Pengertian Kebijakan Hukum Lingkungan dan Masalahnya

Pengertian Kebijakan Hukum Lingkungan dan Masalahnya
Hukum seharusnya mempunyai kedudukan dan arti penting dalam pemecahan masalah lingkungan dan berfungsi sebagai dasar yuridis bagi pelaksanaan kebijakan negara/pemerintah dalam mengelola lingkungan hidup. Jika Kebijakan lingkungan kemudian dirumuskan dalam rangkaian norma yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan lingkungan, maka dalam arti sempit dapat disebut sebagai kebijakan hukum lingkungan atau sering pula disebut politik perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.  Timbul pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kebijakan hukum lingkungan itu?

Yang dimaksud dengan kebijakan hukum lingkungan dalam arti sempit adalah penentuan konsep, proses, strategi, dan siasat yang terumuskan secara sistematis berkenaan dengan rencana, program, proyek, dan kegiatan pemerintah dan masyarakat sebagai sarana pencapaian tujuan pengelolaan lingkungan hidup melalui pendayagunaan peraturan perundang-undangan beserta kelembagaannya. Pertanyaan lanjutannnya adalah kebijakan hukum yang bagaimanakah yang secara sistemik dan efektif berpotensi mewujudkan tujuan kebijakan lingkungan? Mengapa dalam faktanya malah justru peraturan perundang-undangan tidak sedikit memberikan kontribusi yang cukup siginifikan dalam hal terjadinya masalah lingkungan?  

Pemikiran yang didukung oleh hasil penelitian dan pengkajian mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi buruknya pengaturan pengelolaan lingkugan hidup di Indonesia adalah karena kebijakan peraturan perundang-undangan yang sengaja didesain (atau mungkin juga karena “kelalaian”) untuk tidak cukup efektif  mencegah dan menyelesaikan masalah lingkungan. Kelemahan ini dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang cenderung bersifat pragmatis, reaktif, sektoral, parsial dan berjangka pendek, seperti ketidaklengkapan penggunaan fungsi manajemen lingkungan, belum terurai dengan utuh penormaan prinsip-prinsip pembangunan keberlanjutan, pengaturan kelembagaan yang sangat parsial, pasal perizinan yang sumir, norma pengawasan yang tidak jelas, belum lengkapnya pengaturan tentang hak-hak prosedural masyarakat, belum didayagunakan pengaturan berkenaan dengan persyaratan penaatan, instrumen ekonomi, rumusan sanksi administrasi dan pidana yang tidak implementatif, dsb. Dengan demikian, tidak sedikit terjadi disharmoni antara peraturan perundang-undangan lingkungan hidup dengan perundang-undangan sektor, yakni berupa konflik, kontradiksi, tumpang tindih, gap, dan inkonsistensi. 

Adapun titik lemah dari keberadaan UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) adalah tidak cukup mampu menempatkan dirinya sebagai UU yang menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan (atau dengan perkataan lain sebagai undang-undang yang berfungsi “payung”) terhadap UU “Sektor”. Bahkan UU “sektor” ini dalam tataran pelaksanaanya justru lebih dominan dan malah terkesan mengenyampingkan  keberlakuan UUPLH.

Isu lainnya adalah bahwa berkaitan dengan perkembangan pemikiran dan konsep pengelolaan lingkungan yang terjadi di dunia internasional, maka komitmen global Indonesia perlu pula menjadi perhatian dalam mengisi substansi perundang-undangan lingkungan hidup, misalnya perlu dimuatnya prinsip-prinsip Pengelolaan Lingkungan yang Baik (Good Environmental Governance) dan Penglolaan Pembanguan Berkelanjutan yang Baik (Good Sustainable Devlopment Governance) secara utuh dan rinci, seperti adanya:  
  1. Intergenerational equity;
  2. Intragenerational equity;
  3. The precautionary principle;
  4. The internalization of externality;
  5. Pollution Prevention;
  6. Polluter Pays Principle;
  7. Strict Liability and  Absolute Liability;
  8. Shifting of burden of proof;
  9. Transboundary Principle;
  10. Extraterritoriality Principle.

Asas-asas kebijakan lingkungan (principles of environmental policy)  yaitu antara lain:
  1. abatement at the source;
  2. best practicable means/best technical means;
  3. stand still principle;
  4. principle of regional differentiation;

Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut merupakan suatu “paket” dari pengelolaan lingkungan yang baik, yang harus termuat dalam kebijakan lingkungan yang diwujudkan dalam  perangkat peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Harmonisasi dari prinsip sustainable development dan good environment governance adalah Good Sustainable Development Governance yang berimplikasi  pula pada:
  • Dorongan ke arah Corporate Social Responsibility dan  Accountability lebih menguat (termasuk tuntutan masyarakat internasional);
  • Masyarakat akan lebih terbuka dan demokratis (democratic society and government)
  • Kekuatan-kekuatan civil society sebagai kelompok penekan (pressure group) semakin kuat dan efektif;
  • Gerakan konsumen hijau semakin meluas seiring dengan berkembangnya pendidikan lingkungan, meningkatnya kesadaran LH terhadap kondisi SDA dan LH yang semakin memburuk;
  • Rule of Law semakin terbangun.

Tentunya kondisi tersebut diatas amat memprihatinkan, karena sesungguhnya pedayagunaan peraturan perundang-undangan, sebagai sarana yuridis normatif dalam mewadahi dan memberi landasan kebijakan lingkungan, seharusnya justru  memberikan keuntungan, yaitu antara lain memiliki daya paksa secara lebih rasional dan proporsional, dapat mengintegrasikan berbagai kebijakan yang “terserak” dalam berbagai dokumen, dapat memberikan panduan bertindak dalam pola yang ajeg, memudahkan dalam meminta pertanggungjawaban siapapun yang berbuat melawan kehendak hukum, dan lebih memberikan kekuatan terhadap legitimasi sosial. 

Memang disadari betapa banyak masalah yang dihadapi dalam pengaturan kebijakan hukum di bidang lingkungan hidup, hal ini tidak saja merupakan tantangan bagi mereka yang langsung berkecimpung di bidang Hukum Lingkungan, tetapi merupakan panggilan tugas dan tanggungjawab bersama para ahli hukum untuk berperanserta melalui kemampuan ilmunya dalam upaya membangun Hukum Lingkungan nasional Indonesia di masa datang. 

Potret Kebijakan Hukum
Dalam upaya memahami kebijakan hukum lingkungan di Indonesia secara lebih utuh, maka kiranya dapat digambarkan bagaimaan potret kebijakan yang pernah dan sedang berlaku, serta bagaimana sebaiknya sifat dan corak kebijakan hukum itu dibangun ke depan, sebagai berikut: 

1. Sifat Perangkat Peraturan Perundang-undangan Lingkungan Hidup
    a. Bersifat insidental:
Penyebab kelahiran suatu peraturan perundangan undangan lingkungan tidak jarang ditandai oleh sifat reaktif terhadap suatu kejadian/kasus yang bersifat incidental. Sifat reaktif dari aturan yang sekedar upaya merespon peristiwa lingkungan inilah acap kali memang hanya “umur” pendek saja dengan penyelesaian yang juga bersifat ad hoc. Oleh karena terbitnya perundang-undangan ini didasarkan pada situasi dan kondisi konkret, maka ciri kebijakan hukum lingkungan  ini bersifat insidental.   Produk peraturan yang tadinya belum direncanakan dalam jangka panjang, akhirnya perangkat hukum itu dikeluarkan karena terdesak oleh keadaan yang segera mungkin harus diatasi dengan perangkat peraturan. 
Misalnya, lahirnya peraturan dilatarbelakangi oleh adanya suatu wabah penyakit, masalah kesehatan lingkungan ataupun karena timbulnya pencemaran dimana-mana oleh industri. Sifat perundang-undangan seperti ini sudah tentu tidak akan luwes dalam jangka waktu lama (tidak mampu mencakup kebutuhan-kebutuhan perkembangan zaman), karena wawasan yang ditata hanya mampu menjangkau kepentingan-kepentingan saat itu. 

  b. Bersifat komensalis
Kebijakan dalam membentuk peraturan perundang-undangan tidak selalu ditujukan untuk mengatur bagaimana agar perlindungan kualitas fungsi daya dukung dan daya tampung lingkungan tetap tinggi atau setidaknya tidak menurun secara signifikan. Peraturan yang dibentuk hanya bersifat formalitas, sehingga hanya merupakan pengaturan lingkungan yang  memberikan petunjuk umum secara garsi besar dan bahkan terkadang parsial.   

Adapun pengaturan tentang pengelolaan lingkungan yang sebenarnya diserahkan kepada masing-masing perundang-undangan sector-sektor kegiatan, seperti kehutanan, pertambangan, industri, pekerjaan umum, perumahan. Cara ini tentunya melihat pengelolaan lingkungan dari kacamata kepentingan sektor yang bersangkutan, pada umumnya terutama dalam rangka pembangunan ekonomi yang menjadi panglimanya. Dengan demikian peraturan perundang-undangan lingkungan hanya merupakan minority regulation yang mendukung perundang-undangan sektor, misalnya pada awal tahun-tahun awal Orde Baru yang demikian  tersbut amat kentara dalam UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU PMA dsb. Jadi kebijakan perundang-undangan ini bersifat komensalis  

c.  Bersifat Partial
Ciri-ciri dari suatu kebijakan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yang bersifat parsial antara lain:
  1. Masalah lingkungan dilihat hanya sebatas pengaturan isu yang berdiri sendiri-sendiri, seolah tidak ada kaitan dengan isu lainnya, misalnya isu kerusakan hutan dipersepsi sebagai masalah kerusakan pohon/kayu, padahal hal tersebut juga terkait dengan masalah tata air, banjir, longsor, kerusakan situs budaya dsb;
  2. Cara pengaturannya pun tidak sistematis dan terpadu, lebih terkesan menonjolkan sektornya masing-masing, sehinga terjadi egosektor;
  3. Tidak terjadi interaksi, interdependensi, interkoneksi dan interrelasi antara satu isu lingkungan dengan isu yang lain, misalnya Peraturan Menteri X, melarang tetapi Peraturan Menteri Y membolehkan.;
  4. Sulit untuk melihat masalah lingkungan sebagai sebagai suatu yang komprehensif, integrated, dan holistic, mislanya lahirnya Perpu 1/2004 jo UU No. 19/2005 yang membolehkan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung, yang nota bene oleh UU No. 41/1999 tentang Kehutanan adalah dilarang.

d. Bersifat Sektoral atau Departemental
Pada dasarnya kebijakan perundang-undangan lingkungan yang bersifat sektoral atau departemental ini hampir serupa dengan yang bersifat parsial sebagaimana terurai di atas. Ciri inilah yang paling banyak menandai peraturan perundang-undangan lingkungan kita. Selain dapat dimaklumi bahwa pelaksanaan praktis dari suatu kegiatan bermuara pada masing-masing departemen atau sektor, hal itu juga disebabkan karena setiap departemen diberi wewenang teknis untuk menetapkan peraturan-peraturan dalam kaitan tugasnya masing-masing.  Singkat kata kebijakan sektoral atau departemental ini adalah bercirikan:
  1. Masalah lingkungan hanya dilihat dari sudut pandang sektor;
  2. Pengaturan pengelolaan lingkungan diatur oleh masing-masing sektor;
  3. Apabila tidak ada koordinasi maka sering timbul konflik kewenangan, overlapping, dan tarik menarik kepentingan di antara sektor;
  4. Berpotensi untuk terjadi disharmoni dan inkonsistensi dalam pengambilan kebijakan di bidang lingkungan.

e. Perangkat Jalan Pintas
Terdapat suatu kecenderungan dalam praktek, di mana beberapa bentuk regulasi yang kendati pun secara substansial seharusnya membutuhkan tingkatan regulasi yang lebih tinggi, katakanlah dengan bentuk UU, tetapi dengan beberapa hal, kebutuhan tersebut hanya dibuat dalam bentuk di bawah tingkatan UU,  misalnya, berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Menteri, dan lain-lain yang tidak perlu melibatkan parlemen (DPR). 

Kebijakan jalan pintas ini secara ringkas bercirikan:
  1. Pengaturan lingkungan seringkali diterabas oleh produk yang mudah diterbitkan;
  2. Penyelesaian lingkungan selalu didasarkan pada kesepakatan (joint policy) para pengambil kebijakan misalnya melalui SKB;
  3. Pengaturan lingkungan lebih pada teknis operasional;
  4. Pengaturan lingkungan lebih diutamakan pada faktor efektivitas dan efisiensi;
  5. Produk hukum tidak didasarkan pada pengkajian yang komprehensif dan mendalam.

Cara negatif yang berwujud jalan pintas ini ditempuh karena adanya faktor-faktor berikut:
  • Adanya kebutuhan akan perangkat hukum yang mendesak;
  • Menghindari waktu yang berlarut-larut menunggu peraturan yang lebih tinggi, sehingga ditempuh jalan pintas dengan menggodok Permen atau Keppres. Cara ini lebih praktis dibandingkan dengan sebuah UU (dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR), yang sudah tentu memakan proses yang lama dan membutuhkan banyak biaya;
  • Motivasi sosial politis;
  • Anggaran biaya yang tidak mencukupi untuk memproduk UU;
  • Faktor kekurangtanggapan para aparat yang berkompeten.

Bersifat komprehensif, kohesif, dan konsisten
Akhirnya bagaimana suatu peraturan perundang-undangan lingkungan hidup itu seharusnya dibangun. Secara teoritis substansi dan rancang bangun perundang-undangan di bidang lingkungan hidup ini memiliki ciri:

- Komprehensif:artinya  substansi perundang-undangan ini memuat setiap aspek dari pengelolaan lingkungan antara lain meliputi: inventarisasi, perencanaan, perlindungan, pencegahan,  pemanfaatan, penanggulangan, pemulihan, pelestarian, konservasi, kelembagaan, partisipasi masyarakat, desentralisasi, pengawasan, pengendalian, perizinan, sumber daya manusia, standar, baku mutu, instrumen ekonomi, meninternalisasi komitmen global.

- Kohesifartinya: senantiasa dikembangkan keterpaduan, keterkaitan, keterlekatan, keterhubungan, dan ketergantungan antara perundang-undangan lingkungan dengan sektor. Contoh di Belanda yang mereka sebut sebagai National Environmental Policy Plan (NEPP).  

Konsisten: bahwa setiap produk perundang-undangan di bidang lingkungan hidup senantiasa mengedepankan  selain good process, artinya dibentuk dengan melibatkan   pemangku kepentingan (stakeholders) seluas mungkin secara genuine; juga good norms artinya tepat jenis perundang-undangannya, dibuat oleh lembaga yang tepat, mampu menjabarkan dengan jelas (clearly) prisnip-prinsip good environmental governance dan good sustainable development governance ke dalam norma yang enforceable, sehingga UUPLH dapat dijadikan atau berfungsi “payung” bagi kegiatan sektor.         

Corak Kebijakan Peraturan Perundang-undangan Lingkungan Hidup
Regulasi Bersifat Environmental Policy
Menurut Lawrence E. Susskind (et.al) 4 paling tidak ada 6 aspek karakteristik keberhasilan dalam merumuskan kebijakan lingkungan, yakni:
    1. defined a policy problem in a way that was particularly helpful to policy makers;
    2. described the full range of possible policy respons;
    3. overcome resistance to change on the part of the relevant regulatory agency;
    4. provided important opportunities for all stakeholders to participate;
    5. worked to enhance the legitimacy of the particular actions or changes suggested; and
    6. helped ensure that adequate resources would be avaible for policy implementation.

Sifat dari regulasi-regulasi hukum yang semata-mata hanya untuk satuan-satuan lingkungan/ekosistem, termasuk sistem-sistem kebijakan yang berhubungan dengan itu, disebut dengan Environmental Policy. Faktor yang ditekankan di sini adalah diregulasikannya berbagai produk perundang-undangan yang khusus ditujukan untuk menata sistem lingkungan.

Regulasi Bersifat Integral Policy
  1. Pengaturan pengelolaan lingkungan hidup tidak semata-mata ditujukan untuk kepentingan lingkungan saja, melainkan dikaitkan dengan kepentingan sektoral seperti pariwisata, perindustrian, transmigrasi, perdagangan, pekerjaan umum, perumahan, transportasi, dan lain-lain.
b. Dalam kebijakan penataan regulasi ini, sektor non-lingkungan hidup menjadi porsi utama dari tujuan pembuatan peraturan perundang-undangan, tetapi tetap diperhatikan dan dirumuskan beberapa pasal ketentuan atas konservasi lingkungan sememadai mungkin. 
Meskipun demikian, pengeintegrasian kepentingan lingkungan (prinsip pembangunan berkelanjutan dan perlindungan) kepada kebijakan lingkungan harus tetap dipersyaratkan adanya koherensi diantar keduanya, sebagimana dinyatakan oleh  Dietr Helm,  yang mengingatkan bahwa “taking the environment seriously ia a necessary but not sufficient step towards an environment policy”, oleh karena itu lanjutnya “… to provide coherence, the policy requires clear objectives and targets that derive from it. It also requires an appropriate set of instruments and a set of institutions capable of implementing it. 
 

Regulasi Bersifat Supporting Policy/Beyond Policy
Persoalan kebijakan lingkungan nampaknya tidak hanya cukup diselesaikan dari aspek hukum semata, melainkan juga melingkupi nilai etik dan bahkan hubungan transenden antara mansuia dengan alamnya. Dalam konteks ini Daniel H. Henning menggambarkan  bahwa “Given the general environmental value placed harmony between man and nature, it is appropriate to recognize the complexities, intensities, and varieties of individual interpretations given as they relate to environmental policy.  


Regulasi hukum di semua sektor, sepanjang masih mampu dilibatkan untuk mendorong ditingkatkannya partisipasi pembinaan lingkungan, disebut dengan supporting policy atau beyond policy. Sifat ketiga ini lebih diharapkan untuk mendorong faktor pembinaan lingkungan. Misalnya, mencintai lingkungan dan alam dapat diajarkan baik melalui intrakurikuler atau ekstrakurikuler di berbagai sekolah, ditambahkan dan diaktifkannya LSM, digiatkannya swadaya masyarakat berupa partisipasi-partisipasi sosial, spontanitas masyarakat, kelompok-kelompok agama, pramuka, pemuda, dan lain-lain motivasi yang digerakkan oleh keputusan-keputusan departemental. 
    1. Pengaturan lingkungan dilakukan mulai dari membangun budaya hukum masyarakat;
    2. Pengaturan lingkungan lebih diarahkan pada penaatan sukarela;
    3. Pengaturan lingkungan lebih menyertakan pada penguatan civil society dan pelaku ekonomi;
    4. Pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator, fasilitator, dan penegakan hukum.

Subscribe to receive free email updates: