Analisis Teori Hubungan Internasional

Analisis Teori Hubungan Internasional
Realisme adalah pendekatan dalam ilmu hubungan internasional yang menganggap bahwa sifat manusia belum tentu baik baik: kemungkinan terbaik, manusia memiliki kapasitas baik dan buruk yang sama; kemungkinan terburuk, manusia memiliki hasrat instingtif untuk mendominasi orang lain. Sehingga, perang selalu menjadi kemungkinan. Tanggung jawab tiap negara adalah menyediakan pertahanan dan keamanannya. Kebijaksanaan atau tindakan nasional diukur dari apakah ia menjadi perpanjangan kepentingan nasional, yang paling sering didefinisikan sebagai penambahan kekuatan dalam berbagai bentuk, yang paling khusus kekuatan militer. Perdamaian tidak dapat dijamin, namun dapat diperoleh karena balance of power akan membuat negara­negara mencari jaminan keamanan dan kepentingan mereka dengan bersekutu dengan negara lain yang lebih kuat. Realisme mengutamakan kebijakan luar negeri daripada kebijakan domestik, pemeliharaan kekuatan militer yang besar, dan penekanan pada nasionalisme. Realisme juga mengutamakan negara sebagai aktor internasional uniter dengan proses pembuatan keputusan tunggal, pada pokoknya rasional dalam tindakannya, dan berargumen bahwa keamanan nasional adalah isu internasional paling penting.

Liberalisme
Liberalisme adalah pendekatan dalam ilmu hubungan internasional yang, secara ontologis, memiliki asumsi-asumsi dasar sebagai berikut. Pertama, sifat manusia dalam hukum alam adalah baik, rasional, dan mampu bekerja sama. Kedua, manusia lebih memilih damai daripada konflik. Ketiga, demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik. Keempat, negara dibentuk oleh manusia dan oleh karena itu mampu menuruti hukum alam yang sama dengan manusia. Liberalisme mempertanyakan batas-batas kewajiban negara dalam alam domestik dan internasional; membawa kemungkinan sistem internasional yang damai; membutuhkan pertanyaan tentang aktor utama, keuntungan, dan level analisis dalam ilmu hubungan internasional; menekankan pentingnya internasionalisme melalui tajuk liberalisme internasional; dan sangat erat dengan studi etika politik internasional dan keadilan internasional.

Secara epistemologis, liberalisme mengelaborasi hubungan negara dengan masyarakat serta pengaruhnya terhadap perilaku negara dalam politik dunia. Individu dan perilaku mereka dalam berbagai level masyarakat menjadi domain penjelasan atas tindakan negara. Dinamika masyarakat menciptakan preferensi negara, yang amat penting dalam politik dunia. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, aktor nonnegara adalah entitas yang penting dalam politik dunia. Kedua, negara bukanlah aktor uniter. Ketiga, negara bukanlah aktor rasional. Keempat, politik internasional memiliki banyak agenda yang dapat menjadi bahasan.

Neorealisme
Neorealisme menjawab tantangan liberalisme dengan revisi terhadap teori realisme secara radikal. Neorealisme terinspirasi dari model konstruksi teori Imre Lakatos dan teori mikroekonomi; yang pertama membawa teori asumsi minimal sementara yang kedua membawa determinan struktural terhadap perilaku negara. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, sistem internasional bersifat anarki, karena tidak ada otoritas sentral untuk memaksakan tata tertib. Kedua, dalam sistem yang demikian, kepentingan utama negara adalah keberlangsungannya sendiri, sehingga negara akan memaksimalisasi power mereka khususnya kekuatan militer. Karena power tersebut bersifat zero-sum, negara menjadi ‘posisionalis defensif’, sehingga struggle for power adalah karakteristik permanen hubungan internasional dan konflik bersifat endemik. Dan oleh karena itu, kerja sama antarnegara menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin sama sekali. Kalaupun ada, itu pun di bawah kondisi hegemoni suatu negara dominan yang menggunakan power-nya untuk menciptakan dan memaksakan peraturan institusional.

Neoliberalisme
Neoliberalisme memiliki dasar yang serupa dengan neorealisme, pertama, karena ia menganggap anarki internasional sangat penting dalam membentuk perilaku negara, namun anarki bukanlah satu-satunya penentu tingkat maupun sifat kerja sama internasional. Kedua, negara juga tetap menjadi aktor paling penting dalam politik dunia. Ketiga, asumsi bahwa negara secara esensial hanya memiliki kepentingan terkait dirinya sendiri juga tidak berubah. Namun, sebagai perpanjangan dari asumsi pertama, interdependensia dan kepentingan bersama pun bukanlah satu-satunya, melainkan bahwa tidak adanya otoritas sentral dunia membuat perjanjian­-perjanjian rawan cheating, biaya kerja sama menjadi tinggi, dan informasi menjadi sangat terbatas. Sehingga, negara-negara membentuk institusi atau rejim internasional untuk mengatasi rintangan-rintangan tersebut.

Strukturalisme
Strukturalisme adalah perspektif ‘bottom up’ ilmu hubungan internasional yang dipengaruhi Marxisme. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, ‘sifat dasar manusia’ tidak tetap maupun esensial, namun terkondisikan melalui masyarakat. Kedua, subjek dapat dikelompokkan menjadi kolektivitas yang dapat diidentifikasi dan dapat pula dikatakan memiliki kepentingan konkrit. Ketiga, ‘strukturalisme adalah sains’. Keempat, tidak ada perbedaan jelas antara nasional (dalam negeri) dan internasional (luar negeri). Strukturalisme memandang bahwa tata dunia kontemporer dikonstruksi oleh sistem kapitalis global dan sistem antarnegara yang berhubungan. Ciri fundamental tata dunia ini adalah ketidaksamaan yang didasarkan eksploitasi kapitalisme. Strukturalisme memandang kelas sebagai aktor dominan dalam hubungan internasional, namun tidak melupakan peran negara sebagai perpanjangan kepentingan kelas. Aktor-aktor institusional dipandang berperan membantu melegitimasi dan memelihara struktur yang ada. Berbagai varian strukturalisme adalah teori dependensia dan teori world-systems

Assessment: The Clash of Perspectives
Sebagaimana epistemologi ilmu Barat yang menganut pendekatan dikotomis, ilmu hubungan internasional, terutama American school, selalu terstruktur atas debat antara dua perspektif utama yang paling signifikan pada masanya. Pascaperang Dunia II hingga 1980-an, debat tersebut berkisar antara realisme dan liberalisme, dua perspektif yang mengaplikasikan teori rational choice namun mencapai kesimpulan yang secara radikal berbeda tentang hubungan internasional. Pada 1980-an, terjadi pergeseran menuju dua debat utama antara, pertama, neorealisme dengan neoliberalisme, yang sama-sama teori rasionalis namun berbeda secara ideasional, dan kedua, rasionalisme dengan critical theory, yang berbeda secara holistik dari asumsi­asumsi epistemologis, metodologis, ontologis, maupun normatif. Bahkan Pascaperang Dingin, poros debat ini masih mengalami pergeseran menuju dua debat baru antara, pertama, rasionalisme dengan konstruktivisme dan, kedua, konstruktivisme dengan critical theory, yang memunculkan antitesis terhadap rasionalisme dan positivism serta kritik metateoritis. (Setelah ini pun, penulis berasumsi bahwa debat ilmu hubungan internasional ini akan terus mengalami pergeseran, seiring aplikasi metode inkuiri Socrates dalam bidang ilmu ini yang akan selalu menghasilkan sintesis teori baru setelah dua perspektif yang saling antitesis saling dibenturkan.)

Mengapa selalu terjadi debat? Karena metode inkuiri Socrates? Karena dialektika Hegel? Karena pemahaman postpositivis? Karena relativitas ilmu sosial yang rentan menghadirkan krisis dan anomali, yang pada akhirnya akan selalu melahirkan paradigma baru? Karena teori-teori ini bersifat konfliktual? Karena ada kepentingan-kepentingan yang bersifat soft power, sehingga langkah-langkah intervensionis dalam diskursus ilmu pun diambil (seperti “pembersihan” terhadap para guru besar universitas)? Entahlah. Yang pasti, penulis sangat meyakini bahwa tradisi debat dalam ilmu hubungan internasional ini akan terus berlanjut.
Karena sifatnya yang sangat inheren dalam ilmu hubungan internasional, mengikuti perkembangan debat ini menjadi sangat menarik. Dalam esai ini, penulis akan menitikberatkan fokus analisis pada debat yang mengawali tradisi debat dalam ilmu hubungan internasional: “bapak”-nya debat HI, realisme-liberalisme.

Realisme vs Liberalisme: Nasib Dua Perspektif Konfrontatif
Realisme dan liberalisme sepertinya memang sudah ditakdirkan untuk menjadi pasangan tesis-antitesis sempurna. Dimensi ontologis kedua perspektif ini nyaris bertolak belakang satu sama lain, meskipun mungkin pada awal kelahirannya kedua perspektif ini tidak dimaksudkan untuk saling berlawanan. Thomas Hobbes, sebagai pelopor intelektual perspektif realisme, menulis di Inggris abad ke-17 yang sedang dilanda perang saudara. Hobbes, yang terkonstruksi oleh lingkungan yang teringkas sebagai state of war, pada akhirnya menekankan ke(tidak)amanan, force, dan keberlangsungan hidup sebagai salah satu derivasi pandangan pesimisnya terhadap sifat dasar manusia di tengah sistem yang anarkis. Setengah abad berikutnya, kesengsaraan yang dirasakan Inggris sudah tidak seperti dahulu lagi, sehingga kondisi anarki tidak terlalu mengancam seperti dahulu, dan John Locke dapat berpandangan lebih optimis dengan argumennya bahwa walaupun state of nature tidak memiliki kedaulatan bersama, masyarakat tetap dapat mengembangkan hubungan dan membuat perjanjian. Dapat kita lihat bahwa sejak prekursor awal terbentuknya kedua perspektif ini sudah sangat berlawanan.

Dalam perkembangannya, kedua perspektif ini pun bagai air dengan minyak. Dalam tataran asumsi dasar, realisme menyatakan bahwa manusia tidak selamanya baik, sementara liberalisme menyatakan bahwa manusia bersifat baik secara inheren. Realisme meyakini bahwa konflik sangat inheren dalam sifat dasar manusia karena perbedaan kepentingan, sementara liberalisme meyakini bahwa manusia lebih memilih damai daripada konflik. Nicollo Machiavelli, merepresentasi kalangan realis, menganjurkan bahwa politik harus dibedakan secara jelas dari moralitas, dan menekankan politik di atas moralitas (manifestasi politik imoral). Immanuel Kant, merepresentasi kalangan liberalis, menekankan moralitas di atas politik. Realisme menekankan konsepsi kedaulatan nasional, sementara liberalisme memandangnya sebagai sesuatu yang ambigu dan rapuh.

(Senada dengan kritik liberalisme ini, kita dapat melihat bahwa realisme, sebaku apapun teori umumnya, tetap saja dapat dikatakan tidak matang secara konseptual. Hal ini dapat ditinjau dari tidak adanya suatu formulasi standar serta adanya suatu ambiguitas mengenai konsep-konsep fundamental dalam perspektif ini, seperti power, balance of power, dan kepentingan nasional. Kalangan realis memahami sistem dunia hierarkis berdasarkan kepemilikan sumber-sumber power. Namun, apa yang dimaksud dengan power ini? Hans J. Morgenthau membedakannya dengan influence dan force serta membedakan antara usable dengan unusable power dan legitimate dengan illegitimate power. Namun, perbedaan yang diungkapkannya setipis kertas, sulit untuk akhirnya sampai pada persetujuan bersama tentang konsepsi power yang standar.)

(Sama seperti istilah balance of power. Joseph S. Nye mendefinisikannya antara lain sebagai distribusi power, kebijakan, maupun sistem multipolar.8 Namun, Daniel S. Papp mengungkapkan bahwa pengertian pasti istilah ini masih dalam perdebatan: dalam satu kasus, balance of power berarti dua negara memiliki kapabilitas yang kira-kira seimbang; namun dalam kasus lain, ia justru berarti ada suatu ketidakseimbangan; dan dalam kasus lain, ia menggambarkan hubungan yang dinamis dan berubah.9)

(Serupa dengan konsepsi kepentingan nasional. Papp mengajukan berbagai pertanyaan yang menunjukkan ambiguitas konsepsi ini, seperti, Siapa di dalam negara yang mendefinisikan kepentingan nasional? Apakah kepentingan nasional berubah ketika pemerintahan bertransisi, baik secara damai atau melalui kudeta? Kelompok mana di dalam negara yang mendefinisikan negara mana yang merupakan kawan maupun lawan suatu negara?10 Dapat kita lihat bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Papp memiliki gaung liberalisme, yang berasumsi bahwa negara adalah aktor yang nonuniter dan terfragmentasi. Padahal, konsepsi kepentingan nasional merupakan konsepsi tolak ukur mendasar dalam realisme.)

Menjawab kritik di atas, kalangan realis balik menyerang liberalisme. Agenda politik internasional liberalisme yang sangat plural membuyarkan fokus analisis. Unit analisis yang sangat jamak dalam negara menjadikan kalangan liberalis sulit mengagregasi faktor-faktor yang berperan dalam mengelaborasi fenomena. Konstelasi pengaruh yang terfragmen dalam aktor-aktornya membuat proses decision making dalam liberalisme tidak praktis. Asumsi bahwa negara bukanlah aktor rasional, negara tidak predetermined, dan variasi pada tujuan membuat fungsi prediksi perspektif ini tidak sepraktis realisme. Banyaknya varian liberalisme, baik secara filosofis (seperti pasifisme liberal, imperialism liberal, dan internasionalisme liberal; liberalisme sosial dan liberalisme kosmopolitan; kosmopolitanisme moral dan komunitarianisme moral; serta liberalisme restraint dan imposition) maupun secara epistemologis (liberalisme ideasional, liberalisme komersial, dan liberalisme republikan) membuat sulit menyintesis suatu analisis bersama antara seluruh varian tersebut, sehingga tidak dapat dilakukan generalisasi.

Kalangan realis menglaim bahwa kalangan liberalis tidak dapat menjelaskan kontinuitas konflik dan perang yang inheren dalam kehidupan manusia sebagaimana juga dalam pergaulan internasional antarnegara. Mereka tidak menerima argumentasi liberalis yang membedakan fenomena-fenomena yang terjadi dalam zone of war dan yang terjadi dalam zone of peace. Hal ini disebabkan kalangan realis meyakini pentingnya satu teori umum yang universal, yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional, di manapun ia terjadi. Kalangan liberalis, sebaliknya, menglaim bahwa kalangan realis cenderung menjustifikasi dan melegitimasi validitas teorinya melalui fenomena yang terjadi. Menurut mereka, realis akan terus mempertahankan gagasan ideasionalnya bahwa manusia akan cenderung berkonflik satu sama lain dengan menyodorkan contoh berbagai peperangan yang terjadi secara kontinu di dunia, yang bagi liberalis hanyalah satu aspek dalam politik antarnegara. Liberalis tidak dapat menerima pandangan realis yang abai terhadap berbagai ancaman nonmiliter dan nontradisional, di mana asumsi liberalis menglaim ekstensivitas agenda yang dapat menjadi bahasan politik internasional serta tidak ada dikotomi antara high politics dengan low politics.

Realisme dan Liberalisme: Konfrontatif, Mungkinkah Disintesis?
Menurut penulis, perspektif realisme dan liberalisme tidak selalu harus dikonfrontasikan karena berbagai hal. Dalam dimensi ideasional, kita dapat melihat beberapa overlap dalam konsepsi dasar kedua perspektif ini, salah satunya adalah gaung realisme dalam pemikiran para pelopor intelektual liberalisme. Kita dapat melihat bahwa tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes dan Nicollo Machiavelli, tokoh-tokoh yang berpandangan sangat realis, pun turut menyumbang pemikiran mereka dalam dimensi ontologis liberalisme. Selain itu, perspektif realisme dan liberalisme adalah dua pendekatan yang mengadopsi dasar yang sama, yaitu perspektif pilihan rasional. Sehingga, dalam perbedaan mendasar antara kedua perspektif ini, dapat dicari peluang sintesis melalui metode inkuiri Socrates. Penulis memandang bahwa kita tidak dapat memisahkan begitu saja moralitas dan politik, sebagaimana kita memisahkan kolektivitas, kaidah-kaidah hukum, demokratisasi, dan harmoni dasar kepentingan antara manusia dan negara dengan konsepsi konkret kepentingan nasional. Kita memerlukan realisme yang bermoral, realistis, berprinsip, dan demokratis.

Sebenarnya, usaha serupa pernah dilakukan oleh Robert G. Kaufman. Kaufman berpendapat bahwa perhatian realisme atas pentingnya power, geopolitik, kekurangan manusia, dan ketidakleluasaan anarki membutuhkan faktor-faktor tambahan dari tradisi kaum idealis. Ia memilih tiga figur penting dalam debat realis­idealis: E. H. Carr, dengan argumennya yang menentang Wilson yang memengaruhi realisme pasca-Perang Dunia II dan perkembangan neorealisme; Winston Churchill, yang dengan teori kebijakan luar negerinya berhasil mempersatukan aspek-aspek realisme dan idealisme; serta Reinhold Niebuhr, yang menyumbangkan matriks kritis tentang disposisi untuk menghubungkan norma-norma moral dengan pertimbangan kebijakan luar negeri tanpa tergelincir menjadi sinisme maupun utopianisme. Kaum realis pada masa Morgenthau memahami politik internasional sebagaimana adanya dan seharusnya dalam pandangan sifat ekstrinsiknya daripada sebagaimana orang ingin melihatnya, sehingga lembaga domestik tidak boleh dipungkiri. Diskusi Kaufman mengidentifikasi titik temu pemikiran Carr, Niebuhr, dan Churchill yang dianggap sebagai kaum realis yang paling menonjol dan ketegangan dengan pemikiran kaum realis lainnya.
Bagaimana hasil sintesis ini? Kita belum dapat menyaksikan hasilnya karena usaha ini masih dalam tahap eksperimental. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa dari masa ke masa, perkembangan ilmu sosial terjadi melalui proses dialektis sintesis antara dua pendekatan yang dikotomis. Apalagi, realisme dan liberalisme masih sangat relevan dalam memandang politik dunia ini, di mana masih banyak akademisi maupun praktisi yang menggunakannya. 

    Subscribe to receive free email updates: