Dampak Pembangunan Terhadap Komponen Lingkungan Hayati
Dimensi Ekologis
Setiap ekosistem alamiah memiliki empat fungsi pokok bagi kehidupan manusia adalah :
(1) jasa-jasa pendukung kehidupan,
(2) jasa-jasa kenyamanan,
(3) penyedia sumberdaya alam, dan
(4) penerima limbah ( Ortoland, 1984).
Jasa-jasa pendukung (life support services) mencakup berbagai hal yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia, seperti udara dan air bersih serta ruang untuk mendukung segenap kegiatan manusia. Jasa-jasa kenyamanan (amenity services) yang disediakan oleh ekosistem alamiah adalah berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan menyejukkan yang dapat dijadikan tempat berekreasi serta pemulihan kedamaian jiwa. Ekosistem alamiah juga menyediakan sumberdaya alam yang dapat dikonsumsi langsung atau secara sebagai masukan dalam proses produksi.Sedangkan fungsi penerima limbah dari suatu ekosistem adalah kemampuannya dalam menyerap limbah dari kegiatan manusia, sehingga menjadi suatu kondisi yang aman.
Dari keempat fungsi ekosistem alamiah tersebut, dapatlah dimengerti bahwa kemampuan dua fungsi yang pertama sangat bergantung pada dua fungsi yang terakhir. Ini berarti bahwa jika kemampuan dua fungsi terakhir dari suatu ekosistem alamiah tidak dirusak oleh kegiatan manusia, maka fungsi sebagai pendukung kehidupan dan penyedia jasa-jasa kenyamanan dapat diharapkan tetap utuh.
Dampak Pembangunan Terhadap Flora Dan Fauna
Disamping dampak positif atau yang disebut dengan manfaat pembangunan, disisi lain timbul dampak negatif (atau yang disebut dengan efek samping pembangunan) yakni timbulnya pencemaran lingkungan, atau timbulnya kerusakan lingkungan yang dapat menyebabkan turunnya kualitas lingkungan, resistensi hama dan vektor, punahnya beberapa flora dan fauna, gangguan terhadap kesehatan manusia dan lain sebagainya.
Gangguan lingkungan sebagai akibat adanya aktivitas manusia akhir-akhir ini telah mendapat perhatian yang serius bukan saja terhadap kesehatan manusia, tetapi juga terhadap komponen-komponen biologi lainnya. Hal ini nampak juga di Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diperbaiki pada Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup No.23 Tahun 1997. Demikian juga telah ditetapkan jenis-jenis flora dan fauna yang dilindungi oleh Undang-Undang. Lingkungan hayati sangat penting bagi kehidupan kita, karena sulit dipisahkan dengan kegiatan manusia. Adanya gangguan terhadap komponen lain di dalam sistem ekologi akhirnya akan merugikan manusia sebagai bagian dari sistem ekologi tersebut.
Berikut beberapa contoh Dampak Kegiatan Pembangunan Terhadap beberapa Komponen Hayati.
Dampak Pembangunan Di Bidang Pertanian
Dengan berkembangnya kemajuan teknologi menyebabkan kemajuan yang sangat pesat dalam bidang pertanian. Dalam menyelenggarakan Panca Usaha Tani dilaksanakan usaha pemberantasan hama secara intensif dengan menggunakan pestisida. Penggunaan pestisida tersebut tidak terbatas pada padi-padian tetapi juga sayur-sayuran serta tanaman buah-buahan. Keadaan ini cukup menggembirakan karena petani telah maju selangkah dalam penggunaan teknologi baru. Pemakaian pestisida setiap tahun terus meningkat, terbukti makin banyaknya jenis-jenis pestisida yang digunakan petani. Diperkirakan lebih dari 286 jenis pestisida telah beredar di Indonesia. Pertambahan penggunaan pestisida masih dimungkinkan meningkat terus selaras dengan perkembangan usaha pertanian dan permintaan masyarakat. Ada kecenderungan petani untuk memperbanyak dosis pemakaian pestisida, terutama saat menjelang panen. Akibatnya adalah tingginya nilai residu pestisida yang terdapat pada tanaman, air, hewan, tanah serta komponen lingkungan lainnya yang terkontaminasi oleh pestisida secara langsung ataupun tidak langsung.
Penyebaran pestisida di lingkungan dapat secara fisik misalnya melalui arus air dan angin serta secara biologis misalnya oleh serangga penyerbuk dan melalui organisme yang masuk kedalam rantai makanan dalam ssuatu ekosistem. Sumber pencemaran pesti-sida disebabkan selain adanya deposit pestisida yang dipergunakan dalam sektor pertanian dan pemberantasan vektor penyakit dari bidang kesehatan masyarakat, juga oleh sumber lain yaitu peng- gunaan pestisida oleh perorangan, limbah industri, tumpukan-tumpukan yang terjadi pada waktu pengangkutan, penyimpanan dan penjualan.
Nilai ekologi pestisida sangat mempengaruhi oleh panjang waktu yang diperlukan untuk menjadi senyawa kimia yang tidak aktif.
Setiap jenis pestisida mempunyai waktu paruh (half life) tertentu. Pestisida yang tergolong dalam organoklorin merupakan pestisida yang resisten ada yang masih aktif walaupun telah berusia 20 tahun. Yang termasuk dalam organoklorin adalah dieldrin, aldrin, toxaphene, endrin, DDT dan lain-lain. Pestisida ini juga dapat terakumulasi, dan bersifat kumulatif.
Pestisida organophospor memerlukan waktu yang pendek jika dibandingkan pestisida organoklorin (atrzine bertahan sampai 18 minggu). Dari hasil penelitian menunjukan bahwa sapi yang makan rumput yang terkontaminasi pestisida diel drin setelah 100 hari susu sapi tersebut tercemar oleh pestisida tersebut. Pestisida dapat menimbulkan pengaruh sampingan terhadap lingkungan antara lain :
- Tumbuhnya resistensi hama.
- Musnahnya predator hama.
- Hilangnya organisme yang bermanfaat.
- Kepunahan sumber daya nutfah.
- Peledakan kembali hama.
- Peledakan hama sekunder, dan yang lain-lain.
Telah diketahui bahwa pestisida disamping menguntungkan tetapi juga menimbulkan kerugian bagi manusia sendiri. Untuk menekan serendah-rendahnya akibat yang merugikan dan penggunaan pestisida maka harus terus menerus dilakukan usaha antara lain dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara yang tepat dan benar dalam menggunakan pestisida dan pengawasan peredaran dan penyimpanan jenis pestisida terutama jenis organoklorin.
Dampak Pembangunan Di Bidang Kehutanan/Hphti Dan Pertambangan Terhadap Komponen Hayati
Hutan adalah merupakan suatu bentuk ekosistem yang komplek karena didalamnya terdapat komponen ekosistem tersebut, seperti flora, fauna, mikroorganisme, iklim dan tanah. Jika suatu ekosistem hutan diubah atau ditebang, seyogyanya kita terlebih dahulu harus mengetahui secara seksama mengenai sudut-sudut kerawanan atau kesensitifan dari ekosistem yang bersangkutan. Dengan demikian kegiatan pembangunan dapat diharapkan dapat memperhatikan elastisitas daya dukung dari suatu sistem ekologi.
Tekanan Terhadap Ekosistem Hutan Dataran Rendah
World Resources 1992-1993 menyebutkan, degradasi tanah di Bumi diperkirakan telah mencapai 1,2 milyar ha, terbesar di Asia ( 435 juta ha) dan Afrika (321 juta ha). Sebagian besar disebabkan erosi akibat air dan angin yang dihasilkan aktivitas pertanian, penebangan hutan (deforestasi) dan pengumpulan kayu bakar.Proses kehancuran hutan masih terus berjalan seirama dengan perkembangan IPTEK dan waktu.Hingga hari ini hanya mungkin hutan-hutan di Irian Jaya yang belum menderita kerusakan seperti di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi,karena adanya kendala geografi yang cukup sulit.
Di Indonesia, sejak diundangkannya peraturan yang meberi peluang masuknya modal asing dan modal dalam negeri dalam kegiatan bidang kehutanan, maka pengusahaan hutan semakin meningkat.Hal ini disamping memberi devisa yang cukup besar bagi negara, di lain pihak eksploitasi yang tanpa mengindahkan prinsif-prinsif kelestarian akan menyebabkan kerawanan ekosistem hutan tersebut.Penebangan terhadap jenis-jenis dari suku Dipterocarpacea seperti meranti (Shorea sp) dan kapur ( Dryobalanops) yang saat ini telah sangat menipis potensinya, telah pula meluas hampir kesemua jenis yang berdiameter 50 Cm.Hal ini merupakan salah satu ancaman yang serius terhadap kelestarian jenis-jenis asli Kalimantan, bila kegiatan konservasi jenis melalui reboisasi, pemeliharaan tegakan tinggal dan pencegahan tidak lebih ditinggalkan ( Brotokusumo,1990).
Pertambangan terhadap sumber daya alam nir-hayati antara lain minyak bumi, batu bara, emas, perak, besi,dan sebagainya juga merupakan sumber kerawanan terhadap kelangsungan hidup Hutan tropis dataran rendah.Tidak diingkari eksploitasi terhadap SDA nir-hayati tersebut akan meningkatkan devisa negara. Teknik penambangan dengan open mining yang relatif luas, sudah pasti memusnahkan hutan yang berada di atasnya serta merubah pula bentang alam yang asli.Pada areal bekas penambangan, dimana hanya tinggal lapisan batuan induk, pemulihan alami vegetasi tentu saja sangat sulit dan lama .Disamping itu merusak areal berbagai spesies pohon sebagai sumber plasma nuftah mengakibatkan pula kawasan tersebut tidak dapat kembali ke aslinya. Aktivitas pertanian di hutan Dipterocarpacea dataran rendah, hutan mangrove, hutan rawa dan rawa gambut yang ada di kawasan wilayah pantai merupakan wilayah yang mendapat tekanan penduduk yang sangat kuat, dibandingkan dengan wilayah tengah dan hulu.Hal ini disebabkan adanya konsentrasi penduduk di daerah tersebut, dengan demikian wilayah hutan yang dekat dengan pusat penyebaran penduduk akan cepat terkikis oleh petani urban maupun oleh penduduk kota non petani yang membuka hutan dengan motivasi pengusahaan hutan.
Perladangan berpindah, suatu sistem perladangan tradisional dan telah banyak ditiru oleh pendatang justru memberi dampak terhadap hutan. Menurut Kartawinata,. et al (1981), perladangan berpindah telah mengakibatkan 400.000 ha tanah menjadi formasi alang-alang dan + 2.4 Juta ha hutan sekunder. Data pada tahun 1993, belum dapat dihimpun dan diduga setelah 12 tahun kemudian akan bertambah menjadi lebih luas.Perladangan berpindah menurut Agung (1988), telah menyebabkan hilangnya 20 m kayu komersial dan 66.57 m kayu non komersial per ha.
Jenis-jenis kehidupan tumbuhan dan hewan, serangga, cendawan, serta bakteri yang begitu kaya di hutan hujan belantara ini amat banyak macamnya, dan merupakan hasil perkembangan hutan tersebut paling tidak minimal seratus juta tahun yang lalu. Interpretasi yang menganggap bahwa tanah di hutan hujan tropis dataran rendah sangat subur adalah tidak benar. Lapisan tanah subur di top soil adalah tipis. Jika hutan ditebangi dan dibuka, maka lapisan tanah yang subur dan tipis ini segera dihanyutkan oleh hujan.Dengan demikian yang tumbuh adalah semak belukar.
Pada tahun 1986 dilaporkan di seluruh Indonesia terdapat 43 juta ha lahan yang rusak dan tidak produktif, 23 juta ha adalah semak belukar dan 20 juta yang ditumbuhi alang-alang.Jumlah lahan yang rusak tiap tahun bertambah besar akibat penebangan-penebangan di lokasi yang seharusnya dipelihara untuk terus berfungsi dan akhirnya menjadi lahan tadah hujan.
Beberapa tipe ekosistem hutan dan bentuk kerawanannya
a. Hutan Hujan Tropika
Pada susunan tegakan hutan dapat dilihat adanya sifat struktur hutan berupa keanekara-gaman, kerapatan, sebaran jenis dan komposisi serta sifat fungsional hutan yakni untuk siklus hara, fiksasi energi, siklus air dan stabilitas. Lahan hutan umumnya memiliki kesuburan tanah yang relatif rendah, pH rendah, kadar silika, aluminium dan besi yang tinggi sehingga posphor tersedia dalam tanah menjadi sangat rendah. Kondisi ini diperburuk oleh adanya curah hujan yang tinggi dan merata sepanjang tahun, sehingga meningkatkan kerawanan pencucian dan erosi.
Jika hutan itu dibalak atau terbakar , maka hutan menjadi terbuka dan kondisi ini akan mengakibatkan rendahnya kesuburan tanah dan biasanya ketersediaan hara hanya ada di bagian atas saja. Hal ini akan memacuk erosi akibat hutan terbuka dan menyebabkan struktur vegetasinya mudah berubah menjadi jenis-jenis pioneer yang tidak menuntut persyaratan tumbuh tinggi.
b. Hutan Rawa Gambut
Gambut yang kondisinya asam hingga sangat asam (pH < 4,0) merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan jenis-jenis. Hanya beberapa jenis saja yang mampu tumbuh antara lain : Diospuros, Plaquium dan Parastemon. Karena tanah gambut banyak mengandung serasah, maka daerah ini sangat rawan terhadap kebakaran. Apabila terjadi kebakaran di suatu tempat akan cepat meluas ketempat lainnya.
c. Hutan Kerangas
Hutan kerangas terdapat di daerah bertanah podsol dari bahan induk silika bertekstur kasar yang sangat asam dan mempunyai drainase kurang bagus. Jenis-jenis penyusun antara lain Tristania obovata, Agathis dammara dan borneensis.Karena kondisi habitat tempat tumbuhnya yang spesifik dengan keanekaragaman jenis yang relatif rendah, maka hutan kerangas sangat rawan terhadap penebangan dan kebakaran. Penebangan hutan kerangas lebih banyak memberikan kerugian dibanding keuntungan. Untuk membuat hutan baru sangat sulit, biasanya cenderung menjadi padang alang-alang.
c. Hutan Pantai Pasir dan Karang
Pantai berpasir dan berkarang merupakan habitat berbagai jenis tanaman perdu antara lain komunitas rerumputan, terna dan tumbuhan menjalar, seperti Ichenum muticum, Widelia biflora, Ipomoea pescaprae dan Cyperus pedunculatus. Pada tempat-tempat tertentu terdapat jenis Pandan. Komunitas terna ini berkembang menjadi komunitas jenis perdu dan pohon pioneer seperti Casuarina equisetifolia. Pada pantai yang tidak berpasir karena abrasi, tidak terdapat komunitas Pascaprae, hanya komunitas Barringtonia sangat rawan terhadap terjadinya proses abrasi pantai yang dapat menghambat proses terjadinya hutan secara lengkap.
d. Hutan Pegunungan
Hutan yang berada dipegunungan terdiri dari jenis yang secara genetis dan lingkungan, mampu tumbuh dengan suhu rendah, intensitas cahaya rendah dan sebaliknya kelembaban tinggi. Jenis-jenis yang spesifik antara lain Agathis loranthifolia, dan Pinus merkusii yang dapat mengakibatkan lapangan tumbuh menjadi sangat masam. Hutan ini sangat rawan terhadap pengaruh angin, erosi dan tanah longsor. Hutan pegunungan yang terdiri atas jenis campuran biasanya akan lebih baik jika dibandingkan dengan satu jenis. Hutan dengan banyak jenis, mempunyai fungsi konservasi terhadap tanah, air yang lebih baik, disamping tingkat kerawanannya rendah.
f. Hutang Mangrove
Hutan mangrove terbentuk oleh karena keadaan tempat tumbuh, berupa pantai berkadar garam tertentu dan berlumpur. Perairan di pantai yang sifat airnya payau ini diketemukan jenis yang jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan jenis hutan daratan. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaannya adalah :
a. Perubahan kadar garam tertentu, sebagai akibat curah hujan yang membawa lumpur dan merubah muara (estuari).
b. Adanya gangguan dari berbagai jenis benthos, dengan demi- kian dapatlah dikatakan bahwa faktor yang dapat mendorong terjadinya kerawanan perubahan pH air, kandungan NaCl sedimen dan pencemaran air.
Tekanan Terhadap Ekosistem Sungau dan Danau
Ekosistem perairan umum merupakan sumber kehidupan masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkannya untuk menangkap ikan, untuk air rumah tangga, industri, pertanian dan sarana perhubungan.Seperti halnya dengan ekosistem pesisir, ekosistem perairan umum juga mengalami nasib yang sama.Saat ini ekosistem ini telah mendapat tekanan penduduk yang sangat besar sehingga baik kualitas maupun kualitas ekosistem tersebut cenderung menurun. Hal ini terutama disebabkan oleh masuknya berbagai bahan pencemar yang berasal dari berbagai aktivitas manusia seperti HPH,Pertambangan, Perladangan di sekitar DAS dan Transportasi. Indikasi ini terutama ditandai dengan semakin dangkalnya perairan, berkembang pesatnya gulma air di danau, menurunnya produktivitas tangkapan ikan dari tahun ke tahun dan semakin ekslusifnya mobilitas beberapa hewan endemik ( misalnya kehidupan pesut).
Dampaknya Terhadap Flora :
Secara umum kegiatan pembalakan hutan meliputi kegiatn /tahapan antara laian pembukaan wilayah hutan, seperti penataan batas, pembuatan jalan angkutan, jalan sarad, tempat pengumpulan sementara, penebangan, penyeradan dan lain sebagainya yang merupakan sumber dampak. Dalam proses penebangan kerusakan tanaman terjadi karena kerobohan pohon, akibat dari penebangan dan atau penyeradan oleh kendaraan berat. Banyak pohon yang bukan sararan roboh dan melebihi banyaknya pohon yang ditebang, dari berbagai tingkat pertumbuhan. Dampak lanjutan dapat menimbulkan erosi gen. Pohon induk tidak mampu bertahan hidup dengan baik untuk menghasilkan keturunan (buah), dengan demikian proses regerasi akan terputus. Perkembangan hutan tidak dapat mengembalikan sifat hutan semula. Keanekaragaman hayati menurun, terutama pada tempat dimana kegiatan berlangsung, yang mungkin merupakan konsekuensi jangka panjang sangat merugikan. Kerusakan DAS akan menimbulkan banjir dan pencemaran. Di hilir ikan-ikan yang baru menetas hilang dan menurunnya kemampuan penyangga dari hutan mangrove, serta hilangnya daya serap organisme rawa gambut. Habitat fauna gilirannya akan hilang begitu saja, sehingga yang tadinya hewan-hewan liar familiar berkeliaran. Pada habitatnya tidak terlihat lagi, yang tahan terhadap lingkungan baru akan tetap tinggal, sedangkan yang lain akan lenyap secara pelan-pelan. Berkurangnya hutan akan meningkatkan kandungan CO2 di udara, yang timbul terutama dari pembakaran bahan bakar fossil, ditambah lagi dengan pembakaran hutan, yang akhirnya dapat meningkatkan suhu di atmosfir sebagaimana halnya dengan efek rumah kaca.
Berkurangnya permukaan transpirasi dan payung tajuk hutan, dapat menyebabkan kenaikan suhu, yang selanjutnya dapat mengganggu ekosistem, bahkan dapat meningkatkan frekuensi kebakaran hutan. Jenis-jenis yang terdapat di lahan basah akan menghadapi ancaman yang sama dengan lahan/hutan kering, dengan kehilangan habitat alami. Hal ini terjadi karena perubahan penggunaan lahan dan penurunan keanekaragaman karena kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pemungutan sumber daya yang berlebihan.
Dampak Terhadap Fauna :
Punahnya jenis-jenis penting dengan significansi tertentu pada suatu ekosistem, dapat membahayakan dan mengakibatkan punahnya jenis-jenis lain. Hilangnya predator akibat mengecilnya habitat yang diakibatkan oleh pengrusakan kawasan bervegetasi. Kepunahan herbivora juga turut membahayakan kehidupan predator. Apabila suatu sistem kekurangan jenis penting tertentu, seperti burung, lebah atau kalong, yang berperan dalam proses penyerbukan dan penyebaran biji, maka reproduksi tumbuhan yang ada hubungannya juga terlambat.
Hanya 15% saja biji pepohonan tropis yang disebarkan oleh angin, sebagian besar tergantung kepada hewan, sehingga apabila hewan-hewan ini punah, juga akan mengakibatkan punahnya jenis-jenis pohon yang berhubungan.
Demikian juga sebaliknya, apabila rusaknya habitat dalam skala besar, riskan akan kepunahan hewan-hewan tersebut. Kepunahan jenis yang demikian tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi hanya nampak pada saat masing-masing pohon/jenis tanaman yang mengalami proses penyebaran biji dimasa lalu menjadi mati dengan sendirinya. Hal yang sama juga terjadi pada jenis hewan yang berperan sebagai polinator. Apabila habitat alamiah, seperti sarang terancam, akan membahayakan kehidupan jenis tanaman yang tergantung kepadanya.
Hutan tropis dominansi tanaman angiospermae, sangat tergantung pada hewan penyerbukannya, selain mamalia dan burung-burung yang berperan ekologis penting.
Dampak Pembangunan Di Sektor Industri
Seperti telah diketahui bahwa pembangunan industri disamping menimbulkan dampak positif bagi kesejahteraan manusia, juga dapat menimbulkan dampak negatif dengan dikeluarkan limbah industri menurut jenisnya dapat berupa bahan organik yang terdiri dari bahan padat, cair dan gas. Menurut sifatnya dapat berbentuk bahan yang dapat dihancurkan oleh organisme hidup (degredable compound) dan bahan yang tidak dapat dihancurkan oleh organisme hidup (non degradable compound).Terutama bahan-bahan yang tidak bisa dihancurkan oleh organisme hidup, biasanya terakumulasi lebih banyak dalam komponen lingkungan dan akan menimbulkan gangguan yang lebih berat. Beberapa limbah industri yang mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan antara lain logam, gas, debu, panas, minyak dan lain-lain.
- Limbah akan memasuki lingkungan sehingga akan menyebabkan perubahan kondisi lingkungan, baik lingkungan terestrial maupun lingkungan akuatik. Perubahan kondisi lingkungan baik fisik, kimia maupun biologis akan menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan, yang akhirnya akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem serta menurunnya daya dukung lingkungan.
- Flora dan fauna merupakan komponen lingkungan yang penting juga tidak akan luput dari pengaruh-pengaruh buruk dari lingkungannya, baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruh tidak langsung dapat melalui siklus makanan. Misalnya logam Hg yang termasuk ke perairan akan diterima oleh bakteri, kemudian bakteri akan dimakan oleh plankton, plankton dimakan ikan, dan akhirnya melalui ikan dapat sampai ke tubuh manusia. Kasus di Jepang tahun 1953 akibat pencemaran Hg ini dapat menimbulkan penyakit Minamata.
- Pencemaran udara, misalnya oleh SO2 telah diketahui menurunkan kadar klorofil pada lumut kerak (Linchenes) dan juga menurunkan populasinya. Juga SO2 dapat berakibat menurunkan hasil produksi pertanian. Selain itu SO2 dapat menimbulkan beberapa penyakit misalnya bronchitis, pnemonia dan penyakit hati.
- Penurunan kualitas lingkungan perairan juga dapat menyebabkan penurunan produksi perikanan, atau dapat menyebabkan punahnya flora dan fauna akuatik.
- Telah kita ketahui bahwa flora dan fauna mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia, terutama sebagai sumber daya hayati yang dapat diperbaharui, yang dapat mendukung lajunya pembangunan, maka seyogyanya harus dipertahankan dan ditingkatkan kelestariannya, sehingga pembangunan yang berwawasan lingkungan dapat terwujud.
Tekanan Terhadap Ekosistem-ekosistem Perairan pesisir dan Laut
Levi (1983) menyatakan bahwa 90 % dari keseluruhan produksi hasil tangkapan ikan berasal dari paparan benua dari suatu wilayah pesisir. Daerah tangkapan ini sering dihubungkan dengan perairan dangkal dimana ekosistem pesisir merupakan wilayah yang tinggi produktivitasnya dengan adanya hutan Mangrove,terumbu karang, estuaria, laguna, dan padang lamun yang memegang peranan penentu di dalam penyediaan sistem pendukung kehidupan seperti daerah tempat pemijahan ikan, pembesaran ( nursery) dan daerah tempat mencari makan.
Akibat kegiatan pembangunan yang berlangsung akhir-akhir ini seperti penambangan minyak bumi, pertambangan, turisme kelautan, pelabuhan-pelabuhan dan fasilitas energi, baik ekstraksi hasil hutan maupun pembangunan pertanian serta perikanan (pembangunan tambak) telah menambah tekanan terhadap sumberdaya pesisir.
Sebagian besar penduduk dunia tinggal di sepanjang garis pantai atau sepanjang tepian sungai yang mengalir menuju pesisir. Hal itulah yang menyebabkan wilayah pesisir selain tinggi produktivitasnya juga sekaligus rawan terhadap tekanan-tekanan lingkungan ( Mann, 1982).
Pemanfaatan sumberdaya alam dan pembuangan limbah di wilayah pesisir telah menyebabkan ekosistem pesisir mendapat tekanan dampak yang berlipat ganda. Selain itu karena luas lokasi di hutan Mangrove itu bervariasi ketebalannya, di beberapa pesisir ketebalan hutan ini bahkan tidak sampai 200 meter, sehingga gangguan dengan intensitas sama akan menyebabkan kawasan ini menjadi rawan. Contoh yang jelas, saat ini Hutan Mangrove antara Teluk Balikpapan hingga Muara Sungai Mahakam boleh dikatakan telah rusak.
Pemanfaatan hutan bakau ( mangrove) untuk berbagai jenis keperluan seperti kayu bakar, pembuatan arang, kayu untuk diekspor , bahan baku bagi pabrik kertas, pembuatan chipboard, dan lainnya.
Bahkan hutan bakau telah banyak diubah menjadi tempat persawahan, pertambakan, perindustrian, real estate, dan lainnya. Biasnya dengan hilangnya hutan bakau di suatu wilayah pesisir akan segera diikuti oleh penurunan produksi perikanan (khususnya udang) di perairan sekitarnya, menghilangnya jenis-jenis biota tertentu dari ekosistem, terkikisnya pantai oleh gempuran ombak dan kadang-kadang juga meningkatnya penyakit malaria di daerah tersebut.
Ekosistem laut (Teluk) sangat rawan terhadap pencemaran sebab adanya pertumbuhan penduduk yang cepat dan perkembangan teknologi yang pesat, sehingga di beberapa daerah Teluk telah mendapat tekanan yang sangat berat dan hal ini menimbulkan kerusakan-kerusakan yang parah diberbagai tempat di dunia.Sumber pencemaran laut di Indonesia dapat dikelompokkan berdasarkan asalnya, yakni pencemaran yang berasal dari lautnya sendiri dan pencemaran yang berasal dari kegiatan di darat yang berasal dari lautnya sendiri misalnya berasal dari pembuangan sampah air balast dari kapal-kapal, tumpahan minyak di laut( baik dari kapal tangki, maupun sumur minyak); lumpur buangan dari kegiatan pertambangan di laut (pengeboran minyak dan lain-lain); kecelakaan-kecelakaan di tengah-tengah laut seperti kecelakaan tanker, pipa dan lainnya.Yang berasal dari kegiatan-kegiatan di darat antara lain air sungai yang membawa lumpur dan endapan lain yang dibawa oleh sungai sebagai akibat erosi tanah atau sebagai buangan kegiatan pertambangan di daerah hulu , air buangan dari kota-kota ( limbah domestik) , pasar dan industri (industri petrokimia) lewat saluran-saluran pembuangan, kotoran lewat udara,biosida khususnya Chlorinated hydrocarbon dan pupuk yang digunakan di dalam kegiatan pertanian dan kehutanan yang dapat merembes ke berbagai perairan, termasuk perairan pantai ( estuaria).
Penempatan zona-zona Industri di wilayah pesisir , secara ekonomis memang menguntungkan.Terutama dilihat dari sudut akses transportasi dan pembuangan limbahnya, namun perlu diinsyafi bahwa setiap ekosistem memiliki daya dukung (carrying capasity) tertentu untuk menyerap apa yang masuk ke dalam sistemnya. Setiap sistem alami, termasuk laut memiliki kemampuan untuk mengembalikan kesehatannya kembali seperti sedia kala bila ada gangguan dari luar.Namun masalahnya, response time tersebut berpa lama dapat berlangsung ?
Jika kita menginginkan keselamatan umat, maka diperlukan kajian tentang warning system untuk mendeteksi jika ada bahan pencemar yang telah mencapai kadar yang kritis, sehingga umat manusia segera mengetahuinya/merasakannya dan segera mengambil langkah-langkah pengamanannya.Pengalaman Penyakit Minamata yakni penyakit yang mengerikan bagi umat; sebab manusia yang terserang penyakit ini menimbulkan gerakan yang tak terkendali atau mati. Ikan mengambang di permukaan laut, burung jatuh dari udara, ayam, anjing, babi serta musang jadi gila, karena serangan penyakit yang muncul di Teluk Minamata.Penyakit ini disebabkan oleh Methyl mercurie chlorid .Perlu diketahui bahwa kasus ini baru terungkap setelah 26 tahun sejak awal limbah kimia yang mengandung air raksa itu dibuang (1930 dibuang dan baru dikenal pada tahun 1956/1960) Begitu juga dengan penyakit Itai-itai yang disebabkan oleh Cd.
Limbah panas dapat menimbulkan thermal schock, meningkatkan kepekaan organisme akuatik terhadap parasit, penyakit dan toksin kimia, perubahan pola migrasi, menurunnya kadar DO, meningkatkan keperluan oksigen, menimbulkan eutrofikasi, menurunkan produksi telur dan kemampuan bertahannya hidup larva ikan, terganggunya rantai makanan akuatik, berubahnya komposisi spesies.
Kejadian munculnya penyakit yang disebabkan oleh dampak limbah panas Industri telah diketahui dari kasus di Teluk Ciguatera, USA.Penyakit ini disebabkan oleh racun Ciguatoksin yang dibawa oleh Bakteri Toksis/virus yang terdapat pada selubung polisakarida Alga Cyanophyceae.Seperti diketahuan, peningkatan suhu air laut akan memacu perkembangan populasi Cyanophyceae dan dengan demikian akan menimbulkan penyakit Ciguatera.Penyakit ini ditandai dengan kelemahan otot, bibir,tangan dan kaki kaku dan gemetar, panas-dingin, mual linu-linu pada persendian dan gatal-gatal.
Pengelolaan Lingkungan Untuk Mitigasi Dampak Kegiatan Terhadap Komponen Hayati
Untuk menangani dampak penting terhadap komponen flora-fauna terestrial dari hasil evaluasi AMDAL, penanganan dampak penting dilakukan dengan menggunakan salah satu atau beberapa pendekatan pengelolaan lingkungan yakni secara teknologi, sosial ekonomi, maupun institusi.
Mitigasi dampak penting terhadap komponen flora-fauna terrestrial sangat ditentukan oleh jenis dam derajat dampak negatif yang diprediksikan. Diperlukan prediksi terhadap dampak langsung maupun tidak langsung, dengan harapan usaha-usaha penanganannya akan menjamin kelestarian fungsi ekosistem di tapak proyek tersebut atau setidak-tidaknya meminimasi dampak negatif yang akan terjadi.
Komponen satwa liar yang terkena dampak kegiatan HPH meliputi habitat, kelimpahan satwa yang dilindungi dan keanekaragaman jenisnya. Kegiatan-kegiatan yang potensial sebagai sumber dampak adalah penebangan, penyaradan, pengangkutan kayu, penanaman, pemeliharaan, perlindungan dan pengamanan hutan.
Tujuan pokok dari perlindungan alam menurut UNCN - UNCP - WWF (1980) pada hakekatnya adalah sebagai pengelolaan oleh manusia dalam memanfaatkan biosfer, ekosistem dan jenis-jenis yang menyusunnya, untuk menghasilkan suatu keuntungan yang berkesinambungan bagi generasi sekarang serta memelihara potensi sumber daya alam itu untuk memenuhi kepentingan generasi yang akan datang. Aspek utama penekanan dari perlindungan alam menurut IUNC - UNFP - WWF (1978) adalah :
1. Penduduk dapat memperoleh keuntungan langsung perlindungan alam. Perlindungan alam suatu usaha untuk mengatur dalam penggunaan lingkungan, agar generasi sekarang mendapat keuntungan maksimal dari potensi sumber alam hayati dan hasil sejumlah besar macam pelayanan yang baik dari alam (seperti ekologi, ekonomi, etika dan budaya, ilmu pengetahuan dan intelektual). Oleh karena itu perlindungan alam merupakan bagian integral untuk dapat menyokong pembangunan.
2. Perlindungan alam berorientasi kepada dua kerangka waktu :
a. Untuk generasi sekarang agar mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dari sumber alam yang ada.
b. Untuk generasi yang akan datang, menerima pemeliharaan potensi sumber alam itu agar dapat meneruskan apa saja yang menjadi kebutuhan dan aspirasi yang akan datang.
3. Menjaga kepunahan berbagai jenis atau spesies
4. Perlindungan suatu ekosistem atau fungsinya, seperti dapat meramalkan pemidahan suatu energi, nutrisi dan material antara organisme dan lingkungannya.
5. Perlindungan ekosistem atau species merupakan suatu aspek pokok usaha yang lebih luas dan keras dari rencana-rencana dan peraturan manusia dalam menggunakan sumber alam.
6. Perlindungan alam selain terhadap sumber daya hayati juga memperhatikan pula sumber daya non hayati seperti, air, tanah, unsur hara dan atmosfir.
Berdasarkan tujuan pokok perlindungan alam, pemerintah Indonesia (PHPA) telah melakukan usaha-usaha antara lain :
- Melindungi jenis-jenis flora dan fauna dalam habitat alaminya seperti adanya cagar alam, suaka marga satwa, dan lain-lain.
- Mempertahankan jenis-jenis flora dan fauna diluar habitat alaminya seperti di kebun binatang, kebun raya, dan lain-lain.
- Usaha pemeliharaan dan penangkapan binatang dan tumbuhan liar.
- Usaha melakukan pengawasan lalulintas perdagangan binatang dan tumbuhan liar.
- Menetapkan jenis flora dan fauna langka yang ditetapkan Undang-undang.
Dari daftar yang dikeluarkan Direktorat PPA tahun 1978, terdapat kurang lebih 135 marga dari 62 familia yang termasuk langka. Jenis binatang yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah dan Surat Keputusan menteri Pertanian tahun 1970, 1972, 1973, 1977, 1978, 1978, 1979, 1980, seluruhnyya tercatat kurang lebih 600 jenis.
Pendekatan Teknologi
Pendekatan ini adalah penerapan cara-cara atau teknologi yang tepat dan sesuai untuk digunakan menanggulangi dan mengendalikan (mengelola) dampak penting dengan mempertimbangkan efektivitas, efisiensi dan ekonomis antara lain :
(a) Melakukan penanaman areal kosong, bekas tebangan,kawasan lindung dan kawasan lainnya untuk meningkatkan kerapatan tegakan sebagai habitat satwa berdasrakan SK Dirjen Kehutanan No. 35/Kpts/DJ/1972, Forestry Agreement, SK HPH dan berdasarkan surat Dirjen PH No.375/IV-BPHH/1993. Jenis-jenis pohon yang ditanam adalah jenis pakan dan cover, antara lain : meranti, keladus, kapur dan keruing (pucuk dan tunas untuk pakan Owa-Owa), merkunyit, mendarahan, kapol dan rotan (daun,pucuk untuk pakan, pohon untuk cover beruk), beringin, dahu,ebony (buah, daun untuk pakan, pohon untuk Macaca fascicularis ), bengkirai, trema, kujijang ( daun, pucuk untuk pakan kancil dan kijang) dan jenis-jenis dipterocarpaceae yang menjadi cover dan pakan burung rangkong, burungmadu serta kuau.
(b) Memelihata arean Virgin forest sebagai areal pengungsian satwa dengan memperhatikan dinamika populasi dan komposisi herbivora -carnivora. kegiatan pokok pemeliharaan berupa inventarisasi jenis flora dan fauna serta pengamatan arah penyebaran satwa.
(c) Pemasangan papan larangan berburu satwa dilindungi di areal hutan baik kawasan lindung maupun areal produktif.
(d) Pengelolaan kawasan lindung yang meliputi areal berlereng > 40 %, areal pengugsian satwa, sempadan sungai dan hutan lindung secara khusus untuk perlindungan keanekaragaman dan kelimpahan satwaliar.
Pendekatan Sosial Ekonomi
Pendekatan ini adalah langkah-langkah yang harus ditempuh pemrakarsa proyek dalam upaya menanggulangi dampak penting melalui tindakan-tindakan yang bermotifkan sosial ekonomi.
Pendekatan ini antara lain dapat dilakukan sebagai berikut :
- Menyelenggarakan program pelestarian sumberdaya hutan dan lingkungan yang meliputi kegiatan penyuluhan kepada karyawan dan masyarakat sekitar HPH tentang kekayaan jenis (biodiversity) satwa yang dilindungi undang-undang, kawasan lindung dan peraturan perundang-undangannya (UULH No.4 Th 1982),UU No 5 Th 1990 dan PP No 28 Th 1985.
- Melibatkan masyarakat di sekitar tapak proyek untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengelolaan lingkungan;
- Menjamin interaksi sosial yang harmonis dengan masyarakat sekitar guna mencegah timbulnya kecemburuan sosial.
- Melaksanaan penelitian dan pengembangan tentang teknollogii pengelolaan kayu dan teknologi pembinaan hutan, hutan campuran tak seumur dan hubungannya dengan keragaman jenis yang akan dikembangkan.
- Mengalokasikan dana untuk penyelenggarakan program - program pendidikan dan latihan.
Pendekatan Institusi
Pendekatan ini adalah mekanisme kelembagaan yang ditempuh pemrakarsa dalam rangka menanggulangi dampak penting. Kegiatan ini dapat dicapai melalui langkah-langkah berikut :
- Membentuk divisi pengelolaan dan pemantauan lingkungan dalam struktur organisasi HPH dengan kedudukan sejajar divisi Pembinaan Hutan dan Divisi Logging.
- Kerjasama dengan instansi terkait yang berkepentingan dan berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, misalnya instansi vertikal maupun horizontal ( dengan Kanwil Dephut, BBLH Tk I , Pemda TK II, dan lainnya).
- Pengawasan terhadap hasil unjuk kerja pengelolaan lingkungan oleh instansi yang berwenang;
- Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan secara berkala kepada pihak-pihak yang berkepentingan.