Variabel Yang Berpengaruh Terhadap Per Pres 65 Tahun 2006 & Kelemahan Pengaturan Pengadaan Tanah (Ius Constituendum)

Variabel Yang Berpengaruh Terhadap Per Pres 65 Tahun 2006 & Kelemahan Pengaturan Pengadaan Tanah (Ius Constituendum) 
Agar mempermudah memahami konsep berfikir penulis di dalam mengkaji materi pengaturan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum dengan pendekatan atau perspektif socio-legal dapat dijelaskan alasan penulis adalah:
a. aras berfikir kebanyakan panitia pengadaan tanah atau bahkan konsultan tehnisnya mengesankan masih terpancang pada tataran teoritikal tehnis semata, seolah-olah bahwa skenario substansi, cara, mekanisme/ prosedur serta eksekusi pengadaan tanah yang disepakati dipastikan ganti-rugi dengan alur yang cukup berbelit (the live of law hasn’t been logic but it is experience kata hakim agung USA Oliver Wendel Holmes) artinya hukum tidak bisa hanya dipancang pada makna yang teknikal, real, logis semata, namun di dalamnya juga terkandung esensi perilaku, budaya, cara sosialisasi, karakter individu dan sebaiknya.
b. diagram alir menunjukkan pengabaian cara-cara lain yang kemungkinan justru malah disepakati para pihak dalam serangkaian musyawarah misal: jual-beli untuk pengadaan tanah bukan untuk kepentingan umum
c. sebaiknya daripada membuat prosedur yang birokratik, lebih tepat jika membuat ancangan menyusun kemungkinan cara-cara non ganti rugi misalnya tukar-menukar tanah (ruilslag), tanah pengganti, penyertaan modal (inbreng), saham dan sebagainya. Mengapa demikian?, alasan penulis, sekalipun sudah diatur namun dari serangkaian mempelajari aturan, belum ada sistem yang baku (nampaknya sulit dilakukan pembakuan karena karakteristik setiap proyek sangat beragam dan budayanya).
d. pelibatan institusi harus terkait dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) dalam sistem organisasi birokrasi, LSM demkian juga harus terkait dengan kiprah masing-masing satuan organisasinya dengan penggambaran yang jelas, sederhana apa tugas dan tanggung–jawab serta apa urgensinya pemangku kepentingan itu harus dilibatkan bukan pemangku kepentingan yang lain?.

Gambar Variabel Berpengaruh Terhadap Kaidah PTUP

Keterangan Gambar:
------ menggambarkan variabel besar yang potensial berpengaruh

à menggambarkan hirarkhi dan saling keterpengaruhan

PTUP = pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum 

H. Pijakan Teoritik yang Digunakan Dalam Kajian


Seperti telah ditegaskan oleh penulis bahwa dalam kajian ini penulis menggunakan dasar teori hukum sebagai basis untuk melakukan serangkaian analisis yakni analisis socio-legal. Adapun teori yang dipakai adalah Autopoietic Organization Theory yang dikemukakan oleh Niklas Luhmann yang diketengahkannya pada sekitar tahun 1980an seperti tersebut di wikipedia.com sebagai berikut: 

Luhmann called this process of reproduction from elements previously filtered from an over-complex environment autopoiesis (pronounced "auto-poy-E-sis"; literally: self-creation), using a term coined in cognitive biology by Chilean thinkers Humberto Maturana and Francisco Varela. Social systems are autopoietically closed in that they use and rely on resources from their environment; yet those resources do not become part of the systems' operation. Both thought and digestion are important preconditions for communication, but neither appears in communication as such.

Luhmann likens the operation of autopoiesis (the filtering and processing of information from the environment) to a program, making a series of logical distinctions (in German,Unterscheidungen. autopoiesis represents considerable potential for developing alternative ways of understanding organizations. Niklas Luhmann's autopoiesis, being developed specifically for theorizing social systems, is gradually finding its way into organization studies. areas of Luhmann's autopoiesis that have bearing on organization theory. It discusses aspects that are of particular interest to both theoretical and empirical organization theory, and in doing so it enables students of organizations to acquire better appreciation of Luhmann's thinking. Niklas Luhmann drew from theories of organization. In this valuable book Luhmann's theory is used for analysing organizations. The authors provide useful insights in two respects: they elucidate Luhmann's general ideas in the specific context of organization, and they demonstrate how our understanding of organizations can benefit from these ideas.".

(wiki pedia.com.niklas luhmann.sociology of law. html diunduh tanggal 29 Mei 2008) 

Alasan penulis mengambil teori Luhmann untuk melakukan serangkaian kajian atas peraturan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum pertama karena memasukkan variabel non-yuridik asalnya dari variabel yang diadoptasi dari disiplin biologi kognitif disetarakan adanya variabel lain sebagai variabel yang berpengaruh atas variabel hukum. Kedua antara variabel hukum dan non-hukum terjadi saling mengorganisasikan dirinya, berkreasi secara internal, pengaruh-mempengaruhi.Ketiga kegagalan kajian positivistik menjelaskan mengapa kaidah hukum tentang pengadaan tanah pada tataran sistem organisasi kemasyarakatan. 

Teori Niklas Luhmann menjelaskan bahwa hukum atau secara lebih sempit seperangkat kaidah hukum dapat mengalami perubahan yang diakibatkan oleh dua variabel secara simultan yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor dari dalam substansi hukum itu sendiri yang harus mengubah dirinya dalam menyesuaikan dengan perubahan pada tataran eksternal. Faktor eksternal berarti perubahan yang diakibatkan oleh desakan faktor-faktor di luar sistem hukum misalnya faktor: politik, sosial-ekonomi, religi-budaya-kemasyarakatan baik secara kontinyu-perlahan, atau secara intens-kuat. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58/PMK.02/2008 sebagai contoh misalnya dalam aktifitas pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum, maka panitia pengadaan tanah akan mendasarkan pada ketentuan tersebut sebagai dasar penetapan pemberian ganti-rugi dengan alasan sebagai berikut:

1. Biaya Panitia Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum adalah biaya operasional yang disediakan untuk Panitia Pengadaan Tanah dalam rangka membantu pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. 

2. Biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) satuan kerja yang memerlukan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

3. Besaran biaya operasional Panitia Pengadaan Tanah ditentukan paling tinggi 4% (empat perseratus) untuk ganti rugi sampai dengan atau setara Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan selanjutnya dengan prosentase menurun sebagaimana dasar perhitungan yang ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini. 

4. Besaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada perhitungan ganti rugi yang ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah. 

5. Biaya operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 digunakan untuk pembayaran honorarium, pengadaan bahan, alat tulis kantor, cetak/ stensil, fotocopy/ penggandaan, penunjang musyawarah, sosialisasi, sidang-sidang yang berkaitan dengan proses pengadaan tanah, satuan tugas (satgas), biaya keamanan, dan biaya perjalanan dalam rangka pengadaan tanah. 

Simpulan apa yang dapat diambil dari Peraturan Menteri Keuangan No. 58/PMK.02/2008 bahwa persoalan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum hanyalah berakar pada pengalokasian anggaran untuk pembayaran ganti rugi kepada subyek eks pemegang hak atas tanah. Tak pernah terfikirkan bagaimana implikasi sosial-ekonomi-budaya perubahan hidup eks pemegang hak atas tanah sesudah tanahnya diambil oleh pemerintah. 

Bagaimana akibat dari pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan terhadap petani yang kehilangan tanahnya harus berubah menjadi non petani: buruh tani, buruh pabrik, penarik becak, buruh bangunan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan olehnya?. Apakah tidak atau sengaja mengabaikan kalkulasi kerugian akibat pengadaan tanah terhadap perubahan tata guna lahan yang semula sawah beririgasi tehnis yang dahulu dibiayai dengan hutang luar negeri menjadi peruntukan lain misalnya bendungan pengairan, prasarana/sarana jaringan transportasi darat. Berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melakukan perubahan peta tata ruang nasional/ provinsi/ kabupaten/ kota sebagai akibat dari pengadaan tanah atau sebaliknya. Berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak yang memerlukan tanah untuk pengamanan infrastruktur yang akan atau sedang dibangun oleh aparatus keamanan akibat mendapatkan resistensi atau penolakan warga masyarakat karena sebab tertentu?.Tak pelak lagi jika persoalan ini didekati dengan pendekatan legal-positivistik secara tegas penulis nyatakan sesungguhnya akan sia-sia belaka karena ketidakmampuannya mengungkap akar persoalan mengapa setiap aktivitas pengadaan tanah pada tataran implementatif mengalami resistensi dari publik.

Ditilik dari teori Autopoesis Luhmann khususnya faktor internal (internal legal dynamic) atas perubahan kaidah hukum pengadaan tanah jika dirunut sejak Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975, kemudian berganti menjadi Keputusan Presiden No.55 Tahun 1993, berubah menjadi Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 serta terakhir Peraturan Presiden No.65 Tahun 2006 memang diakui ada hal-hal yang fundamental misalnya batasan pengadaan tanah, kepentingan umum, daftar kegiatan yang masuk dalam katagori kepentingan umum, pengorganisasian kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, mekanisme musyawarah, implikasi hukum dari pengadaan tanah.

Faktor eksternal (external legal dynamic) yang kiranya perlu mendapat perhatian tentang variabel-variabel non-hukum yang berpengaruh terhadap variabel hukum menurut Abdul Manan (2006) mencakup: globalisasi, sosial-budaya, politik, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, supremasi hukum (Abdul Manan, 2006: 57-196). Brian Z Tamanaha mempertegas pandangan Abdul Manan dengan pandangannya bertitik tolak dari gagasan HLA Hart dalam bukunya yang terkenal Concept of Law 1961 (Konsepsi Hukum) dinyatakan bahwa bagus tidaknya hukum bukan ditentukan oleh superioritas/ tidaknya, meretas perdebatan antara mashab hukum alam dengan mashab positivis (Brian Z Tamanaha.,2001:31-32). 

Dalam tulisan yang lain, Tamanaha menyatakan bahwa hakim dalam memutus suatu perkara yang diajukan padanya akan dipengaruhi dua variabel Consciously Bound (CB) dan Consciously End Oriented (CEO) masing-masing saling desak mendesak pada gilirannya akan mempengaruhi terhadap kualitas dan keadilan putusannya. Secara mutatis-mutandis jika dipertautkan dengan bagaimana sikap hakim dalam mengadili kasus hukum pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan CB berhubungan dengan sinkronisasi/harmonisasi peraturan presiden dengan peraturan perundangan lain, CEO berkaitan dengan apa resiko yang akan dihadapi jika sang hakim memutus memenangkan rakyat daripada pemerintah misalnya dipindah ke tempat yang “kering” atau tempat yang “sepi perkara” atau barangkali dimutasi ke pusat sebagai staf ahli Menteri Hukum dan HAM. Sebaliknya akankah terbersit di dalam benak hakim saat yang berangkutan menyidangkan perkara antara rakyat dengan pemerintah bahwa dengan memenangkan pemerintah, berarti rakyat akan kehilangan tanah yang nilainya justru lebih besar dari keluarganya ?.pakah difikirkan akibat dari putusannya semakin bertambahnya angka kemiskinan?. Data menunjukkan angka kemiskinan pada Juni 2007 masih 37,17 juta jiwa atau 17,75 % total penduduk Indonesia sementara menurut HKTI jumlah orang miskin di Indonesia 1998-2006 berkisar 34-50 juta dan angka pengangguran 10,6 juta (9,8 %) 2007, sementara pada 2005 10,9 juta (10,3%). Menurut data ESCAP Population Data Sheet tahun 2006 sebanyak 35,29% rakyat Indonesia tidak tamat SD, 34,22% tamat SD, 13% tamat SMP dengan demikian peringkat Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia urutan ke 7 dari 11 negara Asia Tenggara atau ranking 108 dari 177 negara dibanding Vietnam IPM ke 5 Asia Tenggara atau 108 dunia. Sudah barang tentu variabel-variabel demikian harus masuk ke dalam dasar pertimbangan hakim sebelum memutus perkara agar dimensi keadilan dapat tercapai secara maksimal.

Pewadahan Yang Tepat Kaidah Pengadaan Tanah
Pewadahan penulis maknai sebagai wujud formal dari sebuah produk hukum yang mengatur tentang sesuatu hal terkait dalam suatu tata urutan kaidah. Langkah untuk mencapai maksud tersebut dilakukan pengkajian kesesuaian kaidah dimaksud dalam sistem hukum positif. Menurut Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia dinyatakan:

Pasal 36
(1) Setiap orang berhak mempunyai milik,baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
(2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengans sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
(3) Hak milik mempunyai fungsi sosial.

Pasal 37
(1) Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.

Mengacu pada Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-undang No.39 Tahun 1999, maka yang tepat pewadahan kaidah hukum yang mengatur mengenai pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum berupa undang-undang. Mengapa demikian?, alasannya karena masalah hak atas tanah merupakan sesuatu yang bersifat fundamental serta merupakan bagian dari hak azasi manusia. Tidak dibenarkan hak atas tanah seseorang termasuk di dalamnya hak Adat (Ulayat) atas tanah diambil oleh pihak lain apalagi secara paksa dengan mengabaikan aspirasi si subyek hak atas tanah.

Subscribe to receive free email updates: