Konservasi Sumber Daya Alam Papua Ditinjau Dari Aspek Budaya

Konservasi Sumber Daya Alam  Papua Ditinjau Dari Aspek Budaya
Setiap mahluk hidup yang mendiami suatu ekosistem tertentu mempunyai hubungan erat dengan ekosistem tersebut. Hubungan itu berupa interaksi timbal balik antara sesama mahluk hidup dan antara mereka dengan alam tempat mereka hidup. Tingkat derajad pengaruh yang terjadi akibat interaksi antar sesama mahluk hidup maupun antara mahluk hidup dengan lingkungan alamnya senantiasa berada dalam suatu keseimbangan, meskipun kadang-kadang muncul salah satu unsur sebagai faktor determinan. Misalnya pada suatu ekosistem tertentu terdapat hanya jenis-jenis mahluk tertentu saja karena jenis-jenis mahluk hidup inilah yang dapat beradaptasi untuk dapat hidup dan mempertahankan kelangsungan hidup spesiesnya di ekosistem tersebut. Dengan kata lain unsur alam merupakan faktor determinan terhadap jenis-jenis mahluk hidup di dalamnya.

Manusia sebagai salah satu jenis mahluk hidup, juga mempunyai hubungan yang erat, baik antara dia dengan sesama mahluk hidup lainnya maupun dengan lingkungan alam di mana ia hidup, bahkan berbeda dengan jenis-jenis mahluk hidup lainnya ia mempunyai suatu kemampuan yang luar biasa untuk beradaptasi terhadap lingkungan manapun. Ia mampu untuk beradaptasi di lingkungan ekosistem yang berbeda-beda (di daerah tropis, sub-tropis, kutub, daerah berawa, pengunungan tinggi, pulau/pantai).

Bentuk-bentuk hubungan apa yang terjalin antara manusia dengan mahluk-mahluk hidup lainnya dan antara manusia dengan lingkungan alamnya dalam rangka mempertahankan eksistensinya dan apa yang terwujud sebagai hasil dari proses interaksi tersebut amat bervariasi dari satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Makalah ini membahas hubungan-hubungan apa yang diwujudkan oleh mahluk manusia untuk berinteraksi dengan ekosistemnya dan dampak-dampak yang diakibatkan oleh interaksi tersebut.

Kerangka Acuan : Manusia dan Ekosistem
Untuk memahami hubungan antara manusia dengan lingkungan alamnya, saya meminjam gagasan Julian Steward sebagai kerangka acuan yang dapat memandu kita untuk melihat dan memahami hubungan tersebut. Kerangka Julian Steward dikenal dengan konsep cultural ekology, atau konsep ekologi kultural. Apa yang dimaksud oleh Steward (1955:37) dengan ekologi kultural di sini adalah interaksi antara teknologi dan pola-pola kultural yang ditetapkan untuk mengeksploitasi lingkungannya. Dalam pemahaman ini interaksi tersebut bersifat proses kreatif, yang terutama berasal dari mahluk manusia terhadap lingkungannya (ekosistemnya). Proses kreatif ini sangat penting karena merupakan faktor determinan penting bagi perubahan kebudayaan.

Sepanjang sejarah umat manusia, kebudayaan-kebudayaan yang dikembangkan diberbagai ekosistem yang berbeda mengalami perubahan-perubahan meskipun perubahan-perubahan itu tidak selalu sama antara satu komunitas ekosistem dengan komunitas ekosistem lainnya. Implikasinya ialah bahwa pada ekosistem-ekosistem tertentu terjadi perubahan-perubahan yang sedemikian besarnya sehingga berbalik mengancam kehidupan manusia itu sendiri, tetapi disamping itu terdapat pula komunitas-komunitas dengan ekosistem yang mengalami perubahan kecil sampai yang hampir tidak mengalami perubahan.

Pertanyaan yang muncul adalah kenapa hal demikian bisa terjadi?
Menurut Kluchohn dan Stodbeck (1961), perubahan-perubahan ini dapat terjadi disebabkan oleh perbedaan nilai orientasi budaya yang dimiliki oleh warga komunitas tertentu untuk  berinteraksi dengan lingkungan  alamnya atau ekosistemnya. Paling tidak ada tiga orientasi nilai budaya terhadap alam yang diwujudkan oleh manusia.

Pertama adalah masyarakat yang berorientasi bahwa alam merupakan sesuatu yang potensial yang harus dieksploitasi untuk membahagiakan kehidupan manusia. Kedua adalah masyarakat dengan nilai orientasi, bahwa alam merupakan sarana atau media bagi manusia untuk melangsungkan kehidupannya dan juga sebagai medan yang memungkinkan perubahannya untuk berjuang hidup melalui karya-karyanya sehingga terdapat suatu hubungan struktural antar manusia dengan lingkungannya yang tak terpisahkan. Hal ini menyebabkan manusia bersikap simpati dan solider dengan alam. Akibat dari sikap demikian ialah alam tidak boleh diperlakukan semena-mena misalnya dalam bentuk eksploitasi. Ketiga adalah masyarakat yang mempunyai nilai orientasi budaya bahwa alam merupakan sesuatu yang sakral, oleh karena itu tidak boleh diganggu.

Konsekwensi dari nilai orientasi yang berbeda-beda inilah yang menyebabkan bentuk interaksi terhadap lingkungan alamnyapun berbeda-beda  pula. Jika kita amati ketiga nilai orientasi budaya tersebut di atas dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan yang lestari, maka tidak dapat diperdebatkan, bahwa pada masyarakat pendukung kedua nilai orientasi budaya tersebut terakhir tidak terdapat persoalan yang amat serius dengan pelestarian lingkungannya. Hal ini berbeda dengan kelompok masyarakat pendukung nilai orientasi budaya yang disebut pertama.

Masyarakat Pendukung Orientasi Nilai Budaya “Eksploitasi Alam”
Pada umumnya masyarakat pendukung nilai orientasi budaya yang ingin menguasai dan mengeksploitasi semaksimal mungkin alamnya untuk kesejahteran dan kebahagiaan penduduknya terdapat pada masyarakat-masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat modern. Kecenderungan ini sebenarnya terjadi tidak lama bila kita menempatkan perkembangan itu dalam perspektif sejarah kehadiran manusia sebagai mahluk penghuni planet bumi kita ini. Temuan-temuan arkeologi menunjukkan bahwa mahluk manusia mulai menjadi penghuni planet bumi kita ini ± 4 juta tahun yang lalu (Leaky, 1976). Sedangkan upaya untuk menguasai dan mengeksploitasi alam secara besar-besaran oleh sebagian masyarakat manusia, terutama di Eropa, terjadi pada abad ke 19, ketika mulai muncul revolusi indutri. Dalam kurun waktu kurang lebih duaratus tahun terakhir, dalam perkembangan sejarah manusia, proses penguasaan dan eksploitasi alam menyebar dan meluas ke berbagai bagian di dunia, dan akhirnya sampai ke Tanah Papua kurang lebih dua dasawarsa silam dan kini sedang berlangsung dan akan berlangsung terus.

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya orientasi nilai budaya demikian disebabkan oleh penyesuaian terhadap tekanan-tekanan ekologis seperti keadaan iklim, musim, kesuburan tanah, persediaan sumber-sumber daya, dan sumber-sumber pendukung seperti air dan lain-lain. Kecuali penyesuaian terhadap tekanan ekologis tersebut, faktor-faktor pendorong lain terhadap timbulnya nilai orientasi demikian sesungguhnya berasal dari sistem sosial itu sendiri, berupa terciptanya pembagian kerja dalam masyarakat, penggunaan tenaga mesin, serta temuan-temuan baru dalam bidang kesehatan yang memungkinkan harapan usia hidup lebih panjang, dan pertambahan jumlah penduduk yang pesat.

Semua faktor penyebab ini akhirnya mengharuskan manusia untuk membuat pilihan-pilihan seperti pilihan untuk menentukan berapa banyak orang dapat tinggal di suatu tempat, bagaimana penyebarannya, berapa besar volume barang yang harus diproduksi untuk memenuhi permintan yang semakin banyak, singkatnya adalah bagaimana mengolah atau mengeksploitasi alam untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin kompleks itu. Pengendalian yang kurang bijaksana terhadap proses ini pada akhirnya akan menggiring manusia pada persoalan besar, yaitu bagaimana keberlanjutan hidup mahluk manusia itu sendiri, jika sumber-sumber daya alam habis tereksploitasi dan lingkungan tercemar sehingga tidak memungkinkan lagi sebagai tempat keberlangsungan hidup. Kita sedang berada dalam proses ini dan oleh karena itu kita harus ikut berperan serta dalam berbagai upaya yang sedang dilaksanakan masyarakat dunia, misalnya menindaklanjuti dan mengimplementasikan deklarasi Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Lingkungan dan pembangunan sedunia di Rio de Jeneiro pada tahun 1992 dan  penyebarannya dalam Agenda 21-Indonesia, untuk membuat solusi yang tepat, agar di satu pihak kualitas hidup tetap ditingkatkan dan terjamin dan pada pihak yang lain sumber-sumber daya yang tersedia di alam tidak habis terkuras dan tetap terpeliharanya lingkungan alam sehingga menjadi “rumah layak huni” yang dapat diwariskan bagi keberlanjutan hidup mahluk manusia di kemudian hari. Uraian singkat di atas memperlihatkan pandangan masyarakat modern dengan nilai orientasinya serta akibat yang mungkin akan ditimbulkannya.

Masyarakat Pendukung Orientasi Nilai Budaya “Selaras Dengan Alam”
Uraian selanjutnya akan membahas, juga secara singkat, bagaimana pandangan masyarakat yang mempunyai nilai orientasi bahwa hubungan manusia dengan alam harus terjaga baik. Pandangan ini terdapat pada masyarakat-masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat sederhana atau masyarakat tribal. Seperti yang disinyalir sebelumnya di atas bahwa masalah-masalah ekologis yang merupakan masalah besar dalam kehidupan masyarakat modern hampir tidak ditemukan pada masyarakat tribal atau masyarakat tradisional. Mengapa demikian?

Dalam pandangan kosmis masyarakat tradisional (sebagian besar kelompok-kelompok etnik di Tanah Papua tergolong ke dalam masyarakat ini), manusia adalah bagian yang integral dengan ekosistemnya. Perwujudan dari pandangan demikian adalah personifikasi gejala-gejala alam tertentu dengan kelompoknya. Misalnya orang Amungme yang mempersonifikasikan alam dengan tubuh seorang manusia, orang Asmat menganggap pohon sebagai penjelmaan jati diri manusia dan ada kelompok-kelompok etnik tertentu percaya bahwa mereka adalah keturunan dari burung atau jenis hewan tertentu lainnya.

Pandangan dan keyakinan demikian menyebabkan terbentuknya norma-norma dan nilai-nilai tertentu yang berfungsi sebagai pengendali sosial bagi masyarakat pendukungnya untuk berinteraksi dengan ekosistem. Norma-norma itu menetapkan apa yang baik dan apa yang tidak baik untuk dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk hubungan-hubungan sosial maupun dalam pemanfaatan sumber-sumber daya alam yang ada, misalnya larangan-larangan untuk membunuh jenis-jenis hewan tertentu, menebang sembarangan pohon-pohon di kawasan hutan tertentu, merusak atau mencemarkan lingkungan alam tertentu atau melakukan perbuatan a-sosial di tempat-tempat tertentu. Perbuatan membunuh hewan, menebang hutan, merusak dan mencemarkan lingkungan yang dikeramatkan disamakan dengan membunuh masyarakat setempat.

Menurut kenyakinan masyarakat tradisional bahwa tindakan-tindakan pelanggaran terhadap larangan-larangan di atas akan berakibat fatal bagi keberlangsungan hidup masyarakat sebagai suatu kesatuan sosial. Bila terjadi musibah, wabah atau bencana tertentu maka masyarakat percaya bahwa hal itu disebabkan oleh pelanggaran yang dibuat oleh seseorang atau kelompok warga tertentu dalam masyarakat. Para pelanggaran ini kemudian akan diberikan sanksi berupa hukumn fisik atau cemohan dan dikucilkan dari pergaulan masyarakatnya. Pemberian sanksi sangat efektif karena melalui sanksi orang takut untuk berbuat pelanggaran.

Disamping norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur tindakan religius manusia terhadap ekosistemnya seperti uraian di atas, terdapat pula pranata-pranata sosial yang dibuat oleh masyarakat untuk mengatur pemanfaatan lingkungannya. Mereka melihat ekosistem sebagai sumber penghidupan yang mengandung nilai sosial, nilai ekonomi dan nilai ekologi. Nilai sosial dari suatu ekosistem adalah bahwa setiap warga masyarakat mempunyai hak yang sama untuk mencari dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada dalam ekosistem tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan nilai ekonominya adalah bahwa ekosistem merupakan tempat penyimpanan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melangsungkan kehidupannya. Lebih lanjut nilai ekologinya adalah bahwa lingkungan alam merupakan tempat hidup berbagai jenis flora dan fauna yang perkembangannya tidak sama sehingga harus diatur pemakaiannya agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Pandangan atau sistem pengetahuan demikian mendorong mereka untuk membuat pranata-pranata sosial tertentu untuk menjaga dan melindungi sumber daya alam agar lestari pemanfaatannya. Salah satu contoh pranata sosial yang dibentuk untuk menjaga pemanfaatan sumber daya alam adalah tindakan melarang  penduduk untuk mengambil hasil hutan atau hasil laut di suatu tempat tertentu untuk jangka waktu tertentu. Larangan tersebut bermaksud memberikan kesempatan kepada jenis-jenis biota tertentu atau jenis-jenis pohon tertentu untuk berkembang tanpa diganggu selama jangka waktu tertentu sehingga dapat memberikan hasil yang baik dan banyak. Sistem ini dikenal luas oleh masyarakat di berbagai tempat di Tanah Papua, misalnya di daerah Tabla (Depapre) sistem ini disebut takayeti, di daerah Biak, Teluk Cenderawasih dan Kepulauan Raja Ampat dikenal dengan sistem sasi.

Subscribe to receive free email updates: