Implementasi Undang-Undang

Implementasi Undang-Undang
Dalam pembangunan nasional peranan tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan akan  meningkat baik untuk keperluan pemukiman maupun kegiatan usaha. Sehubungan dengan itu akan meningkat pula kebutuhan akan dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Selain itu dalam menghadapi kasus-kasus konkrit diperlukan juga terselenggaranya pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi para pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dikuasainya, dan bagi para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditor, untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang akan dilakukan, serta bagi Pemerintah untuk melaksanakan kebijaksanaan pertahanan.

Sehubungan dengan itu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dalam Pasal 19 memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan. Melalui pendaftaran tanah tersebut akan menghasilkan surat-surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, lazim disebut sertifikat hak.

Pendaftaran Tanah ini  kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang  menjadi dasar kegiatan pendaftaran tanah di  seluruh Indonesia.

Dalam kenyataannya pendaftaran tanah yang diselenggarakan berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 tersebut selama lebih dari 35 tahun belum cukup memberikan hasil yang memuaskan. Hal-hal yang merupakan kendala dalam pelaksanaan pendaftaran tanah adalah selain sebagian besar penguasaan tanah tidak didukung oleh alat-alat bukti yang mudah diperoleh dan dapat dipercaya kebenarannya juga disebabkan karena ketentuan hukum untuk dasar pelaksanaannya dirasakan belum cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran tanah dalam waktu yang singkat dengan hasil yang lebih memuaskan.

Sehubungan dengan itu Pemerintah mengeluarkan peraturan baru dalam rangka meningkatkan dukungan yang lebih besar pada Pembangunan Nasional yang dapat memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961.

Meskipun PP No. 24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan dari PP No. 10 Tahun 1961, namun ada dua hal pokok yang tetap dipertahankan yaitu tujuan dan sistem pendaftaran tanah sebagai jaminan kepastian hukum dan cara-cara pendaftaran tanahnya, yang pada hakekatnya sudah ditetapkan dalam pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Terlaksananya pendaftaran tanah diharapkan dapat memberi manfaat-manfaat kepada masyarakat seperti, meningkatkan taraf perekonomian masyarakat di daerah lokasi proyek, memudahkan kemungkinan memperoleh kredit dari bank dengan sertifikat sebagai agunannya, serta menurunkan angka sengketa tanah. Di samping itu tujuan pendaftaran tanah menurut PP ini adalah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang tanah dipertegas dengan dimungkinkannya  terlihat dan terdeteksi bidang-bidang tanah yang data fisik dan atau data yuridisnya belum lengkap atau masih disengketakan.

Dalam rangka memberi kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertifikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA. Untuk itu diberikan ketentuan dalam Pasal 23 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan dan menurut  Pasal 23 ayat (2) PP ini  bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersetifikat atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama lima tahun sejak dikeluarkannya sertifikat itu dia tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat atau kepada kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan, mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.

Dengan demikian maka makna dari pernyataan, bahwa sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertahanan, menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya.

Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas pemberian perlindungan yang seimbang baik kepada pihak yang mempunyai tanah yang dikuasai serta digunakan sebagaimana mestinya maupun kepada pihak yang memperoleh dan menguasainya dengan itikad baik dan dikuatkan dengan pendaftaran tanah yang bersangkutan atas namanya.

Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah ( akta PPAT)  merupakan salah satu unsur utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka pokok-pokok tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta cara melaksanakannya mendapat pengaturan juga dalam Peraturan Pemerintah ini.

Namun dengan keluarnya Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), sebagian pemilik tanah mengeluh karena selain harus membayar biaya administrasi pembuatan sertifikat yang dibebankan oleh Kantor Pertanahan masih harus juga dibebankan atas pajak BPHTB, yang mengakibatkan tingginya biaya memperoleh sertifikat hak atas tanah, sehingga tidak sedikit yang mengurungkan niat untuk mengurus sertifikat. Dikenakannya BPHTB untuk pembuatan akta PPAT dalam kegiatan untuk pendaftaran tanah dirasa jadi salah satu faktor penghambat proses pembuatan sertifikat hak atas tanah yang diajukan oleh masyarakat ketika yang bersangkutan melakukan atau memperoleh peralihan hak  karena harus dibebani pajak atas perolehan hak tersebut ( Pasal 24 UU BPHTB).

Subscribe to receive free email updates: