Kajian Peraturan Perundang-Undangan Terkait Lembaga Keuangan Mikro
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Dalam pengaturan di Undang-Undang Perbankan, keterkaitan dengan pembentukan RUU tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) terdapat pada LKM yang berbentuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dalam Undang-Undang Perbankan, pengaturan mengenai BPR merujuk pada beberapa pasal, yaitu: Pasal 13, Pasal 16, Pasal 19, dan Pasal 29. Dalam Pasal 13 Undang-Undang Perbankan, usaha BPR meliputi:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b. memberikan kredit;
c. menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.;
d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan/atau tabungan pada bank lain.
Selanjutnya dalam melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib, Pasal 16 Undang-Undang Perbankan menyatakan bahwa BPR terlebih dahulu memperoleh izin usaha Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang‑undang tersendiri, dimana persyaratan yang wajib dipenuhi paling sedikit memuat:
a. susunan organisasi dan kepengurusan;
b. permodalan;
c. kepemilikan;
d. keahlian di bidang Perbankan;
e. kelayakan rencana kerja.
Selanjutnya, menurut Pasal 29 Undang-Undang Perbankan, pembinaan dan pengawasan BPR dilakukan oleh Bank Indonesia, dimana terkait ini, BPR wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati‑hatian.
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Dalam hal LKM yang dibentuk berupa koperasi, yang dalam hal ini bentuk koperasi yang sesuai dengan LKM adalah koperasi simpan pinjam atau unit simpan pinjam koperasi, pengaturan dalam Undang-Undang Koperasi yang perlu menjadi perhatian untuk diharmonisasi atau disinkronisasi dalam wacana pembentukan Undang-Undang LKM adalah beberapa ketentuan pasal sebagai berikut, yaitu Pasal 1 angka 1, Pasal 9, dan Pasal 44 Undang-Undang Perkoperasian.
Dalam hal pendirian LKM yang berbentuk koperasi simpan pinjam, menurut Pasal 9 Undang-Undang Koperasi, memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Pemerintah. Selanjutnya, dalam Pasal 44 Undang-Undang Perkoperasian menyatakan bahwa dalam menjalankan usahanya, Koperasi dapat melaksanakan usaha simpan pinjam, dengan cara menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk:
a. anggota Koperasi yang bersangkutan;
b. Koperasi lain dan/atau anggotanya.
Pada prinsipnya, pengaturan mengenai kegiatan Koperasi Simpan Pinjam atau unit simpan pinjam koperasi belum diatur secara detil dalam undang-undang tersendiri, namun sebagai peraturan pelaksana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi. Substansi-substansi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 memuat definisi Koperasi Simpan Pinjam (KSP), bentuk organisasi, pendirian, permodalan, dan pembinaan. Definisi KSP menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 adalah koperasi yang kegiatannya hanya usaha simpan pinjam. Bentuk organisasi dari KSP menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 dinyatakan bahwa kegiatan usaha simpan pinjam hanya dilaksanakan oleh Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam, dimana bentuk keduanya dapat berbentuk Koperasi Primer atau Koperasi Sekunder. Selanjutnya, dalam hal pendirian, menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995, dinyatakan bahwa Pendirian Koperasi Simpan Pinjam dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai persyaratan dan tata cara pengesahan Akta Pendirian dan perubahan Anggaran Dasar Koperasi. Dimana permintaan pengesahan Akta Pendirian Koperasi Simpan Pinjam diajukan dengan tambahan lampiran:
a. rencana kerja sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;
b. administrasi dan pembukuan;
c. nama dan riwayat hidup calon Pengelola;
d. daftar sarana kerja.
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 Menjadi Undang-Undang.
Pada prinsipnya LKM yang berbentuk BPR, menjadi obyek dalam Undang-Undang LPS. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang LPS, yang menyatakan bahwa Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perbankan. Mengingat hal itu, maka ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang LPS berlaku pula untuk BPR, yang di satu sisi merupakan salah satu bentuk dari LKM. Adapun beberapa ketentuan pasal dalam Undang-Undang LPS yang perlu menjadi perhatian bagi pembentukan Undang-Undang LKM, khususnya LKM yang berbentuk BPR, yaitu ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang LPS.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang LPS, dinyatakan bahwa setiap Bank, termasuk diantaranya BPR, yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan. Namun demikian kewajiban ini tidak termasuk Badan Kredit Desa. Selanjutnya untuk melengkapi kewajiban BPR sebagai peserta penjaminan, dalam Pasal 9 Undang-Undang LPS, BPR wajib
a. menyerahkan dokumen sebagai berikut:
1) salinan anggaran dasar dan/atau akta pendirian bank;
2) salinan dokumen perizinan bank;
3) surat keterangan tingkat kesehatan bank yang dikeluarkan oleh LPP yang dilengkapi dengan data pendukung;
4) surat pernyataan dari direksi, komisaris, dan pemegang saham bank, yang memuat:
i. komitmen dan kesediaan direksi, komisaris, dan pemegang saham bank untuk mematuhi seluruh ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan LPS;
ii. kesediaan untuk bertanggung jawab secara pribadi atas kelalaian dan/atau perbuatan yang melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian atau membahayakan kelangsungan usaha bank;
iii. kesediaan untuk melepaskan dan menyerahkan kepada LPS segala hak, kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan apabila bank menjadi Bank Gagal dan diputuskan untuk diselamatkan atau dilikuidasi;
b. membayar kontribusi kepesertaan sebesar 0,1% (satu perseribu) dari modal sendiri (ekuitas) bank pada akhir tahun fiskal sebelumnya atau dari modal disetor bagi bank baru;
c. membayar premi Penjaminan;
d. menyampaikan laporan secara berkala dalam format yang ditentukan;
e. memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Penjaminan; dan
f. menempatkan bukti kepesertaan atau salinannya di dalam kantor bank atau tempat lainnya sehingga dapat diketahui dengan mudah oleh masyarakat.
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM)
Dalam kaitannya dengan pembentukan LKM, dalam Undang-Undang UMKM terdapat beberapa ketentuan pasal yang perlu menjadi perhatian, terutama terkait dengan definisi usaha mikro dan pembiayaan, kriteria usaha mikro, dan pembiayaan bagi usaha mikro, yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 11, Pasal 6 ayat 1, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang UMKM.
Definisi usaha mikro yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 adalah Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Sedangkan pembiayaan, yang merupakan kunci pelaksanaan LKM dalam usaha mikro, menurut Pasal 1 angka 11 didefinisikan sebagai penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Selanjutnya, dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang UMKM, menyatakan kriteria suatu usaha mikro meliputi sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Terkait dengan pembiayaan untuk usaha mikro, dalam Pasal 21 Undang-Undang UMKM, menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro. Selain itu, Badan Usaha Milik Negara dapat pula menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya. Masih terkait dengan pembiayaan untuk usaha mikro, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha dapat memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil. Selain itu pula, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro.
Selanjutnya, dalam Pasal 22 Undang-Undang UMKM, menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro, Pemerintah melakukan upaya:
a. pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank;
b. pengembangan lembaga modal ventura;
c. pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang;
d. peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah; dan
e. pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan untuk meningkatkan akses Usaha Mikro, dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang UMKM, Pemerintah dan Pemerintah Daerah:
a. menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jaringan lembaga keuangan bukan bank;
b. menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jangkauan lembaga penjamin kredit; dan
c. memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh pembiayaan.
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Undang-Undang BI)
Wacana pembentukan Undang-Undang LKM terkait dengan beberapa Undang-Undang. Dalam hal keterkaitannya dengan Undang-Undang Bank Indonesia dapat dilihat dari materi Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank, yang diatur dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 35 Undang-Undang BI, yang merupakan salah satu tugas BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang BI, selain menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan moneter dan mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
Pada prinsipnya tugas mengatur dan mengawasi bank, dilakukan oleh BI terhadap semua kriteria yang didefinisikan bank menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang BI, yaitu termasuk BPR dan BPRS, yang mana merupakan salah satu jenis LKM berbentuk bank.
Dalam hal pengawasan terhadap BPR maupun BPRS, berdasarkan amanat Undang-Undang BI, ke depan akan dibentuk lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang‑undang. Namun demikian sepanjang lembaga pengawasan tersebut belum dibentuk, tugas pengaturan dan pengawasan BPR/BPRS dilaksanakan oleh Bank Indonesia, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 34 dan Pasal 35 Undang-Undang BI.
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Pemerintahan Daerah)
Dalam hal keterkaitan pembentukan Undang-Undang LKM dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah dapat dilihat pada lembaga kemasyarakatan di desa dan badan usaha milik desa. Lembaga kemasyarakatan di desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 Undang-Undang Pemerintah Daerah dapat berfungsi untuk membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa, yang salah satunya lembaga perbedayaan masyarakat desa yang menyalurkan pembiayaan berbentuk keuangan mikro.
Selanjutnya untuk mengembangkan potensi dan kebutuhan desa, menurut Pasal 213 Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa, yang pendiriannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Badan usaha milik desa ini dalam prakteknya dapat berbentuk Badan Kredit Desa, Badan Usaha Kredit Pedesaan dan bentuk-bentuk lainnya, yang dalam operasionalisasinya dapat menyalurkan kredit/pembiayaan mikro.
7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Undang-Undang Perbankan Syariah)
Sama halnya dengan Undang-Undang Perbankan, keterkaitan Undang-Undang Perbankan Syariah dengan pembentuan Undang-Undang LKM terletak pada LKM yang berbentuk bank. Dalam Undang-Undang Perbankan Syari’ah keterkaitan itu terdapat pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yang dalam operasionalisasinya menyalurkan pembiayaan mikro.
Dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Perbankan Syariah, definisi BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan untuk pembinaan dan pengawasan terhadap BPRS, menurut Pasal 50 Undang-Undang Perbankan Syariah, dilakukan oleh Bank Indonesia.