Kerjasama ASEAN di Sektor Usaha Kecil dan Menengah

Kerjasama ASEAN di Sektor Usaha Kecil dan Menengah
Kerjasama ASEAN di sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) telah dirintis sejak tahun 1995, yang ditandai dengan dibentuknya Kelompok Kerja Badan-Badan UKM ASEAN (ASEAN Working Group on Small and Medium-size Enterprises Agencies). Dalam pertemuan pertamanya di Jakarta tanggal 24 April 1995 telah disahkan Rencana Aksi ASEAN bagi pengembangan UKM. Pertemuan ini juga menyepakati bahwa pada tahap awal kerjasama ASEAN di bidang UKM akan terfokus pada sektor manufaktur.

Sidang ASEAN Economic Minister Meeting (AEM) ke-31 di Singapura tanggal 27 September–2 Oktober 1999 telah menyepakati kerangka kerjasama yang melibatkan UKM dalam ASEAN Industrial Cooperation (AICO). Kerangka kerjasama ini didasari oleh pemahaman bahwa UKM sebagian besar melaksanakan fungsinya sebagai industri pendukung bagi perusahaan-perusahaan besar, disamping untuk memberikan kesempatan kepada UKM untuk berpartisipasi secara langsung dalam perdagangan intra ASEAN.

ASEAN Policy Blueprint for SMEsDevelopment (APBSD) 2004-2014 telah disahkan pada Sidang AEM ke-36 di Jakarta, 3 September 2004.  Policy blueprint tersebut bertujuan untuk menjamin adanya transformasi UKM ASEAN yang memiliki daya saing, dinamis, inovatif dalam rangka menuju integrasi ekonomi ASEAN. Tujuan-tujuan tersebut telah dituangkan dalam aktivitas-aktivitas ASEAN Small and Medium Enterprise Agencies Working Group (SMEWG) guna merealisasikan tujuan yang hendak dicapai dalam APBSD. Pada pertemuan SMEWG ke-22 di Singapura, 27-28 Mei 2008, telah dibahas beberapa hal yang mencakup: pembentukan common curriculum for entrepreneurship in ASEANoleh Indonesia dan Singapura, rencana penyusunan ASEAN SME White Paper, implementasi SME Section dalam AEC Blueprint. Dan kerjasama dengan mitra wicara.

Hal ini dapat diwujudkan melalui suatu cooperative framework yang melibatkan secara aktif peran sektor swasta di ASEAN disamping meningkatkan budaya wirausaha, inovasi dan networkingdi kalangan UKM, memberikan fasilitas kepada UKM untuk memperoleh akses informasi, pasar, SDM, kredit dan keuangan serta teknologi modern. Berdasarkan cetak biru tersebut telah dipilih lima bidang kerjasama strategis dalam pengembangan UKM ASEAN, yaitu: Pembangunan Sumber Daya Manusia; Dukungan dalam Bidang Pemasaran; Bantuan dalam Bidang Keuangan; Pengembangan Teknologi; dan Penerapan Kebijakan yang Kondusif.

Dalam perkembangannya, kerjasama ASEAN di sektor UKM lebih difokuskan pada tindak lanjut proyek-proyek peningkatan kapasitas dan daya saing UKM di bawah payung Vientiane Action Plan dan ASEAN Policy Blueprint for SMEs Development (APBSD) 2004-2014; kerjasama dengan negara-negara Mitra Wicara; serta hal-hal berkaitan dengan prospek pengembangan UKM di tengah kemajuan kerjasama ekonomi ASEAN. Dari 20 proyek yang disepakati dalam APBSD, sembilan proyek diantaranya telah selesai, tiga sedang berjalan, tujuh dalam persiapan dan satu tidak dapat dilaksanakan. Proyek-proyek APBSD 2004-2014 yang belum dapat dilaksanakan pada umumnya disebabkan oleh belum jelasnya pendanaan bagi proposal yang telah masuk serta adanya permintaan sejumlah Mitra Wicara agar usulan proyek-proyek baru dapat dikaitkan dalam kerangka FTA dengan ASEAN.

Pada pertemuan SMEWG ke-23 yang telah berlangsung di Vientiane, Lao PDR bulan Nopember 2008, telah disepakati bahwa draft common curriculum for entrepreneurship in ASEAN akan diujicobakan di Myanmar dan Viet Nam sebelum diterapkan di seluruh negara-negara ASEAN.


Kerjasama Ekonomi Sub-Regional ASEAN
Pelaksanaan Kerjasama Ekonomi Sub-Regional (KESR) dilakukan untuk mengambil manfaat dan saling melengkapi dalam mempercepat pembangunan ekonomi melalui peningkatan arus investasi, pengembangan infrastruktur, pengembangan sumber daya alam dan manusia, serta pengembangan industri. Tujuan utama pembentukan sub-wilayah pertumbuhan adalah untuk memadukan kekuatan dan potensi-potensi tiap-tiap wilayah yang berbatasan sehingga menjadi wilayah pertumbuhan yang dinamis. Kerjasama ekonomi sub-regional, sering juga disebut sebagai segitiga pertumbuhan (growth triangle) atau wilayah pertumbuhan (growth area), merupakan salah satu bentuk keterkaitan (linkage) ekonomi antar daerah dengan memiliki unsur internasional. Daerah anggota kerjasama tersebut lebih dari satu negara.

Dalam konteks ASEAN, sesuai dengan Agenda for Greater Economic Integration, pembentukan KESR didasarkan pada prinsip keterbukaan dalam pembangunan wilayah (open regionalism) dan bukan pada pembentukan blok kawasan yang tertutup (building block). Berbagai kendala yang muncul dalam perkembangan kerjasama growth areas ini menjadi  feed backbagi kemajuan skema pertumbuhan wilayah ini dan ASEAN terus mengupayakan inisiatif-inisiatif baru dalam kerangka pengembangan kerjasama tersebut seperti pembentukan ASEAN Mekong Basin Development Cooperation.

Kawasan Pertumbuhan ASEAN Bagian Timur: Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Filipina (BIMP-EAGA)
Ide pembentukan Wilayah Pertumbuhan ASEAN Timur (BIMP-EAGA) pertama kali disampaikan oleh Presiden Filipina, Fidel Ramos pada bulan Oktober 1992 untuk menghubungkan daerah Filipina Selatan dengan Wilayah Timur Indonesia dan Wilayah Timur Malaysia. Ide tersebut kemudian disampaikan kepada PM Malaysia Mahathir Muhamad dan Presiden Soeharto. Kerjasama  BIMP-EAGA secara resmi dibentuk melalui penandatanganan Agreed Minutes pada pertemuan tingkat menteri di Davao City, Filipina, 26 Maret 1994.  BIMP EAGA tersebut diikuti oleh empat negara di kawasan timur ASEAN yaitu Brunei Darussalam, Indonesia (Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara), Malaysia (Sabah, Serawak, dan Labuan), dan Filipina (Mindanao dan Palawan).
                 
Kerjasama BIMP-EAGA dibentuk untuk menarik minat para investor lokal dan asing untuk melakukan investasi dan meningkatkan perdagangan di kawasan timur ASEAN. Tujuan pembentukan BIMP-EAGA adalah mengembangkan kerjasama sub-regional antara negara-negara anggota dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sub-kawasan tersebut. Sektor kerjasama yang diprioritaskan adalah transportasi udara dan laut, perikanan, pariwisata, energi, kehutanan, pengembangan sumber daya manusia dan mobilitas tenaga kerja. Untuk melibatkan pihak swasta secara aktif telah dibentuk forum khusus East ASEAN Business Council (EABC) di Davao City 15-19 Nopember 1994. 
     
Pembagian area kerja BIMP-EAGA digolongkan dalam beberapa cluster, yaitu: cluster bidang transportasi dan pembangunan infrastruktur yang membawahi air linkages, sea linkages,telekomunikasi dan konstruksi dengan Brunei Darussalam sebagai koordinator; Clusterbidang sumber daya alam yang terdiri atas agro-industry, perikanan, kehutanan dan lingkungan hidup serta energi, dengan Indonesia sebagai koordinator; cluster pariwisata, dengan Malaysia sebagai koordinator; dan cluster UKM dan finansial dengan Filipina sebagai koordinator.

Pertemuan BIMP-EAGA Summit ke-3 di Cebu pada tanggal 12 Januari 2007 menghasilkan sebuah Joint Statement for 3rd BIMP-EAGA Summityang intinya antara lain menyepakati BIMP-EAGA Roadmap to Developmentyang meliputi percepatan penerapan flagship projects, pembuatan databaseperdagangan, investasi & pariwisata. Hal tersebut akan selaras dengan inisiatif AEC dan bertujuan untuk memajukan proses integrasi ASEAN; menyepakati peningkatan keterlibatan pihak swasta untuk berpartisipasi pada BIMP-EAGABusiness Council; menggerakkan sektor UKM bekerjasama dengan ADB serta meningkatkan peran pemuda dalam kerjasama sosial budaya, riset, olahraga, dan pendidikan.

Segitiga Pertumbuhan: Indonesia, Malaysia dan Thailand (IMT-GT)
Pembentukan Segitiga Pertumbuhan (Growth Triangle) IMT-GT dimulai dengan pertemuan bilateral tingkat menteri dan pejabat tinggi di Pulau Langkawi, Malaysia, 20 Juli 1993. Kerjasama  segi tiga pertumbuhan tersebut melibatkan tiga provinsi Indonesia yakni Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat; empat negara bagian Malaysia yaitu Perak, Penang, Kedah, Perlis dan  empat belas  provinsi Thailand Selatan.

Kerjasama pertumbuhan tersebut diharapkan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memperlancar arus perdagangan, investasi, pariwisata, dan jasa, serta membuka peluang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia secara optimal. Secara struktural mekanisme kerjasama IMT-GT terbagi atas dua tingkatan, yaitu Sidang Pejabat Tinggi (Senior Officials Meeting-SOM) dan Business Council Meeting (BCM). SOM terdiri dari pejabat-pejabat tinggi pemerintah dari Departemen Perdagangan dan Perindustrian dan beberapa anggota teras BCM. Sedangkan BCM terdiri dari pengusaha-pengusaha yang terlibat dalam kegiatan IMT-GT. SOM melakukan pertemuan setahun sekali dengan didahului pertemuan BCM. Hasil pertemuan BCM kemudian diajukan ke SOM.     

Pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu telah diadakan pula KTT ke-2 IMT-GT yang menyepakati sebuah Joint Statement of the 2ndIMT-GT Summit yang intinya antara lain penetapan IMT-GT Roadmap for Development 2007-2011 dan penetapan empat IMT-GT Economic Corridors(extended Songkhla-Penang-Medan, Straits of Malacca, Banda Aceh-Palembang, Dumai-Melaka); mendorong penguatan peran Swasta dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan kerjasama IMT-GT; dukungan penguatan institusional IMT-GT; dan dukungan peran ADB dalam IMT-GT.

    Subscribe to receive free email updates: