Asas Yang Digunakan Dalam Penyusunan Norma

Asas Yang Digunakan Dalam Penyusunan Norma 
Regulasi terkait yang mengatur lembaga yang dapat menyelenggarakan layanan keuangan mikro hingga saat ini adalah UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, serta Peraturan Pemerintah Nomor 103/2000 tentang Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian. Karena lembaga Pegadaian hanya dimiliki Pemerintah, maka lembaga yang dapat dimiliki publik pada dasarnya hanya memiliki dua kerangka hukum, yakni Perbankan dan Koperasi. Walaupun regulasi yang ada saat ini tersebut telah diupayakan untuk sedapat mungkin mewadahi berbagai lembaga penyedia layanan keuangan mikro yang jumlahnya sangat banyak, namun hal itu secara nyata belum mampu menjadi tempat yang sesuai dengan karakteristik lembaga penyedia layanan keuangan mikro itu sendiri, khususnya lembaga penyedia layanan keuangan mikro yang tidak berbentuk bank atau koperasi, atau disebut sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K) – LKM B3K.

1. Kerangka Hukum Bank
Undang-undang perbankan yang mengharuskan BKD dan LDKP menjadi BPR, ternyata tidak mampu mengakomodasi seluruh BKD dan LDKP yang dipersamakan sebagai BPR . Kemungkinan, tidak terakomodasinya BKD dan LDKP yang dipersamakan dengan BPR tersebut dengan undang-undang perbankan, dikarenakan karena: 1) ketidak-mampuan memenuhi berbagai persyaratan perbankan yang telah ditentukan, atau 2) ketidak-mauan para pengelola lembaga-lembaga tersebut terikat dengan undang-undang perbankan yang relatif akan membatasi fleksibilitas pelayanannya, sehingga pelayannya tidak lagi sesuai dengan kebutuhan usaha mikro, masyarakat miskin dan masyarakat pedesaan.

Besarnya modal disetor bagi pendirian BPR juga menghambat perkembangan BPR di pedesaan, terutama daerah yang tingkat populasinya relatif sedikit. Hal ini juga sebagai salah satu yang mendorong masyarakat mendirikan lembaga keuangan alternatif yang fokus melayani usaha mikro.

2. Kerangka Hukum Koperasi
Kerangka hukum koperasi sebagai alternatif pilihan dasar hukum lembaga keuangan mikro ternyata tidak selalu sesuai dengan karakter kebutuhan seluruh usaha mikro, atau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya. Di satu sisi, para pelaku usaha mikro atau masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya membutuhkan jasa layanan keuangan untuk mendukung pengembangan usaha atau memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa harus memiliki sendiri lembaga keuangan tersebut. Di sisi lain, koperasi yang bersifat ekslusif dengan ditetapkannya ketentuan pelayanan diberikan kepada anggotanya atau calon anggota yang memenuhi persyaratan, maka untuk dapat memperoleh jasa layanan keuangan dari koperasi, seseorang harus menjadi anggota koperasi yang dipersyaratkan harus membayar simpanan pokok dan wajib sebagai bagian modal dari koperasi itu sendiri. Hal itu tidak selamanya dapat diterima oleh usaha mikro, atau masyarakat miskin pada umumnya, untuk menjadi anggota / pemilik koperasi karena kepentingan masingmasing dari mereka sangat beragam.

Berangkat dari kenyataan yang ada, dimana usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah membutuhkan LKM karena fleksibilitasnya, kemudahan dan kecepatan pelayanan, maka regulasi yang diperlukan LKM agar dapat memberikan pelayanannya secara sustain (berkelanjutan) adalah regulasi yang memungkinkan LKM tetap dapat melakukan kegiatan usahanya sesuai dengan karakteristik kebutuhan usaha mikro dan masyarakat miskin pada umumnya. Undang-undang perbankan yang memungkinkan perbankan melayani usaha mikro, dalam kenyataannya masih belum mampu memberikan pelayanan sebagaimana yang diinginkan oleh usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.

Kendatipun BPR diatur secara berbeda daripada bank umum, namun tidak semua usaha mikro mampu memenuhi berbagai ketentuan bank practice dan penerapan prinsip kehati-hatian bank yang diterapkan BPR. Misal banyak usaha mikro yang tidak dapat mengakses pembiayaan dari BPR karena tidak memiliki jaminan, tidak memenuhi syarat administrasi yang rumit yang dibutuhkan untuk kebutuhan informasi debitur, pembayaran / pengembalian dilakukan ketika saat panen (atau diistilahkan “yarnen”), dan sebagainya.

Menurut GTZ Undang-undang Perbankan bersifat sangat mengatur terlalu ketat (too restrictive), hal itu menyebabkan kurangnya fleksibilitas bagi LKM yang harus menjadi BPR. Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian Sumantoro (2002) yang dilakukan terhadap 100 BKD dan LDKP yang berubah menjadi BPR menunjukan bahwa sekitar 90% dari seluruh BKD mengalami marjin negatif akibat dari perubahan sistem akuntansi, struktur organisasi, dan peningkatan biaya yang sukar diadaptasi. Selain itu, hal tersebut juga tidak mendorong efektivitas LKM tersebut sebagai lembaga pelayanan keuangan bagi masyarakat miskin di pedesaan karena kriteria CAMEL tidak memperhatikan penyediaan sarana dan “pendalaman” akses pelayanan. Pada awal pemberlakuan CAMEL di tahun 1991/1992, jumlah pemimjam BKK menurun 11,6% jumlah peminjaman baru berkurang 23%, sebaliknya jumlah pinjaman rata-rata naik sebesar 26,8%.

Sementara itu, rencana implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API), dimana pengaturan BPR cenderung lebih ketat, misal persyaratan modal disetor yang lebih besar, pembukaan kantor cabang sangat selektif, perizinan pendirian BPR baru dibatasi, dan sebagainya berakibat pada semakin sulitnya LKM untuk meng-upgrade dirinya menjadi BPR.

Di sisi lain, undang-undang perkoperasian sebagai alternatif pilihan regulasi bagi LKM dianggap kurang sesuai karena perkembangannya lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan LKM itu sendiri. Misal koperasi tidak mudah untuk menangkap peluang pendanaan melalui penghimpunan dana atau pembiayaan dari dan ke luar anggota, karena hal tersebut akan melanggar undang-undang yang ada. Selain itu, dari aspek usaha pembiayaan yang dibatasi kepada anggota koperasi, yang relatif memiliki kesamaan karakteristik usaha (homogen), sangat bertentangan dengan prinsip penyebaran risiko pembiayaan (diistilahkan “menempatkan telor pada satu keranjang”). Untuk itu, memaksakan LKM untuk memiliki badan hukum koperasi dikhawatirkan akan menurunkan kinerja LKM.

Kesenjangan ini pun belum juga dapat sepenuhnya dicukupi oleh LKM berbentuk koperasi di pedesaan, antara lain karena adanya prinsip / persyaratan keanggotaan untuk mendapatkan layanan koperasi. Hal ini mengingat sebagian besar usaha mikro atau masyarakat miskin ingin mendapatkan layanan keuangan mikro tanpa harus menjadi pemilik LKM tersebut.

3. Kerangka Hukum LKM
Pada kenyataannya di masyarakat telah berkembang LKM yang tidak mengikuti kedua regulasi tersebut di atas, atau yang disebut sebagai LKM, atau juga biasa disebut sebagai “3rd window,” sebagai alternatif upaya agar usaha mikro tetap memperoleh pelayanan keuangan. LKM tersebut kini beroperasi tanpa landasan hukum yang jelas, dan bahkan sebagian besar dari mereka secara nyata melanggar undang-undang perbankan (UU No. 10/98), khususnya pasal 16 yang mengatur bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha menghimpun dana terlebih dahulu wajib memperoleh izin usaha sebagai bank umum atau BPR dari Bank Indonesia.

Di satu sisi, kehadirannya LKM secara riil di lapangan sangat diperlukan oleh pelaku usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah serta masyarakat pedesaan pada umumnya. Di lain pihak, pemerintah tidak mengatur keberadaan mereka sebagai bentuk perlindungan kepada para pelaku LKM beserta pengguna jasanya, yang sebagian besar adalah usaha mikro dan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Ketidaktegasan pemerintah dalam penegakan hukum terhadap LKM yang melanggar hukum, seperti melakukan penghimpunan dana dari masyarakat (melakukan “praktek bank gelap”), yang dapat berpotensi merugikan masyarakat berpenghasilan rendah. Dampak buruk yang potensi timbul tersebut adalah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh orang atau kelompok tertentu dengan mengatasnamakan LKM untuk mencari keuntungan sendiri, melalui penghimpunan dana dari masyarakat, pencucian uang, dan sebagainya yang pada akhirnya akan merugikan usaha mikro dan masyarakat miskin pada umumnya.

Namun demikian, apabila pemerintah melakukan penegakan hukum secara tegas, dengan memaksakan LKM untuk masuk kedalam sistem regulasi yang ada saat ini, atau secara ekstrim harus membubarkan / melikuidasi keberadaan mereka, maka biaya yang harus ditanggung pemerintah akan sangat besar, terutama untuk menghadapi berbagai masalah sosial yang timbul, seperti terjadinya keresahan masyarakat usaha mikro dan masyarakat miskin yang jumlahnya sangat besar beserta ekses-ekses negatifnya.

Contoh kasus penegakan hukum tersebut pernah terjadi di Lampung dan Kendal – Jawa Tengah, dimana polisi menangkap dan memeriksa beberapa pengurus BMT dengan tuduhan melakukan praktek bank gelap –yaitu melakukan penghimpunan dana dari masyarakat sebagai calon anggota. Hal ini jelas sangat meresahkan masyarakat, khususnya para pelaku BMT, serta akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan LKM yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Kesenjangan antara kebutuhan dan penawaran jasa layanan keuangan mikro yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah timbul akibat kurangnya keberpihakan regulasi yang ada saat ini terhadap usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah sesuai karakteristiknya. Namun demikian, pemaksaan terhadap regulasi yang saat ini ada untuk berubah dan mengakomodasi kebutuhan usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah bukanlah tindakan yang bijak, karena perbankan secara internasional mengikuti prinsip Basle II. Sedangkan keuangan mikro secara internasional memiliki prinsip-prinsip tersendiri. Misal, perbankan tetap wajib menerapkan segala prinsip kehati-hatiannya, walaupun hal ini sebagai penyebab sulitnya akses masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah terhadap pelayanan jasa keuangan, namun hal itu semata-mata ditempuh agar bank dapat sustainable untuk mendukung perkonomian nasional. Sebaliknya ketika perbankan dipaksakan untuk melonggarkan implementasi prinsip kehati-hatian agar dapat melayani usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, sangat dikhawatirkan justru akan menimbulkan penurunan kinerja.

Oleh karena itu, pemberian payung hukum atau azas legalitas bagi LKM merupakan langkah konkrit keberpihakan semua pihak kepada masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah di Indonesia yang belakangan ini jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun, tanpa harus mengorbankan tatanan industri lembaga keuangan yang ada saat ini. Pemberian payung hukum bagi LKM ini bukan saja sebagai bentuk pengakuan terhadap keberadaan mereka yang secara nyata sangat dibutuhkan masayarakat misikin sesuai dengan karakteristiknya, namun juga diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, baik bagi para pelaku maupun penggunanya, serta untuk mendorong terciptanya industri LKM yang berkelanjutan (sustainable) dalam memberikan pelayanan jasa keuangan kepada usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah pada umumnya.

Subscribe to receive free email updates: