Pengertian Pengadaan Tanah Sebagai Konsep & Praksis
Pengadaan tanah sebagai suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan tanah bagi kepentingan tertentu dengan cara memberikan ganti kerugian kepada si empunya (baik perorangan atau badan hukum) tanah menurut tata cara dan besaran nominal tertentu. Rasionalitasnya, dalam hampir semua kajian pada literatur tentang aspek hukum pengadaan tanah, pemerintah atas nama negara memerlukan tanah namun, karena keterbatasan ketersediaan tanah untuk pembangunan pengadaan tanah terhadap tanah yang dikuasai oleh negara (Pasal 2, 6 dan 18 UU No.5 Tahun 1960 (UUPA)) tidak mencukupi luasnya. Oleh karena itu dengan ”terpaksa” berdasar Pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial tanah, maka pemerintah mengambil tanah-tanah hak (tanah yang padanya dilekati hak individu atau badan hukum/ keagamaan) dengan memberikan penggantian yang layak (Pasal 27 huruf a, 34, 40 UUPA yunctis PP No.40 Th 1996, Peraturan Presiden No.65 Th 2006)
Aktivitas pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan secara teoritik didasarkan pada azas/ prinsip tertentu dan terbagi menjadi dua subsistem:
pengadaan tanah oleh pemerintah karena kepentingan umum
pengadaan tanah oleh pemerintah karena bukan kepentingan umum (komersial) (Oloan Sitorus.,1995:7 dan 2004: 5)
Walaupun tersebut secara normatif pada Per Pres No.65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, sesungguhnya jalan tol tidak dapat dimasukan pada ranah kepentingan umum. Argumentasinya karena menurut Kitay (1985) (dikutip penulis dari Soemardjono, 2005:78) kepentingan umum mengandung tiga unsur esensial: dilakukan oleh pemerintah, dimiliki oleh pemerintah dan non profit. Realitas menunjukkan bahwa jalan tol pasti bermotifkan profit (Sumardjono.,2005:109). Dengan demikian, argumentasi hukum yang paling tepat untuk jalan tol cara perolehan tanah oleh pemerintah bukan dengan pengadaan tanah, melainkan dengan jual-beli (Oloan Sitorus, 2004: 7)
Prinsip (Principles) Dalam Kegiatan Pengadaan Tanah
Prinsip atau acapkali dinamakan dengan azas-azas atau bahasa Inggrisnya principle secara konteks hukum pengadaan tanah menurut (Soemardjono,2005: 90-91, Oloan Sitorus,2004: 11-13) mencakup:
a. penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya;
b. semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa (ini kaitannya dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD yuncto Pasal 1 dan 2 UU Pokok Agraria)
c. cara untuk memperoleh tanah yang sudah dihaki oleh seseorang/ badan hukum harus melalui kata sepakat antar pihak yang bersangkutan (kaitannya dengan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM)
d. Dalam keadaan yang memaksa artinya jalan lain yang ditempuh gagal, maka presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan hak tanpa persetujuan subyek hak menurut UU No.20 tahun 1961
Sebagai komparasi walaupun disadari ada perbedaan soal sistem hukum, Malaysia menerapkan suatu prosedur yang ketat terhadap aktivitas pengadaan tanah diatur pada Land Acquisition Act 1960 dan perubahan/ amandemennya terutama dari dimensi hukum. Menurut Salleh Buang (1999) meskipun kegiatan pengadaan tanah (disebut sebagai land acquisition menurut common law system) mencakup semua aktivitas publik (umum), kepentingan pemerintah/ otoritas negara untuk kepentingan pertambangan, perumahan, pertanian, komersial atau industri (Salleh Buang,1999:3). Walaupun demikian, papar Salleh harus dilakukan pernyataan (deklarasi) tujuan kegiatan, dengar pendapat publik (Salleh Buang 1999:8-9). Nampaknya, Indonesia sekalipun aturan hukumnya dipandang memadai, namun dalam tataran implementatif masih banyak kelemahan/ kekurangan.
Dalam konteks Indonesia, menurut pandangan Soemardjono (2005) kelemahan regulasi yang mengatur masalah aktivitas pengadaan tanah untuk kepentingan umum beberapa variabel di antaranya adalah:
a. Wujud produk hukumnya mestinya berupa undang-undang karena aspek yang diatur (substansinya) menyangkut hajat hidup orang banyak, bersifat esensial (hak azasi manusia/ human rights) kongkritnya bertautan pangan, papan dalam konteks negara agraris
b. masih luasnya makna kepentingan umum, persoalan yang mengemuka istilah tanpa batas yang jelas dan tegas;Ada satu dari tiga alternatif: pertama hanya pedoman umum sehingga mendorong penafsiran terbuka, kedua mencantumkannya dalam daftar kegiatan (list provision) atau gabunga dari keduanya
c. belum dipisahkan secara jelas dan tegas pembedaan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dan bukan kepentingan umum
d. bentuk ganti rugi yang dimuat bersifat fisik dan tidak mencantumkan yang non-fisik. Padahal harga perubahan status pemegang hak dari profesi petani menjadi yang lain amat mahal misalnya menjadi buruh kasar, kuli bangunan, pemulung.
e. peran dan kedudukan panitia pengadaan tanah, terutama masalah independensinya, sehingga mampu memetankan diri sebagai fasilitator para pihak secara independen.
f. Regulasi menafsirkan secara keliru dan menunjukkan pemaksaan kehendak dalam penetapan ganti rugi yang tidak disepakati subyek dengan dengan menganalogkan konsinyasi (penitipan barang di panitera pengadilan menurut Pasal 1404 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) (Soemardjono,2005: 102-105).
Diperjelas dalam uraian yang lain Soemardjono (2008) menyatakan bahwa dari sisi hukum dimensi keadilan (justice) harus dikedepankan artinya makna fungsi sosial terjadinya keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan perorangan. Tegasnya hak-hak yang sah (legal) dari subyek hak atas tanah harus dilindungi dan dihargai. Di sisi lain, keikhlasan pemegang hak demi kepentingan masyarakat yang lebih luas juga sepantasnya dihargai oleh pemerintah/ pemerintah daerah dan panitia pengadaan tanah (Soemardjono,2008: 249-252).
Dua Model , Cara, Musyawarah, Ganti Rugi Pada Pengadaan Tanah
1. pelepasan hak atas tanah untuk hak milik atas tanah (Pasal 2 Ay(1) Per Men 65/06)
2. penyerahan hak atas tanah untuk HGU, HGB, Hak Pakai (atas TN), HPL
Cara-cara Pengadaan Tanah
1. jual-beli,
2. tukar-menukar
3. atau cara lain yang disepakati
Syarat Musyawarah
1. didasarkan pada satu bentuk kebijakan yang dituangkan dalam satu produk hukum
2. kesamaan persepsi tentang kepentingan umum, cara PTUP, musyawarah, substansi penggantian yang layak
3. dilakukan secara langsung, bersama (egaliter/setara), efektif
4. saling menerima dan memberi (take & give) pendapat/ pandangan, saran, kritik, usul
5. hanya dapat dilaksanakan dengan hasil yang optimal, jika diketahui materi/ substansi yang dimusyawarahkan, tujuan, hambatan, target yang kongkrit, peran yang jelas, solusi yang adil
6. musyawarah tidak boleh ada pemaksaan kehendak pihak yang satu terhadap yang lain
7. Pelibatan secara setara pemangku kepentingan dalam forum musyawarah tanpa ada egosektoral/ mengedepankan kepentingan individu/ kelompok/ golongan
Baik acara perolehan tanah melalui kegiatan pengadaan tanah dengan kata sepakat maupun pencabutan hak (sebagai suatu upaya hukum pamungkas & final jika pengadaan tanah musyawarah untuk mencapai mufakat gagal dilakukan & tidak dimungkinkan pemindahan lokasi kegiatan ke tempat lain), terhadap subyek hak wajib diberikan imbalan yang layak berupa uang, fasilitas/ tanah pengganti sehingga keadaan sosial-ekonominya tidak merosot/ menurun (Soemardjono,2005: 90).
Perlu diiingat dan diperhatikan bahwa menurut Pasal 7 UU No.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundangan dan Pasal 6, 18, 27, 34 UUPA lembaga pengadaan tanah muncul dari praktik dan perluasan interpretasi dari azas-azas (huruf a-d sub b di atas) dan pasal-pasal undang-undang sebagaimana disebut di muka.
Dalam dimensi yuridik, mekanisme atau prosedur digolongkan sebagai hukum acara. Maknanya, menyangkut persoalan bagaimana suatu norma hukum material diimplementasikan pada kasus real. Dalam mekanisme ada beberapa kaidah bagaimana caranya agar kaidah hukum material dapat ditegakkan, bagaimana caranya mewujudkan hak dan kewajiban (Mertokoesoemo,1986: 105). Esensi yang dapat dipetik dari uraian Soedikno adalah dalam mekanisme sebagai harus bersifat jelas dan tegas, tidak menimbulkan penafsiran ganda (dubieus/ berwayuh arti). Harus diperhatikan bahwa karena kedudukan Peraturan Presiden ini sebagai lex specialis tidak boleh mengabaikan lex generalinya yakni Undang-undang Pokok Agraria dan UU No.20 Tah 1961.
Substansi Ganti Rugi
1. didasarkan pada produk hukum putusan yang bersifat mengatur
2. ganti rugi baru dapat dibayarkan setelah diperoleh hasil keputusan final musyawarah
3. mencakup bidang tanah, bangunan serta tanaman yang dihitung berdasarkan tolok- ukur yang telah disepakati
4. Pasal 13 (PerMen 65/06) wujud ganti rugi: uang dan/atau tanah pengganti dan/atau pemukiman kembali, gabungan atau bentuk lain yang disepakati para pihak.
Persoalan yang esensial dari dimensi hukum bahwa perbuatan hukum itu menjadi benar, adil dengan terpenuhinya prosedur atau tata cara saja. Namun yang justru yang mendasar adalah:
Pertama, apakah panitia pengadaan tanah termasuk tim penilai benar-benar secara jujur mengakomodasi kepentingan si pemilik tanah?.
Kedua, dalam pembagian peran pada P2T biasanya leading sektor adalah pemda (sebagai penggagas) kurang melakukan koordinasi dan peran setara dengan institusi terkait BPN, Kantor Pelayanan PBB Pajak Pratama), Dinas Kimpraswil, Badan Urusan Tanah dan Rumah dsb. Akibatnya dalam taksasi nilai tanah tidak sesuai dengan ”kewajaran” sehingga memicu adanya konflik/ sengketa hukum.
Ketiga, mengapa tak terfikirkan misalnya terhadap si empunya tanah skenarionya tidak diberikan penggantian yang layak dalam bentuk uang/ relokasi melainkan misalnya penyertaan ”saham” jalan tol dengan assesment yang teliti berapa besaran disesuaikan dengan luas lahannya.
Persoalan Eksekusi dan Implikasi Hukum
Masalah eksekusi menyangkut persoalan pelaksanaan/ implementasi dari mekanisme yang telah disusun/ dibangun sebagaimana tertuang dalam pasal dan/ ayat pada sebuah norma. Philippe Nonet Philip Selznick (1975 dan 2003) dalam sebuah produk hukum yang otonom, ciri-cirinya adalah:
a. hukum terpisah dari politik, artinya kemandirian kekuasaan peradilan dengan garis jelas fungsi legislatif dan yudikatif;
b. tertib hukum mendukung ”model peraturan (model of rules)”, artinya peraturan membantu menerapkan ukuran bagi akuntabilitas para pejabat pada saat yang sama membatasi kreatifitas institusi untuk campur tangan;
c. prosedur adalah jantung dari hukum ”keteraturan dan keadilan (fairness)” dan bukan keadilan substantif merupakan tujuan dan kompetensi tertib hukum;
d. ketaatan pada hukum difahami sebagai kepatuhan yang sempurna terhadap peraturan hukum positif, kritik hukum yang berlaku disalurkan proses politik (Nonet dan Selznick,2003: 44)
Nonet dan Selznick lebih lanjut memberikan uraian yang kiranya dapat semakin membuka wawasan khususnya mengenai persoalan prosedur dan eksekusinya. Menurut Nonet dan Selznick penjinakan represi dimulai dengan tumbuhnya komitmen untuk memerintah berdasar peraturan. Selanjutnya prosedur merupakan jaminan paling nyata dari suatu penerapan peraturan secara adil. Otoritas yang berpotensi represif dikendalikan oleh ”due process”. Prosedur lebih banyak memfasilitasi tujuan daripada yang dilayani oleh keadilan (Nonet dan Selznick,2003: 53-54).
Apa esensi yang dapat dipetik dari penjelasan Nonet dan Selznick di muka, adalah prosedur menyangkut persoalan esensial dalam upaya penegakan hukum yang berujung pada tercapainya keadilan (dispensing justice). Namun demikian dalam konteks sosial dewasa ini sesungguhnya prosedur atau mekanisme merupakan sebuah kontrak sosial yang merupakan kesepahaman antara regulator dengan rakyat mengenai urut-urutan kegiatan yang harus ditempuh dalam suatu kegiatan misalnya kegiatan pengadaan tanah. Dalam penyusunan prosedur menurut Nonet dan Selznick harus bersifat jelas (tidak multi tafsir), sederhana dan mudah dilaksanakan (tidak birokratik), bertujuan jelas (certain goal), mengedepankan kemaslahatan masyarakat daripada kepentingan regulator.Seperti dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo (2006) ”produk hukum yang lebih banyak melayani kepentingan golongan atas dan belum menyentuh masyarakat stratum bawah” (Rahardjo, 2006: 129-130). Oleh karena itu, masih pandangan Rahardjo, ”dalam proses pembuatan hukum legislator sangat dituntut kesadarannya untuk mencermati berbagai kekuatan yang ikut bermain dalam proses dengan antara lain secara sistematis memasukan komponen azas hukum untuk mengalirkan nilai-nilai yang dianut masyarakat ”(Rahardjo,2006: 130-131).
Satjipto Rahardjo (2006) kaitannya pembahasan eksekusi sebagai suatu permainan bahasa dari sengkarut keinginan, kepentingan mengubah menjadi harapan dan keinginan. Acapkali peraturan diciptakan dengan wawasan yang amat sempit, bebas emosi, datar bak rumusan matematis, menempatkan kepentingan masyarakat sebagai urutan pertama, merupakan aktifitas berkesinambungan (a continuum of norms). Tak pelak implikasi yang timbul, nampaknya harus dicermati dari sekian variabel dari proses panjang prosedur dan eksekusinya. Tidak dapat diabaikan bahwa berbicara hukum tidak hanya sebatas apa yang termaktub dalam teks, seperti hukum alam atau matematis segala sesuatu terkuantifikasi, melainkan di dalamnya banyak variabel termasuk non-yuridik. Kiranya contoh seperti pemerintah telah menyiapkan dana Rp.3,9 triliun untuk pengadaan tanah bagi jalan tol Cikampek-Probolinggo. Tanah yang belum diperoleh melalui pengadaan tanah antara Solo-Mantingan 368,87 hektar dengan salah satu permasalahan tanah yang akan dikenakan pengadaan tanah seharusnya tidak boleh ada bangunan baru, untuk tanah yang telah selesai dibicarakan harganya (koran TEMPO, 13 September 2008: A15). Sudah tentu dalam mendukung program tersebut, maka piranti hukum harus disiapkan baik menggunakan pertama, eksposisi/ konstruksi kedua interpretasi. Dalam penafsiran bukan menggunakan logika peraturan semata, melainkan kenyataan yang ada di masyarakat. Hal demikian cocok dengan Oliver Wendel Holmes (inisiator mazhab Sociological Jurisprudence) pernah menyatakan ”the life of law hasn’t been logic, but it is experience”.
Berkaitan dengan kebijakan (policy), maka suatu kebijakan yang diambil pada tataran nasional, regional, lokal dalam pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan wajib mempertimbangkan produk hukum apa yang akan dihasilkan artinya, bagaimana wujud pewadahan/ pengkaidahan kebijakan yang akan dibuat, kemana hukum hendak diarahkan, variabel apa yang secara signifikan dapat mengubah hukum yang diberlakukan. Bagaimana implikasi kebijakan yang tidak demikian dapat dikatakan sebagai kebijakan yang tidak implementatif, otoriter, tidak realistik, terlepas dari nilai-nilai keadilan dan etika berbangsa dan bernegara (principle of good governance).