Kedudukan Filsafat Ilmu
Filsafat Ilmu atau Filsafat Ilmu Pengetahuan berasal dari tradisi Filsafat Barat. Sejak sekitar abad ini dan diper-kenalkan oleh sekelompok ahli ilmu pengetahuan kealaman yang berasal dari universitas Wina, maka Filsafat Ilmu menjadi mata ajaran dari universitas tersebut. Para ahli ilmu pengetahuan kealaman yang berasal dari berbagai disiplin ilmu (ilmu kimia, fisika, matematika) antara lain Morits Schlick, Hans Hahn, Hans Reichenbach memberikan sumbangan yang besar dalam awal perkembangan filsafat ilmu. Mereka itu, dan dipelopori oleh Moritz Schlick tergabung dalam kelompok diskusi ilmiah, yang kemudian dikenal sebagai "Lingkaran Wina" (Viena Circle). Kelompok atau lingkaran Wina menginginkan bahwa di dalam ilmu pengetahuan terdapat unsur pemersatu. Unsur pemersatu haruslah bertitik tolak pada bahasa ilmiah dan cara kerja ilmiah yang pasti dan logis. Kelompok Wina menyebutnya unsur pemersatu sebagai ilmu yang terpadu (unified sciences).
Pada saat ini, filsafat ilmu menjadi sangat berkembang, menjadi kajian filsafat ilmu yang lebih modern. Beberapa bidang keilmuan sangat membutuhkan tentang proses kerja ilmiah yang relevan dengan pokok perhatian atau fokus yang lebih spesifik. Salah satu contoh, adalah munculnya kajian tentang filsafat ilmu kedokteran, filsafat ilmu sosial. Dalam kajian tersebut fokus filsafat ilmu diarahkan pada bagaimana ciri dan cara kerja kegiatan ilmiah diterapkan pada persoalan manusia dan kesehatan atau kehidupan manusia dalam kehidupan sosial serta interaksi dengan masyarakat. Secara historis, filsafat ilmu telah diperkenalkan oleh bangsa Yunani, diawali oleh filsuf Aristoteles (abad VI seb.M). Dan dalam tradisi filsafat Barat telah dikenal pula adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema-tema tertentu. Tema-tema besar itu berupa ontologi, epistemologi dan aksiologi. Tema ontologi berbicara tentang problem "Ada", yaitu tema yang membahas masalah keberadaan tentang sesuatu, misalnya keberadaan mahluk hidup, alam semesta, yang semuanya itu merupakan keberadaan yang dapat ditangkap dan dibedakan secara empiris. Sisi lain terdapat keberadaan sesuatu yang tidak dapat ditangkap dan hadir secara empiris, atau konkret, yaitu metafisika. Metafisika (meta: di belakang, fisika: sesuatu yang konkret) adalah sebagai sesuatu yang mengkaji tentang berbagai hal seperti gagasan, idea, ataupun konsep. Gagasan ataupun konsep itu sebagai semacam prinsip yang muncul atas dasar penalaran manusia. Prinsip itu sendiri memang tidak dapat dibuktikan secara empiris, tetapi orang akan mengenal prinsip tersebut apabila diaktualisasikan melalui sebuah tulisan. Sebagai contoh, gagasan Einstein tidak akan dikenal luas oleh masyarakat ilmuwan, apabila Einstein tidak membuktikan gagasannya tanpa menuliskan gagasannya itu melalui berbagai penelitiannya yang tidak kenal lelah secara trial error (uji coba) yang kemudian dikenal sebagai teori relativitas.
Tema kedua, epistemologi yaitu tema yang mengkaji tentang pengetahuan (episteme adalah pengetahuan). Dalam pembahasan tentang epistemologi (pengetahuan) dibahas berbagai hal seperti batas pengetahuan, sumber pengetahuan, serta kriteria tentang kebenaran. Batas pengetahuan adalah pengalaman manusia dalam mengkaji sesuatu yang menjadi minat penelitiannya. Oleh karena itulah setiap ilmu pengetahuan, misalnya ilmu kedokteran dengan psikologi sangat berbeda, karena masing-masing ilmu memiliki ruang lingkup tersendiri (objek forma yang berbeda). llmu kedokteran membahas tentang masalah kesehatan manusia yang berkaitan dengan penyakit tertentu sedang psikologi membahas perilaku manusia dari aspek kejiwaannya. Sumber pengetahuan manusia adalah akal budinya. Dengan akal budinya manusia mampu untuk berpikir tentang sesuatu, memikirkan gagasan untuk menciptakan karya-karya seni ataupun teknologi, dengan akal budinya pula manusia dapat belajar, berhubungan dengan orang lain, mampu berdialog tentang apa saja dengan siapa saja. Sedang kriteria kebenaran sebagai upaya pencarian objektivitas terhadap pengenalan manusia yang bersifat empiris. Apa yang dilihat, misalnya sebuah kursi, maka kursi itu haruslah sesuai dengan kriteria kursi: memiliki kaki empat, sandaran, alas duduk, terbuat dari kayu. Atas dasar itulah maka objektivitas sebuah benda yang diamati memiliki kebenaran.
Tema ketiga, aksiologi, yaitu tema yang membahas tentang masalah nilai atau norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Nilai diartikan sebagai sebuah penilaian tentang apa yang telah dilakukan oleh manusia dalam kaitannya dengan relasi manusia, baik atau buruknya tindakan manusia. Nilai (value) muncul dalam kehidupan manusia dalam bentuk sebagai nilai yang berada dalam sistem kemanusiaan seseorang, misalnya nilai moral/nilai etis, nilai budaya, nilai keagamaan / religius, nilai keindahan. Sebagai contoh, Tedy memiliki nilai moral yang tinggi, karena ia bekerja sebagai seorang arsitek di sebuah perusahaan kontraktor bangunan “Indah Selalu” dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi yang tinggi terhadap tugasnya. Ia tidak suka memfitnah ataupun menjelek-jelek teman sejawatnya dihadapan atasannya, agar supaya ia dapat menjadi orang kepercayaannya.
Dari uraian yang telah dijelaskan di atas, maka sampailah kita pada pemetaan atau kedudukan filsafat ilmu apabila ia diletakkan pada lingkup ilmu filsafat. Agaknya lingkup epistemologi menjadi tempat yang tepat bagi filsafat ilmu.
Filsafat ilmu membahas tentang persoalan ilmu pengetahuan dengan berbagai problematisnya, terutama yang berkaitan dengan metodologis atau pembenaran ilmiah. Dengan kata lain, ciri keilmiahan suatu ilmu pengetahuan dengan cara kerja ilmiah menjadi bahan yang dikaji dalam filsafat ilmu. Sedang epistemologi membahas tentang batas, sumber dan kebenaran pengetahuan, yang semuanya itu memerlukan kajian yang bersifat rasional. Demikian juga filsafat ilmu mengkaji ciri dan cara kerja ilmu pengetahuan berlandaskan rasionalitas atau akal budi manusia. Ini berarti bahwa jembatan rasionalitas menjadi media bagi filsafat ilmu dengan aspek epistemologi untuk menemukan kebenaran ilmiah atau validitas ilmu pengetahuan.