran pendidikan agama selama ini, apakah akan mempengaruhi mereka terhadap implentasinya terhadap kesalehan sosial atau tidak. Pengajaran agama sendiri sudah mengalami perbedaan antara yang diberikan secara formal dalam sebuah lembaga atau hanya pengajaran agama secara sporadis yang dilakukan pada tingkat RT RW atau kegiatan kampung semata-mata.

Pengajian-pengajian dalam rangka pembinaan iman dan taqwa baik selama ramadhan atau tidak sedang mengalami pasang surut kualitasnya. Tetapi dalam satu sisi justru terlihat adanya peningkatan kualitas motivasi untuk mendalami kualitas ruhani dengan kembali kepada fitrahnya sebagai manusia yang ditakdirkan untuk menyembah kepada Allah. Baik dengan melakukan pertaubatan atau pendalaman spiritualisme.

Tetapi kita juga tidak habis pikir dengan pola pemikiran yang tidak rasional, dengan melakukan tindakan tercela kembali setelah menyelesaikan ibadah-ibadah selama bulan ramadhan. “Sikap seperti inilah yang tidak memiliki ‘nur’ dari Allah.” Mereka hanya menginginkan untuk hidup bermegah-megah, bermewah-mewah dan melupakan kehidupan ukhrowiyah, meninggalkan iman dan taqwa yang sesungguhnya. Maka mereka itulah yang akan menemukan neraka jahanam di kelak kemudian hari. Sebab mereka akan ditanya tentang kenikmatan duniawi yang mereka alami.

Pengajian dengan sistem pendekatan dari keluarga setahap demi setahap adalah metode yang perlu dikembagkan untuk mencegah mereka lupa diri kelak di kemudian hari. Pendidikan semacam itu dapat menjangkau kebutuhan jauh dan tidak sekedar memenuhi kebutuhan sesaat.

Seseorang dapat saja dikatakan saleh secara individu,  menurut pengamatan Porf Dr H Usman Pelly, MA seorang antropolog Unimed Medan, jika kesalehannya itu tidak berimbas kepada kesalehan sosial tentu memiliki bobot persoalan yang berbeda. Yang terlihat seperti yang terjadi sekarang ini, selain itu bagian dari dinamika masyarakat yang saling tarik menarik. Magnit yang paling kuat bahwa kesalehan individual di negeri ini hanya untuk menutupi korupsi, kolusinya masa  lalu. Pejabat, legislative maupun selebritis kebanyakan saat ini membantu hanya untuk menutupi aib yang sudah sangat parah dilakukan pada masa lalu. “Tapi jangan lupa, itu pun sudah membahagiakan kesadaran secara individu, kendati tidak seluruhnya dapat dibenarkan.” kata Usman.

Usman Pelly setuju, jika dikatakan kecenderungan pengalaman beragama bagi kaum elite menengah cukup terasa. Buktinya banyak mall dan hotel yang menyuguhkan manajerial ibadah. Pengajian kaum selibritis dan kelompok tertentu di negeri ini mulai terlihat. Ada nuansa religius yang cukup trend saat ini. Banyatk birokrat, legislatif, dan kaum elite lainn yang mencoba melakukan perenungan. “Ini bagian yang cukup menggemberikan satu sisi, tapi di sisi lain bagian dari pelarian”.

Mengapa pelarian? Menurut Usman, terlalu banyak orang melakukan tindakan curang selama ini. Banyak pejabat yang kaya tetapi berlumuran maksiat, berlidung di balik tawaran agama. Mereka banyak membantu orang dhuafa, berbondong -bondong ke lokasi kumuh bahkan menghajikan orang miskin. Ini bagian menutup aib yang telah mereka buat selama ini. Tapi ad juga melakukan kesalehan sosial dengan kesadaran penuh. Dengan pendalaman agama yang cukup baik, mereka tidak segan segan mengeluarkann hartanya untuk kaum dhuafa.

Egoisme
Bahwa kesalehan individual tidak mengimbas pada kesalehan sosial, dari sisi psikologi ada dua pendekatan. Pertama, behavieristik, yaitu tentang perilaku. Dan yang kedua, aspek kognitif. Jika ditambah ada faktor emosional dan spiritual.

Orang filsafat mengatakan, bahwa manusia sebagai homo banyak sebagai mono matematikusa, homo psikolikus, homo ekonomikus, homo sosiolikus dst. “Tetapi orang tidak pernah memandang itu secara integral,” Dr. Faturochman, dosen Piskologi UGM, mengatakan itu, mengkaitkannya dengan fenomena sosisal yang akhir-akhir ini merebak.

Hidup ini, kata Faturachman, semestinya harus lengkap. Tidak bisa hanya salah satu aspek saja yang melekat pada diri manusia. Secara konseptual mestinya kita interaktif mind. Orang yang bijaksana adalah orang yang interaktif di dalam dirinya, ada unsur-unsur rasionalitas, spiritualistas, sosialitas dan emosionalitas. Bahkan, kearifan harus menjadi orang arif dalam berhubungan dengan alam, lingkungan, hewan juga dengan Tuhan. “Jadi tidak hanya cukup saleh sosial,” papar Faturochman.

Mengapa konsep agama tidak mengimbas dalam perilaku sehari-hari, karena pengajaran agama kita memang agama untuk agama. Padahal yang benar, agama sebetulnya untuk rahmatan lilalamin. Untuk semuanya. Yang kita lihat sekarang ini, pengajaran agama yang paling banyak , pertama, dosa dan pahala, ibadah dan muamalah. Semestinya konsep baru kita muamalah itu ya ibadah, mestinya begitu. Sehingga pengertiannya, orang miskin itu menjadi nomor dua, yang nomor satu adalah membangun masjid. Secara struktural tidak sadar bahwa pengajaran agama seperti itu, berarti memasukkan kita ke sistem yang konfliktual. Bahwa yang paling baik itu amal, sehingga kalau membangun masjid dan menyumbang  pahalnya akan terus mengalir. Tetapi itu logika yang sempit. Itu sama halnya dengan pengertian seorang dosen yang mengajar, dan mahasiswa itu jika pintar dia juga akan menularkan ilmunya. Itu artinya seperti deret hitung, tetapi tidak pernah dikatakan sebagai pahalanya orang yang mengajar. Itu sama halnya dengan ketika kita mengentaskana seorang miskin diantara komunitas kemaksiatan, kemudian dia bisa kaya dst. Sehingga kita selalu mengklaim bahwa orang miskin itu malas, pelacur merusak moral dst. Pertanyaannya, para kyai, lembaga keagamaan dan pengajar apakah secara lngsung mengentaskan secara konkrit persoalan narkoba, pelacuran, kenakalan, dan pencurian.

Menurut Faturochman, adalah  salah dalam melakukan pendekatan dan memahami agama. Bahwa Al Quran diturunkan itu untuk memperbaiki akhlak, semuanya termasuk ibadah, muammalah, syariah dll. Artinya kita memahami agama itu secara lebih terbuka. Kita jangan egois, karena kita kan juga terbentur egoisme orang lain. Disitulah tanda yang disebut kerapuhan sosial. Sebab egoisme tidak pernah membicarakan orang lain.

Jadi yang salah selama ini, pendekatan terhadap agama yang keliru, kemudian praktek praktek yang dalam istilah psikologi bahwa itu masuk dalam “cognitive drought”. Yaitu sesuatu yang kita anggap betul, tertinggi, paling baik. Padahal kita sendiri tidak baik dan justru paling jelek. Sama dengan kita memahami bahwa Indonesia itu adalah negeri yang subur makmur, tapi nyatanya rakyatnya adalah miskin. “Hidup ini harus diperjuangkan” katanya, bahwa pengajaran agama adalah sesuatu yang fleksibel. Pengajaran agama harus kontekstual.

Untuk menghubungkan kesalahan individual dengan kesalehan sosial, menurut Faturochman, ini yang repot.

Secara teoritis apakah agen atau struktur. “Itu saja kita udah bingung”, bahwa struktur masyarakat  sudah carut marut. Orang baik satu nggak cukup, kalau struktur masyarakatnya bagus orang baik satu sudah cukup. Sekarang ini gerbong rongsok, di dalamnya pencoleng semua sehingga kalau mau dikatakan apa hubungannya, tentu berhubungan erat. Kita punya lembaga agama yang cukup besar, jika bicara yang menyejukkan dan mau menjembatani keceriaan individual, sosialnya juga. Lembaga-lembaga keagamaan itu secara lembaga kan baik, apa adanya. Artinya, saleh secara sosial. Saleh yang individual ini yang memang kemudian lembaga-lembaga besar keagamaan yang menurut saya, “masih carut marut” kata Faturochman.

Dalam kenyataannya orang lebih suka ke bisnis, lalu siapa yang mengurus agama. Jadi apakah agen dulu atau struktur dulu yang kita benahi, Karena sebetulnya prinsipnya sama. Tergantung dari mana memulainya, dan lembaga seperti Muhammadiyah itu punya pendidikan (tool). Maka untuk menciptakan orang-orang yang saleh, pendidikan Muhammadiyah harus lebih mengakar. Sekarang pendidikan Muhammadiyah agak keprestasi-prestasian, sama dengan yang lain. Jadi untuk kesalehan individual lewat pendidikan  lebih stategis.

Subscribe to receive free email updates: