Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Bagi Umum
Pengertian melacak dasar konstitusional penulis maknai sebagai sebuah upaya hukum melalui serangkaian studi dokumen terkait yakni mulai dari konstitusi Undang-undang Dasar 1945 beserta peraturan perundang pelaksanaannya diikuti dengan pengkajian fakta empiri fenomena pengadaan tanah. Tentu dipertanyakan apa perlunya dilakukan pengkajiana atas fakta empiri aktivitas pengadaan tanah?, bukankah sudah jelas dari sekian banyak aktivitas pengadaan tanah terjadi banyak terjadi penyimpangan?. Justru jawaban atas pertanyaan tersebut perlu dilakukan pengkajian variabel-variabel non hukum apa yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum. Satjipto Rahardjo (2007) memberikan pencerahan pada pengkaji hukum seputar pandangannya terhadap Undang-undang Dasar 1945 bahwa ”undang-undang Dasar 1945 bukan teks biasa, melainkan alam pikiran dari wakil bangsa yang menjelajahi sekalian ranah kehidupan manusia baik, sosial, kultural, politik,ekonomi dan sebagainya yang menurut Ronald Dworkin (1996) yang harus dibaca secara filosofis, disebut sebagai moral reading” (Satjipto Rahardjo,2007: 33-34). Berhubung yang diatur maupun akan diatur oleh Undang-undang Dasar 1945 adalah manusia (baca manusia Indonesia) sudah barang tentu harus menempatkan manusia sebagai titik sentral/pusat. Mengapa demikian?, Satjipto Rahardjo (2007) menyatakan bahwa hukum untuk manusia dengan sedemikian luas dimensinya, sehingga membatasi perilaku manusia sebatas apa yang diatur oleh undang-undang sama dengan mereduksi manusia itu sendiri (Satjipto Rahardjo.,2007: 37).
Mengacu pada ketentuan Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen keempat dinyatakan bahwa: ”bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Untaian kata ini mengandung makna bahwa di dalamnya memberikan kekuasaan (baca kewenangan) pada negara (baca pemerintah) untuk mengatur (memanage) sumber daya alam yang terkandung di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia yang diabdikan bagi kesejahteraan segenap rakyat Indonesia.
Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara (disingkat menjadi:HMN) termuat dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Menurut Pasal 2 UUPA, HMN hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur:
a).mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan perneliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b).menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c).menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Peraturan perundang-undangan di bidang agraria, memberi kekuasaan yang besar kepada negara untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah Indonesia, sehingga berpotensi melanggar hak ulayat dan hak perorangan atas tanah. Oleh karena itu, di kalangan ahli hukum timbul gagasan untuk membatasi wewenang negara yang bersumber pada HMN. Beberapa kesalahan pemaknaan oleh negara dalam hal ini dilakukan oleh institusi pemerintah telah diteliti oleh Mohammad Bakri (2006) dalam disertasinya mengemukakan keharusan pembatasan hak menguasai tanah oleh negara dalam hubungannya dengan hak Ulayat dan hak perorangan atas tanah (Mohammad Bakri,2006: 52).
Kewenangan yang dimiliki oleh negara atas pengelolaan bumi, kekayaan alam yang pada realita dilaksanakan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah melalui kebijakan-kebijakan (policy making/ beleid maken) dilandasi nilai-nilai filosofi Pancasila seperti: ke Tuhanan, kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan. Nilai-nilai sebagaimana disebut menurut segolongan ahli hukum merupakan serangkain nilai-nilai fundamental (a fundamental values) karena bisa diketemukan di semua sistem hukum di dunia Soedikno Mertokoesoemo, 1986: 35-36, Satjipto Rahardjo seperti dikutip oleh E Fernando M Manullang,2007: 98, John Rawls 1971 seperti dikutip E Fernando M Manullang 2007: 99, Satjipto Rahardjo, 2006: 60, Munir Fuady, 2007: 118-127). Hal esensial yang dapat diambil dari beberapa pandangan ahli hukum sebagaimana disebut di muka adalah:
a. agar aturan hukum formal mencapai keadilan formal harus ada ketentuan yang mengatur bagaimana memberlakukan manusia dalam kasus-kasus tertentu, harus jelas sasaran pemberlakuannya, harus diterapkan secara tidak memihak dan tanpa diskriminasi;
b. dibangunnya rule of moral dari sila-sila Pancasila seperti dikaji secara ilmiah mendalam oleh Notonagoro (1979, 1984) misalnya sikap mau mendengar keluh-kesah kawula negara, berani mengakui kesalahan/ berani secara jujur bertanggung jawab dan berjanji untuk tidak mengulangi kekeliruan, menentang sikap-tindak penyimpangan pengelolaan negara, mendahulukan kepentingan yang luas daripada kepentingan diri sendiri atau golongan, menolak mengambil hak pihak lain yang bukan menjadi haknya. Berani menyatakan kekurangan dan tidak semata-mata mengemukakan kelebihan, meletakkan kewenangan sebagai amanah bukan sebagai dasar kekuasaan untuk menindas. Nilai-nilai (values) demikian, menurut beberapa pakar sebagai penanding rule of law/ yang banyak disimpangi atau hanya dipandang proforma belaka;
c. kegagalan logika dengan pendekatan formal logis dengan menggunakan tiga model logika: silogistik, proposisi, predikat seperti didewakan oleh ET Feteris (1994) yang disitir oleh Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005: 13-15. Mengapa demikian?. Jawaban yang dapat dikemukakan adalah positivisme hukum didasarkan pada hubungan sebab-akibat (cause and effect) seperti pada silogisme, mengabaikan fakta non-yuridik budaya,sosial-ekonomi, politik, terpancang pada ketentuan hukum positif-tertulis dengan kata lain hukum negara (state law) mengabaikan hukum rakyat (folk law) yang senyatanya lahir, tumbuh dan berkembang pada komunitas yang bersangkutan. Sikap penulis dengan menggunakan pendekatan kajian dengan menggunakan pendekatan socio-legal berkeyakinan memberikan alternatif menjebol kebuntuan keberlakuan kaidah pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum.