Definisi Konsep Dan Asas Yang Digunakan Dalam Penyusunan Norma
Keuangan mikro didefinisikan sebagai layanan jasa keuangan berupa penghimpun dana dan pemberian pinjaman dalam jumlah kecil, dan penyediaan jasa-jasa keuangan terkait, yang ditujukan untuk kelompok masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Sedangkan pengertian umum Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga keuangan penyedia jasa keuangan mikro. Dengan demikian, dalam pengertian umum tersebut, lembaga penyedia jasa keuangan mikro dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu 1) Badan hukum bank (seperti BPR, BRI Unit, dsb.); 2) Badan hukum Koperasi (seperti KSP, USP, dsb.); dan 3) Belum berbadan hukum tetap berdasarkan undang-undang, dimana kelompok ini sering disebut sebagai LKM.
Total LKM yang ada sebanyak 77.422 unit diluar Kelompok Masyarakat (Pokmas) sebagai pendukung berbagai program pemerintah. LKM yang berbentuk bank, seperti BPR, BRI Unit, Danamon Simpan Pinjam (DSP), dan unit-unit pelayanan dari bank umum, berjumlah sebanyak 8.239 unit. LKM yang berbadan hukum Koperasi, baik dalam bentuk Koperasi Simpan Pinjam (KSP) maupun Unit Simpan Pinjam (USP), berjumlah 37.820 unit. Adapun LKM seperti BMT, BKD, LDKP, dan sebagainya, diluar Pokmas, sebanyak 31.363 unit.
Sementara itu, jumlah Pokmas pendukung program pemerintah yang juga melaksanakan kegiatan LKM, seperti PPK, P2KP, P4k, UPPKS, KUBE, dan sebagainya hingga saat ini berjumlah 606.475 unit. Dengan demikian, totall LKM saat ini berjumlah 637.838 unit. LKM pada umumnya beroperasi dalam lingkup wilayah tertentu yang cakupannya sangat kecil, seperti dalam satu desa / kelurahan atau kecamatan. Namun sayang, hingga kini belum ada jumlah pasti berapa orang yang mendapatkan pelayanan dari LKM tersebut, termasuk nilai pelayannya. Namun, apabila diasumsikan masing-masing unit LKM tersebut mampu menyalurkan pembiayaan kepada 30 orang miskin dan atau usaha mikro, masing-masing sebesar Rp. 100 ribu, maka LKM akan menjangkau sekitar 19 juta orang, dengan total pembiayaan yang dapat disalurkan sebanyak hampir Rp. 64 trilyun.
Melihat besarnya potensi LKM tersebut, maka LKM dapat dijadikan salah satu instrumen strategis yang efektif untuk menjangkau usaha mikro, masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, guna meningkatkan kaspasitas usaha, serta menurunkan tingkat kemiskinan secara struktural dan berkelanjutan. Jumlah LKM yang sangat besar dan beragam tersebut, merupakan salah satu aset bangsa yang sangat bernilai. Bahkan menurut Gonzalez-Vega, Chaves (1992), Indonesia merupakan laboratorium keuangan mikro terbesar di dunia, yang telah melakukan berbagai pengujian terhadap beragam LKM. Dengan kata lain, apabila LKM di Indonesia ditata kembali dengan baik, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi kiblat bagi LKM di seluruh dunia, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan citra bangsa.
1. Karakteristik Usaha Mikro dan Lembaga Keuangan yang Tepat
Pengguna jasa layanan LKM pada umumnya berasal dari masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah yang secara ekonomi masih aktif. Golongan masyarakat ini juga sering disebut sebagai pelaku usaha mikro.
Jenis usaha mikro sangat beragam, namun secara umum dapat dikelompokkan menjadi:
· Aktivitas usaha untuk pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan yang kesemuanya itu dilaksanakan dalam skala terbatas dan subsisten, pengrajin kecil, penjahit, produsen makanan kecil, dan semacamnya.
· Aktivitas usaha pemenuhan kebutuhan tersier, seperti transportasi (baik darat maupun air, misalnya ojek, angkot, delman, dsb.), kegiatan sewa menyewa baik rumah, tanah, maupun alat produksi.
· Aktivitas usaha terkait dengan distribusi, seperti perdagangan, baik di pasar maupun dalam bentuk warung kelontong, kaki lima, penyalur / agen, serta usaha sejenisnya.
· Aktivitas usaha jasa lainnya, seperti pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, montir, tukang sampah, juru potret jalanan, dan sebagainya.
Karakteristik usaha mikro juga sangat beragam, namun dapat dikelompokan dalam karakteristik dasar sebagai berikut:
· informal
Sebagian besar pelaku usaha mikro berusaha di luar kerangka legal dan pengaturan (legal and regulatory framework) yang ada. Ketiadaan maupun kelemahan aturan yang ada atau ketidakmampuan pemerintah untuk mengefektifkan peraturan yang ada (yang seringkali merugikan pelaku usaha kecil), menjadi ruang yang membuat ekonomi rakyat justru bisa berkembang. Informalitas inilah yang sering menyebabkan mereka tidak bisa mengakses lembaga keuangan formal dan terpaksa harus berhubungan dengan sumber pinjaman informal yang mudah, cepat dan fleksibel, walaupun dikenakan suku bunga yang sangat tinggi.
· mobilitas tinggi
Aspek informalitas usaha mikro membawa konsekuensi tiadanya jaminan keberlangsungan aktivitas yang dijalani. Berbagai kebijakan pemerintah dapat secara dramatis mempengaruhi keberlangsungan suatu aktivitas ekonomi rakyat. Dalam merespon kondisi yang demikian, sektor ekonomi rakyat merupakan sektor yang relatif mudah dimasuki dan ditinggalkan. Apabila pada aktivitas ekonomi tertentu terdapat banyak peluang, maka dengan segera akan banyak pelaku yang menerjuninya, sebaliknya apabila terjadi perubahan yang mengancam keberlangsungan jenis usaha tertentu maka dengan segera para pelakunya akan berpindah ke jenis usaha yang lain. Situasi ini tentu saja tidak terjadi dengan aktivitas primer, seperti pertanian di mana para pelakunya jarang meninggalkan aktivitas pertaniannya.
· usaha keluarga dan tidak fokus
Usaha mikro pada umumnya dimiliki dan dijalankan oleh satu keluarga secara bersama-sama, sebagai kesadaran mereka atas optimalisasi sumber daya dan asas manfaat bersama. Misal, sebuah keluarga yang memiliki usaha bertani, mereka juga pada umunya memiliki usaha ternak, kambing atau lembu, yang dipelihara oleh anaknya. Usaha itu dijalankan selain untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya, juga sebagai sering diguanakan sebagai instrumen simpanan yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan ketika usaha taninya sedang gagal panen.
· mandiri
Bagi lembaga keuangan formal, usaha mikro pada umumnya masih diyakini sebagai usaha yang unbankable dan high risk. Oleh karenanya, bantuan modal terhadap usaha mikro masih sangat kecil dibandingkan dengan skala usaha menengah besar yang jumlah pelakunya jauh lebih sedikit. Kondisi inilah yang menyebabkan usaha mikro mampu mandiri dalam hal penyediaan modal.
2. Karakteristik Kebutuhan Masyarakat Miskin dan Usaha Mikro terhadap Jasa Keuangan
Masyarakat miskin atau usaha mikro pada umunya membutuhkan jasa keuangan untuk memenuhi 3 hal berikut ini:
· Memenuhi Siklus Hidup (life cycle needs)
Siklus hidup, seperti kelahiran anak, menyekolahkan anak, menikahkan anak, pemakaman sering membutuhkan biaya yang relatif tinggi bagi masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, sehingga tidak jarang mereka harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan ini.
· Memenuhi Kebutuhan Darurat (emergency needs)
Pengeluaran tak terduga sebelumnya, juga sering menjadi alasan mengapa masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah harus berhutang. Misal kejadian tak terduga tersebut berupa kejadian sakit, gagal panen, adanya penggusuran tempat usaha, sumbangan kepada tetangga atau sanak saudara yang sedang hajatan, kejadian pencurian, dan sebagainya.
· Memenuhi Kebutuhan untuk Memanfaatkan Peluang (opportunity needs)
Sesuai dengan karakteristik usaha mikro yang memiliki mobilitas tinggi dan informal, pada umumnya mereka sangat mudah untuk menangkap peluang usaha. Dengan karakteristik tersebut, maka layanan keuangan mikro yang cepat, mudah persyaratannya, dan fleksibel penggunaannya merupakan kebutuhan masyarakat miskin/usaha mikro untuk menajalankan usaha dalam rangka menangkap adanya peluang.
3. Karakteristik LKM
Berdasarkan pengamatan, tujuan utama didirikannya LKM pada umumnya dimaksudkan untuk memobilisasi dana dari masyarakat di pedesaan dan disalurkan kepada masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah serta untuk membiayai usaha mereka yang berskala mikro. Dengan demikian, LKM ini berkonsentrasi pada kegiatan simpan pinjam. Namun demikian, beberapa LKM juga melakukan aktivitas penempatan dana di bank umum, simpan pinjam keliling, berperan sebagai agen asuransi (tidak ikut menjamin), ikut dalam asosiasi (perkumpulan) yang mendukung operasinya atau skema penjaminan simpanan di antara mereka (seperti tabaru’), dan aktivitas terkait lainnya yang dianggap tidak melanggar tata susila dan peraturan. Keseluruhan transaksi pada umunya dilakukan dengan menggunakan mata uang rupiah.
Wilayah operasinya pada umumnya di pedesaan sebagai respons terhadap adanya gap antara kebutuhan dan ketersediaan layanan keuangan mikro. Namun demikian, beberapa LKM ini juga beroperasi di perkotaan masih yang memiliki gap layanan finansial bagi masayarakat miskin perkotaan.
Dari sisi kepemilikan, LKM ini pada umumnya dimiliki oleh individu secara berkelompok, masyarakat dalam satu wilayah, seperti desa, kampung, dan ada juga yang dimiliki oleh pemerintahan desa, atau yayasan. Beberapa LKM memiliki kantor cabang, baik dalam wilayah operasinya maupun terkadang menyeberang di luar batas wilayah operasinya. Selain pembukaan kantor cabang, untuk memperluas jangkauan layanan kepada masyarakat LKM pada umumnya juga mengoperasikan layanan keliling, baik untuk penghimpunan dana maupun untuk penagihan pinjaman.
Struktur tata kelola yang diterapkan LKM ini pada umumnya dipimpin oleh seorang manajer, dan dibantu oleh tenaga pemasaran yang sekaligus sebagai kolektor, dan tenaga pembukuan. Pembukuan dan laporan keuangan yang dikeluarkan tidak standar dan cenderung sangat sederhana. Pengawasan biasanya dilakukan oleh Dewan Pengawas, namun pada umumnya dewan ini tidak aktif melakukan pengawasan. Ketidakjelasan entitas hukum LKM ini, juga tidak jarang dimanfaatkan oleh rentenir (seorang pemodal pelepas uang) yang beroperasi seolah-olah resmi seperti lembaga keuangan.
Di lihat dari sisi volume usaha, LKM ini memiliki varian yang sangat lebar, dimana terdapat LKM yang memiliki total aset dan atau keuntungan jauh melebihi BPR atau KSP. Namun sebagian besar lainnya memiliki aset yang sangat kecil. Imbal hasil yang ditetapkan oleh LKM ini relatif sangat tinggi dibandingkan dengan LKM formal, baik imbal hasil terhadap simpanan maupun imbal hasil pinjaman. Tingginya imbal hasil tersebut, selain secara alamiah untuk menutup risiko yang tinggi, juga dikarenakan pada umumnya belum tercapaikan skala ekonomis usaha LKM pada tingkat yang efisien.