Pendidikan Seni Tradisional Sunda atau: Pendidikan Seni - Quo Vadis?
Tema makalah ini diberikan pleh pihak penyelenggara konferensi ini. Saya kurang tahu apakah ada maksud tertentu mengapa justru so-rang Barat diberi tugas membahas tema sensitif ini. Tetapi setelah mempeduli persoalan pendidikan seni di Indonesia selama 10 tahun lebih, kiranya ada berbagai hal yang bisa disampaikan.
Dengan demikian, makalah ini bukan ilmiah dalam arti murni se-bab dengan ilmu apa pun persoalan yang dihadapi di sini tidak bisa dipecahkan. Sejauh mana kesan dan pesan dalam makalah ini akan men-dapat perhatian atau tidak, ada di luar pertimbangan dari penulis.
Pada kalimat-kalimat awal ini, ternyata istilah "pendidikan seni tra-disional Sunda" sudah diganti dengan "pendidikan seni di Indonesia". Perubahan ini dibuat sengaja kare-na ada keyakinan bahwa inti persoalan yang perlu dibahas bersifat lebih umum dan tidak lepas dari se-jarah pendidikan di Indonesia sejak awal pada tahun 40-an.
Setelah sentralisme Orde Baru, ideologi "link and match" pada awal tahun 90-an, sekarang ini politik otonomi daerah kelihatan memberi angin baru dan sejuk kepada dunia pendidikan. Namun jangan dilu-pakan bahwa tulisan-tulisan di atas kertas belum menjamin perubahan orientasi pihak-pihak yang berkait.
Dengan kata lain, persoalan dasar tidak bisa dipecahkan dengan kepu-tusan bahwa: mulai besok di kelas satu SMU akan dipelajari "Tara-wangsa" pada bidang musik, "Tari Topeng Panji" di bidang tari dan tata busana orang Kanekes pada bidang seni rupa.
Pada tahun 2000, tim UPI Bandung pernah melaksanakan berba-gai lokakarya "Pendidikan Seni Tradisional" berdsarkan dua paket pelajaran untuk sekolah mengenai a) "Topeng Cirebon" dan b) "Angklung di Jawa Barat".
Konsep pada Angklung adalah membandingkan lima jenis seni Angklung di Jawa Barat yang mewakili fungsi-fungsi dan konsep yang berbeda. Sebagai suatu hipote-sis dan makna (konsep edukatif, ke-lima jenis ini jugadiartikan sebagai contoh perubahan dari suatu ling-kungan agraris s.d. lingkungan urban, bahkan komersial yang khas untuk budaya kota masa kini.
Untuk kebutuhan ini, dipilih seni angklung dogdog lojor dari Cip-tarasa/Sukabumi, angklung badud dari Ciamis, angklung badeng dari Sanding/Garut, angklung bunds dari Banjaran dan angklung Sunda/-Indonesia, Pak Udjo dari Bandung. Tentu saja, di Sunda ini masih ada beberapa jenis seni angklung lain dan semua jenis lain ini juga dise-but secara umum, tetapi bukan spe-sifik.
Pada awal pelaksanaan lokakarya tentang paket angklung ini di salah satu kota besar Jawa Barat, kami di-ancam keras sekali dengan tuduhan bahwa paket ini mubazir untuk daerah setempat. Alasannya, di daerah itu tidak ada salah satu dari lima jenis angklung tersebut, emalainkan hanya ada seni angklung 30 dan jenis angklung ini tidak disebut dalam paket.
"Karena sekarang ada zaman otonomi daerah, maka paket ini sama sekali tidak laku," kata salah seorang peserta lokakarya. Di sam-ping itu, tanpa otonomi daerah pun, nilai buku ini percuma karena angklung 30 tidak dibahas, padahal penting sekali.
Contoh ini cukup tepat untuk menggambarkan masalah yang sedang aktual. Dalam bidang seni dan pendidikan sering ada kecen-derungan otonomi daerah menjadi "egosentrisme lokal" yang saya se-butkan "lokalisme".
Kelakuan seperti ini juga tidak akan menghasilkan pendidikan seni tradisional yang bermakna, melain-kan hanya akan memperkuat sikap etnosentrisme yang irasional, bahkan yang berbahaya. Siapa yang menjadi korban ? Tentu saja, justru anak-anak bangsa sendiri yang diper-mainkan oleh persoalan orangtua dan tujuan tolitisnya.