Seni tradisional dan peruba-hannya

Seni tradisional dan peruba-hannya 
Yang membuat saya heran (meli­hat sukses nasional, bukan lokal sa­ja CD Kalangkang dari Nano S. — keterangan penulis) ialah karena sepanjang tahu saya, musik Sunda berangkat dari sistem nada penta-tonik, sedangkan banyak daerah di Indonesia tidak mengenai sistem na­da tersebut. Mereka hanya menge­nai sistem diatonik saja. (...) Meskipun buat mereka yang sudah terbiasa mendengar lagu-lagu Sunda dimainkan dengan gamelan atau waditra karwitan lainnya, lagu-lagu "Pop Sunda " yang dimainkan dengan instrumen musik diatonik itu terasa kurang nyaman, namun jus­tru dalam versi demikianlah lagu-lagu Sunda menasional, bahkan

menginternasional. Niscaya menja­di kunyahanpara ahli musiklah un­tuk menentukan apakah dengan demikian musik "Pop Sunda" itu masih dapat disebut sebagai musik daerah ataukah telah masuk men­jadi musik nasional ? (Ajip Rosidi: Kedaerahan Dalam Keindonesiaan).

Pernyataan ini yang dikemukakan oleh seorang sastrawan dan bu-dayawan Sunda membikin saya ju­ga agak terkesan. Pertanyaan perta-. ma adalah: Sejak kapan sistem laras diatonis dapat mendominasikan seluruh nusantara, kecuali Sunda ? v Lalu, pertanyaan kedua adalah, apakah sesuatu yang "ngepop" otomatis mesti dianggap berada di luar kerangka budaya lokal, dalam hal ini Sunda ? Dan pertanyaan keti-ga adalah, apakah memang betul bahwa hanya musik Sunda yang didiatoniskan berhasil secara na­sional atau internasional ?

Upaya menjawab ketiga per­tanyaan ini, tidak langsung menyen-tuh pendidikan seni di Sunda, na­mun di belakang semua ini, per­soalan pendidikan seni tradisional sangat nyata, sebab secara tersirat dikatakan bahwa seni tradisional yang di-pop-kan tampaknya lebih berhasil, maka di dunia pendidikan pun langkah ini mesti dilaksanakan.  

Sejak kapan sis­tem laras diatonis dapat men­dominasikan seluruh nusantara, kecuali Sunda ?
Sebagai seorang musikolog tu­gas jawaban ini dialih ke para musikolog saya menjawab: sebe-narnya kategorisasi ke sini atau ke situ sama sekali tidak penting. Namun di belakang pertanyaan ini ada banyak isyarat atau sinyal tersembunyi yang memerlukan per­hatian.

Dugaan Pak Rosidi mengapa karya-karya Pak Nano barangkali sudah di luar kerangka budaya lokal hanya berdasarkan adaptasi laras kepada sistem diatonis yang no-tabene berasal dari budaya musik Eropa. Yang lebih menarik adalah alternatif yang diberikan Pak Rosidi, yaitu karya Pak Nano telah masuk budaya nasional.

Justru pemikiran ini mencer-minkan kekeliruan yang akhirnya cenderung rhenghambat tumbuhnya seni sendiri, sebab yang dipersoalkan adalah identitas politis karya musik ini, bukan makna, kualitas dan keu-nikannya sendiri. Justru fenomena ini merupakan salah satu hambatan utama dalam rangka pendidikan seni, khusus pendidikan musik, dalam upaya mencari jalan tengah antara pola nasional dan regional -lihat di bawah.

Apakah me­mang betul bahwa hanya musik Sunda yang didiatoniskan ber­hasil secara nasional dan interna­sional ?
Pertama, perlu dikemukakan bah­wa kualitas sebuah karya seni tidak bisa dinilaiidari segi kuantitas apre-siatornya, kecuali bila kita ingin me-nilai sesuatu hanya dari sudut suk­ses pemasarannya. Tetapi, di samp-ing itu, tampaknya CD Pak Nano memang layak pasar, termaasuk di luar Jawa Barat.

Tetapi hasil ini kurang berdasarkan "ke-diatonis-an" laras Sunda, melainkan seluruh kemasan rekaman ini yang mudah dicerna, baik dari segi bentuk maupun dari segi motif-motif sendiri. Makna lokal seolah-olah dikemas atau dicampur atau diubah sedemikian rupa, sehingga memiliki beberapa konotasi tertentu lagi yang lebih umum. Maka peluang untuk iden-tivikasi bagi seorang apresiator lebih tinggi. Dan aspek ini tidak berda­sarkan masalah laras, melainkan ke-seluruhan sajian.

Contoh audio "Kalangkang"
Jika musik ini lebih berhasil (se­cara internasional belum tentu dan perlu ada data bandingan dengan rekaman lain) daripada seni tradi­sional murni ala Sunda, perlu di-tanyakan apakah kenyataan ini akan menyebabkan kepunahan seni tra­disional yang tidak ngepop ?

Sejauh diketahui saya, ideologi Pak Nano adalah agar melalui apre-siasi Pop-Sunda ini kebanyakan orang akhirnya mulai tertarik dengan tradisinya.

Jawban saya: mungkin, tetapi ju­ga kemungkinan besar tidak mung­kin, sebab sesuatu yang "ngetrend" cepat sekali menjadi standar satu-satunya untuk selanjutnya. Di sam­ping itu, tidak semua jenis seni tra­disional Sunda kondusif untuk aransemen seperti ini. Sebutkanlah saja seni tarawangsa atau kecapije-naka yang barangkali bisa menjadi bahan untuk penciptaan baru, akan tetapi kurang cocok untuk suatu aransemen seperti pada lagu-lagu di rekaman "Kalangkang".

Mengapa disebut tiga persoalan di atas ? Karena dibalik semua itu diskusi tentang identitas lokal dalam konteks nasional bahkan interna­sional tetap merupakan masalah yang hangat. Terlepas dari sentral­isme orde baru dan juga sebelum-nya, dikotomi lokal-nasional telah mewarnai sejarah bangsa Indosnesia , sejak awal s.d. hari ini.

Saya yakin sepenuhnya bahwa hanya penghapusan dikotomi ini akan menjadi salah satu kunci ter-penting bagi masa depan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang pendidikan atau kesenian.

Apakah Pendidikan Seni tradi­sional masih perlu ?
Saudara Philip Yampolsky per­nah menulis makalah tentang tema ini yang sangat menarik (Yampolsky, Philip: Can the tradi­tional art survive, and should they ?, makalah pada Kongres MSPI, Mei 2000, Jakarta). Bagi saudara Philip ada dua point utama mengapa pen­didikan seni tradisional masih per­lu:
1) Music serves many people as a symbol if identity (.....) It seems that what is needed is a form of society that accepts and celebrates plural, multiple identities.
2) Music is at the most funda­mental level, a way of imposing structure on sound in time. Now most people grow up with some kind of music around them that they become used to. (....) That's what tradition­al music can do for us: suggest the possibility that life can be lived dif-ferentle.

Pada umumnya kedua point ini bisadisetujui. Point satu mengatakan bahwa seni, dalam hal ini musik, merupakan simbol identitas seseo-rang. Perasaan identitas sangat pent­ing untuk keseimbangan hidup. Bila perasaan identitas (Dalam arti kon-vensional) tetap ada pada orang di desa serta konteks budaya lokal mereka, maka orang kota sering ke-hilangan identitas tersebut.

Kehidupan urban pada hakekat-nya adalah kehidupan dalam kon­teks pluralisme yang hanya berfungsi melalui berbagai peratu-ran. Suatu identitas konvensional di llingkungan urban jarang dapat dite-mukan, dan barangkali hanya muncul dalam konteks tertentu berhubungan dengan persoalan iden­titas kolektif sebagai "alat" terhadap masyarakat lain. (Misalnya daerah Harlem bagi kaum Negro di New York dimana kesatuan mereka mem­bikin mereka lebih kuat terhadap diskriminasi kaum orang putih)

Akhirnya tidak mengherankan kalau orang kota senantiasa mencari simbol identitasnya pada hal-hal lain yang lebih bersifat materiil (mobil, rumah, fasilitas, busana dll). Tata hidup ini pun dimotori oleh industri sendiri melalui media massa. Lingkaran ini tidak usah dijelaskan lebih lanjut karena cukup diketahui.

Di belakang kenyataan ini muncul persoalan politik lagi, yaitu justru gaya hidup di kota dianggap lebih bernilai daripada kehidupan di de­sa. Atau: Identitas materiil yang lebih mirip aneka mode sementara diutamakan dibandingkan identitas budaya yang holistik. Philip Yampolsky lagi mengomentarinya:

The government's programs very often have had the effect of telling villagers that their traditional arts are unsatisfactory as they are: they need to be improved (dibina, dikem-bangkan) before they will be ac­ceptable to the government and out­siders. Religious teachers and au­thorities demand that certain aspects of traditional music (.....) be abandoned or purified. And, very perva­sively, the ordinary everyday mes­sages of newspapers, magazins, avertisements, radio and television tell villagers that their life is back­ward primitive, and laughable.

Saya sebutkan hal ini sebab juga budaya Sunda telah mengalami dikotomi antara budaya kota dan bu­daya desa yang lama. Dengan kata lain, di dalam budaya Sunda sendiri sudah tidak ada kesatuan tata budaya yang laku secara umum. Antara bu­daya orang Kanekes dan budaya pusat kota Bandung berada dalam ribuan tingkat budaya dengan per-adaban atau tingkat pendidikan yang bermacam-macam.

Apakah dengan demikian masih bisa dibicarakan tentang simbolik atau identitas budaya yang berlaku secara umum ?

Kalau kenyataan ini dialih ke dunia pendidikan, bisa dikatakan: bila dikritik sentralisme pemerintah pada orde baru, sentralisme daerah atau etnis juga kurang cocok.

Sebaliknya kelebihan "lokalisme" sebagai interpretasi mutakhir poli­tik desentralisasi kelihatan adalah sikap berlebihan baru yang juga tidak membantu pengembangan SDM di sini.

Ketika seminar/lokakarya pem-belajaran seni musik angklung yang disebut di atas, ada dua kejadian menarik. Salah satu telah disam­paikan pada awal makalah ini. Yang kedua begini:

Ketika tim UPI datang ke sekolah * yang ditentukan sebagai tempat penyelenggaraan, kepada sekolah masih sedang berpidato di depan siswa yang berbaris di depan seko­lah. Antara lain dia sangat mengan-cam anak-anak yang datang dari kampung jauh, bahwa janganlah mereka membawa kekacauan dan cara di desa mereka ke kota dan sekolah yang beradab.

Contoh ini dan yang pada awal makalah ini mencerminkan dua hal berhubungan dengan pernyataan Philip Yampolsky.
1. Persoalan melestarikan kesan identitas sebagai landasan etika dan moral bagi seorang anak didik, jus­tru kerusakan oleh seorang wakil dari aparat pemerintah yang malah memerkuat dikotomi antara desa dan kota demi menyamaratakan semua orang.

Perhatikan bahwa fenomena ini tidak terjadi di tingkat nasional atau berdasarkan sentralisme pusat atau otonomi daerah. Fenomena ini berhubungan sepenuhnya dengan suatu sikap yang memprihatinkan. ^ Selama dikotomi ini tidak terhapus, khusus dalam bidang pendidikan, nilai-nilai budaya lokal sendiri belum pernah akan tumbuh secara sehat. Dan kemudian tidak akan ada seorang anak pun yang ingin mem-pelajari tentang tradisinya.


2. Bila otonomomi daerah hanya menjadi "egoisme lokal", maka hasil edukatif pada generasi muda akan menjadi lebih fatal dibandingkan za­man Orde Baru sebelumnya. Bila persoalan identitas ditafsirkan se­bagai membatasi diri daripada se-baliknya, bila keanekaragaman tidak diakui, dihargai, bahkan tidak dipela-jari di sekolah sebagai topik utama, maka justru simbol sebagai identi­tas menjadi tembak balik bagi suatu , budaya.

Dari situ bisa ditarik berbagai ke­simpulan atau penegasan:
1. Segala upaya pendidikan seni harus mengutamakan dua hal, yaitu menyempurnakan identitas budaya, tetapi sekaligus.
2. Mengembangkan kesadaran bahwa identitasini adalah salah satu di antara ribuan yang lain.
3. Namun upaya edukatif yang menuju ke sana tidak boleh difung-sionalkan secara politis dalam arti yang paling luas. Bila masalah ke­senian dibina atau dipengaruhi oleh aparat politik, hakekat senib seba­gai medium untuk mengembangkan unsur humaniora masyarakat se-makin hilang.

Maka persoalan utama tidak ter-letak pada dikotomi nasional atau lokal, melainkan terletak pada ori­entasi pendidikan seni yang harus menuju kepada kompetensi dalam rangka seni sendiri daripada dis-alahgunakan demi tujuan politis. Upaya satu-satunya dari pemerintah adalah memberi peluang, fasilitas dan bantuan sebagai mediator, tetapi janganlah pemerintah turut menen­tukan kriteria seni. Masalah seni sendiri dibiarkan sepenuhnya kepa­da seniman, budayawan dll.

Berbagai syarat atau tuntutan
1. Syarat utama untuk suatu situ-asi pendidikan musik yang antara lain mendukung minat terhadap seni tradisional Sunda adalah justru su­atu skenario dimana konsep pen-* didikan seni sepenuhnya lepas dari unsur politik. Selama dalam perde-batan tetap dikotoni nasional/lokal, Indonesia/Sunda dsb. paling berper-an, selama tidak akan ada peruba­han yang semestinya sebab bukan pendidikan seni yang diutamakan melainkan pendidikan kewargane-garaan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal/etnis bahkan desa (lihat contoh dengan angklung di atas).
2. Terlepas dari persoalarfpolitis ini, pendidikan seni tidak bisa melestarikan sesuatu bila anak-anak didik harus menghafal sekian nama tari atau lagu Sunda serta nama alat-alat musik dari berbagai perangkat gamelan. Statistik data seperti ini masih terlalu populer dan disala-hartikan dengan pendidikan.
3. Sebagai konsekuensi dari point satu dan dua, harus ada kesepakatan dan kesadaran bahwa pendidikan seni, khususnya musik, lebih berkai-tan dengan mengembangkan kom-i petensi terhadap fenomena bunyi pa-da umumnya. Pemahaman kontek-stual (konteks budaya) hanya bisa menjadi langkah kedua setelah di-tanamkan cukup banyak represen-tasi mental tentang fenomena bun­yi sendiri.
4. Perhatian atau kesadaran ter­hadap seni tradisional tidak otoma­tis ada pada anak didik. Orangtua pun sering sudah merasa asing ter­hadap seni tradisional di daerah setempat sehingga pengaruh lingkungan tidak bisa diperhi-tungkan sebagai jaminan kesadaran ppsitif terhadap pelestarian seni tra­disional.
Hanya dengan melihat kondisi problematis ini, alokasi waktu un­tuk pendidikan seni di sekolah mesti ditingkatkan, namun persoalan ini tidak akan dibahas dalam makalah ini.
5. Anak didik berada dalam satu kondisi yang kurang kondusif, baik untuk kesadaran seni lokal maupun yang lain. Maka strategi metodolo-gis harus dimulai dari kenyataan . kondisi anak didik ini. Dengan kata lain, tidak mungkin ada kurikulum, baik yang lokal maupun nasional yang bisa menentukan langkah-langkah awal ini sebab semua ter-gantung dari kondisi anak didik sendiri. Kondisi ini harus diselidiki oleh guru pada setiap saat sebagai landasan langkah-langkah eduka-tifnya.
6. Kita harus menyadari bahwa anak didik umumnya menafsirkan seni tradisi sebagai sesuatu yang an-tik, tidak sesuai dengan zaman dan tidak sesuai dengan budaya diri sendiri, walaupun kenyataan ini tidak selalu sama dan juga tergan-tung lingkungan sosial. Banyak ahli pendidikan menafsirkan kenyataan ini bahwa anak didik seolah-olah ' mesti "dijemput" pada dunia dia sendiri. Maka lagu-lagu pop yang populer diputar terus di dalam kelas.

Menurut hemat saya, ideologi ini bisa dipahami, tetapi %idak usah di-terima bahkan diaplikasikan. Konsep seperti ini tidak memiliki unsur edukatif dan hanya mem­perkuat status quo yang sudah ada. Di samping itu, sering terjadi bah­wa anak didik merasa terganggu oleh orangtua di dalam dunia mereka sendiri.

Dari situ bisa ditarik kesimpulan bahwa suatu proses pendidikan harus dimulai dari sudut yang lain sekali. Kesadaran dan minat ter­hadap seni tradisional hanya bisa dikembangkan kalau pengertian tra­disi ini tidak dianggap statis dan tan-pa perubahan seni tradisional harus dipresentasikan seperti sesuatu yang dinamis. Maka upaya Pak Nano ke-marin merupakan satu langkah yang positif, asal langkah berikut (kem-balinya minat ke seni tradisional) terjamin daripada Pop-Sunda itu menjadi standar satu-satunya bagi generasi muda. Yang menarik adalah juga suatu pernyataan dari Slamet A. Sjukur. Beliau menga­takan:

It is curious that what isfokklore and contemporary can be so easily confused simply because both are strange to whatever is unfamiliar with them. Concerning the universality of music it is a stubbornly stupid as the politicised meaning of tradition ( Slamet A. Sjukur: Micmphonism draws ourperfoming arts, di dalam harian Jakarta Post, tanggal 6 Mei 2000).

Istilah yang ingin saya tawarkan di sini adalah perkembangan kesadaran historis melalui aktualisasi seni tradi­sional sebagai latar belakang atau lan­dasan baru revitalisasi seni tradisional dalam kesadaran anak didik.

Bila seni tradisional dilihat sebagai suatu proses dinamis — dan justru sekarang ini lebih mungkin dengan adany a rekaman-rekaman, artinya pro­ses dengan perubahan-perubahan, ma­ka awal proses edukatif adalah pa-da dunia anak sendiri. Tetapi dunia ini harus netral dan tidak boleh berbau adaptasi kepada dunia musik anak. Kita harus menciptakan berba­gai skenario kreatif, dimana proses pendidikan dimulai dengan aktivi-tas kreatif berdasarkan berbagai model praktek yang secara umum bersifat netral, tetapi sebenarnya merupakan aransemen dari salah satu bentuk seni tradisional. Hanya dengan demikian, anak didik bera­da dalam kondisi yang lebih kon­dusif untuk suatu proses edukatif yang menuju kepada peningkatan kompetensi.

Pada saat yang sama - secara tersembunyi - kesadaran anak didik juga akan menuju kepada pema-haman dan penghormatan seni tra­disional. Melalui pengalaman prak-tis dan kreatif dengan sesuatu yang aktual, guru bisa kembali bertahap-tahap kepada sumber aktualisasi ini.


Baru saja anak didik bisa mema-hami bahwa yang aktual dan menarik sebenarnya bersumber dari sesuatu yang mempunyai tradisi lama. Atau dengan kata lain: Sete­lah praktek-praktek kreatif yang se­cara tersembunyi menunjang seni tradisional, pada anak didik sendiri harus timbul pertanyaan: "Bagaimana sebenarnya tradisi saya yang dulu, kalau sekarang sedemikian rupa ?" Kalau muncul pertanyaan demikian, tidak perlu khawatir dengan keadaan seni tra­disional pda masa depan.

Berbagai konsekuensi
Bukan rahasia bahwa suatu pro­ses pendidikan seperti dituntut di atas tidak bisa diputuskan dengan berbagai undang-undang atau melalui perubahan kurikulum. Di samping harus ada political will ju­ga, harus ada restrukturalisasi pen­didikan di perguruan tinggi yang am-at fundamental. Dan yang paling fundamental, harus ada perubahan sikap semua pihak yang berada dalam sistem edukatif.

Orangtua mesti lebih terlibat dalam tanggungjawab pendidikan anaknya, para guru harus diberi ke-sempatan lebih untuk menjadi kre­atif dalam pelaksanaan proses pem-belajaran, mereka juga harus diba-yar seimbang supaya mereka bisa berkonsentrasi pada tugasnya. Kepala sekolah sebaiknya lebih berperan sebagai organisator dari­pada seorang yang ada suka me-ngatur metodelogi dan materi. Aparat pemerintah mesti lebih menarik diri daripada meningkatkan birokrasi, maka apakah rumusan seperti berikut merupakan solusi, tetap perlu diragukan:

Kemampuan mengendalikan diri bisa diperoleh, apabila peserta didik mempunyai kemampuan intelektu-al dan penguasaan ilmu, serta kua­litas spiritual sehingga bisa mandiri dengan tetap berakar pada budaya bangsa. Untuk itu kita harus mempersiapkan generasi muda dengan meningkatkan kemampuan intelek-tual, menciptakan sistem dan strate­gi yang baik serta sanggup men­jawab tantangan perubahan zaman yang sangat cepat.

Strategi ini sepenuhnya akan berhasil apabila Manajemen Berba-sis Sekolah dapat diberdayakan de­ngan sebaik-baiknya yang pada akhirnya akan menghasilkan anak bangsa yang berkualitas dengan in-dikatornya adalah Intelectual Qual­ity, Spiritual Quality, dan Emosion-al Quality, bahkan bisa ditunjang de­ngan Skill Quality dan Economic Quality (H.Hasmi Romly SH, MBA, MM, Kepala Dinas P&K Jawa Barat, dalam esainya "Strategi Pen­didikan yang Visioner di Jawa Barat", di harian Pikiran Rakyat, 13 Desember 2000).

Penulis kutipan ini pasti punya maksud yang baik. Namun setelah sekian tahun pengalaman di In­donesia, saya tetap khawatir bahwa pernyataan seperti ini a) kelihatan indah pada kertas, dan b) masih tetap bersifat ideologi abstrak daripada menawarkan langkah konkrit per-wujudannya. Semua "quality" yang disebut adalah idealnya. Tidak ada orang yang tidak menyetujuinya. Tetapi setiap unsur visioner mesti menawarkan tindakan konkrit demi mencapai visi tersebut. Langkah berikut ini tidak kelihatan dalam ku­tipan ini, sebab manajemen sendiri hanya menyentuh tingkat pengor-ganisasian, bukan unsur-unsur kon-septual dan sikap para penanggung jawab.

Dua contoh pembelajaran yang menunjang revitalisasi seni tradi­sional dalam pendidikan masa kini.
Konsekuensi utama dari semua syarat dan tuntutan di atas adalah bahwa khususnya pendidikan musik harus mengutamakan praktek dari­pada teori. Maka, kurang lebih se­mua buku pegangan wajib yang beredar sebaiknya dibuang saja kare­na penuh dengan statistik data saja yang mubazir. Buku sekolah pada masa depan sebaiknya dikontrol lebih ketat sejauh mana buku terse­but menunjang konsep eduktif yang bersifat pengalaman praktek.

Namun tuntutan praktek ini sering juga disalahartikan, dalam hal ini khusus oleh teman-teman dari ling­kungan seni sendiri. Dengan profe-sionalisme mereka sebagai seniman, pemikiran mereka tentang praktek seni di sekolah adalah wujud bentuk seni semata-mata. Artinya, pembe­lajaran tentang misalnya seni angk­lung badudhaius dimulai langsung dengan aslinya angklung badud, ter-masuk harus ada semua alat.

Orientasi seperti ini tidak salah, akan tetapi tidak realistis. Pertama, pembelajaran tentang salah satu ma­teri tidak bisa tergantung adanya alat atau tidak. Kedua, alokasi waktu di sekolah umumnya cukup terbatas sehingga hanya bentuk seni yang sederhana sekali secara teoritis bisa terwujud. Ketiga praktek seperti ini bisa menjadi topi ekstra-kurikuler untuk anak-anak terpilih, sedangkan tema di sini adalah pelaksanaan in-tra-kurikuler.

Tetapi masalah utama adalah bah­wa proses pembelajaran seperti ini tidak memperhatikan metodologi
edukatif seperti diuraikan di atas, se­bab praktek langsung sudah menu­ju ke bentuk seni yang sudah ada, artinya dengan konotasi "tradisi" yang secara psikologis untuk se­mentara masih ditafsirkan negatif oleh kebanyakan anak didik. Metode ini tidak dimulai dengan langkah pertama netral yang hanya menarik perhatian dan kreativitas anak didik tanpa konotasi tertentu.

Maka yang dimaksud dengan prak­tek dan kreativitas harus ditafsirkan lain.
Salah satu kemungkinan ada bahwa bahan tradisional diaransir sehingga unsur-unsur musikal utama masih ada di dalamnya, tetapi tanpa diketahui anak didik. Misalnya tujuan akhir adalah pemahaman tentang angklung dogdog lojor serta kesadaran seni tersebut dalam konteks ritualny a. Proses pem­belajaran kesanajangan menyebutkan sesuatu pun tentang tujuan ini serta ma­teri. Proses ini dimulai dengan suatu aransemen yang kemudian dipraktek dengan anak-anak. Berikut ini akan dis­ampaikan hasil audio, yaitu musik angklung dogdog lojor yang asli serta aransemen aktual yang berdasarkan materi musikalnya.

* Contoh, Angklung Dogdog Lojor, "Bale Agung", Ciptarasa/Sukabumi.
* Contoh, "ala Dogdog Lojor" oleh Oya Yukarya.

Contoh kedua ini diwujudkan de­ngan anak didik. Tentu saja nyanyian tunggal tidak dilaksanakan oleh anak didik, melainkan mesti oleh guru sendiri. Tetapi justru keterlibatan guru bersama anak-anak adalah hal yang positif untuk merangsang aktivitas anak didik. Latar belakang kemudian bisa divariasikan oleh anak-anak sendiri.

Setelah pengalaman seperti ini, sajian (apresiasi) angklung dogdog lojor asli umumnya jauh lebih diterima secara positif, karena sekarang sudah ada pe­ngalaman praktis yang
a) sesuai dengan kemampuan anak didik
b) tidak menyentuh dunia musik dia
c) tidak berbau tradisi, walaupun tra­disi menjadi sumbernya.

Dengan latar belakang ini proses kembali ke sumber yang sebenarnya tidak merupakan masalah. Tetapi bila dimulai dengan versi asli termasuk sebutan, inilah seni t adisional..... anak didik umumnya sudah merasa bosan.

Upaya seperti ini bisa dilaksanakan untuk semua jenis seni dan tidak ter­batas pada contoh yang ditawrakan di sini. Juga tidak perlu ada alat asli kare­na semua fungsi musikal bisa ditrans-fer ke vokal atau alat-alat sederhana bu-atan anak-anak sendiri.

Salah satu kemungkinan lain yang lebih menuju kepada unsur kompetensi musikal, misalnya gaya vokal senggak yang populeritu, bisa dipraktek melalui karya-karya kontemporer yang seder­hana seperti misalnya pada Ronda Malam karya Slamet A. Sjukur. Walaupun karya ini diciptakan untuk alat angklung, Dedi Hermawan telah membuat versi vokal yang berdasarkan struktur partitur yang sama.

Contoh, Ronda Malam, Slamet A. Sjukur, versi angklung.
Contoh, Ronda Malam, Slamet A. Sjukur, versi vokal (Dedi Hermawan).

Melalui praktek ini anak-anak tela mengalami berbagai unsur musika khusus yang ritmis yang kemudian me nunjang pemahaman serta minat pad seni-seni tradisional yang lain yanj dalam proses pembelajaran selanjut nya disajikan secara aprcsiatif. Tetap hanya apfesiasi ini sendiri pasti mubazi oleh karena alasan yang telah disam paikan di atas.

Akhirnya masih perlu satu ko mentar mengenai teknik apresias seni tradisional sebagai landasar pembaharuan pembelajaran kesen­ian demi menunjang pemahamar keanekaragaman tradisi. Teknik apre­siasi, baik melalui contoh audio maupun video atau pun secara live pasti bagus dan harus didnilai posi­tif. Namun metode ini sebagai kon­sep edukatif tunggal juga mempu­nyai berbagai kelemahan.

Pertama, proses pembelajaran melalui unsur apresiasi cenderung ju­ga kepada statistik data, daripada ada pengembangan kompetensi. Mem-perlihatkan keanekaragaman tidak sama dengan mengembangkan kes-daran positif terhadap keanekara­gaman, terutama di sekolah (situasi di perguruan tinggi barangkali berbe­da).

Kedua, apresiasi tetap menimbulkan jarak antara anak didik dan materi sendiri. Materi apresiatif malah ditafsirkan sebagai film di TV dengan jenis perhatian sedemikian rupa.

Ketiga, kesadaran negatif terhadap seni tradisional tetap ada, sebab langkah psikologis pada awal seperti dijelaskan di atas tidak ada.

Maka apresiasi sendiri merupakan aspek yang penting, akan tetapi po-sisinya dalam proses edukatif hanya ada di belakang setelah langkah-langkah praktek. 

Subscribe to receive free email updates: