Kecerdasan, Motivasi Dan Konsep Diri Merupakan Faktor Psikologis

Kecerdasan, Motivasi Dan Konsep Diri Merupakan  Faktor Psikologis
Penyesuaian diri merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia untuk mencapai kesuksesan baik dalam dunia akademis maupun pekerjaan (Nurkancana , 1984). Kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa, kegagalan yang dihadapi oleh seseorang dalam keluarga, sekolah dan masyarakat bukanlah hanya di sebabkan mereka kurang kecakapan, namun banyak pula di karenakan rendahnya penyesuaian diri mereka terhadap lingkungan. Dengan penyesuaian diri, kepincangan berinteraksi dengan lingkungannya tidak akan terjadi, yang pada gilirannya akan mengembangkan kepribadian seseorang.

Keluarga merupakan peletak dasar pendidikan pertama dan utama. Peranan keluarga tidak dapat digantikan dalam pembinaan perkembangan kepribadian anak, maka dari itu keluarga harus benar-benar menempatkan peranannya dalam pencapaian perkembangan pribadi yang optimal. Sikap kerja sama dan saling memahami diantara kedua orang tua akan menciptakan suasana kehidupan keluarga yang harmonis dan besar peranannya dalam pembinaan pribadi anak. Keharmonisan hubungan dalam keluarga akan memberi kesempatan kepada anak untuk percaya diri, saling menghargai sesama anggota keluarga, sehingga mereka mendapatkan ketenangan dalam menghadapi hidupnya.

Selain keluarga, sekolah/asrama merupakan lembaga pendidikan kedua yang akan memberikan dampak tertentu terhadap perkembangan pribadi anak. Hubungan antara guru dengan siswa, perlakuan guru terhadap siswa, hubungan pengasuh asrama dengan siswa, hubungan siswa dengan siswa akan mempengaruhi pola penyesuaian diri para siswa, karena guru merupakan figur yang langsung berpengaruh terhadap perkembangan pribadi siswa. Antara sekolah dengan siswa merupakan hubungan yang berkelanjutan, sehingga kepribadian dan perilaku guru akan berpengaruh terhadap siswa.

Sekolah tidak hanya bertugas mengembangkan faktor intelektual para siswa, tetapi sekolah juga bertugas mengembangkan faktor non intelektual, sehingga perkembangan siswa menjadi seimbang. Dalam perkembangan pribadi siswa serta masalah-masalah yang dihadapi perlu mendapat perhatian, baik dari orang tua, guru, maupun orang dewasa dalam lingkungan serta masyarakat sekitarnya. Ini berarti kerja sama antara sekolah, asrama, keluarga dan masyarakat sangat diperlukan, agar lebih mudah dan terarah dalam memberikan pembinaan (Singgih D. Gunarsa, 1982).

Lingkungan masyarakat juga berpengaruh terhadap perkembangan dan pembentukan kepribadian siswa. Pengaruh lingkungan masyarakat ini datang dari teman-teman sebaya di sekolah, asrama, orang-orang dewasa disekitarnya. Semua ini akan memberi dampak dalam perkembangan dan penyesuaian diri siswa.

Dalam kehidupan sehari-hari, penyesuaian diri merupakan  faktor penting  sebagai alat atau media dalam berinteraksi dan penyelesaian tugas kelompok. Sejalan dengan penyesuaian diri perlu mendapat perhatian dalam pembinaannya, baik dalam keluarga, sekolah/asrama dan masyarakat. Dengan memperhatikan hal tersebut diharapkan tidak akan terjadi kepincangan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Sesuai dengan  Peraturan  Pemerintah  Republik  Indonesia Nomor : 72  Tahun  1991, tentang Pendidikan Luar Biasa pada pasal 2 disebutkan bahwa: Pendidikan Luar Biasa bertujuan untuk membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar untuk dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Mengingat keadaan anak tuna rungu, maka perkembangan kepribadian, emosi dan sosial secara umum hampir sama. Namun diantara mereka tetap terdapat perbedaan yang disebabkan oleh latar belakang secara umum seperti jenis kelamin, usia, suku, agama dan sosial ekonomi keluarganya dan secara khusus dari sisi tingkat ketuna-runguan, usia terjadinya ketulian, penyebab ketuna-runguan, jenis pendidikan yang ditempuh dan cara berkomunikasinya (A. Van Uden; 1971).

Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut : (1) Apakah terdapat hubungan antara kecerdasan anak dengan penyesuaian diri ? (2) Apakah terdapat hubungan antara motivasi berprestasi dengan penyesuaian diri ? (3) Apakah terdapat hubungan antara konsep diri dengan penyesuaian diri dan secara bersama-sama terdapat hubungan antara kecerdasan, motivasi berprestasi, konsep diri dengan penyesuaian diri ? (4) Apakah  terdapat perbedaan penyesuaian diri siswa yang tinggal di asrama dengan yang tinggal di lingkungan keluarga. Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan, maka tujuan yang ingin dicapai adalah : (1) mengetahui hubungan antara kecerdasan anak dengan penyesuaian diri. (2) mengetahui hubungan antara motivasi berprestasi dengan penyesuaian diri. (3) mengetahui hubungan antara konsep diri dengan penyesuaian diri dan secara bersama-sama antara kecerdasan,  motivasi  berprestasi, konsep diri dengan penyesuaian diri. (4) mengetahui perbedaan antara penyesuaian diri antara siswa yang tinggal di asrama dengan di lingkungan keluarga.

Anak tuna-rungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh pendengaran, sehingga mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa untuk mengungkapkan dan menyampaikan pikirannya. Dengan demikian, anak tuna rungu membutuhkan bimbingan dan pendidikan khusus untuk dapat mencapai kehidupan lahir batin dan penyesuaian diri terhadap lingkungan (Arthur Boothroyd, 1982). Secara medis disebutkan bahwa, tuna rungu berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat-alat pendengaran, sedangkan secara pedagogis diartikan, tuna rungu adalah kekurangan atau kehilangan pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa, sehingga memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus (Mufti Salim, 1984).

Psikologi ketulian menyebutkan bahwa, kehilangan pendengaran menyebabkan seseorang akan mengamati dunianya secara berbeda dan memaksakan untuk mengalih fungsikan pendengarannya ke indera lainnya (Mc. Cay Vernon; Jean F. Andrews, 1990). Keadaan seperti ini menyebabkan terjadinya kecenderungan yang khas pada perilaku pribadi dan sosial kaum tuna rungu. Telah disadari bahwa bagi kaum tuna rungu, fungsi indera lain khususnya peng-lihatan akan memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan dan komunikasi terhadap lingkungannya. Dengan adanya perbedaan dan hambatan dalam perkembangan tersebut akan dapat mempengaruhi penampilan anak dalam berinteraksi dan berkomunikasi yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri. Mengingat gangguan pendengaran yang dialami oleh anak bervariasi sesuai dengan tingkat atau derajat ketuna-runguan dan klasifikasinya.


Pueschel mengklasifikasikan ketuna runguan berdasarkan atas : (1) tingkat ketuna runguan, (2) Tempat kerusakan dalam telinga. Klasifikasi berdasarkan tingkat ketuna rungan, yaitu: (a) Kehilangan pendengaran ringan (Mild) berarti suara-suara dengan kekuatan sampai 25 – 40 dB dan diatasnya tidak dapat didengar. Seorang yang kehilangan pendengaran yang ringan dapat mendengar dan berpartisipasi dalam percakapan, akan tetapi mempunyai kesulitan dalam mendengar suara-suara dan bunyi-bunyian yang agak jauh atau suatu bisikan. Walaupun mereka terlambat dalam perkembangan bahasanya, akan tetapi bicara dan artikulasinya normal. (b) Kehilangan pendengaran sedang (Moderate) berarti suara-suara dengan kekuatan 45-70 dB tidak dapat didengar. Pada tingkatan ini percakapan yang normal sukar diikuti dan artikulasinya sering rusak, sehingga perkembangan bahasa biasanya agak terbelakang, (c) Kehilangan pendengaran cukup berat (Severe) berarti tidak dapat mendengar suara-suara sampai kekuatan 70-90 dB. Mereka sama sekali tidak dapat mengikuti percakapan yang normal. Sebagian besar apa yang diucapkan orang tidak dapat didengarnya.  Alat bantu mendengar sangat menolong, baik bagi anak yang kehilangan pendengaran sedang maupun yang cukup berat. (d) Kehilangan pendengaran sangat berat (Profound) berarti tidak dapat mendengarkan suara-suara sampai kekuatan 90 dB. Agar dapat mendengar kekuatan suara tersebut harus lebih besar atau lebih tinggi dari 90 dB. Mereka ini tidak akan mungkin mendengarkan suara-suara percakapan normal dan alat bantu mendengar sedikit sekali manfaatnya. Anak-anak yang tuli berat, biasanya belajar sistem komunikasi yang lain seperti bahasa isyarat atau menggunakan papan tulis untuk berkomunikasi. Sedangkan klasifikasi tempat kerusakan dalam telinga, adalah: (a) Kerusakan konduktif adalah kerusakan pendengaran yang terjadi apabila bagian luar dan bagian tengah telinga tidak meneruskan getaran suara ke cairan bagian dalam telinga. Umumnya pada anak-anak disebabkan karena otitis media infeksi atau peradangan pada telinga bagian tengah. Apabila ini terjadi pada masa anak sebelum sekolah dapat berpengaruh pada perkembangan perseptualnya dan berakibat kesukaran dalam tingkah laku. Ini dapat disembuhkan melalui pengobatan atau pembedahan. (b) Kerusakan sensori, yang disebabkan karena kerusakan sensori dan biasanya disebut tuli sensoris atau tuli reseptif. Kerusakan ini terjadi karena Cochka (rumah siput) tidak cukup mampu menghantarkan informasi mengenai macam-macam suara yang diterima di bagian tengah telinga. Anak yang tuli sensori atau reseptif kehilangan kemampuan dalam membeda-bedakan frekwensi suara, sehingga informasi yang disampaikan ke otak tidak rinci. (c) Kerusakan syaraf ini menyebabkan gangguan dalam memusatkan perhatian, mengingat, mengenal kembali, asosiasi dan dalam memahami ini dapat disebabkan karena kerusakan langsung pada mekanisme syaraf atau kerusakan tidak langsung sebagai akibat dari kerusakan sensori; kehilangan perseptif (Boothroyd, 1982).

Berdasarkan klasifikasi tersebut di atas, maka dapat diketahui seberapa jauh anak tuna rungu dapat memanfaatkan sisa pendengarannya dengan dibantu alat bantu mendengar (ABM) yang sering disebut dengan Hearing Aid. Sesuai dengan pengalaman bahwa siswa yang tergolong kurang dengar (kehilangan pendengaran tidak lebih dari 90 dB) akan mampu memiliki pola bicara yang normal/hampir normal, bila dibandingkan dengan siswa yang tergolong tuli (lebih dari 90 dB). Bahwa mereka akan memiliki berbagai tingkatan efektifitas dalam ketrampilan berkomunikasi dan penyesuaian diri. Perkembangan sosial dan kepribadian anak tuna rungu dalam masyarakat normal sangat tergantung pada kemampuan dalam penyesuaian diri. Sebagaimana dikatakan oleh Meadow (1975) bahwa anak-anak tuli lebih banyak memiliki masalah dalam kehidupan. Hal ini tergantung pada sejauh mana lingkungan dapat menerima keadaan mereka, terutama respon orang tua dan keluarga.

Dalam kaitan dengan permasalahan di atas, manfaat penyesuaian diri dalam kehidupan seseorang merupakan faktor penting karena sebagai alat dalam berinteraksi terhadap lingkungan dan media penyelesaian tugas kelompok, sehingga peranan keluarga sangat penting di samping  merupakan peletak dasar pendidikan pertama dan utama yang memegang peranan dalam pembinaan perkembangan pribadi anak. Keluarga memberikan sumbangan yang paling besar dalam pembentukan kepribadian anak. Keharmonisan keluarga memberikan kesempatan kepada anak untuk percaya diri, saling menghargai sesama, sehingga mereka mendapatkan ketenangan hidup. Di samping keluarga, sekolah/asrama sebagai sub sistem dari kehidupan, sosial budaya merupakan pendidikan kedua yang memberikan dampak tertentu terhadap perkembangan pribadi anak. Suasana hubungan guru dengan anak, perlakuan guru, hubungan anak dengan anak, hubungan pengasuh asrama dengan anak akan mewarnai pola penyesuaian diri para anak.

Penyesuaian diri diperoleh melalui proses belajar, proses  sosialisasi dan  proses interaksi, baik dalam keluarga, sekolah/asrama maupun di masyarakat. Ini berarti penyesuaian diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kecerdasan, motivasi berprestasi dan konsep diri. Bertalian dengan faktor tersebut, maka penyesuaian diri menduduki posisi yang sangat penting dalam kehidupan manusia untuk meningkatkan prestasi belajar. Setelah penyesuaian diri tercapai diharapkan adanya peningkatan prestasi belajar. Pada kenyataannya banyak siswa Sekolah Luar Biasa yang menunjukan gejala-gejala ketidak mampuan dalam penyesuaian diri, karena mereka hidup dalam dua dunia, yaitu dunia orang normal dan dunia orang luar biasa, sulit bergaul dengan lingkungannya karena adanya hambatan dalam pendengaran dan mengasingkan diri, dimana mereka sering terputus dalam berkomunikasi dengan masyarakat luas.

Berdasarkan pada kajian teori, hasil-hasil penelitian yang relevan dan kerangka berpikir, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: (1) terdapat  hubungan  yang positif antara kecerdasan dengan penyesuaian diri, (2) terdapat  hubungan  yang  positif   antara   motivasi   berprestasi dengan penyesuaian diri, (3) terdapat hubungan yang  positif  antara  penyesuaian  diri dengan konsep diri, (4) secara bersama-sama terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan, motivasi berprestasi, konsep diri dengan penyesuaian diri, dan (5) terdapat perbedaan penyesuaian diri antara anak  yang tinggal  di asrama dengan anak yang tinggal di lingkungan keluarganya.

Metode
Jenis penelitian yang digunakan adalah Ex Post Facto, dengan besar sampel 76 orang diambil dari masing-masing klasifikasi tingkat pendidikan, yaitu: SDLB sebanyak 46 orang terdiri dari 21 orang di asrama dan 25 orang di lingkungan keluarga. Untuk tingkat SLTP Luar Biasa sampel sebanyak 18 orang, terdiri dari 9 orang di asrama dan 9 orang di lingkungan keluarga. Pada tingkat SM Luar Biasa, jumlah sampel sebanyak 12 orang terdiri dari 8 orang di asrama dan 4 orang di lingkungan keluarga. Data primer di kumpulkan langsung melalui kuesioner dan test terhadap responden. Kuesioner ini meliputi kuesioner tentang penyesuaian diri, motivasi berprestasi dan konsep diri, sedangkan data tentang kecerdasan diperoleh melalui test Laboratorium Bimbingan Konseling (BK) IKIP Negeri Singaraja. Penelitian ini mempergunakan 3 paket kuesioner dan satu test Progresive Matrik. Kuesioner dibuat oleh peneliti berdasarkan indikator dari masing-masing variabel, sebagai berikut: (1). Untuk memperoleh data tentang penyesuaian diri, digunakan kuesioner yang berisi sejumlah pernyataan yang disusun berdasarkan indikator dengan menggunakan model skala Likert.Adapun butir-butir pernyataan variabelnya disusun berdasarkan pada indikator yang tertuang dalam kisi-kisi alat ukur. (2). Test yang digunakan untuk mengukur kecerdasan siswa adalah test Standard Progresive Matrics (SPM). Tes ini terdiri dari gambar-gambar yang di berikan kepada testee. Testee di minta untuk mengembangkan penalaran dalam mencari hubungan diantara gambar-gambar tersebut. (3).Untuk  memperoleh data tentang motivasi berprestasi dan konsep diri, digunakan kuesioner yang berisikan sejumlah pernyataan yang disusun berdasarkan indikator motivasi berprestasi dan konsep diri yang tertuang dalam kisi-kisi alat ukur, dengan menggunakan model skala Likert. (4).Sebelum  instrumen  di gunakan, terlebih dahulu dilakukan uji  validitas dan realibitas terhadap 30 sampel siswa SLB B Negeri Pembina Tingkat Nasional Jimbaran yang tidak menjadi anggota sampel penelitian, dengan tehnik analisis korelasi biserial point, dan koefisien alpha. (5). Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah: analisis univarian (meliputi rerata, simpang baku, median, dan modus), analisis multivarian yang meliputi Korelasi Regresi Linier Sederhana dan Korelasi Regresi Ganda), serta analinis Kovarian (dengan menggunakan nilai t).

Homogens
Pengujian homogenitas varians yang dikenakan pada skor penyesuaian diri antara siswa yang tinggal di asrama dengan siswa yang tinggal dengan keluarga, setelah di analisis diperoleh l2hitung = 0,392 dan l2tabel = 3,840 pada taraf signifikansi a = 0,05. Ini berarti bahwa l2hitung  = 0,392 < l2tabel = 3,840 maka Ho diterima. Ini berarti bahwa skor penyesuaian diri antara siswa yang tinggal di asrama dengan yang tinggal dengan  keluarga mempunyai varians yang homogen.

Berkorelasi Linier
Setelah dilakukan analisis statistic, diperoleh harga F untuk skor   kecerdasan, motivasi berprestasi, dan konsep diri terhadap skor penyesuaian diri baik untuk siswa yang tinggal di asrama maupun  yang tinggal dengan  keluarga mempunyai harga p > 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa semua variabel tersebut berkorelasi linier.

Nirkolinier
Setelah diadakan analisis dengan korelasi product momentdiperoleh rxx antar sesama variabel sertaan baik dari kelompok siswa yang tinggal di asrama maupun kelompok siswa yang tinggal dengan  keluarga kurang dari 0,800 (rxx< 0,800). Ini berarti bahwa antar sesama variabel sertaan tidak kolinier (nirkolinier).

Hubungan antara Kecerdasan dengan Penyesuaian diri
Dari hasil perhitungan didapat persamaan garis regresi:
Y = 74.8098 + 0.514095 X.

Untuk signifikansi dari persamaan garis regresinya diuji dengan uji F dan diperoleh Fhitung11.707 > F tabel(1;76; 0,05) 3.96. Persamaan garis tersebut digunakan untuk memprediksi penyesuaian diri berdasarkan atas kecerdasannya. Untuk besarnya korelasi didapat:  r = 0.366. Setelah di uji dengan uji t di peroleh hasil thitung 3,377 > ttabel 1,96,  sehingga Ho ditolak atau dengan  kata lain, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan dengan penyesuaian diri pada siswa SLB B Negeri Denpasar.

Hubungan antara Motivasi Berprestasi dengan Penyesuaian Diri
Dari hasil perhitungan didapat persamaan garis regresinya:
Y = 62.8322 + 0.22215 X

Untuk signifikansi dari persamaan garis regresinya diuji dengan uji F dan diperoleh Fhitung6.4932 > F tabel(1;76; 0,05)  3.96. Sehingga persamaan garis tersebut dapat digunakan untuk memprediksi penyesuaian diri berdasarkan atas motivasi berprestasi. Sedangkan besarnya korelasi didapat  r = 0.281. Untuk menguji apakah perbedaan tersebut signifikan di uji dengan  uji t dan diperoleh harga thitung2,514 > ttabel 1,96, sehingga Ho ditolak atau dengan  kata lain terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara motivasi berprestasi dengan penyesuaian diri pada siswa SLB B Negeri Denpasar.

Hubungan antara Kecerdasan dengan  Penyesuaian diri
Dari hasil perhitungan statistik didapat persamaan garis regresi:
Y = 39,07972 + 0,453486 X

Fhitung11,961 > F tabel(1;76; 0,05) 3,96. Sehingga persamaan garis tersebut dapat digunakan untuk memprediksi penyesuaian diri berdasarkan atas konsep diri. Sedangkan besarnya korelasi didapat,  r = 0.0369. Untuk menguji apakah perbedaan tersebut signifikan dapat di uji dengan  uji t dan diperoleh hasil thitung 3.413 > ttabel1.96, sehingga Ho ditolak atau dengan  kata lain terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara konsep diri dengan penyesuaian diri pada siswa SLB B Negeri Denpasar.

Hubungan antara Kecerdasan, Motivasi Berprestasi, dan Konsep Diri secara Simultan
Berdasarkan perhitungan persamaan garis regresi, diperoleh hasil:
Y = 0.3971 X1 – 0.791 X2 + 0.0423 X3 – 27.336.

Sedangkan bersarnya korelasi yang diperoleh sebesar R(1,2,3)  = 0.630. Untuk menguji signifikansi dari hasil regresi ganda, diuji dengan uji F dan diperoleh hasil Fhitung 16,239 > F tabel(1;76; 0,05)2.74. Sehingga Ho ditolak, atau, terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan, motivasi berprestasi dan konsep diri secara bersama-sama terhadap penyesuaian diri siswa SLB B Negeri Denpasar.

Perbedaan Penyesuaian Diri antara Siswa yang Tinggal di Asrama dengan yang tinggal dengan Keluarga
Dari uji statistik F-test diperoleh Fhitung = 7.543 dan Ftabel = 7,010 pada taraf signifikansi a = 0.01. Ini berarti Fhitung > dari Ftabel,  maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada penyesuaian diri antara siswa yang tinggal di asrama dengan yang tinggal dengan  keluarganya setelah dikontrol oleh variabel kecerdasan, motivasi berprestasi, dan konsep diri. Untuk mengetahui penyesuaian diri mana yang lebih baik, dapat dilihat dari rerata penyesuaian masing-masing kelompok. Setelah diadakan analisis dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri siswa yang tinggal dengan  keluarga lebih baik daripada penyesuaian diri siswa yang tinggal di asrama.

Subscribe to receive free email updates: