Bagian ini didedikasikan untuk elaborasi teori hubungan internasional yang berorientasi rekreasi, bukan prokreasi

Bagian ini didedikasikan untuk elaborasi teori hubungan internasional yang berorientasi rekreasi, bukan prokreasi
Masih ingatkah ucapan Ben Parker terhadap keponakannya, Peter Parker, dalam film Spider-Man? “With great power, comes great responsibility.” Dalam film tersebut, dikisahkan bahwa Peter menerima kekuatan super dari gigitan seekor laba-laba. Ia pun mulai menggunakannya demi kesenangannya sendiri, ia mengikuti suatu turnamen bela diri untuk mendapatkan hadiah uang yang akan ia gunakan untuk membeli mobil dan membuat gadis idamannya, Mary Jane Watson, terkesan. Namun, setelah ia ditipu oleh penyelenggara turnamen tersebut, ia pun mulai mendengarkan nasihat pamannya tersebut dan menggunakannya untuk menegakkan kedamaian di kota New York dengan menjadi seorang superhero berkedok kostum ketat berjaring laba-laba.

Sampai di sini, mari kita identifikasi relevansi film box office ini dengan teori hubungan internasional. Gunakan perspektif realisme dan analogikan Peter Parker sebagai suatu negara. Kekuatan laba-labanya merupakan power source-nya. Mobil dan Mary Jane adalah kepentingan nasionalnya. Penyelenggara turnamen bela diri tersebut adalah negara lain yang melakukan cheating terhadapnya dalam suatu perjanjian internasional. Akhirnya, negara “Parker” menjadi polisi dunia dan menegakkan kedamaian, mulai dari sini gunakan perspektif liberalisme.

Ralisme, Pluralisme dan Strukturalisme
Beberapa teori dalam HI berkonsentrasi pada aktor dalam sistem internasional, dan hal ini memiliki konsekuensi terhadap pemikiran yang lebih lanjut. Perbedaan pada actor mana yang lebih dianggap penting dan konsentrasi pada apa yang menjadi tujuan dari aktor-aktor ini tentu membuat teori seakan tidak menemui kesepakatan mutlak bahkan bisa jadi bertantangan satu sama lain.

Realisme misalnya berkonsentrasi pada Negara sebagai aktor utama dan tujuan dari Negara tak lain ada untuk mendapatkan ‘power’ yang sebesar-besarnya. Terkait dengan realis para pemikir neo-realis (atau realisme baru) dan struktural realis, juga masih melihat Negara sebagai aktor utama dalam HI, meski pemikiran realisme baru ini sudah mulai menerima adanya aktor lain yang punya peran di pinggiran.

Berbeda dengan perspektif realis yang percaya bahwa untuk memahami HI, kita harus memahami tingkahlaku Negara, pemikir pluralis tidak setuju jika aktor signifikan yang utama dalam HI adalah Negara. Mereka melihat Negara hanyalah salah satu dari banyak aktor yang sama-sama punya peran penting dalam studi HI. Mereka tidak hanya menekankan pada pentingnya aktor lain selain Negara seperti MNCs misalnya, mereka juga skeptis terhadap kekuasaan dan keamanan Negara terlalu dianggap memiliki peran sentral.  

Selain dua pendekatan diatas kita juga mengenal apa yang disebut dengan pendekatan strukturalis. Strukturalis menekankan pada hal yang berbeda dari kedua pemikiran diatas. Dari pada berkonsentrasi pada aktor HI, ilmuwan strukturalis lebih berkonsentrasi pada struktrur dari sebuah sistem. Mereka melihat negara dan aktor lainnya bertindak dalam batasan sistem yang ada dan karenanya mereka tidak memiliki kebebasan yang mutlak dalam bertindak. Oleh karena itu para pembuat keputusan harus berfikir dalam bertindak. Untuk memahami sistem internasional, bagi strukturalis, kira harus berkonsentrasi pada struktur-struktur yang ada bukan pada tingkah laku dan pilihan-pilihan tindakan para aktor tersebut.

Realisme dan Peran Sentral Negara
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Realisme merupakan pendekatan yang menekankan pada Power (kekuatan/kekuasaan) dan menganggap negara sebagai aktor dominan dalam sistem internasional. Power bisa didefinisikan sebagai kemampuan total dari suatu negara yang meliputi kekayaan alam, kekayaan sintetis (buatan) hingga kemampuan sosio-psikologi.
Hans J Morgenthau mengatakan pada dasarnya setiap manusia (negara) ingin mendapatkan power, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan jika hal ini berbenturan dengan yang lain maka akan menimbulkan ’struggle for power’. Mengacu pada banyak pemikir yang terkait dengan realisme seperti Hans J Morgenthau, Thomas Hobbes, Thucydides, dan lain-lain, maka pendekatan ini disebut pula sebagai pendekatan pragmatis dalam politik internasional. Pendekatan ini pun banyak diperbaharui oleh para teoritisi HI yang bisa dikelompokkan dalam neo-realisme:

Inti pemikiran Realisme dalam HI dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Negara sebagai pemegan peranan dominan selalu mempunyai kepentingan yang berbenturan. Perbedaan kepentingan akan menimbulkan perang atau konflik.
2. Power yang dimiliki oleh suatu negara sangat mempengaruhi penyelesaian konflik, dan menentukan pengaruhnya atas negara lain.
3. Politik didefinisikan sebagai memperluas power, mempertahankan, dan menunjukkan power.
4. Setiap negara dianjurkan untuk membangun kekuatan, beraliansi dengan negara lain, dan memecah belah kekuatan negara lain (devide and rule).
5. Perdamaian akan tercapai jika telah terwujud Balance of Power atau Keseimbangan Kekuatan yaitu keadaan ketika tidak ada satu kekuatan yang mendominasi system internasional.
6. Setiap negara akan selalu bergerak dan berbuat berdasarkan kepentingan nasionalnya (national interest).

Sementara itu pemikiran neo-realis dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendekatan ini seperti halnya Realisme menekankan pada peranan negara dalam hubungan internasional tetapi, tetapi mulai mengakui adanya aktor lain yang juga berperan di pinggiran. Negara memiliki peran sentral sementara aktor lain bersifat peripheral.

2. Mereka juga melihat power dalam konteks yang berbeda dengan pendahulunya. Power didefinisikan sebagai konsep relasional. Jadi Negara tidak dianggaap punya
power dengan sendirinya, melainkan dalam hubungannya dengan Negara lain. Negara selalu ingin memiliki power lebih dari Negara lainnya.

Pluralisme dan Keberagaman Aktor
Pluralisme tidak puas pada versi pemikiran realis terutama mengenai penekanan pada actor Negara sebagai pusat dalam HI. Menurut pluralis saat ini Negara tidak lagi memiliki peran sentral dalam HI, karena banyak aktor lain yang juga memiliki peranan penting terutama aktor-akor ekonomi .
Berikut inti pemikiran Pluralis:
1.    Jika realis berasumsi bahwa Negara ada secara independent dan memiliki kepentingan sendiri,  pluralis menawarkan konsep complex interdependence. Complex Interdependence bisa diumpamakan seperti jaring laba-laba, yang dikarakterkan sebagai jaringan yang banyak antara banyak aktor dimana tidak terdapat hirarki dalam isu yang ada.
2.    Pluralis juga menekankan bahwa aktivitas internasional tidak hanya melulu tentang tingkah-laku Negara akan tetapi juga tingkah laku aktor lain. Kepentingan Negara juga bukan hanya soal keamanan dan power. Banyak isu lain yang bisa diambil oleh actor non-state, misalnya saja soal isu kelangkaan minyak, karena minyak merupakan hal penting ekonomi modern baik Negara mupun MNCs bisa mengambil keputusan secara berbeda dalam porsi masing-masing.
3.    Meski menekankan pada aktor ekonomi namun merreka tidak mengesampingkan internasional aktor lainnya. Misalnya gerakan religius, gerakan nasional dan lain lain, mereka tidak bertindak atas nama negara seperti yang diasumsikan realis.
4.    Meski Organisasi internasional seperti PBB dibentuk dan beranggotakan secara resmi negara-negara berdaulat, namun pemikir pluralis tetap berpandangan bahwa organisasi internasional bukan aktor utama dalam HI.

Strukturalisme dan Sistem Internasional
Berbeda dengan dua pendekatan diatas, yang lebih menekankan pada aktor HI, strukturalisme lebih menekankan pada struktur dalam sistem internasional dan menggapnya bisa memberikan penjelasan aspek mana yang signifikan dalam menggambarkan HI. Strukturalisme tampaknya lebih terlihat sebagai sebuah pendekatan dari pada teori itu sendiri. Karenanya strukturalisme bisa dianggap mengepalai banyak varian teori dibawahnya.

Berikut pandangan singkat tentang strukturalisme:
1.        Menekankan pada struktur dalam sebuah sistem internasional bukan pada aktor yang bermain didalamnya. Fokus pada struktur dipandang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan aktor dalam melihat HI.
2.        Strukturalisme skeptis terhadap adanya pengaruh organisasi-organisasi dalam HI termasuk negara, orgnasisasi internasional dan aktor lainnya  terhadap struktur luar.
3.        Analisis struktural dapat dibedakan tergantung pada beberapa varian yang ada, seperti.:
·   Realisme strukturalis dapat dikatakan sebagai strukturalis yang memandang negara sebagai aktor sentral.
·   Marksis strukturalis menekankan pada struktur kelas dan sosial yang banyak terpengaruh oleh sistem ekonomi.
·   Feminist structuralis merupakan strukturalis yang fokus pada isu gender dalam hubungan sosial.

Neorealisme
Sebagai varian dari realisme, neorealisme seringkali dikenal dengan realisme struktural, yang dibedakan dengan realisme tradisional. Sebagaimana realisme, neorealisme menjadikan negara dan perilaku negara fokusnya dan berusaha menjawab pertanyaan mengapa perilaku negara selalu terkait dengan kekerasan. Semua tradisi realis berangkat dari filsafat keharusan (the philosophy of necessity) yakni melihat perilaku negara sebagai produk dari sebuah kondisi yang tak terelakkan. Dalam pemikiran realis, baik tradisional maupun struktural, perilaku negara yang keras merupakan konsekuensi dari endemiknya kekuasaan dalam politik internasional, seperti secara jelas diekspresikan oleh Morgenthau, ,international politics is... struggle for power’ (1985). Dalam artian filsafat keharusan ini, politik internasional bersifat amoral.

Tetapi, realisme tradisional dan realisme struktural menjelaskan secara berbeda mengapa politik internasional memiliki karakter endemik yang ditandai dengan perebutan kekuasaan. Bagi realis tradisional, perebutan kekuasaan yang berlangsung terus menerus dalam politik internasional bersumber pada hakekat manusia. Berangkat dari pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh antara lain Tucydides, Machiavelli dan Hobbes, yang melihat pada dasarnya manusia bersifat self-interested dan dalam kondisi state of nature akan berperang satu sama lain, realis tradisional  memproyeksikan negara akan memiliki karakter yang sama, karena politik internasional pada dasarnya adalah gambaran dari state of nature dalam arti yang sebenarnya, tidak lagi merupakan kondisi hipotetis sebagaimana yang digambarkan oleh Hobbes dalam Leviathan.

Bagi realisme struktural, penjelasan terhadap endemiknya perebutan kekuasaan dalam politik internasional bukan berasal dari hakekat manusia (negara), melainkan dari struktur yang menjadi konteks dari perilaku negara-negara. Dalam sebuah sistem yang secara struktural anarkhi, negara harus bertindak semata-mata berdasarkan kepentingannya sendiri, yang berarti mengejar kekuasaan sebesar-besarnya. Dalam sistem yang anarkhi, negara tidak bisa menggantungkan keamanan dan kelangsungan hidupnya pada negara atau institusi lain, melainkan pada kemampuannya sendiri (self-help), yakni mengumpulkan berbagai sarana terutama (tetapi bukan satu-satunya) militer untuk berperang melawan negara lain. Tetapi, kebutuhan sebuah negara untuk mempertahankan diri dengan memperkuat kekekuatan militernya, bagi negara lain merupakan sumber acaman dan menuntut negara lain tersebut melakukan hal yang sama, dan dikenal sebagai dilema keamanan (security dilemma).

Untuk menekankan pentingnya struktur sebagai pembentuk perilaku negara, neorealis membedakan secara tegas karakter politik internasional yang anarkhis dengan politik domestik yang hirarkhis, yang menggambarkan dua prinsip pengorganisasian sistem yang berbeda (the ordering principle of the system). Dua karakteristik lain yang membentuk pemikiran neorealis adalah karakter unit dalam sistem dan distribusi kapasitas unit dalam sistem (Waltz, 1979). Karakter unit dalam sistem mengacu pada fungsi yang dijalankan oleh unit-unit dalam sistem, yakni negara. Dalam pandangan neorealis, semua unit memiliki fungsi yang sama yakni menjamin kelangsungan hidupnya. Tetapi, sekalipun semua negara memiliki fungsi yang sama, negara-negara tersebut berbeda dalam kemampuan, sebagaimana tercermin dalam distribusi kekuasaan yang seringkali tidak seimbang dan sering berubah. Singkatnya, seperti ditulis oleh Waltz, semua negara ‚memiliki kesamaan tugas,  tetapi tidak dalam kemampuan untuk menjalankannya. Perbedaannya terletak pada kapabilitas, bukan pada fungsi mereka’ (h. 96).

Beberapa tokoh utama neorealisme antara lain Kenneth Waltz, Stephen Krasner, Robert Gilpin, Barry Buzan, Richard Little dan Charles Jones. Diantara tokoh-tokoh ini, Kenneth Waltz merupakan yang paling menonjol dalam kaitannya dengan perkembangan teoretis studi hubungan internasional. Karyanya, Theory of International Politics, bukan hanya dianggap sebagai karya yang paling komprehensif dan elaboratif yang menggambarkan pemikiran dan posisi neorealism, tetapi juga merupakan produk dari upaya yang sangat ambisius untuk menjadikan Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin yang mapan, yang sederajat dengan disiplin lain.

Theory of Internasional Politics dimaksudkan oleh Waltz untuk memberikan kemampuan eksplanasi yang sangat tinggi (dalam bentuk hubungan kausalitas antar variabel) terhadap fenomena-fenomena politik internasional. Kemampuan ini merupakan kriteria yang sangat penting yang harus dimiliki oleh Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin, tetapi gagal ditunjukkan oleh realisme. Realisme gagal menjelaskan  mengapa berbagai negara yang berbeda atau bahkan bertentangan, misalnya, secara ideologis ataupun politik, tetap berperilaku sama. Mengapa Uni Soviet yang komunis dan Amerika yang liberal kapitalis sama-sama teribat dalam kompetisi merebut kekuasaan, membangun kekuatan militer, atau mengembangkan pengaruh (sphere of influence)? Menurut Waltz, kegagalan realisme menjelaskan kesamaan perilaku berasal dari metodologi yang digunakannya, yakni metodologi behaviouris. Metodologi ini terlalu mengabaikan aspek faktor penting yang menjadi batas-batas kebijakan luar negeri atau perilaku negara. Aspek penting yang menjadikan perilaku negara homogin, dalam pemikiran Waltz, terletak pada kekuatan sistemik, yakni struktur internasional.

Secara metodologis, pemikiran Waltz berbeda dengan metodologi behaviouris dalam artian bahwa mereka memberi penekanan pada peringkat analisa yang berbeda: unit dan struktur. Metodologi behaviouris berusaha menjelaskan produk politik (perilaku atau kebijakan negara) dengan jalan mengamati unit-unit atau bagian-bagian yang membentuk sistem. Dengan cara ini, semua yang terjadi dalam politik internasional dijelaskan dengan melihat perilaku dan hubungan antar unit dalam politik internasional (negara), yakni perilaku dan interaksi yang didasari oleh tuntutan alami yang dimiliki oleh negara (prinsip-prinsip hakekat manusia) untuk berperilaku sesuai dengan kepentingannya (self-interested), yang dalam prakteknya didefinisikan dengan kekuasaan. Metodologi behaviouris oleh Waltz dikategorikan sebagai teori yang reduksionis.

Metodologi strukturalis Waltz bersifat sistemik, yakni menempatkan sistem sebagai unit analisanya. Karakter sistemik lebih menjanjikan daripada karakter reduksionis karena mampu menjelaskan politik internasional, melalui hubungan kausal, yang sangat membatasi dan menentukan perilaku negara.

Ambisi Waltz untuk menghasilkan sebuah teori Hubungan Internasional yang sederajat dengan teori dalam disiplin-disiplin yang lebih mapan, menghasilkan reaksi yang sangat keras dari para ilmuwan Hubungan Internasional. Bahkan, tidak terlalu berlebihan juga ada kecenderungan untuk melihat perdebatan ketiga dalam Hubungan Internasional pada dasarnya adalah perdebatan antara Waltz dengan hampir semua teoritisi lain dengan tradisi pemikiran yang sangat berbeda-beda.

    Subscribe to receive free email updates: